Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Syariah’ Category

Hikmah Qurban.

Tanpa terasa kita sudah memasuki bulan Dzulhijjah, bulan terakhir dalam sistim penanggalan Hijriyah. Beberapa hari lagi umat Islam di seluruh dunia akan merayakan hari Raya Idul Adha 1441 H yang diperingati sebagian umat Islam secara lebih meriah dari Hari Raya Idul Fitri. Bagi umat Islam hari raya hanya ada 2 yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha (hari Nahr)” (HR. An Nasai).

Hari Raya Iedul Adha diperingati setiap tanggal 10 Dzulhijjah. Seperti juga Hari Raya Iedul Fitri yang diagungkan dengan shalat berjamaah di lapangan terbuka, demikian pula Hai Raya Iedul Adha. Usai shalat Iedul Adha lalu dimulailah pemotongan hewan kurban selama 4 hari berturut-turut hingga 13 Dzulhijjah. Itulah hari-hari yang dinamakan hari Tasyrik, hari dimana jamaah yang sedang menunaikan ibadah haji berada di Mina untuk melempar jumrah.

Hari Raya Iedul Adha yang juga sering disebut Hari Raya Haji memang sangat erat hubungannya dengan ibadah haji. Hari Raya ini adalah puncak rangkaian ibadah haji, ibadah yang sudah sangat tua usianya yaitu sejak zaman nabi Ibrahim as.

https://vienmuhadi.com/2009/01/26/haji-sebuah-penyempurnaan-rasa-syukur-manusia-terhadap-nikmat-nya/

Diawali dengan ujian yang dihadapi nabi Ibrahim as untuk menyembelih nabi Ismail as, satu-satunya putra beliau ketika itu. Namun berkat kesabaran dan ketabahan keduanya Allah swt pun mengganti nabi Ismail yang sudah siap disembelih ayahnya tercinta, dengan seekor domba besar. Itu sebabnya Allah swt menganugerahi gelar kehormatan “Khalilullah” yang artinya kekasih Allah bagi nabi Ibrahim as.

“ … … Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Wahai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (Terjemah QS Ash-Shaffat(37):102)

Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”. (Terjemah QS Ash-Shaffat(37):107)

Itu pula sebabnya Hari Raya Iedul Adha disebut juga “Iedul Nahr” atau hari raya penyembelihan. Ada juga yang biasa menyebutnya “Idul Qurban”. Qurban diambil dari kata “qurba ” yang berarti mendekatkan diri. Yaitu menyembelih hewan yang di syariatkan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Sang Khaliq sebagai bukti ketakwaan seseorang.

Maka shalatlah kepada Rabbmu dan sembelihlah kurban bagi-Nya”. ( Terjemah QS. Al-Kautsar(108):2).

Hari Raya Iedul Adha juga sering disebut sebagai hari makan minum. Pada hari itu ( termasuk juga hari Tasyrik) haram bagi kaum Muslimin berpuasa. Ini dimaksudkan agar kaum Muslimin dimanapun berada dapat menikmati hewan-hewan kurban yang disembelih pada hari-hari tersebut, baik yang mampu maupun yang tidak. Bagi yang berkurban dengan syarat tidak mengambil lebih dari 1/3 bagiannya.

“Hari-hari Mina adalah hari-hari makan, minum dan berdzikir kepada Allah” (HR. Muslim)

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berqurban. Jumhur ulama, yaitu: madzhab Imam Malik, Imam Asy-Syafii, Imam Ahmad dan yang lainnya menyatakan Sunnah. Madzhab Imam Asy-Syafii mengatakan Sunnah Muakkadah (sangat ditekankan dan diusahakan tidak ditinggalkan kecuali ada ‘udzur). Sedangkan madzhab Imam Abu Hanifah mengatakan Wajib bila mampu.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Barang siapa mendapatkan kelapangan tetapi tidak berqurban, maka janganlah dia mendekati tempat shalat kami”. [ HR. Imam Ahmad, Imam Abu Dawud dan Imam At-Tirimidzi].

Dari Aisyah RA Rasulullah SAW bersabda:

“Tidaklah seorang anak Adam melakukan pekerjaan yang paling dicintai Allah pada hari Nahr kecuali mengalirkan darah (menyembelih hewan qurban). Hewan itu nanti pada hari Kiamat akan datang dengan tanduk, rambut dan bulunya. Dan pahala qurban yang menetes pada suatu tempat sebelum menetes ke tanah. Maka hiasilah dirimu dengan ibadah qurban.” [HR.Imam at-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah].

Sayangnya tidak sedikit umat Islam yang menyangka bahwa Hari Raya Haji hanya khusus bagi mereka yang sudah berhaji, dan ber-qurban “hanya” Sunnah hukumnya. Padahal ini adalah bagian dari syiar Allah yang seharusnya diperhatikan dan diagungkan oleh seluruh umat Islam. Islam adalah rahmatan lil‘aalamiin, keberkahan bagi seluruh alam semesta. Itu sebabnya bahkan cara menyembelih hewan qurbanpun diatur sedemikian rupa, dengan tujuan agar hewan bersangkutan tidak ketakutan dan kesakitan.

Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik/ihsan atas segala sesuatu. Jika kalian membunuh (dalam qishah) maka berbuat ihsanlah dalam cara membunuh dan jika kalian menyembelih maka berbuat ihsanlah dalam cara menyembelih, dan hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan parangnya dan menyenangkan sembelihannya”. [HR. Muslim].

Ibnu Umar berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.”[ HR. Ahmad, Ibnu Majah].

Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (Terjemah QS. Al-Hajj(22):32).

Halnya dengan hukum Sunnah, tidak seharusnya amalan dengan hukum Sunnah diremehkan dengan hanya memilih menjalankan amalan yang hukumnya Wajib. Yakinkah amalan wajib kita ditrima oleh-Nya??  Karena salah satu fungsi amalan Sunnah dapat menutup kekurangan amalan Wajib kita. Jadi sungguh alangkah meruginya seorang yang mengaku Muslim tapi tidak mampu memanfaatkan amalan-amalan Sunnah.

