Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Aqidah’ Category

Siapa bilang Islam anti terhadap tradisi lokal? Dalam banyak kasus, bahkan sudah terjadi sejak zaman Rasulullah saw, agama samawi ini cenderung akomodatif pada tradisi setempat. Selama tidak bertentangan dengan syariat, Islam sangat terbuka dengan lingkungan di mana ia dilabuhkan.

Jauh sebelum Islam menjejakkan kaki di kota Makkah, masyarakat jahiliah setempat sudah memiliki tradisi yang cukup mapan. Kendati mereka belum tersentuh ajaran wahyu dari Rasulullah, bangsa Arab sudah memiliki budaya dan tradisi moral yang luhur. Jadi, jangan sampai begitu kita mendengar kata ‘jahiliah’, kemudian berpikir bahwa nilai-nilai moral pada saat itu sangat bobrok sama sekali dan sangat jauh dari semangat moral ajaran Islam.

Bangsa Arab jahiliah dengan segala dinamikanya tetap memiliki budaya yang luhur, bahkan beberapa semangat tradisi saat itu masih dilestarikan Islam sampai hari ini. Bulan-bulan yang dimuliakan Salah satu budaya lokal bangsa Arab jahiliah adalah menghormati bulan-bulan haram (asyhurul ḫurum) yang ada empat, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharam, dan Sya’ban. Dinamakan ‘haram’ karena pada bulan tersebut dilarang untuk melakukan peperangan dan perbuatan keji.

Sejarawan Jawad Ali menjelaskan dalam kitabnya, al-Mufasshal fi Tarîkhil ‘Arab Qablal Islâm, bangsa Arab jahiliah membagi bulan menjadi dua. Pertama sebagai bulan biasa (i’tiyâdiyah) yang jumlahnya ada delapan, yaitu Safar, Rabiul awal, Rabiul Akhir, Jumadil ula, Jumadil akhir, Sya’ban, Ramadhan, dan Syawal. 

Sementara yang kedua adalah bulan-bulan suci/mulia yang jumlahnya ada empat, yaitu Muharam. Rajab, Dzulqa’dah dan Dzulhijah. Untuk menjaga kemuliaannya, pada bulan-bulan tersebut masyarakat dilarang untuk melakukan peperangan dan perbuatan keji.   Berbeda dengan ke delapan bulan lainnya, aktivitas peperangan masih diperbolehkan. Bahkan seorang laki-laki tidak boleh menyerang atau membalas seorang yang membunuh ayah atau saudaranya sendiri pada bulan mulia tersebut.

Asal mula tradisi penghormatan ini tidak lepas dari tabiat bangsa Arab Badui (pedalaman). Nasib hidup yang serba kekurangan membuat mereka menghalalkan segala cara untuk bertahan hidup, termasuk jika harus menghunuskan pedang. Akibatnya, peperangan dan pertikaian berkepanjangan menjadi bagian integral dari kehidupan mereka, termasuk tidak segan untuk merampok dan memerangi rombongan dagang yang melintas untuk dirampas hartanya.

Hidup dalam kondisi sosial yang penuh ketegangan, tentu membuat Arab Badui tidak nyaman. Mereka membutuhkan waktu sebagai jeda untuk menyelesaikan hal-hal yang tidak bisa tersentuh dalam kondisi masyarakat yang tidak stabil. Sebab itulah mereka menentukan waktu jeda yang kemudian ditetapkan empat bulan tersebut.

Selanjutnya kondusifitas waktu ini juga diteruskan oleh bangsa Arab secara umum, bukan hanya dari kalangan Badui. (Jawad Ali, Al-Mufasshal fi Tarîkhil ‘Arab Qablal Islâm, [Maktabah Syamilah Online], juz 16, h. 105) Tradisi penghormatan tersebut masih tetap eksis dalam ajaran Islam sampai hari ini.

Jika pada masa jahiliah bentuk penghormatannya dengan larangan perang dan perbuatan keji, maka pada masa Islam dengan berbagai keistimewaan yang dijanjikan pada bulan tersebut. Seperti pelipatgandaan pahala amal shaleh, anjuran berpuasa, penekanan untuk menghindari dosa, dan banyak lainnya.

