Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Ekonomi Islam’ Category

Baitul-Maal berasal dari 2 kata bahasa Arab, yaitu bait yang berarti “rumah”, dan al-mal yang berarti “harta”. Jadi secara bahasa Baitul-Maal berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta.

Ada perbedaan pendapat mengenai kapan Baitul-Maal pertama didirikan. Namun sebagian besar berkeyakinan bahwa  Baitul-Maal pertama didirikan pertama kali pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra.

Sebelumnya yaitu pada masa hidup rasulullah saw, harta yang berasal dari rampasan perang (Ghanimah) dan juga harta Fai, langsung dibagikan hingga habis kepada kaum Muslimin dan segala keperluannya, dengan petunjuk yang diberikan Rasulullah saw. Bilal bin Rabah sahabat sekaligus muadzin kesayangan nabi, adalah orang yang dipercaya mengurus hal tersebut.

Harta Fai yaitu harta rampasan perang yang diperoleh dari musuh tanpa terjadinya pertempuran, muncul melalui banyak cara. Diantaranya  melalui perdamaian, jizyah, kharaj (pajak tanah), dan bisa juga karena pihak musuh lari meninggalkan harta bendanya sebelum terjadinya peperangan.

Di zaman jahiliah, sebelum datangnya Islam, kabilah- kabilah Arab jika menang dalam berperang akan mengambil ghanimah, termasuk tawanan, dan tanah, kemudian membagi-bagikannya kepada orang yang ikut berperang. Pemimpin mereka mendapat bagian yang besar.

Namun pada ayat 41 surat Al-Anfal berikut Allah Azza wa Jala memerintahkan bahwa bagian rasullullah sebagai pemimpin umat hanya 1/5 bagian, itupun termasuk untuk Allah, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil. Dan pada prakteknya rasulullah tidak pernah mengambilnya di luar kebutuhan pokok.

Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.(Terjemah QS. Al-Anfal(8):41).

Selanjutnya khalifah Abu Bakar ra sepeninggal rasullullah meneruskan apa yang dicontohkan rasul. Namun sejak masa ke-khalifahan Umar bin Khattab ra, dengan makin meluasnya wilayah kekuasaan Islam, Umar memberdayakan apa yang disebut Baitul Maal. Seluruh harta kekayaan umat termasuk uang zakat, infak dan sedekah, yang makin lama makin berlimpah ruah itu disimpan di dalam Baitul Maal.

Umar memerintahkan para gubernurnya untuk mendirikan dan memberdayakan Baitul Maal di daerah kekuasaan masing-masing. Hebatnya, pengelolaan rumah harta milik rakyat ini sangat transparan, karena harta tersebut memang milik rakyat, dan untuk rakyat. Semua orang yang membutuhkan boleh dan bisa mengambil secukupnya. Sementara yang berlebih bisa memasukan harta mereka ke tempat tersebut.

Semua ini bisa terjadi berkat Umar sang khalifah, yang mencontohkan akhlak yang mulia. Umar sangat ketat menjaga diri dan keluarganya dari harta rakyat.

Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa, seperti kebanyakan kaum muslimin”.

Umar sungguh-sungguh menjadikan rasulullah sebagai panutan dalam segala hal termasuk kezuhudannya. Bayangkan, Umar adalah seorang khalifah kerajaan raksasa yang kekuasaannya meliputi seluruh negara bekas Persia ( Irak, Iran, Azerbaijan, Armenia), 2/3 bagian bekas Rumawi Timur/Byantium ( Jordan, Palestina, Suriah, Lebanon, dataran tinggi Golan dan Mesir) serta seluruh jazirah Arab yang sebelumnya telah ditalukkan yaitu pada masa rasulullah.     

Penaklukan yang dilakukan pasukan Umarpun bukannya sembarangan. Ia meneladani apa yang diperintahkan rasulullah agar memerangi kemusrykan yang ada di dunia ini demi mencari ridho-Nya.  

Dari Buraidah r.a, ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda, “Berperanglah fi sabilillah dengan menyebut nama Allah, perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah, berperanglah dan jangan mencuri harta rampasan perang, jangan berkhianat, jangan mencincang mayat dan janganlah membunuh anak-anak.” (HR Muslim 1731).

Perang adalah jalan terakhir bila suatu kaum menolak cara damai dengan membayar jiziyah dan tunduk kepada hukum Islam. Itupun setelah kalah perang tidak ada paksaan untuk memeluk Islam.    

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Terjemah QS. Al-Baqarah(2):256).

Pada masa Umar pulalah untuk pertama kali dalam sejarah Arab, diberlalukan sistem akuntansi pencatatan belanja negara. Untuk itu Umar mengangkat pengelola dan pengawas Baitul Maal dari kalangan terpilih dan terpercaya dari para sahabat. Pada perkembangannya Baitul Maal selalu digandengkan dengan masjid, dan selalu dijaga pasukan tentara.

Dengan harta tersebut pula Umar membangun kota-kota termasuk masjid-masjid besar, madrasah\sekolah, perpustakaan dll, yang berhasil membawa Islam menuju masa kejayaan.