Lagi pula apa arti kurban seekor kambing/domba/sapi dibanding pengorbanan yang dilakukan nabi Ibrahim as yang tegar menyembelih putra tercintanya demi meraih cinta dan ridho’Nya. Bukankah dunia ini hanya sementara? Ibaratnya adalah orang yang berteduh di bawah pohon sejenak sebelum melanjutkan perjalanan panjang pulang ke rumah untuk menemui orang-orang yang kita cintai.

Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (Terjemah QS.Al-An’am(6):32).

Yang juga jangan dilupakan, 10 hari di awal bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang amat mulia dan puasa di tanggal 9 bulan tersebut dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang, sebagaimana hadist berikut :

Tiada hari-hari yang amal-amal shalih lebih Allah cintai dari hari-hari ini (yakni sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah)”. Beliau ditanya: “Tidak juga jihad di jalan Allah?” Beliau bersabda: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang pergi dengan diri dan hartanya kemudian tidak kembali sama sekali”. [HR. Bukhari].

Puasa Arofah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” [HR. Muslim].

Akhir kata semoga Allah swt mudahkan kita semua untuk menjalankan syariat berqurban ini, aamiin yaa robbal ‘aalamiin.

Wallahu’alam bish shawwab.

Jakarta, 27 Juli 2020.

Vien AM.

Read Full Post »

Shofa dan Marwah adalah nama 2 buah bukit di dekat kota Makkah. Jarak antara keduanya sekitar 400 meter. Ke dua bukit tersebut merupakan bagian dari bukit Abi Qubaish. Di bukit inilah dulu jauh sebelum datangnya islam berdiri ratusan berhala yang disembah orang2 Quraisy jahiliyah sebagai bagian dari tradisi.

Sesungguhnya Shofa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan Sa`i antara keduanya. … … “.(Terjemah QS. Al-Baqarah 158).

Ayat di atas adalah ayat yang berisi perintah Sai ( jalan dan lari-lari kecil) antara Shofa dan Marwah sebagai bagian dari ibadah haji dan umrah. Yang menarik kalimat yang digunakan ayat tersebut bukan kata perintah lazimnya sebuah perintah, melainkan “ tidak ada dosa”.

tidak ada dosa baginya mengerjakan Sa`i antara keduanya”.

Apakah itu berarti bahwa Sai itu tidak wajib??

Terdapat perbedaan pendapat antar mahzab. Imam Syafii yang mahzabnya merupakan pegangan umat Islam di Indonesia, berpendapat Sai adalah rukun dan hukumnya fardhu, yaitu tidak sah bila tidak dilakukan. Sedangkan menurut Imam Malik wajib namun bila terpaksa bisa dibayar dengan dam/denda. Sementara Imam Hanafi berpendapat tidak wajib. Tapi diantara semua pendapat yang terkuat adalah rukun, berdasarkan beberapa pernyataan Rasulullah, diantaranya :

“Sesungguhnya Allah mewajibkan Sai atas kamu”. (HR. Baihaqi).

Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir diceritakan bahwa Sai telah dikerjakan orang-orang Qurasy jauh sebelum Islam datang. Mereka terbiasa Sai dari bukit Shofa dan bukit Marwah, dan setiap kali tiba di kedua bukit tersebut mengusap patung berhala yang terdapat di atasnya. Bukan hanya Sai bahkan Tawafpun telah mereka kerjakan sejak lama. Sai dan Tawaf yang merupakan bagian dari ibadah Haji memang sudah ada sejak dahulu kala, yaitu sejak zaman nabi Ibrahim as. Karena Haji memang adalah  syariah nabi Ibrahim as yang di kemudian hari makin lama makin diselewengkan hingga datangnya nabi Muhammad saw.

Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. ( Terjemah QS. Ali Imran(3):97).

Itu sebabnya ketika turun ayat tentang Sai dalam ayat 158 surat Baqarah di atas para sahabat bertanya-tanya mengapa Allah swt memerintahkan melakukan sesuatu yang merupakan kebiasaan jahilyah Quraisy. Mereka ragu dan agak enggan melakukan perintah tersebut. Itu pula sebabnya di akhir ayat Allah berfirman,

“Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui”.

Maka para sahabatpun melakukan Sai dengan hati tenang, karena mereka menyadari yang mereka lakukan adalah dalam rangka ketaatan kepada perintah Tuhannya, bukan karena mengikuti tradisi nenek moyang.

Berikut beberapa hikmah yang bisa kita ambil dari ayat di atas,

1. Sai yang merupakan bagian dari Haji dan Umrah adalah ritual yang umurnya sudah ribuan tahun. Ritual ini adalah syariat nabi Ibrahim as yang diluruskan kembali ke arah yang benar setelah sekian tahun lamanya bercampur dengan kesyirikan. Yaitu melalui Al-Quran yang dibawa rasulullah Muhammad saw.

2. Adat, tradisi dan kebiasaan masyarakat setempat selama tidak bertentangan dengan syariat boleh tetap dijalankan. Sedangkan yang tidak sesuai syariat apalagi yang mengandung kesyirikan tidak boleh dilanjutkan, bahkan haram.

3.Ketika kita ragu terhadap sesuatu yang belum jelas hukumnya, sebaiknya berhenti dahulu, cari ilmunya hingga jelas haram/halalnya.

4.Seorang hamba tidak punya pilihan kecuali taat dan patuh kepada Allah swt, sami’na wa atho’na ( kami dengar dan kami taat). Nabi Ibrahim as dan istrinya Siti Hajar adalah contoh yang terbaik. Meski keduanya tidak mengetahui hikmah apa dibalik perintah Allah swt meninggalkan Siti Hajar dan Ismail as yang masih bayi di tanah gersang tak berpenghuni nun jauh di sana, mereka tetap patuh menjalankan perintah tersebut.

5.Pertolongan Allah pasti datang bila kita bersungguh-sungguh berusaha mencari jalan keluarnya. Tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Yaitu dengan keluarnya air zam-zam dari padang pasir  yang mustahil bisa terjadi bila dipikir secara logika. Ini terjadi setelah Siti Hajar berlari bolak-balik antara Shofa dan Marwa di tengah kesedihan dan keputus-asaan mencari air minum yang sangat dibutuhkan diri dan bayinya.