Allah swt dalam surat At-Taubah ayat 36) berfirman yang artinya sebaga berikut:

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Berkaitan ayat di atas, Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya, Mafatihul Ghaib menjelaskan, para ulama sepakat bahwa Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijah, dan Muharam merupakan bulan-bulan yang dimuliakan dalam Islam.Maksud kata al-ḫurum pada ayat tersebut adalah perbuatan maksiat pada bulan-bulan tersebut akan mendapat balasan siksa lebib berat di banding bulan lain. Demikian pula perbuatan baik akan mendapat pahala lebih besar. (Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Ghaib, juz XVI, h. 52).

Selain disinggung dalam nash Al-Qur’an, penegasan ini juga disebutkan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim, Nabi Saw bersabda yang artinya: “Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan, di antaranya terdapat empat bulan yang dihormati: 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat di antara bulan Jumada Akhirah dan Sya’ban.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam tradisi Islam, mengistimewakan amal shaleh berdasarkan waktu dan tempat tertentu memang banyak ditemui. Seperti mengistimewakan kota suci Makkah dibanding kota atau negara lainnya, hari Jumat dibanding hari-hari pada umumnya, hari ‘Arafah dibanding hari yang lain, bulan Ramadhan dibanding bulan-bulan lain, malam lailatul qadar dibanding malam-malam lain, dan sebagainya. (Fakhruddin ar-Razi, juz XVI, h. 52).

Keistimewaan empat bulan itu banyak dijelaskan banyak hadits Nabi. Bahkan tidak sedikit ulama yang menulis kitab dengan pembahasan secara khusus tentang keutamaan-keutamaannya. Seperti Ibnu Hajar al-Atsqalani menulis kitab berjudul Tabyînul ‘Ajab bi Mâ Warada fî Fadhli Rajab yang menghimpun hadits-hadits seputar amalan pada bulan Rajab dan keutamaannya.

Penulis : Muhamad Abror, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta.

Sumber: https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/tradisi-pra-dan-pasca-islam-memuliakan-bulan-bulan-haram-G9u9d#

Wallahu’alam bish shawwab.

Jakarta, 3 Februari 2023.

Vien AM.

Read Full Post »

Siapa yang tak kenal legenda Malin Kundang. Cerita rakyat dari tanah Minangkabau ini diceritakan secara turun temurun  hingga kadang orang mengira peristiwa tersebut nyata terjadi.

Padahal cerita tersebut kabarnya dibuat oleh masyarakat Minang yang sejak dulu dikenal senang merantau agar agar perantau tidak lupa dengan tanah kelahiran mereka sebagaimana seorang anak yang lupa kepada ibunya hingga menjadikannya anak durhaka.

Legenda Malin Kundang menggambarkan seorang anak bernama Malin Kundang yang hidup berdua dengan ibunya di perkampungan nelayan yang miskin. Mereka berdua saling menyayangi. Hingga suatu hari ketika Malin telah cukup dewasa ingin berlayar  mencari pengalaman. 

Awalnya sang ibu tidak mengizinkannya. Namun karena kuatnya tekad Malin akhirnya dengan berat hati ibunyapun mengizinkannya. Di kemudian hari ternyata Malin melupakan ibunya yang makin hari makin renta. Padahal hampir setiap hari ibunya selalu menunggu kepulangan anak semata mayangnya tersebut.

Hingga suatu hari setelah bertahun-tahun lewat, ibunya mendapat kabar bahwa putranya telah menjadi orang yang sukses, kaya raya dan telah mempersunting seorang perempuan kaya raya nan cantik jelita. Pasangan tersebut sedang berlabuh menuju kota dimana sang ibu tinggal. 

Dengan suka cita iapun segera menyambutnya. Namun apa lacur ternyata Malin tidak mau mengakui ibunya. Ia malu terhadap istrinya melihat penampilan ibunya yang sangat jelas memperlihatkan kemiskinannya. Ia bahkan tega menghardik dan menuduh ibu kandung sendiri sebagai perempuan gila.