Akhir kata, semoga suatu hari nanti kita bisa kembali mempunyai seorang pemimpin seperti Umar, yang dengan demikian bisa memperoleh kembali kejayaan yang telah lama hilang. Tak perlu lagi kita kehilangan kemuliaan Islam akibat hutang yang menggunung kepada negara lain .. na’udzubillah min dzalik …

Wallahu’alam bish shawwab.

Jakarta, 6 Oktober 2020.

Vien AM.

Read Full Post »

Sebelum hijrah, ekonomi Madinah didominasi Yahudi.

Surah YaasinJumlah mereka diperkirakan mencapai lima puluh persen dari penduduk. Mereka membangun ekonomi di Madinah dari nol. Semula mereka adalah gelandangan. Karena gigih, akhirnya mereka memonopoli industri besi, menguasai pertanian, serta mengendalikan keuangan dan pasar. Mereka pun makmur. Untuk mempertahankan kontrol mereka, mereka pun memprovokasi dan memecah belah masyarakat Madinah. Lain dengan Makkah. Kota ini dikuasai oleh orang Quraisy. Namun, praktik dagang yang diterapkan orang Yahudi dan orang Quraisy sama-sama ribawi dan berprinsip “dengan modal yang sekecil-kecilnya mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.”

Berbeda halnya praktik dagang Nabi Muhammad SAW sejak di Makkah sebelum menjadi Rasul lebih mengutamakan pelanggan daripada keuntungan. Hal ini beliau lakukan dengan selalu jujur dan mengatakan harga pokok barang dan biaya mengurus dagangannya. Biasanya beliau melakukan negosiasi dengan pembeli tentang laba yang diinginkannya. Dengan kejujurannya itu maka setiap peminat dagangannya merasa diperlakukan sebagai sahabat dan akhirnya menjadi pelanggan.

Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, praktik jual beli yang beliau lakukan berhasil mengikis habis praktik dagang riba. Kejujurannya ini akhirnya mengantarkan beliau dipercaya menjadi pemimpin Madinah. Untuk mempertahankan harmonisasi penduduk Madinah yang terdiri dari berbagai agama, suku, dan keanekaragaman lainnya, beliau pun menggagas penyusunan Piagam Madinah yang berisi komitmen kelompok-kelompok di Madinah dengan memberikan batasan hak dan kewajiban masing-masing.

Estafet perjuangan Rasulullah SAW terus berlanjut. Para ulama pun berusaha agar dakwah yang mereka lakukan berlangsung dengan damai. Ada hal penting: mereka juga memahami asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya) surat Yasin khususnya ayat ke-9 yang pernah dibaca Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan saat dikepung oleh musuh hingga beliau dapat lolos, termasuk pada malam menjelang hijrah. Oleh karena itu, para ulama terutama yang berdakwah ke Nusantara berijtihad dengan mengadakan pembacaan surat Yasin berjama’ah tiap malam Jum’at. Berkah pembacaan surat ini berdampak pada islamisasi yang tidak dapat dilihat oleh mata hati nonmuslim hingga Nusantara jadi kawasan berpenduduk mayoritas muslim.

Namun, keadaan tersebut akhirnya berubah. Bila berabad-abad sebelumnya islamisasi tidak dapat dilihat dengan mata hati orang-orang non-muslim, maka sejak abad ke-19 di Timur Tengah dan sejak abad ke-20 di Nusantara, yahudisasi sistem ekonomi di dunia ini tidak dapat dilihat oleh mata hati sebagian besar umat Islam. Menurut Ahmad Thomson dalam Sistem Dajjal, yahudisasi tersebut bermula dari kehadiran bank-bank di Eropa yang didirikan orang-orang Yahudi.

Pada mulanya bank-bank ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan dinar (uang emas) dan dirham (uang perak) agar aman. Jika ada orang yang menitipkan uang emas atau uang peraknya di bank, sang bankir memberinya tanda terima (kertas). Bankir pun berjanji akan membayar kembali uang emas dan uang perak tersebut secara tunai kepada pembawa pada saat tanda terima itu dipertunjukkan kembali kepada bank. Kertas yang berisi tanda terima ini kemudian dapat dijadikan alat tukar meskipun belum ditukarkan dengan uang emas atau uang perak yang ada di bank. Pada perkembangan selanjutnya, bankir pun mencetak uang kertas sebanyak-banyaknya yang jumlahnya jauh lebih banyak dari pada jumlah uang emas dan uang perak yang ada di bank.

Untuk memalingkan umat Islam terhadap dinar emas dan dirham perak sebagai mata uang yang sudah disyahkan oleh Rasulullah SAW sebagai alat tukar, nishab zakat, dan hudud (batasan pemberlakuan denda dan sanksi), kaum Yahudi mengupayakan agar umat Islam tidak merujuk kepada kitab-kitab kuning yang ditulis para ulama sebelum abad ke-19 yang menjelaskan fungsi kedua mata uang tersebut. Di samping itu, para ilmuwan Yahudi juga merumuskan pelajaran ilmu ekonomi dan menyusupkannya ke kalangan pelajar-pelajar baik Muslim maupun yang lain.