Namun hari ini kita melihat bagaimana pemerintah Arab Saudi mengeluarkan kebijakan menghentikan  kedatangan jamaah Umrah dari luar negrinya meski hanya untuk sementara. Yaitu selama merebaknya pandemi Corona/Covid-19 yang telah menelan puluhan ribu korban di seluruh penjuru dunia. 

Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari).

Islam memang mengajarkan “lockdown” yaitu melarang orang keluar masuk suatu wilayah ketika sedang terjadi pandemi. Namun tetap saja pelarangan tersebut benar-benar sesuatu yang amat menyesakkan hati. Apalagi bila ibadah Haji yang tinggal beberapa bulan inipun sampai terpaksa dibatalkan. Na’udzubillah billah min dzalik …

Pertanyaan besar, mengapa Allah swt “terkesan ridho” virus ganas tersebut meluluh-lantakan syiar yang telah berumur ribuan tahun tersebut? Bukankah apapun yang terjadi di alam semesta ini semua atas izin-Nya?? Murkakah Allah terhadap penduduk bumi milik-Nya ini??

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”. ( Terjemah QS. An-An’am(6):59).

Bila kita perhatikan sekali lagi ke lima hikmah ayat tentang Sai di atas, sudahkan umat mentaatinya??? Kesyirikan yang merupakan dosa terbesar yang harus kita hindari, masihkah ada terselip dalam ritual ibadah kita?? Bagaimana dengan berbagai upara adat sarat kesyirikan yang masih saja dilakukan umat Islam hingga detik ini, dengan berbagai alasannya??

Berapa banyaknya jamaah umrah dan haji yang pulang dari menjalankan rukun Islam ke 5 tersebut tapi masih juga santai melakukan berbagai kemaksiatan seperti korupsi, memamerkan aurat, mengkonsumsi alkohol, dll???  Bahkan prilaku homoseksual yang jelas-jelas diharamkan masih saja terjadi di negri yang katanya mayoritas Islam ini. Termasuk juga pelecehan terhadap ulama dan ajaran Islam yang makin menjadi-jadi. Menunjukkan ikatan persaudaraan yang makin lama makin rapuh.

Yaa Allah ampuni kami, maafkan kami, jangan Kau azab kami sebagaimana telah Kau azab kaum Aad, kaum Tsamud, Firaun dan pasukannya serta kaum-kaum lain yang membangkang dan mendurhakai-Mu.

Yaa Allah, semoga dengan ditutupnya rumah-rumahMu, dihentikannya kajian-kajian, kegiatan ngajar mengajar serta dibatasinya kegiatan perkantoran dan kegiatan sehari-hari lainnya, mampu membuat kami untuk segera introspeksi, memurnikan penyembahan, memperbaiki kesalahan, dan segera bertobat memohon ampunan-Mu.

Yaa Allah lindungi dan bebaskan kami dari ganasnya pandemi Corona serta penyakit-penyakit mematikan lainnya, dan berilah kami kesempatan untuk memasuki Ramadhan yang sudah di depan mata ini dengan hati yang bersih, bebas dari segala kesyirikan dan kemaksiatan.

Yaa Allah bukalah kembali pintu rumah-Mu di Masjidil Haram sehingga kami dapat kembali menjalankan ibadah umrah dan haji dalam keadaan sehat wal afiat dan hati yang tenang.

Yaa Allah Zat Yang Maha Mengabulkan Doa, kabulkankanlah doa dan permohonan kami sebagaimana Kau kabulkan doa nabi Yunus as yang selama beberapa waktu terkurung dalam kegelapan perut ikan, aamiin yaa robbal’aalamiin …

Wallahu’alam bish shawwab.

Jakarta, 28 Maret 2020.

Vien AM.

Read Full Post »

Umat Islam memiliki dua hari besar yaitu Hari Raya Iedul Fitri dan Hari Raya Haji atau Hari Raya Iedul Adha. Hari Raya  Iedul Fitri jatuh pada 1 Syawal, 1 hari setelah usainya bulan suci Ramadhan. Sementara Hari Raya Iedul Adha jatuh pada 10 Dzulhijjah, 1 hari setelah jamaah haji wukuf di Arafah.

Untuk merayakan hari raya tersebut Allah swt mengharamkan umat Islam berpuasa di hari tersebut. Bahkan hingga 3 hari setelah Iedul Adha Allah masih mengharamkannya. Itulah yang di sebut hari-hari Tasryk atau hari makan minum yang jatuh pada 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Dan tidak seperti di Indonesia, umat Islam di Timur Tengah pada umumnya merayakan Iedul Adha jauh lebih meriah daripada Iedul Fitri.

Hari-hari Tasyriq adalah hari makan dan minum.” (HR. Muslim no. 1141).

“Tidak diberi keringanan di hari Tasyriq untuk berpuasa kecuali jika tidak didapati hewan hadyu.” (HR. Bukhari no. 1998).

Hari Raya Iedul Adha juga dinamakan sebagai Hari Raya Kurban. Karena pada hari tersebut umat Islam disunahkan untuk memotong hewan kurban. Hari istimewa tersebut sejatinya adalah untuk mengenang peristiwa nabi Ibrahim as yang diperintah Tuhannya untuk menyembelih nabi Ismail as, putra satu-satunya ketika itu.

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia (Ismail)  menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar“.(Terjemah QS. Ash-Shaffaat(37):102).

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, menyembelih sendiri hewan kurbannya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Minggu (11/8/2019). (Foto: iNews.id/Irfan Ma'ruf)

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, menyembelih sendiri hewan kurbannya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Minggu (11/8/2019). (Foto: iNews.id/Irfan Ma’ruf)

Jadi syariat penyembelihan hewan kurban adalah syariat Islam yang juga merupakan syariat para nabi yang telah lama dikerjakan. Yang tampaknya telah dilupakan oleh umat pengikut nabi-nabi lain. Karena nyatanya hari ini hanya umat pengikut nabi Muhammad saw yang masih menjalankannya.