Sungguh sakit hati ibu Malin Kundang. Hingga akhirat ia berdoa bila laki-laki muda tersebut benar-benar putranya Allah swt bersedia mengganjarnya. Maka tak lama setelah itu kapal yang ditumpangi pasangan muda tersebut dihempas ombak besar. Keesokan harinya orang melihat sebuah batu mirip orang sedang berjongkok memohon ampun. Itulah akhir kisah Malin Kundang, anak yang durhaka.

Untuk diingat masyarakat Minangkabau adalah masyarakat Islam yang taat pada agamanya. Kisah yang mereka buat bukan sekedar mengingatkan perantau supaya tidak lupa dengan tanah kelahiran mereka. Namun lebih dalam lagi yaitu mengingatkan bahwa durhaka terhadap orang-tua adalah dosa besar. Betapa banyak ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan agar berbuat baik kepada ke dua orang-tua.

Yang bahkan mengucapkan perkataan “Ah” sebagai kata penolakan saja dilarang-Nya. Apalagi mengucapkan kata yang dapat menyakitkan hati keduanya. Ibu yang telah melahirkan dan menyusui, bersama ayah yang tak kalah sayangnya menghabiskan seluruh waktu dan tenaga untuk bekerja menafkahi keluarga.  

“Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “Ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (Terjemah QS. Al-Isra (17):23).

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (Terjemah QS. Lukman (31):14).

Begitu pula hadist. Diantaranya hadist berikut. Imam Bukhari dan Imam Muslim serta sejumlah perawi hadits lainnya mengabarkan hadits dari Abu Bakar RA. Ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:

Maukah aku ceritakan kepada kalian dosa besar yang paling besar, yaitu tiga perkara? Kami menjawab, Ya, Rasulullah. Rasulullah berkata: Menyekutukan Allah, dan mendurhakai dua orang tua. Rasulullah sedang bersandar lalu duduk, maka berkata Rasulullah: Tidak mengatakan kebohongan dan kesaksian palsu”.

Durhaka terhadap kedua orangtua hanya 1 tingkat dibawah dosa syirik dan kekafiran. Karena pada dasarnya sama yaitu sombong dan tidak tahu ber-terimakasih. Orang yang tidak bisa ber-terimakasih terutama kepada kedua orangtuanya dapat dipastikan tidak akan bisa mensyukuri nikmat yang diberikan Allah Azza wa Jala.

Padahal kasih sayang Allah swt jauh lebih besar dibanding kasih sayang orangtua. Kalau bukan karena kasih sayangNya mana  mungkin orang bisa hidup di dunia ini. Siapa yang menyediakan udara segar, air bersih dan sinar matahari yang sangat diperlukan manusia, gratis tanpa harus membayar sepeserpun ? Pernahkah kita memikirkan ayat 71 dan 72 surat Al-Qashash berikut ?

Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu malam itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka apakah kamu tidak mendengar?”

Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”

Belum lagi aneka binatang yang dagingnya dapat dimakan dan mengenyangkan perut, beragam macam buah-buahan dan sayur-sayuran yang mampu memanjakan lidah kita.         

Yang juga perlu diingat, jangan pernah merasa mampu membalas jasa kebaikan kedua orang-tua karena hingga mati sekalipun  tidak mungkin kita mampu membalasnya. Apalagi tehadap segala nikmat yang telah diberikan Allah swt. Segala perbuatan baik termasuk shalat sehari semalam dan puasa seumur hidup, zakat infak sedekah sebesar apapun tidak mungkin kita bisa menebusnya.

Surga adalah milik-Nya yang dapat kita masuki hanya karena rahmat-Nya bukan sekedar amal ibadah kita. Sebanyak apapun kebaikan tapi kufur terhadapNya, tidak mengakuiNya sebagai satu-satuya Zat yang disembah maka hanguslah segalanya. Kesyirikan dan kekafiran adalah dosa terbesar dalam kacamata Islam yang tidak akan diampuniNya.

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (Terjemah QS. An-Nisa(4):48).

Namun sebagian ulama mengatakan dosa syirik masih mungkin diampuni bila sempat bertaubat sebelum kematian menjemput. Taubat yang dimaksud adalah taubat nasuha sebagaimana ayat 8 surat At-Tahrim berikut:

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.”

Sementara untuk menebus dosa dan kesalahan terhadap kedua orangtua yang telah meninggal adalah dengan menziarahi makam keduanya serta mendoakannya.

Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang menziarahi makam kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya sekali setiap Jumat, maka niscaya Allah SWT menghapus dosanya. Dan ia pun dinilai sebagai anak yang berbakti kepada orang tuanya.” (HR. Al-Hakim).

Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh seseorang yang durhaka ketika kedua orang tuanya wafat, lalu ia mendoakan keduanya selepas keduanya berpulang, maka niscaya Allah SWT akan mencatatnya sebagai anak yang berbakti.”

Wallahu’alam bish shawwab.

Jakarta, 27 Juni 2022.

Vien AM.

Read Full Post »

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607).

Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6493)

Hadist diatas menunjukkan bahwa Allah swt menghitung amalan seseorang tergantung pada amalan akhirnya, bukan jumlah amalan selama hidupnya. Artinya kita sebagai umat Islam jangan pernah merasa puas dengan segala amal kebajikan kita. Karena bisa jadi menjelang ajal kita justru lalai, banyak berbuat amal keburukan seperti menggunjing, riya, buruk sangka dll, hingga berakhir dengan su’ul khotimah … Na’udzubillah min dzalik …

Untuk itu jangan kita sibuk menilai perbuatan orang lain apalagi mencari-cari kesalahannya. Meski tidak jarang kita mendengar berita adanya sejumlah orang yang selama ini dianggap sebagai tokoh Muslim tiba-tiba mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tugas kita minimal adalah saling mengingatkan, tergantung dimana kedudukan kita berada. Tidak boleh kita masa bodoh, membiarkan kejahatan terjadi di depan kita tanpa kita berusaha mencegahnya.

Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”(Terjemah QS. Al-Ashr(103){2-3).

Siapa yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).

Yang lebih mengerikan, di akhir zaman nanti seseorang yang di pagi hari masih dalam keadaan beriman, sore harinya berubah menjadi kafir.

Bersegeralah melakukan amalan shalih sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap. Yaitu seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di sore hari dalam keadaan kafir. Ada pula yang sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya karena sedikit dari keuntungan dunia” [HR. Muslim]

Hal yang bukan mustahil terjadi mengingat hari ini kita dapat melihat betapa mudahnya orang mendapatkan info dari media sosial, info baik maupun buruk, yang mencerahkan maupun yang menyesatkan. Begitupun ilmu agama. Bila sebelumnya untuk mencari ilmu harus pada orang yang benar-benar menguasai ilmunya maka hari ini ilmu bisa di dapat secara mudah, sesuai yang kita inginkan. Karena orang tanpa ilmu yang benar, dengan mudah dapat berbicara sesukanya dan menyebarkan ilmu maupun pendapatnya melalui medsos. Mereka menjual agamanya demi mendapatkan kenimatan dunia, seperti mencari popularitas dll, yang sebenarnya sangat jauh dibanding kenikmatan akhirat. 

Contohnya yaitu orang-orang liberal yang mengatakan bahwa semua agama adalah benar, bahwa kita adalah Muslim Indonesia maka berislamlah secara Indonesia, tidak harus berbahasa Arab ketika berdoa dll.    

Hadist di atas menekankan agar bersegara dalam melakukan amal ibadah, tidak menunda-nundanya hingga akhirnya kehabisan waktu dan ajalpun menjemput.  Namun demikian amal ibadah harus dilakukan berdasarkan ilmu, tidak asal-asalan apalagi tanpa hati.

Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Para ulama berpendapat bahwa yang dimaksud hati yang baik adalah hati yang di dalamnya mempunyai rasa takut pada Allah swt termasuk siksa-Nya, hati yang ikhlas beramal ibadah karena ingin mendekatkan diri pada-Nya, yang meninggalkan maksiat demi meraih ridho-Nya. Termasuk juga di dalamnya yang meyakini para rasul dan mentaati serta beramal ibadah seperti apa yang dicontohkan Rasulullah Muhammad saw.