Istilah “ekonomi” yang mereka perkenalkan telah direkayasa sehingga menyimpang dari pengertian yang dirumuskan oleh Xenophon, ilmuwan Yunani yang hidup 3 abad SM. Para ilmuwan Yahudi mengubah makna ekonomi yang terbentuk dari kata “oikos”(rumah tangga) dan “nomos” (aturan) yang semestinya dapat dimaknai “aturan rumah tangga” menjadi dimaknai “hemat” oleh masyarakat dunia. Pengertian hemat ini diambil dari prinsip ekonomi yang mereka rumuskan yaitu: “dengan modal yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya”, suatu prinsip dagang yang dulu dipraktikkan kaum Yahudi dan kaum Quraisy di Arab pada zaman “jahiliyah”.

Masyarakat Indonesia pun sejak 1 abad lalu mengartikan ekonomi menjadi hemat. Kata “ekonomi” yang kita lihat di bis yang dimaknai hemat, tidak seperti bis bertuliskan “AC” yang lebih banyak mengeluarkan biaya. Di samping itu juga terdapat iklan yang berbunyi “praktis dan ekonomis” yang berarti produk-produk yang diiklankannya mudah digunakan dan “hemat” biaya.

Kaum Yahudi pun terus mengamalkan ilmu ekonomi agar mereka semakin hemat. Antara lain dengan mendirikan Dana Moneter Inernasional (IMF) dan Bank Dunia, 1944. Melalui dua lembaga ini, mereka mengatur nilai uang kertas di seluruh dunia menjadi berbeda-beda dan menjadikan dollar Amerika Serikat (AS) sebagai standar peredaran uang kertas secara internasional. Misalnya antara dolar AS dengan rupiah yang semakin jauh perbedaan nilainya. Sebagai contoh, pada 1977 nilai 1 dollar AS sama dengan 627 rupiah. Sepuluh tahun kemudian, 1987, menjadi 1.712 rupiah. Sepuluh tahun selanjutnya, terjadi peningkatan sangat drastis dari semula nilai 1 dollar AS sama dengan 2.433 rupiah pada Juli 1997 secara pluktuatif menjadi 9.700 rupiah pada Januari 1998 dan bahkan beberapa bulan berikutnya mencapai 16.000 rupiah.

Kini 1 dollar bernilai sekitar 9 ribu rupiah, 10 dollar bernilai sekitar 90 ribu rupiah, 100 dollar bernilai sekitar 900 ribu rupiah, dan seterusnya. Uang 100 dollar ini bila berjumlah 10 lembar maka bernilai sekitar 9 juta rupiah, 100 lembar bernilai sekitar 90 juta rupiah, dan seterusnya. Padahal, dollar dan rupiah sama-sama terbuat dari kertas. Sejak tahun 2000, mereka juga mengelabui masyarakat dunia dengan menciptakan mata uang euro. Hal ini juga merupakan rekayasa mereka agar euro dianggap sebagai pesaing dollar. Padahal, salah seorang arsitek pemberlakuan euro adalah Alan Greenspan, gubernur Bank Amerika dan keturunan Yahudi Jerman. Dengan demikian, kaum Yahudi semakin “hemat” berlipat ganda sebaliknya kaum non-Yahudi semakin “boros” berlipat ganda pula.

Peristiwa “hemat” dan “boros” ini sebagaimana terjadi pada kekayaan alam di Nusantara yang semakin mudah ditukar dengan kertas-kertas bertuliskan dollar, euro, dan sebagainya. Pertukaran yang zalim ini membuat sekian ton emas, sekian ton padi, hutan, gunung dan sebagainya yang ada di Nusantara menjadi lenyap. Hal ini mengakibatkan gunung-gunung di kawasan yang terdiri dari belasan ribu pulau ini menjadi gundul sehingga bila musim hujan terjadi longsor, bila musim panas terjadi kemarau yang sangat panas, dan berbagai bencana alam pun terus menerjang Nusantara secara bertubi-tubi.

Dengan demikian, para penduduk Nusantara bagaikan “mayat” sehingga tidak dapat berbuat apa-apa ketika kekayaan alam yang dimilikinya ditukar dengan setumpuk kertas yang sudah disihir menjadi uang oleh orang Yahudi. Dan, ketika spekulan Yahudi George Soros ke Indonesia Desember 2006 lalu, ia dengan mudahya datang dan pergi tanpa dapat dihadang oleh siapapun. Bahkan, justru disambut oleh pimpinan ormas Islam yang didirikan dengan misi untuk memberantas takhayul, bid’ah, dan khurofat. Padahal, Soros merupakan aktor utama di balik krisis moneter 1997.

Krisis ini terjadi tepat 1 abad setelah kongres Zionis ke-1 di Bazel Swiss, 1897. Langkah-langkah Soros tersebut berarti kebalikan 180 derajat dengan kejadian yang dialami Rasulullah SAW, para sahabat, dan para ulama ke Nusantara. Bila Rasulullah, para sahabat, dan para ulama mampu melangkah dan keluar dari kepungan orang-orang non-Muslim tanpa bisa dilihat oleh mata hati mereka. Kini kita tak bisa keluar dari krisis karena hati kita tertutup.