Namun beberapa tahun belakangan ini ada sejumlah tokoh yang mengaku Muslim tapi getol mempermasalahkan syariat tersebut. Diantaranya adalah Ulil Abshor si dedengkot JIL ( Jaringan Islam Liberal). Melalui cuitannya ia menyarankan agar syariat kurban diganti dengan pembagian uang untuk dana pendidikan dan yang semacamnya.

https://www.portal-islam.id/2019/08/tokoh-liberal-ulil-sarankan-hewan.html

Fenomena penolakan terhadap berbagai syariat Islam, dengan bermacam  alasan, sejak beberapa tahun ini memang makin saja santer. Mulai dari berhaji yang biayanya sangat tinggi dengan alasan rakyat lebih membutuhkan uang untuk biaya hidup, kurban yang dianggap sebagai “hari pembantaian”, jilbab, nikah beda agama, poligami hingga hukum potong tangan dll yang dianggap tidak manusiawi dan bertentangan dengan HAM dan Demokrasi.

Padahal syariat adalah hukum yang sengaja diturunkan Sang Pencipta agar manusia dapat hidup di dunia ini dengan tenang. Syariat tersebut disampaikan rasulullah Muhammad saw lebih 15 abad yang lalu, jauh dari ilmu pengetahuan dan Sains yang saat ini telah berkembang pesat.

Namun ternyata para ilmuwan dewasa ini telah berani membuktikan bahwa syariat-syariat tersebut sesuai dengan temuan mereka. Pemotongan kurban misalnya. Barat selama ini menerapkan cara pemingsanan hewan sebelum dipotong, dengan tujuan agar hewan tidak merasa sakit ketika disembelih. Sementara syariat Islam, penyembelihan dilakukan dengan menggunakan pisau yang tajam, dengan memotong tiga saluran pada leher bagian depan, yakni: saluran makanan, saluran nafas serta dua saluran pembuluh darah, yaitu: arteri karotis dan vena jugularis.

Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik (ihsan) atas segala sesuatu. Jika kalian membunuh (dalam qishah,-pent) maka berbuat ihsanlah dalam cara membunuh dan jika kalian menyembelih maka berbuat ihsanlah dalam cara menyembelih, dan hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan parangnya dan menyenangkan sembelihannya”. {HR. Muslim}.

Untuk menjawab pertanyaan “Manakah yang lebih baik dan paling tidak sakit untuk hewan ketika disembelih?”, dua staf ahli peternakan dari Hannover University, Jerman, yaitu Prof.Dr. Schultz dan koleganya Dr. Hazim, melakukan sebuah penelitian ilmiah.

Mereka menggunakan microchip Electro-Encephalograph (EEG) dan Electro Cardiograph (ECG) yang dipasang pada pada permukaan otak kecil sapi. EEG digunakan untuk merekam dan mencatat derajat rasa sakit sapi ketika disembelih. Sedangkan ECG untuk merekam aktivitas jantung saat darah keluar karena disembelih.

Di luar dugaan, rekaman EEG ternyata menunjukkan bahwa cara yang dilakukan secara Islam tidak sedikitpun meninggalkan rasa sakit pada hewan sembelihan.  Sedangkan rekaman ECG menunjukkan adanya aktivitas luar biasa jantung yang memompa keluar darah sebanyak mungkin dari seluruh anggota tubuh hewan bersangkutan.

Dan dengan terpompanya darah sebanyak mungkin keluar dari tubuh hewan adalah merupakan syarat penting standard healthy meat (daging yang sehat) yang layak dikonsumsi bagi manusia. Jenis daging dari hasil sembelihan semacam ini sangat sesuai dengan prinsip Good Manufacturing Practise (GMP). Hebatnya lagi, selain sehat ternyata daging juga jauh lebih empuk dibanding cara pemingsanan yang dianut Barat.

https://www.islampos.com/ketika-barat-terkejut-dengan-cara-islam-sembelih-hewan-kurban-44740/

Screenshot_2019-08-11-04-57-31Jadi sungguh aneh ketika ada orang yang mengaku Muslim tapi hobby mempertanyakan, mengolok-olok bahkan menolak syariat Islam yang jelas-jelas adalah perintah Allah Azza wa Jala. Dengan kata lain menolak syariat sama saja dengan menantang-Nya. Na’udzubillah min dzalik …

Sebaliknya tak heran ketika banyak ilmuwan Barat yang kemudian memeluk Islam setelah mengetahui syariat Islam ternyata sesuai dengan ilmu pengetahuan dan Sains. Meski tak selamanya syariat dapat dibuktikan dengan hal tersebut. Apalah arti ilmu dan kepintaran manusia dibanding Penciptanya???

“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan”.( Terjemah QS. An-Nuur(24):52).

Wallahu’alam bish shawwab.

Jakarta, 14 Agustus 2019.

Vien AM.

Read Full Post »

Madinah sebelum hijrahnya Rasulullah dan kaum Muhajirin, selain dihuni bangsa Arab juga orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi ini menguasai perdagangan serta perekonomian Yatsrib ( nama lama Madinah).  Mereka juga menguasai lahan-lahan pertanian terbaik dan oase-oase kota. Jumlah mereka makin lama makin besar hingga hampir separuh penduduk Yatsrib.

https://konsultasisyariah.com/29347-sejarah-yahudi-ada-di-madinah.html

Hal ini menyebabkan kabilah-kabilah Arab yang tinggal di kota tersebut membenci mereka. Ditambah lagi sikap orang-orang Yahudi yang arogan dan suka menekan orang-orang Arab. Riba dalam segala hal yang dipraktekkan Yahudi secara semena-mena membuat hubungan kedua etnis tersebut semakin buruk.

Dalam keadaan seperti itu orang-orang Yahudi masih juga suka meng-adu domba kabilah Aus dan kabilah Khajraz, dua kabilah Arab terbesar di Madinah yang sejak lama memang sudah sering bertikai. Akibat adu domba tersebut 5 tahun sebelum hijrahnya nabi dan para sahabat, pecahlah perang Buats. Perang besar ini nyaris menghancurkan seluruh harta benda yang dimiliki ke dua kabilah tersebut.

Beruntung akhirnya mereka menyadari hal tersebut. Mereka segera mengakhiri peperangan dan berjanji tidak akan mau lagi di adu domba Yahudi. Mereka mulai mendambakan seseorang yang dapat menyatukan dan memimpin mereka melawan dominasi Yahudi, dalam segala hal.

