Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Seberkas Cahaya Di Palestina’ Category

Mada adalah seorang mahasiswa sebuah universitas bergengsi di Jakarta. Sejak remaja ia telah memiliki ketertarikan terhadap masalah sosial, budaya serta perbandingan agama. Ketika ia masih duduk di bangku SLTP di Paris, Perancis, sebagai warga Negara yang mayoritas beragama Islam, ia merasakan sendiri akibat buruk dari tragedi serangan 11 September 2001 yang menyudutkan umat Islam dimanapun berada. Padahal ia sendiri bukan penganut Islam. Ia dibesarkan dan dididik secara Kong Hu Cung oleh tantenya yang memang seorang turunan Cina. Sekembali dari Perancis, orang-tuanya menyekolahkan Mada ke sebuah sekolah dimana diajarkan mata pelajaran Kebersamaan, yaitu pelajaran yang menekankan bahwa semua agama adalah sama / Pluralisme. Inilah awal Mada mengenal ajaran samawi.

Rupanya ketertarikan dan hobbynya menulis membuatnya memenangkan sebuah hadiah kunjungan ke Yerusalem. Begitu banyak pengalaman yang didapat Mada di kota yang penuh gejolak ini. Selama 3 minggu ia berkeliling mengunjungi berbagai tempat bersejarah. Tidak saja tempat suci agama Yahudi, Nasrani dan Islam namun juga tempat-tempat penting yang jarang di-ekspose umum. Diantaranya yaitu Hebrew University yang memajang maket besar “The Great Israel ” lengkap dengan rancangan “ Haekel” ketiganya juga Museum Israel yang menyimpan “ The Dead Sea Scroll” naskah gulungan Laut Mati yang spektakuler itu.

Di kota suci bagi tiga umat agama terbesar di dunia inilah Mada menemukan hidayah Allah. Panggilan adzan, lantunan ayat-ayat suci Al-Quran, prilaku dan niat buruk orang-orang Yahudi terhadap warga Muslim dengan Haram As-Syarifnya dan terutama penjelasan Karim, supir merangkap guidenya selama di Yerusalem tentang penderitaan Muslim di Palestina disamping penjelasannya tentang ajaran Islam itu sendiri membuat Mada jatuh simpati terhadap ajaran ini. Karim bahkan sempat menerangkan fenomena pertempuran akhir zaman yang bakal terjadi di tanah penuh sengketa ini termasuk juga asal usul tentang pohon Gharqad yang banyak ditanam di sekitar Yerusalem. Maka sehari menjelang kepulangannya ketanah air di bawah naungan masjid Al-Aqsho’ yang agung iapun mengikrarkan diri sebagai pemeluk Islam.

Namun sayang, karena keawaman dan kurangnya pengetahuan serta bimbingan Mada terjebak kedalam sebuah aliran sesat. Beruntung Mada masih mempunyai seorang sahabat karib yang alim. Namun bagaimana pula reaksi keluarganya? Relakah mereka melepas anak tunggal mereka ‘murtad‘ dari ajaran nenek moyangnya?

Berbagai cobaan menimpa Mada. Namun hal ini justru memperkuat  keimanan anak muda ini. Dimulai dari susah senangnya kehidupan di pesantren dimana ia harus rela bekerja menjadi sopir angkot, keterlibatannya dengan LSM di medan pertempuran di Nablus, Tepi Barat Palestina hingga keberhasilannya memperoleh bea siswa di Madinah.

Karena keseriusannya jualah maka Allahpun membukakan pintu hidayah-Nya secara lebih luas lagi kepada Mada. Berkat kesabarannya  dalam menulis surat kepada ayah, ibu dan tantenya untuk mengajarkan kepercayaan barunya maka di akhir tahun kuliahnya, ia  mendapat hadiah kejutan yang tak terkira nilainya dari Sang Khalik.

Namun ketentuan Allah memang tidak dapat ditolak. Manusia hanya dapat berencana. Tepat di hari Mada sedang menanti kedatangan orang-orang yang dicintainya di bandara Jedah, ia membaca berita heboh mengenai penyerbuan pasukan Israel ke jalur Gaza. Tampaknya impiannya untuk menjadi salah satu penduduk kota Madinah terbaik untuk ikut bertempur melawan pasukan kafir akan segera terwujud tanpa perlu menunggu kehadiran sang calon pengantin perempuan….

Apakah yang terjadi kemudian dan kejutan serta pengalaman apa saja yang diterima Mada selama hijrahnya tersebut?

Baca lengkap click   ” Seberkas cahaya di Palestina ” .

Read Full Post »