Oleh karena itu, sebagian besar kaum Muslimin yang kini bagaikan “mayat” harus menghidupkan baik hati yang ada dalam dirinya maupun sesama Muslim lain hingga mampu keluar dari kepungan takhayul, bid’ah, dan khurofat yang diciptakan orang Yahudi. Langkah untuk keluar dari kepungan musuh pernah dialami Rasulullah SAW di malam hari menjelang hijrah, dengan membaca surat Yasin ayat ke-9: “Dan Kami jadikan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat”.

Berkenaan dengan tindakan orang yang masih hidup terhadap orang yang sudah menjadi mayat, Rasulullah SAW bersabda: “Iqrou Yasin ‘ala mautaakum!”. (Bacalah Yasin kepada orang-orang mati kalian). Sebagaimana dikutip oleh Faruq Nasution dalam buku “Tafsir Surat Yasin dan Asma’ al Husna”, Ibnu Katsir memuat sumber-sumber riwayat yang menyampaikan hadits tersebut dari Ahmad, al-Hakim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dengan pertimbangannya “tidak membantah”.

Imam Jalaluddin As-Suyuthi juga mencantumkan sumber-sumber riwayat hadits ini secara lengkap dalam ensiklopedi haditsnya Al Jami’ ash Shaghir: 312 dan mempertimbangkan sanadnya dengan kode “shahih”. Imam Ahmad menyampaikan pengalaman yang disampaikan suatu kaum (kisah al-Masikhah), bahwa seseorang yang menghadapi kesusahan dalam kematian (sekarat) dapat tertolong dengan membaca surat Yasin. Dengan beberapa sumber riwayat sebelumnya, serta pengalaman yang disampaikan Imam Ahmad tersebut, dikomentari Ibnu Katsir secara bijak (tidak berpihak) dengan kaidah “probabilitas” (al-Mumkinat) yakni dengan memakai pertimbangan kalangan ulama tentang adanya khasiat Surat Yasin, antara lain dapat menurunkan rahmat dan berkah guna memudahkan ruh seseorang keluar dari jasadnya.

Semoga pembacaan surat Yasin di Nusantara tidak hanya bermanfaat kepada orang-orang yang sudah menjadi mayat di alam kubur. Namun, juga kepada orang-orang yang jasadnya masih hidup di dunia ini namun hatinya sedang sekarat bahkan menjadi mayat. Berkah bacaan ini semoga juga menerangi hati yang membacanya, yang tidak membacanya, dan bahkan yang anti dan berusaha memberantas pembacaan surat Yasin tersebut.

Pada perkembangan selanjutnya, kaum Muslimin pun dapat memberlakukan kembali mata uang dinar emas dan dirham perak hingga mampu melakukan hijrah dari kepungan ajaran dan amalan orang-orang Yahudi. Amin.

Tulisan menarik oleh Nurman Kholis – Peneliti Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI

Read Full Post »

Oleh : Chusnul Bakhriansyah

Dalam pengertiannya, Bank adalah sebuah lembaga yang memiliki tiga fungsi utama, yaitu sebagai tempat menyimpan uang, tempat meminjam uang, dan tempat pelayanan jasa keuangan. Sedangkan, Bank Syariah adalah sebuah lembaga yang memiliki tiga peran tersebut akan tetapi mengindahkan aturan-aturan dan hukum-hukum Allah yang diberlakukan untuk manusia. Jadi, jika kita melihat secara teknis tidak terlalu berbeda antara bank konvensional dengan bank syariah. Akan tetapi, jika kita melihat lebih dalam lagi mengenai bank syariah akan terlihat jelas bahwa terdapat perbedaan yang mendasar yang membuat bank syariah memberikan dampak yang lebih baik bagi umat Islam pada khususnya dan seluruh alam pada umumnya.

Yang pertama marilah kita mengkaji tentang perbedaan struktur organisasi antara bank konvensional dengan bank syariah. Bank adalah sebuah organisasi yang berorientasikan profit, tidak terkecuali bank syariah. Dalam struktur organisasi bank konvensional, terdapat rapat umum pemegang saham sebagai keputusan tertinggi, dewan komisaris, dewan direksi, dan para pegawai. Dalam struktur ini, segala kegiatan operasional yang dilakukan oleh dewan direksi diawasi oleh dewan komisaris sebagai perwakilan dari para pemegang saham. Jadi, pengawasan kegiatan operasional bank diawasi hanya oleh dewan direksi. Tidak terlalu berbeda dengan bank konventional, struktur organisasi bank syariah juga memuat hal diatas. Akan tetapi, yang harus digaris bawahi disini selain memuat hal yang sama dengan bank konventioal, bank syariah memiliki dewan pengawas syariah, yang kedudukannya sejajar dengan dewan komisaris. Jadi, pengawasan kegiatan operasional perusahaan menjadi lebih baik karena pengawasan dilakukan oleh dua pengawas. Seperti kata pepatah dua lebih baik daripada satu.