Itu sebabnya ketika mereka mendapat kabar telah datang seorang nabi di Mekah mereka sangat antusias. Merekapun mengirim utusan untuk mengetahui  kebenaran berita tersebut. Karena sejak lama orang-orang Yahudi sering menakuti-nakuti mereka dengan berkata:

“Bersama Nabi yang akan segera datang, kami akan menumpas kalian sebagaimana yang dahulu pernah dialami oleh kaum ‘Aad dan lram,”.

Orang-orang Yahudi memang meyakini bahwa di akhir zaman nanti akan datang seorang nabi. Hal tersebut tersirat di kitab suci mereka, Taurat. Bahkan kedatangan orang-orang Yahudi ke Madinah, menurut beberapa sumber, memang didasarkan ciri-ciri kota dimana nabi tersebut akan datang.

Maka ketika nabi Muhammad saw datang dan hijrah ke Madinah, dengan penuh suka cita penduduk Madinah non Yahudi menyambut beliau. Mereka berbondong-bondong memeluk Islam, dan langsung menobatkan rasulullah Muhamad saw sebagai pemimpin mereka.

Sebaliknya orang-orang Yahudi yang merasa kecewa karena ternyata nabi yang di harapkan kedatangannya itu bukan dari kaumnya, mengingkari dan memusuhi rasulullah.

Kemudian setelah datang kepada mereka Al-Qur’an dari Allah, yang membenarkan apa yang ada pada mereka (yakni: yang ada pada Kitab Suci mereka, Taurat, mengenai kedatangan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam), yang sebelum itu selalu mereka harapkan kedatangannya agar mereka dapat mengalahkan orang-orang kafir, namun setelah apa yang mereka ketahui itu datang, mereka mengingkarinya. Maka laknat Allah atas orang-orang yang ingkar itu”. ( Terjemah QS.Al-Baqarah (2):89).

Namun demikian rasulullah tidak pernah memaksa orang-orang Yahudi untuk menerima ajaran Islam. Rasulullah yang kemudian mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah, tetap memperlakukan mereka dengan baik. Sebagai warga Madinah, selain mendapatkan perlindungan dan berbagai hak, bersama penduduk Madinah lainnya mereka juga diberi tanggung-jawab membela dan mempertahankan kota dari musuh.

Namun apa lacur kepercayaan tersebut tidak mereka manfaatkan dengan baik. Sering kali mereka memancing keributan. Bahkan ketika Madinah diserang orang-orang Quraisy Mekah yang ingin membunuh Rasulullah dan kaum Muslimin Mekah yang hijrah ke Madinah ( kaum Muhajirin), orang-orang Yahudi  berkhianat.

Ironisnya lagi, pengkhianatan tersebut dibantu oleh sejumlah penduduk Madinah yang mengaku Muslim. Itulah kaum Munafikun. Tak tanggung-tanggung pentolan Munafikun Abdullah bin Ubai bin Salul, seorang tokoh Madinah yang sebelum kedatangan Islam nyaris diangkat sebagai pemimpin Madinah. Meskipun akhirnya ia ikut bersyahadat dan memeluk Islam namun tidak rela menjadikan Rasulullah sebagai panutan dan pimpinan. Rupanya ia tidak berhasil menghilangkan sakit hatinya gagal menjadi pemimpin Madinah.

https://vienmuhadi.com/2017/02/22/abdullah-bin-ubay-bin-salul-dan-kemunafikan/

Tokoh Madinah yang berkawan erat dengan orang-orang Yahudi tersebut sering sekali melawan perintah nabi. Diantaranya dalam membela teman-teman Yahudinya. Suatu hari ketika Rasulullah memerintahkan hukuman bagi bani Yahudi Qainuqa yang telah mengkhianati perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, ia membantah perintah tersebut.

“Hai Muhammad, perlakukanlah para sahabatku itu dengan baik “, serunya.

Tanpa memperhatikan air muka Rasulullah yang kesal, hal itu terus diulanginya sampai 3 kali. Akhirnya Rasulullahpun menjawab ketus : “Mereka itu kuserahkan padamu dengan syarat mereka harus keluar meninggalkan Madinah dan tidak boleh hidup berdekatan dengan kota ini !”. 

Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mu’min. …”.  (Terjemah QS.An-Nisa (4):138-139).

Pengusiran terhadap Yahudi terpaksa dilakukan karena pengkhianatan mereka sangat membahayakan tidak saja Rasulullah namun juga perkembangan Islam secara keseluruhan. Rasulullah dengan izin Allah swt mengusir mereka dalam 3 tahap. Dan berkat kekompakan dan persatuan kaum Muhajirin dan Anshar yang kokoh Islam akhirnya dapat berkembang hingga ke seluruh semenanjung Arab.

Abdullah bin Ubai bin Salul dedengkot Munafikun memang sudah lama tiada. Namun sifat dan ciri-ciri orang seperti Abdullah bin Ubay hingga detik ini masih sangat banyak. Bahkan makin hari makin banyak !

https://www.eramuslim.com/berita/analisa/tanda-karakter-munafik-abdullah-bin-ubai-bin-salul-saat-ini.htm#.XEvyC1wzaUk      

Sikap mereka yang suka melindungi orang kafir meskipun nyata-nyata telah melecehkan syariat Islam sangat membahayakan agama yang dengan susah payah disebarkan Rasulullah dan para sahabat.

Dengan ringannya ayat-ayat Allah dikesampingkan. Ayat kepemimpinan, misalnya. Padahal ayat ini diturunkan untuk melindungi kaum Muslimin agar hak-hak mereka seperti mengerjakan shalat di masjid, berpuasa di bulan Ramadhan, pemakaian jilbab, larangan riba dll dapat dilaksanakan dengan tenang.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim”. ( Terjemah QS. Al-Maidah (5):51).

Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda, “Sungguh tali Islam akan lepas, ikatan demi ikatan. Setiap satu ikatan lepas, maka manusia berpegang pada ikatan selanjutnya. Yang pertama kali lepas adalah hukum (pemerintahan) dan yang paling akhir adalah shalat.”

