Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional yang para siswa/santrinya tinggal bersama menginap di asrama, dan belajar di bawah bimbingan guru yang dikenal dengan sebutan kiai. Di dalam kompleks pesantren biasanya berdiri pula masjid untuk shalat berjamaah. Pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarluaskan dan mengembangkan ajaran Islam sekaligus mencetak kader-kader ulama dan dai.
Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berakar kuat di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa. Asal usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari pengaruh walisongo yang masuk ke Asia Tenggara antara tahun 1250 -1404 M.
Misi yang dibawa oleh utusan Kesultanan Utsmaniyah di Istambul Turki ini diperkirakan masuk pulau Jawa pada tahun 1404 ketika berada dibawah kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan terbesar di Asia Tenggara. Misi ini dipimpin oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim, seorang ulama kelahiran Magrib, yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gresik. Ia menjadikan rumahnya di Gresik Jawa Timur sebagai tempat berkumpul dan belajar menuntut ajaran Islam.
Setelah Sunan Gresik wafat Raden Rahmat seorang ulama kelahiran Champa Vietnam menggantikannya. Keponakan raja Majapahit yang dikenal dengan Sunan Ampel ini mendirikan padepokan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Para wali yang jumlahnya 9 tersebut bisa dikatakan sebagai peletak dasar-dasar pendidikan pesantren di Indonesia.
Selanjutnya para santri yang telah selesai menuntut ilmu kembali ke daerahnya masing-masing, mengamalkan ilmunya bahkan membuka pesantren di tempat asal mereka. Hingga lahirlah ulama-ulama besar seperti yang kita saksikan saat ini. Dengan cara inilah Islam berkembang dan menyebar ke berbagai pelosok Nusantara.
Perang Diponegoro.
Perang Diponegoro atau Perang Jawa adalah perang yang dipimpin oleh pangeran Diponegoro. Perang ini berlangsung selama 5 tahun, dari tahun 1825 hingga 1830 melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang memasuki bumi pertiwi pada tahun 1602 melalui tangan VOC .
Pangeran Diponegoro yang bernama asli Bendara Raden Mas Antawirya dan bernama Islam Abdul Hamid, lahir di Yogyakarta pada tahun 1785. Ayahnya bernama Gusti Raden Mas Suraja yang di kemudian hari naik takhta dengan gelar Hamengkubuwono III.
Diponegoro menolak keinginan ayahnya menggantikannya menjadi raja. Ia beralasan bahwa ibunya yang bukan permaisuri membuatnya tak layak untuk menduduki jabatan tersebut. Disamping ia memang kurang tertarik dengan masalah pemerintahan dan kekeratonan. Ia lebih tertarik pada masalah keagamaan dan membaur dengan rakyat.
Ketika masih kecil, Diponegoro diasuh nenek buyutnya, GKR Ageng Tegalreja yang merupakan putri dari salah satu ulama terkenal yakni Ki Ageng Derpoyudo. Suami Ratu Ageng adalah Sultan Mangkubumi (Hamengkubuwono I).
Ratu Ageng memutuskan keluar dari keraton ketika putranya naik tahta menggantikan ayahnya karena tidak cocok dengan putranya tersebut. Ia memilih Tegalreja yang terletak di luar Yogyakarta, dan membangun sebuah lingkungan yang didominasi oleh orang-orang yang agamis.
Disitulah Pangeran Diponegoro tumbuh dan akrab dengan kehidupan pesantren. Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang hukum Islam-Jawa. Ia pernah mengenyam pendidikan Islam di Pondok Pesantren Gebang Tinanar, Ponorogo asuhan Kiai Hasan Besari. Ia juga dikenal memiliki hubungan yang akrab dengan para pemuka agama dan ulama.
Ketidak-sukaan pangeran Diponegoro terhadap pemerintahan kolonial Belanda dimulai dengan adanya perbedaan peraturan pajak antara pribumi dan asing ( Eropa dan Cina). Sebelumnya ia juga tahu benar bagaimana pemerintahan penjajah tersebut memainkan peran adu domba dan pecah belah terhadap kerajaan Mataram Islam hingga lahirlah kekeratonan Yogya dan Surakarta, 30 tahun sebelum ia lahir. Kemarahan Diponegoro meledak ketika pemerintah mematok tanah yang berada di bawah kekuasaannya tanpa sepengetahuannya.
Diponegoro mulai mencari dukungan. Dukunganpun berdatangan dari berbagai pelosok termasuk pesantren-pesantren, para alim ulama, tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh yang berpengaruh di wilayah bekas Mataram seperti Pangeran Mangkubumi dan Kiai Mojo. Kiai Mojo adalah kiai kepercayaan Sunan Pakubuwono IV, Raja Surakarta. Hingga Sang Rajapun memutuskan tidak hanya memberi dukungan dalam bentuk dana perang, tapi juga pasukan dan para senopati pilihan.
Kiai Mojo yang dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam sejak lama bercita-cita tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam bukan pemimpin yang tunduk pada peraturan kolonial Belanda yang jelas-jelas jauh dari Islam.
Itu sebabnya ia mendukung semangat perjuangan pangeran Diponegoro dan menjadikan semangat tersebut sebagai perang suci melawan penjajah Belanda yang kafir. Pangeran Diponegoropun dinobatkan menjadi kepala negara bergelar “Sultan Abdulhamid Herucakra Amirulmukminin Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa“, dengan pusat negara berada di Plered, dengan pertahanan yang kuat.
Diantara banyak panglima yang dimiliki pangeran Diponegoro yang menonjol adalah Sentot Ali Pasha. Panglima belia ini diilhami oleh sosok Usamah bin Zaid, panglima Islam yang diangkat langsung oleh Rasulullah sebagai pimpinan tertinggi ketika itu untuk memimpin perang melawan bangsa Romawi di usianya yang sama, yaitu 18 tahun. Sentot Ali Pasha juga dijuluki sebagai “Napoleon Jawa”. Ia memimpin pasukan sebanyak 1.000 orang dengan menyandang senjata dan mengenakan jubah dan sorban mirip pasukan Turki Utsmani di masa kejayaan Islam.
Sejarah mencatat, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Metode perang terbuka dan perang gerilya yang dilaksanakan melalui taktik hit and run serta pengadangan. Ini bukan sebuah perang suku, melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dilakukan sebelumnya.
Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat saraf (psy-war) melalui tekanan-tekanan serta provokasi terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran, dan kegiatan mata-mata (spionase) demi mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
( Bersambung)
Leave a comment