Sekarang, mari kita membahas perbedaan dalam segi pembiayaan. Seperti yang kita ketahui semua, mengajukan permintaan pembiayaan pada bank konvensional sangat mudah pada era sekarang ini. Kita hanya tinggal mengajukan pinjaman, lalu menyelesaikan syarat-syarat yang diharuskan. Lalu, bagaimana dengan bank syariah? Pada bank syariah, syarat-syarat yang ditetapkan hampir sama dengan yang dimiliki oleh bank konvensional. Akan tetapi, bank syariah lebih unggul dalam satu hal. Bank syariah tidak akan pernah mengucurkan dana pinjamannya kepada bisnis yang dapat membawa kemaslahatan seperti bisnis kasino, pembuatan bir, rokok, dan lainnya. Jadi, sekali lagi bank syariah sudah selangkah lebih maju karena harta yang kita simpan tidak disalurkan untuk hal maksiat dan negara akan semakin maju karena pembiayaan yang diberikan akan digunakan untuk hal yang membangun bukan menghancurkan moral bangsa.

Lalu, bagaimana dengan return yang diterima dari investasi yang telah dilakukan pada bank syariah? Pada bank syariah, return yang akan diterima adalah bagi hasil (profit sharing) dari keuntungan yang didapatkan bank. Maksudnya adalah keuntungan yang didapatkan oleh bank melalui investasi yang mereka lakukan menggunakan dana yang terdapat pada bank tersebut dibagi kepada nasabahnya sesuai dengan jumlah investasi mereka pada bank tersebut dan kesepakatan awal persentase pembagian keuntungan. Berbeda dengan system return yang diberikan oleh bank konvensional yaitu dengan memberikan bunga. Perbedaan ini seperti terlihat bahwa nasabah akan rugi jika menyimpan pada bank syariah dibandingkan jika menyimpan uangnya pada bank konvensional disebabkan return yang pasti dari bank konvensional. Akan tetapi, jika kita menilik lebih jauh lagi, sebenarnya sistem yang digunakan pada bank syariah memberikan pengetahuan kepada kita mengenai bagaimana sebenarnya kondisi bank tempat menyimpan uang. Mengapa? Karena dengan pengembalian yang semakin besar menunjukkan bahwa semakin baik kinerja bank tersebut dan semakin kecil pengembalian membuat kita dapat berhati-hati karena kita mengetahui bahwa kinerja bank tersebut menurun, sehingga itu dapat membuat kita untuk berjaga-jaga mengenai uang yang berada di bank tersebut. Sedangkan, nasabah tidak akan pernah mengetahui lebih dahulu bagaimana kinerja bank tersebut, karena return yang diterima selalu konstan. Ini membuat para nasabah tidak bisa berjaga-jaga mengenai keselamatan uang yang mereka simpan di bank konvensional. Ini membuktikan bahwa bank syariah lebih transparan mengenai performa kegiatan operasionalnya kepada nasabah dinadingkan dengan bank konvensional yang membuat nasabah dapat berhati-hati lebih awal. Inilah salah satu penyebab mengapa pada tahun 1998, bank syariah tidak termasuk bank yang dilikuidasi dan tetap bertahan sampai sekarang.

Yang terakhir setelah kita mengetahui sistem return yang diberikan, marilah kita mencoba menghitung besarnya pengembalian dari bank syariah dan bank konvensional. Karena pada bank kovensional tolok ukur pengembalian melalui bunga, maka yang menjadi perhatian kita adalah berapa persentase bunga yang diberikan oleh bank dan jumlah uang yang disimpan. Sedangkan, pada bank syariah karena yang menjadi tolok ukur pengembalian adalah bagi hasil, maka yang menjadi perhatian adalah persentase pembagian bagi hasil, jumlah uang yang disimpan, jumlah uang yang diinvestasikan oleh bank, dan jumlah keuntungan yang diterima oleh bank.

 

 

Bank Syariah

Bank Konvensional

Jumlah uang yang didepositkan

Rp. 20.000.000,00

Rp. 20.000.000,00

Bunga bank konvensional

 

6%

Bagi hasil

55% nasabah; 45% bank

 

Jumlah uang yang diinvestasikan oleh bank

Rp. 2 Miliar

 

Jumlah keuntungan yang diterima bank

Rp. 250.000.000,00

 

Perhitungan

55% x 20.000.000/2.000.000.000 x 250.000.000

6% x 20.000.000

Hasil

Rp. 1.375.000,00

Rp. 1.200.000,00

 Disini terlihat bahwa semakin baik kinerja bank syariah maka akan semakin besar jumlah bagi hasil yang akan diterima oleh nasabah.

Jadi, mengapa harus memilih bank syariah? Sekarang seharusnya kita semakin melirik bank syariah karena lebih memiliki pengawasan yang ketat, pembiayaannya hanya kepada bisnis yang membangun moral bangsa, dan sistem return yang dapat menjadi early warning bagi para nasabah.

Sumber: Modul Kajian Ekonomi Islam FSI FEUI

 http://mifsifeui.wordpress.com/2008/06/29/mengapa-harus-bank-syariah/

Read Full Post »

Menjelang masa kampanye pilpres dan capres yang akan dimulai awal Juni ini, isu ekonomi kerakyatan tiba-tiba menjadi hal yang krusial. Masing-masing pasangan sibuk meyakinkan rakyat bahwa mereka adalah pengusung panji ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil dan ditanggung bakal berhasil mengeluarkan rakyat dari keterpurukan mereka. Tentu saja ini iming-iming yang amat mengena di hati rakyat negri yang memang mayoritasnya hidup dibawah garis kemiskinan.