Kurang banyakkah bukti bahwa Muslim yang tinggal di negara dimana pemimpinnya non Muslim sulit menjalankan syariat agamanya??? Jangankan Palestina, bahkan Perancis yang sering meng-klaim sebagai negara yang mengagungkan toleransi, demokrasi dll, tidak mudah bagi kaum Muslimin untuk menjalankan syariah agama. Yang terakhir adalah Muslim Uighur dibawah pemerintah Cina. Relakah kita anak cucu kita kelak mengalami nasib seperti mereka?? Na’udzubillah min dzalik …

https://www.merdeka.com/dunia/bungkamnya-pemimpin-dunia-saat-warga-muslim-uighur-ditindas-di-china.html

Wallahu’alam bish shawwab.

Jakarta, 27 Januari 2019.

Vien AM.

Read Full Post »

Habis Gelap Terbitlah Terang Armijn PaneSiapa yang tak kenal ibu Kartini, yang hari lahirnya pada 21 April selalu kita peringati. Namun demikian benarkah sudah kita mengenal dan menerima pesan-pesannya dengan baik? Raden Adjeng Kartini lahir di Jepara pada 21 April 1879, dan wafat di Rembang pada 1904 pada usia 25 tahun. Ia wafat hanya selang 4 hari setelah melahirkan seorang bayi laki-laki.  RA Kartini menikah pada usia 23 tahun dengan seorang bupati Rembang.

Kebanyakan orang mengenal Kartini sebatas tokoh emansipasi perempuan yang memperjuangkan pendidikan, hak dan kesetaraan kaum hawa. Karena memang itulah yang ditonjolkan dan dikehendaki Abendanon, menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan pemerintah Hindia Belanda pada saat hidup Kartini. Abendanon yang merupakan suami dari Rosa, salah satu sahabat koresponden Kartini di Belanda, adalah orang pertama  yang mengumpulkan surat-surat Kartini dan memberinya judul “Door Duisternis Tot Licht” yang berarti  “Dari Gelap Kepada Cahaya“. Buku kumpulan surat Kartini yang memuat 100 surat, 53 diantaranya ditujukan kepada keluarga Abendanon. diterbitkan pada 1911.

Surat-surat Kartini memang banyak sekali mengulang kalimat yang di kemudian hari dijadikan judul oleh Abandon tersebut. Abandon tentu saja tidak menyadari bahwa kata-kata tersebut merupakan petikan ayat Al-Quran. Kemudian pada tahun 1922 buku tersebut untuk pertama kalinya diterbitkan dalam bahasa Melayu oleh Penerbit Empat Sekawan. Selanjutnya yaitu pada tahun 1951 Armijn Pane, seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru menerbitkan kumpulan surat Kartini dalam Bahasa Indonesia, dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

“Habis Gelap Terbitlah Terang” versi Armijn Pane ini tidaklah sama dengan buku terbitan sebelumnya. Selain ditambah dengan Kata Pembimbing yang memberikan arahan kepada pembaca tentang sosok Kartini dan latar belakang kehidupannya, buku itu adalah hasil terjemahan kembali dari bahasa Belanda yang berbeda sama sekali dengan terjemahan sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi.

Dengan cara itu Armijn berharap pemikiran dan cita-cita Kartini menjadi semakin dapat diakses oleh masyarakat luas. Pemikiran Kartini tentang peranan perempuan dalam keluarga dan masyarakat, kegelisahannya tentang agama, dan sikapnya yang emoh terhadap budaya feodal tergambar jelas pada setiap tulisan Kartini dalam surat-suratnya.

Sikap dan pemikiran Kartini yang jauh melampaui kaum perempuan pada zamannya, dituangkan melalui surat yang dikirimkan kepada teman-teman korespondensi bangsa asing, di luar negri, serta berbahasa asing pula, tentu merupakan sesuatu yang sangat istimewa. Sebagai putri seorang bupati Jepara yang berpikiran terbuka, Kartini memang beruntung berkesempatan mengenyam pendidikan resmi meski hanya sampai usia 12 tahun.

Karena setelah itu seperti umumnya anak perempuan pada zamannya, Kartini harus dipingit. Di ELS (Europese Lagere School) inilah Kartini belajar bahasa Belanda yang sudah terbiasa ia dengar karena sang ayah fasih berbahasa tersebut.  Sementara salah satu kakak Kartini, adalah seorang jenius dalam bidang bahasa. Dalam waktu singkat pendidikannya di Belanda, kakaknya itu menguasai 26 bahasa.

Di tengah lingkungan seperti itulah Kartini tumbuh. Maka tak heran dengan modal kemampuan baca dan tulis dalam bahasa Belanda ( dan juga bahasa Inggris), Kartinipun menjalin hubungan dengan sejumlah teman pena di negri Belanda nun jauh disana. Stella diantaranya. Kartini banyak membaca buku, koran, dan majalah Eropa dari berbagai sumber. Kartini menyadari betapa berbedanya cara berpikir perempuan Jawa dengan perempuan kulit putih.

Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, agar setara dengan kaum lelaki.  Ia juga tidak menyukai adanya perbedaan derajat manusia, antara bangsawan dan rakyat biasa yang waktu itu telah menjadi budaya Jawa. Surat-surat Kartini memuat berbagai hal yang merisaukan hati dan pikirannya. Berikut beberapa surat Kartini yang telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia.

Bagi saya hanya ada dua macam keningratan : keningratan pikiran dan keningratan budi. Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya… “.(Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899).

Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?” [ Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899].

“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya”. [ Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902]

Kartini juga berani mengkritik  kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu. Dengan nota yang berjudul: “Berilah Pendidikan kepada bangsa Jawa”, Kartini mengajukan kritik dan saran kepada sejumlah Departemen Pemerintah Hindia Belanda. Kepada Departemen Kesehatan Kartini menulis :

Para dokter hendaklah juga diberi kesempatan untuk melengkapi pengetahuannya di Eropa. Keuntungannya sangat mencolok, terutama jika diperlukan penyelidikan yang menghendaki hubungan langsung dengan masyarakat. Mereka dapat menyelidiki secara mendalam khasiat obat-obatan pribumi yang sudah sering terbukti mujarab….”.

Melalui surat-suratnya diketahui Kartini sangat ingin melanjutkan sekolah di Belanda. Teman-teman korespondensinya mendukung cita-cita tinggi tersebut. Namun dengan berlalunya waktu, kegelisahan Kartinipun bertambah, yaitu tentang wawasan kebangsaan. Teman-temannya sempat kecewa mengetahui gadis tersebut tidak lagi banyak membicarakan keinginannya sekolah di luar negri. Kartini bahkan mulai mengkritisi keberadaan pemerintah kolonial Hindia Belanda di tanah leluhurnya.