Islam mengajarkan umatnya agar istiqomah ( konsisten) menjalankan amal ibadah hingga akhir hayat. “Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, sesungguhnya Rasulullah saw pernah bersabda, “Tujulah (kebenaran), mendekatlah dan bergembiralah bahwa sesungguhnya tidak seorang pun dari kalian yang dimasukkan surga karena amalnya.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Tidak juga engkau wahai Rasulullah?” Nabi saw menjawab, tidak juga aku, kecuali bila Allah swt melimpahkan rahmat dan karunia padaku. Dan ketahuilah bahwa amal yang paling disukai Allah adalah yang paling rutin meski sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Betapa seringnya kita mendengar kabar seseorang yang tadinya begitu membenci Islam, atau juga seseorang yang mengaku Muslim meski prilakunya tidak menunjukkan keislamannya, tiba-tiba berubah 180 derajat, menjadi begitu mencintai Islam bahkan mampu berdakwah dengan sangat baik.

Janganlah kalian terkagum dengan amalan seseorang sampai kalian melihat amalan akhir hayatnya. Karena mungkin saja seseorang beramal pada suatu waktu dengan amalan yang shalih, yang seandainya ia mati, maka ia akan masuk surga. Akan tetapi, ia berubah dan mengamalkan perbuatan jelek.

Mungkin saja seseorang beramal pada suatu waktu dengan suatu amalan jelek, yang seandainya ia mati, maka akan masuk neraka. Akan tetapi, ia berubah dan beramal dengan amalan shalih. Oleh karenanya, apabila Allah menginginkan satu kebaikan kepada seorang hamba, Allah akan menunjukinya sebelum ia meninggal”.

Para sahabat lalu bertanya,“Apa maksud menunjuki sebelum meninggal?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yaitu memberikan ia taufik untuk beramal shalih dan mati dalam keadaan seperti itu.” (HR. Ahmad, Bukhari – Muslim).

Hadist di atas menerangkan adanya satu kebaikan yang nilainya sangat tinggi, yaitu hidayah. Hidayah ini adalah mutlak milik Allah swt yang akan diberikan kepada siapa saja yang dikehedaki-Nya.

Contoh paling ekstrim yang sering disampaikan adalah kisah seorang pelacur yang memberikan minuman kepada seekor anjing yang kehausan padahal dirinya sendiri sedang sangat membutuhkannya. Kisah ini bukan berarti menghalalkan pelacuran seperti yang sering dituduhkan kaum Islam Liberal. Melainkan untuk menunjukkan bahwa sekecil apapun nilai kebaikan mempunyai nilai tersendiri dalam pandangan Allah Azza wa Jala.

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.”. (Terjemah QS. Al-Zalzalah(99):7).

Nilai kebaikan yang menyebabkan turunnya hidayah. Dengan bekal hidayah inilah hati seseorang menjadi terbuka hingga mampu mengenal Tuhannya. Yang kemudian dengan suka rela menjalankan amal ibadah, istiqomah hingga akhir hayatnya. Hingga Allah swt pun ridho memasukannya ke surga-Nya. Itulah husnul khotimah yang seharusnya menjadi cita-cita tertinggi seorang hamba.

Untuk itu Rasulullah mengajarkan umatnya agar senantiasa membaca doa berikut:

Yaa Muqallibal-qulub, tsabbit qulubina ‘ala dinik (Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami  atas agama-Mu).” (HR Ahmad).

Wallahu’alam bi shawwab.

Jakarta, 27 Januari 2022.

Vien AM.

Read Full Post »

Rahmat Dan Azab Allah SWT.

Dari Abu Mas’ud Al-Badri radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada malam hari, maka ia akan diberi kecukupan.” (HR. Bukhari no. 5009 dan Muslim no. 808).

Imam Nawawi menyatakan bahwa maksud dari memberi kecukupan padanya –menurut sebagian ulama- adalah ia sudah dicukupkan dari shalat malam. Maksudnya, itu sudah pengganti shalat malam. Ada juga ulama yang menyampaikan makna bahwa ia dijauhkan dari gangguan setan atau dijauhkan dari segala macam penyakit.

Sementara Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berpendapat yang dimaksud diberi kecukupan pada hadist adalah dijaga dan diperintahkan oleh Allah, juga diperhatikan dalam do’a karena dalam ayat tersebut terdapat doa untuk maslahat dunia dan akhirat.