Meski demikian sebenarnya belum ada satupun pihak pasangan yang secara ideal mampu mendifinisikan apa yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan ini. Mereka baru bisa memberikan janji bahwa mereka akan memberikan perhatian dan pembelaan terhadap kepentingan ekonomi rakyat banyak terutama rakyat kelas menengah kebawah. Contohnya yaitu pemberian akses permodalan kepada UKM serta subsidi untuk petani dan nelayan miskin.

Contoh diatas kelihatannya memang menarik. Namun bagaimana dengan kenyataannya? Adakah bukti atau contoh bahwa jalan tersebut mampu membuat rakyat keluar dari kemiskinan? Karena harus diakui bukti inilah yang ditunggu masyarakat.

Grameen Bank adalah sebuah bank di Bangladesh yang bisnis utamanya memberikan kredit mikro kepada masyarakat sehingga membuka kesempatan  pada kelompok miskin untk mengakses sumber permodalan. Namun ternyata terobosan yang sangat menjanjikan ini tidak dapat berjalan mulus. Mengapa? Tetapi mengapa pula Bangladesh yang dijadikan contoh bukannya negara-negara Barat misalnya?

Jawabannya karena Bangladesh lebih mendekati kondisi negri kita sementara negara-negara Barat telah maju dan mapan. Meski kita juga tahu bahwa hingga kinipun bahkan negri semaju Amerika Serikat belum sepenuhnya mampu keluar dari krisis ekonomi yang melanda mereka akibat kredit perumahan yang macet beberapa waktu yang lalu.

Menurut Akhyar Adnan ( 2007) dan MA Mannan ( 2007) penyebabnya adalah adanya bunga bank. Faktor ini yang menyebabkan nasabah bukan saja tidak dapat menikmati hasil pinjaman namun malah terpaksa menjual asetnya demi melunasi hutang yang sebetulnya awalnya tidak seberapa besar.  Fakta ini menunjukkan bahwa semangat pro rakyat miskin saja tidaklah cukup bila tidak diimbangi dengan penggunaan instrumen yang tepat dan effektif.

Indonesia adalah negri yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ajaran Islam telah jelas-jelas melarang umatnya mengambil kelebihan pinjaman atau bunga bank. Al-Quran menyebut dengan riba.

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. ( QS. Al-Baqarah(2): 275)

Banyak hikmah yang dapat diambil dengan dilarangnya riba selain dengan terbukti gagalnya mengangkat kemakmuran  rakyat miskin seperti contoh diatas. Riba menyebabkan uang dan kekayaan hanya berputar di kalangan tertentu saja.  Berdasarkan penelitian, dilaporkan bahwa total belanja masyarakat untuk kosmetika, es krim dan makanan hewan peliharaan seperti kucing dan anjing di Eropa dan AS masih jauh lebih besar dari pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan dan sanitasi air di negara berkembang, seperti Indonesia ini!

Ayat diatas juga menjelaskan bahwa riba menyebabkan orang yang memakannya seperti orang  yang kemasukan syaitan dan berprilaku seperti orang gila. Tanda-tanda orang gila adalah lemah, tidak berdaya dan tidak stabil. Ini yang akan terjadi pada negri yang ekonominya jauh dari nilai-nilai-Nya. Diantaranya tergantung pada bantuan negri lain hingga akibatnya mudah didikte dan dijajah minimal secara pemikiran.

Karenanya tidak ada lagi alasan mengapa Indonesia harus tidak menerapkan Ekonomi Syariah. Sistim ini sama sekali tidak membuat susah non muslim. Bahkan Allah swt menjanjikan kemaslahatan dan manfaat bagi semua rakyat baik muslim maupun non muslim bila sistim ini diterapkan dengan baik.

Menjadi tantangan besar, adakah pasangan capres dan cawapres yang berani menjadikan Ekonomi Ssyariah sebagai dasar kebijakan ekonomi negara?

Wallahu a’lam bi shawab.

Jakarta, 4 Juni 2009.

Vien AM.

Disarikan dari Republika, 31 Mei 2009 kolom Refleksi ” Membela Ekonomi Rakyat ” oleh Prof Dr KH Didin Hafidhuddin

Read Full Post »

Mengenal Wakaf

Dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya .Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf.  Namun dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

I. Rukun Wakaf

Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).

II. Dasar Hukum Wakaf

1. Menurut Al-Quran

Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas.  Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:

Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267)

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92)

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah (2): 261)

2. Menurut Hadis

Umar memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya? Sabda Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin, untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu. Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber pendapatan.”

Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya,  dan anak soleh yang mendoakannya.”

Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004.

III. Potensi wakaf di Indonesia.

Menurut data yang dihimpun Departemen Agama RI, jumlah tanah wakaf di Indonesia mencapai 2.686.536.656, 68 meter persegi (dua milyar enam ratus delapan puluh enam juta lima ratus tiga puluh enam ribu enam ratus lima puluh enam koma enam puluh delapan meter persegi) atau 268.653,67 hektar (dua ratus enam puluh delapan ribu enam ratus lima puluh tiga koma enam tujuh hektar) yang tersebar di 366.595 lokasi di seluruh Indonesia.