“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902).

”Manusia itu berusaha, Allah-lah yang menentukan” (Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, Oktober 1900).

Kartini juga sempat menentang praktek kristenisasi di Hindia Belanda:

Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka Kristenisasi? …. Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” (Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903).

Teman-teman Kartini makin kecewa mengetahui Kartini mau dijodohkan orang-tuanya dengan seorang lelaki yang telah beristri. Hal yang selama ini sangat ditentang Kartini. Meski nyatanya suaminya itu sangat dapat memahami keinginan Kartini. Diberinya istrinya itu kebebasan dan iapun mendukung Kartini mendirikan sekolah perempuan pertama yang dibangun di samping kompleks kantornya, yaitu kabupaten Rembang.

Apa yang sebenarnya terjadi pada diri Kartini yang sejak kecil sudah kritis hingga sering dimarahi guru mengajinya hanya karena menanyakan makna dari kata-kata Al-Quran yang diajarkan kepadanya untuk dibacanya?

Suatu ketika Kartini menghadiri acara pengajian bulanan khusus anggota keluarga di rumah pamannya, seorang Bupati di Demak (Pangeran Ario Hadiningrat). Penceramahnya, Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat, Semarang. Ketika itu Kyai mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah. Selesai acara pengajian, Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemaninya menemui sang Kyai. Berikut dialog antara Kartini dan Kyai Sholeh, yang ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat :

“Kyai, perkenankanlah aku menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?

Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?” kata Kartini lagi.

Setelah pertemuan tersebut Kyai Sholeh tergugah untuk menterjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Dan pada hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh menghadiahkan kepadanya terjemahan Al-Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran) jilid pertama yang terdiri dari 13 juz. Terjemahan tersebut mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Maka sejak itulah Kartini mempelajari Islam lewat Al-Quran lengkap dengan artinya, secara sungguh-sungguh. Sayangnya, terjemahan Al-Quran karya Kyai Sholeh tidak pernah selesai karena tidak lama setelah itu Sang Khalik memanggilnya.

Suatu hari ketika sedang mempelajari Al-Quran terjemahan karya sang Kyai, Kartini tertegun akan ayat 257 surat Al-Baqarah yang berbunyi “Allah-lah yang membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya” (Minazh-Zhulumaati ilan Nuur). Kartini terkesan dengan kata-kata tersebut. Itu sebabnya surat-surat Kartini belakangan banyak menggunakan kata-kata “Dari gelap kepada cahaya” yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda “Door Duisternis Tot Licht”.

Prof. Haryati Soebadio, cucu tiri Kartini, Menteri Sosial pada Kabinet Pembangunan V, mengartikan kalimat “Door Duisternis Tot Licht” sebagai “Dari Gelap Menuju Cahaya” yang bahasa Arabnya adalah “Minazh-Zhulumaati ilan-Nuur“. Kata dalam bahasa Arab tersebut, tidak lain, merupakan inti dari dakwah Islam yang artinya: membawa manusia dari kegelapan (jahiliyah) ke tempat yang terang benderang (hidayah atau kebenaran Ilahi), sebagaimana firman-Nya:

Allah pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir pemimpinnya adalah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya ke kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal didalamnya” (Terjemah QS. Al-Baqarah(2):257).

Dan sejak itu pula sikap Kartini terhadap Barat, Belanda sebagai penjajah khususnya, mulai berubah.

“Jalan kepada Allah dan jalan kepada padang kemerdekaan hanyalah satu. Siapa yang sesungguhnya jadi hamba Allah, sekali-kali tiada terikat kepada manusia, sebenar-benarnya merdekalah dia”.

Kartini bahkan bertekad untuk memenuhi panggilan surat Al-Baqarah ayat 193, “ Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”. Ia berupaya untuk memperbaiki citra Islam yang selalu dijadikan bulan-bulanan dan sasaran fitnah. Dengan bahasa halus Kartini menyatakan :

Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.” [ Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902].

Tak heran bila di kemudian hari berkembang pendapat bahwa Kartini meninggal bukan karena sakit melainkan dibunuh. Ada dugaan Abendanon melakukan tebang pilih surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya.

Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda. Sulastin pada tahun 1972,  pernah mendapat tugas dosennya untuk menterjemahkan surat-surta Kartini yang disimpan pemerintah Belanda. Ketika itu ia sedang melanjutkan studynya di universitas Leiden Belanda, di bidang sastra. Pada tahun 1979 ia menerbitkan terjemahan surat-surat Kartini tersebut.

Kematian Kartini yang mendadak juga menimbulkan spekulasi negatif bagi sebagian kalangan. Efatino Febriana, dalam bukunya “Kartini Mati Dibunuh”, mencoba menggali fakta-fakta yang ada sekitar kematian Kartini. Bahkan, dalam akhir bukunya, Efatino berkesimpulan, kalau Kartini memang mati karena sudah direncanakan. Demikian pula Siti Soemandari dalam buku “Kartini, Sebuah Biografi“, menduga bahwa Kartini meninggal akibat permainan jahat dari Belanda.

Salah tujuan politik etis adalah persamaan dan derajat yang sama antara lelaki dan perempuan. Kartini tampaknya memang tokoh yang tepat untuk tujuan tersebut. Namun benarkah tuntutan Kartini persis seperti emansipasi yang terjadi di Barat, yang hingga hari ini menjadi tujuan banyak kaum perempuan bangsa ini? Dimana kaum perempuan berbondong-bondong keluar rumah untuk bekerja dan berkarier, bersaing dengan kaum lelaki, dengan meninggalkan anak-anak di belakang mereka, meninggalkan tugas dan kodrat mereka sebagai ibu, pendidik anak yang pertama.

Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”. [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].