Dilihat dari sumber daya alam atau tanahnya (resources capital) jumlah harta wakaf di Indonesia merupakan jumlah harta wakaf terbesar di seluruh dunia. Dan ini merupakan tantangan bagi kita untuk memfungsikan harta wakaf tersebut secara maksimal sehingga tanah-tanah tersebut mampu mensejahterakan umat Islam di Indonesia sesuai dengan fungsi dan tujuhan ajaran wakaf yang sebenarnya.

Jumlah tanah wakaf di Indonesia yang begitu besar juga dilengkapi dengan sumber daya manusia (human capital) yang sangat besar pula. Hal ini karena, Indonesia merupakan Negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Oleh karena itu, dua modal utama yang telah dimiliki bangsa Indonesia tersebut semestinya mampu memfungsikan wakaf secara maksimal, sehingga perwakafan di Indonesia menajadi wakaf produktif dan tidak lagi bersifat konsumtif.

Wakaf dibagi menjadi 2 kategori, wakaf benda bergerak dan wakaf tidak bergerak. Wakaf bergerak diantaranya adalah wakaf uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan dll. Sedang wakaf tidak bergerak diantaranya adalah wakaf tanah, bangunan dll.

IV. Wakaf uang.

Wakaf yang bersumber dari donasi masyarakat, atau yang biasa disebut wakaf uang (cash waqf)  membuka peluang besar bagi penciptaan bisnis investasi, yang hasilnya dapat dimanfaatkan pada bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Wakaf jenis ini lebih bernilai benefit daripada wakaf benda tak bergerak, seperti tanah. Jika bangsa ini mampu mengoptimalkan potensi wakaf yang begitu besar itu, tentu kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat lebih terjamin.

Badan Wakaf Indonesia ( BWF)  mengumumkan wakaf uang sebagai berikut :

1. Siapapun Bisa. Kini, orang yang ingin wakaf tidak harus menunggu menjadi kaya. Minimal Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah), anda sudah bisa menjadi wakif (orang yang berwakaf), dan mendapat Sertifikat Wakaf Uang.

2. Jaringan Luas. Kapan pun dan di manapun anda bisa setor wakaf uang. Mudah bukan? Sebab, BWI telah bekerjasama dengan Lembaga Keuangan Syariah untuk memudahkan penyetoran.

3. Uang Tak Berkurang. Dana yang diwakafkan, sepeser pun, tidak akan berkurang jumlahnya. Justru sebaliknya, dana itu akan berkembang melalui investasi yan dijamin aman, dengan pengelolaan secara amanah, bertangung jawab, professional, dan transparan.

4. Manfaat Berlipat. Hasil investasi dana itu akan bermanfaat untuk peningkatan prasarana ibadah dan sosial, serta kesejahteraan masyarakat (social benefit).

5. Investasi Akhirat. Manfaat yang berlipat itu menjadi pahala wakif yang terus mengalir, meski sudah meninggal, sebagai bekal di akhirat.

V. Cara mudah wakaf uang

Datang Langsung ke kantor salah satu dari 4 Lembaga Keuangan Syariah (LKS) Penerima Wakaf Uang (PWU) berikut ini:

1. Bank Syariah Mandiri. No. Rek. 0090012345

2. BNI Syariah. No. Rek. 333000003

3. Bank Muamalat. No. Rek. 3012345615

4. Bank DKI Syariah. No. Rek. 7017003939

Catatan: Wakaf uang dapat ditransfer melalui ATM ke No. rekening LKS-PWU. Setelah itu, konfirmasi ke LKS-PWU yang bersangkutan. Atau, hubungi BWI Call Service di (021) 80877955.

VI. Alur wakaf uang

1. Wakif datang ke LKS-PWU

2. Mengisi akta Ikrar Wakaf (AIW) dan melampirkan fotokopi kartu identitas diri yang berlaku

3. Wakif menyetor nominal wakaf dan secara otomatis dana masuk ke rekening BWI

4. Wakif Mengucapkan Shighah wakaf dan menandatangani AIW bersama dengan:

> 2 orang saksi

> 1 pejabat bank sebagai Pejabat Pembuat AIW (PPAIW)

5. LKS-PWU mencetak Sertifikat Wakaf Uang (SWU)

6. LKS-PWU memberikan AIW dan SWU ke Wakif.

Semoga bermanfaat.

Jakarta, September 2008.

Vien AM.

Disarikan dari : bw-indonesia.net

Read Full Post »

 Harus diakui sebagian besar umat Islam di seluruh belahan dunia saat ini disadari maupun tidak telah terjerumus ke dalam sistim kehidupan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Ini tidak saja hanya dalam hal penerapan namun juga dalam cara memandang hakikat kehidupan dan pokok ajarannya. Padahal ini adalah hal yang paling mendasar.

Kehidupan dunia yang gemerlap tampak makin menyilaukan mata. Konsumerisme, materialistme dan egoisme menjadi pemandangan yang umum dan hal biasa. Uang dan materi adalah tujuan. “Tak ada sesuatu yang tak mungkin selama ada uang“ telah dijadikan semboyan dan prinsip umum hampir semua lapisan masyarakat terutama di perkotaan. Transaksi apapun ujungnya selalu materi. Ini yang akhirnya menyebabkan hilangnya arti persaudaraan, rasa saling mengasihi dan rasa kemanusiaan.

Padahal justru inilah ruh, inti ajaran Islam. Islam mengajarkan bahwa harta adalah sesuatu yang dalam keadaan normal dapat dimiliki dan dapat dimanfaatkan sesuai syariah bukan sebagai sesuatu yang memiliki nilai ekonomis baik benda atau manfaat/jasanya sebagaimana yang saat ini difahami secara umum. Disamping itu dalam Islam semua harta adalah milik Allah. Manusia hanya mendapat amanah untuk menjaga harta tersebut. Ia diizinkan memanfaatkan titipan tersebut selama tidak bertentangan dengan kehendak Si Empunya harta. Dengan kata lain harus sesuai syariah. Dan pada saatnya kelak ia harus mempertanggung-jawabkannya kepada Sang Khalik.

Itu sebabnya seorang Muslim harus mengetahui betul apa kehendak-Nya. Yaitu dengan cara mempelajari dan memahami isi Al-Quran, hadits dan apa yang dicontohkan ke-empat Khulafaul Rasyidin. Namun bila ketika masa hidup Rasul dan para sahabat tidak ada contohnya maka ijma para alim ulama salaf maupun kontemporer dapat dijadikan rujukan dan pegangan.

Islam mengajarkan bahwa kehidupan dunia adalah ladang untuk mencari ridho’Nya. Makin besar manfaat seseorang terhadap orang lain makin besar dan tinggi pula penilaian orang tersebut dalam pandangan Allah swt. Demikian pula dengan hartanya. Makin besar harta seseorang tersebut memberi manfaat kepada orang lain makin besar pula imbalan yang akan didapatnya. Imbalan ini tidak hanya diberikan kelak di surga ketika orang tersebut meninggal namun juga ketika ia masih di dunia.

 “…….. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. (QS.At-Thalaq(65):2-3).

Kebaikan di dunia didapatnya karena orang yang menerima kebaikan darinya mendapat petunjuk dari Allah swt agar membalas kebaikan orang tersebut. Jadi tidaklah aneh bila makin banyak orang yang menerima manfaat makin banyak pula si pemberi manfaat memperoleh balasan kebaikan orang yang diberinya manfaat. Ini adalah hukum alam. Karena Allah adalah penggerak hati manusia.

Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah saw, beliau bersabda : “ Jika Allah mencintai hamba-Nya, Allah memanggil Jibril. Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan maka cintailah si Fulan. Maka Jibrilpun mencintainya ( Si Fulan). Kemudian Jibril memanggil penduduk langit. “ Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan”, maka seluruh penduduk langitpun ikut mencintainya pula. Begitupun penerimaan penduduk bumi ”. ( HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh karenanya dalam hidup ini yang harus dicari seorang hamba adalah ridho’ Allah swt.

 “ Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.(QS.Baqarah(2):275).

Ayat diatas dengan jelas membedakan antara perbuatan riba dan jual beli. Allah tidak melarang jual beli. Bahkan dalam rangka mencari keuntungan Allah tidak pernah memberi batasan berapa besar seseorang boleh menjual barangnya. Dengan catatan tidak ada paksaan bagi pembeli untuk membeli barang tersebut.

Sebaliknya ketika seseorang berhutang, si pemberi hutang dilarang mengambil keuntungan. Ia tidak boleh menerima kelebihan pengembalian hutang walaupun si penghutang rela melakukannya. Kenapa demikian? Karena orang yang berhutang pada hakekatnya adalah orang yang dalam kesulitan. Ia memerlukan bantuan. Dalam Islam orang mampu wajib membantu orang yang dalam kesusahan dan kesempitan. Dan dalam membantu ini, ia tidak boleh mencari pamrih, mengharap imbalan atau mencari keuntungan dengan cara memanfaatkan kesempitan orang lain. Bahkan ketika orang yang berhutang benar-benar tidak mampu mengembalikan hutangnya, Allah akan membalas dengan balasan yang besar bagi si pemberi hutang yang rela membebaskan orang yang dalam kesulitan tersebut.

 “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.(QS.Al-Baqarah(2):280).

Jadi jelas hutang adalah perbuatan sosial sementara jual beli adalah perbuatan komersial. Atas dasar inilah sistim syariah dalam perbankan Islam dikembangkan. Untuk menghindari riba, yaitu kelebihan pengembalian uang/harta pinjaman, bank menerapkan gabungan beberapa akad yang bersifat jual beli bagi nasabah bukan hutang piutang. Sementara untuk mengatasi hutang piutang bagi orang tidak mampu, wakaf adalah jalan keluarnya. Wakaf adalah hibah atau pemberian harta / tanah , uang dll diluar zakat bagi orang yang mampu dengan harapan imbalannya dari Allah swt.

Abu Hurairah ra berkata, Nabi saw bersabda :” Barangsiapa yang membebaskan orang mukmin dari kesempitan dunia maka Allah akan membebaskannya dari kesempitan di Hari Akhirat. Barangsiapa yang memberi kemudahan orang yang mengalami kesulitan maka Allah akan memberi kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat………”(HR. Muslim).

Wallahu’alam bishawab.

 Jakarta, 20/4/2009.

Vien AM.

Read Full Post »