Ironisnya lagi, pada suatu acara peragaan pakaian yang digelar sebagai rangkaian acara peringatan Kartini, Sukmawati Sukarnoputri membacakan puisi yang sama sekali tidak menggambarkan Kartini yang sebenarnya. Puisi tersebut sungguh mengecilkan kedudukan jilbab dan azan sebagai syariat Islam. Kartini mungkin belum sempat berhijab ketika dipanggil menjumpai Tuhannya. Tapi jika ketika belajar dan membaca terjemahan Al-Quran tidak sampai setengahnya, bahkan di surat Al-Fatihah yang merupakan pembukaan Al-Quran dan ayat 257 Al-Baqarah saja Kartini sudah demikian terkesima. Maka dapat dipastikan kalau saja Kartini sempat membaca terjemah ayat-ayat jilbab ia akan melaksanakannya, yaqqin …

Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”.(Terjemah QS.Al-Ahzab(33):59).

Dan lagi bila saja Kartini yang hobby membaca dan menulis itu, sempat membaca terjemahan surat Al-‘Alaq yang diawali perintah “Bacalah”, ditambah dengan mempelajari asbabunuzul ayat serta sirah Nabi, tak ayal lagi, pasti Kartini akan semaksimal mungkin menjalankan syariat Islam hingga menjadi seorang Muslimah yang takwa. Masya Allah …

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.(Terjemah QS. An-Nahl(16):97).

Sungguh Kartini pasti akan terkejut mendapati betapa banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang menerangkan bahwa derajat laki-laki dan perempuan, sesuai kodrat dan tanggung-jawab masing-masing, adalah sama. Keimanan, amal perbuatan dan ahlaklah yang membedakan mereka, baik yang kaya maupun yang miskin.

Wallahu’alam bish shawwab.

Jakarta, 7 Mei 2018.

Vien AM.

Sumber :

https://id.wikipedia.org/wiki/Kartini

https://erwinisasi.wordpress.com/2013/04/21/habis-gelap-terbitlah-terang-kartini/

https://blog.al-habib.info/id/2011/04/hari-kartini-antara-emansipasi-menjadi-muslim-sejati/

http://toko-bukubekas.blogspot.co.id/2013/09/jual-buku-habis-gelap-terbitlah-terang.html

 

Read Full Post »

Urgensi Shalat

Dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “ Inti segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi).

Ibarat rumah, shalat adalah tiangnya. Tentu kita semua faham tanpa tiang tidak mungkin sebuah rumah atau bangunan bisa berdiri. Begitu pula dalam be-Islam, tanpa shalat sia-sialah ke-Islam-an seseorang. Inilah yang menjadi ciri seorang Muslim, yang  membedakannya dari yang lain. Itu sebabnya seorang Muslim wajib shalat apapun kondisinya, baik ia dalam keadaan sehat maupun sakit, bahkan dalam perang sekalipun.

Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka`at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. …”. (QS. An-Nisa(4):102).

Maka dapat dibayangkan bila dalam keadaan perang saja shalat tetap wajib didirikan apalagi hanya karena kesibukan kantor atau dalam kemacetan lalu lintas, sesuatu yang sering menjadi alasan penduduk ibu kota yang memang selalu macet. Meski berkat Kebaikan, Kemurahan dan Kebijaksaan-Nya, ada keringanan yang diberikan kepada hamba yang begitu dicintaiNya itu. Dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi, tentu saja.

Inti shalat sebenarnya adalah zikrillah yaitu mengingat Allah swt, Sang Pencipta Yang Satu. Itu sebabnya bila shalat tidak mampu mendatangkan “ingat” kita kepada-Nya,  akan sia-sialah shalat tersebut. Itulah shalat yang disebut shalat yang lalai, shalat yang dijalankan hanya karena kewajiban atau malah riya, alias pamer karena ingin dilihat orang lain.

Lalu bagaimana mungkin kita dapat mengisi suatu bangunan bila tiangnya saja rapuh atau bahkan tidak ada ?? Tanpa shalat bagaimana kita dapat mengisi rumah tangga kita dengan ketenangan, kebahagiaan dan lain sebagainya ? Karena itu hal pertama yang dihisab ketika kita meninggal nanti adalah shalat kita.

Bila shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya, sebaliknya jika shalatnya buruk maka buruk pula seluruh amalnya”.(HR. Ath-Thabarani).

Shalat seharusnya dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana dalam ayat 45 surat Al-Ankabut berikut :  “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar”.

Shalat yang didirikan karena Allah swt, karena takwa, yang karenanya kita ingat kepada-Nya, dijamin pasti akan mencegah perbuatan buruk. Bagaimana mungkin seseorang akan berbuat selingkuh, zina, membunuh, korupsi, meng-acuh-kan kedua orang-tua, tidak peduli kepada fakir miskin, membiarkan aurat terbuka,  dan perbuatan hina lainnya bila kita selalu ingat pada-Nya ? Bila kita yakin seyakinnya bahwa ada kehidupan lain selain di dunia, ada kehidupan setelah mati, ada surga ada neraka, ada dosa dan pahala ?

Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya”. (QS. Al-baqarah(2):45-46).

“ Ketahuilah, sesungguhnya di dalam jasad ini ada segumpal daging apabila ia (segumpal daging) tersebut baik, baiklah seluruh jasadnya dan apabila ia (segumpal daging) tersebut rusak (buruk), maka rusaklah (buruklah) seluruh jasadnya. Ketahuilah, segumpal daging tersebut adalah hati”.

Disinilah pentingnya hati, dan juga ilmu sebagai pedoman agar shalat kita tidak lalai, tidak percuma, tidak sia-sia. Agar kita tidak terjebak kepada pemikiran sekuler yang belakangan makin diminati, yaitu tidak penting shalat, yang penting baik, tidak korupsi dll apapun agamanya. Padahal Allah sendiri yang mengatakan shalat adalah amalan terbaik manusia. Agar Allah swt tidak memasukkan kita ke dalam golongan orang yang fasik apalagi kafir. Nudzu’billah min dzalik.

“ … Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain)”, (QS. Al-Ankabut (29):45).

 “Buhul/ikatan Islam akan terputus satu demi satu. Setiap kali putus satu buhul, manusia mulai perpegang pada tali berikutnya. Buhul yang pertama-kali putus adalah adalah hukum, dan yang terakhir adalah shalat“. (HR.Imam Ahmad).

Wallahu’alam bish shawwab.

Jakarta, 19 Maret 2015.

Vien AM.

Read Full Post »

Older Posts »