Namun dibalik itu semua terdapat hikmah besar yang mendasari turunnya ke 2 ayat istimewa di atas. Yaitu turunnya ayat 284 Al-Baqarah berikut :  

Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Terjemah QS Al-Baqarah (2):284).

Mendengar itu para sahabat merasa kecil hati, khawatir tidak sanggup menjalankannya. Shalat, puasa, sedekah bahkan jihad mengorbankan diri mereka sanggup menjalaninya. Namun apa yang ada di dalam hati?? Bisikan-bisikan yang bisa jadi berasal dari syaitan yang memang merupakan musuh terberat manusia, sanggupkah manusia menghindarinya??

Para sahabat bagaimanapun adalah manusia biasa yang tidak jarang bisa lengah dan lelah. Mereka juga mempunyai keinginan duniawi bahkan keluarga yang mungkin belum begitu kuat keimanannya. Jadi sungguh wajar bila mereka sangat khawatir ketika harus mempertanggung-jawabkan apa yang terlintas dalam hati mereka.      

“Abu Hurairah ra menceritakan, “ Hal itu terasa berat bagi para sahabat Rasulullah SAW, lalu mereka mendatangi Rasulullah SAW seraya berlutut di atas lutut masing-masing dan berkata: “Wahai Rasulullah, kami dibebani amalan yang kami sanggup mengerjakannya seperti: Shalat, Puasa, Jihad dan Sedekah. Sekarang telah diturunkan kepada anda ayat ini ( surat Al-Baqarah ayat: 284), dan kami tidak sanggup.”

Namun apa jawaban Rasulullah??

Apakah kamu ingin mengucapkan apa yang sudah diucapkan kedua golongan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) sebelum kamu; “ Kami dengar dan kami durhakai?”.

Selanjutnya Rasulullah bersabda, katakanlah “ Kami dengar dan kami taati, ampunilah kami ya Rabb kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali.”

Dan apa pula jawaban para sahabat??

“Mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taati, ampunilah kami ya Rabb kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali.”

Masya Allah …

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”.(Terjemah QS, An-Nuur (24):51).

Para sahabat memang bukan tandingan kita. Ketaatan mereka pada Rasulullah benar-benar mengagumkan. Karena mereka memang tahu betul, haqul yaqin, bahwa cucu pemuka Quraisy Abdul Muthalib itu adalah seorang utusan Allah, Tuhan Yang Menciptakan manusia dan seluruh alam semesta ini. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana ayat-ayat diturunkan dan bagaimana Rasulullah menyikapinya.

Dari Rasululah pula mereka mengetahui bagaimana kaum Yahudi dan kaum Nasrani bersikap terhadap ayat-ayat yang diturunkan kepada dua golongan ahli kitab tersebut. Hingga Allah SWT pun mengabadikannya dalam ayat terakhir surat Al-Fatihah, bacaan yang wajib kita baca dalam shalat.

… … bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.      

Yang dimaksud mereka yang dimurkai ( Al-Maghdhub) dalam ayat di atas adalah orang-orang Yahudi karena mereka adalah orang-orang yang berilmu tapi tidak beramal. Sedangkan mereka yang sesat ( Al-Dhoolin) adalah orang-orang Nasrani, mereka beramal tapi tanpa ilmu.

Allah swt mewajibkan kita membaca Al-Fatihah dalam setiap rakaat shalat kita diantaranya agar kita tidak melakukan hal yang sama dengan kedua kaum tersebut. Tak heran bila kemudian Sang Khalikpun menjawab tanggapan dasyat para sahabat dengan yang lebih dasyat lagi. Yaitu dengan turunnya 2 ayat terakhir Al-Baqarah tadi, ayat 285 dan 286 sebagaimana berikut :

“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari Rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “kami dengar dan kami taat.” (mereka berdoa): “Ampunilah Kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali“. ( Terjemah Al-Baqarah(2):285).

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. ( Terjemah Al-Baqarah(2):286).

Allahu Akbar …

Allah Azza wa Jala tidak pernah menyalahi janjinya. Sesuai janji-Nya pada ayat 51 surat An-Nuur bahwa mereka yang berkata “Kami mendengar dan kami patuh”, mereka adalah orang-orang yang beruntung.

Dengan mengulang ikrar Rasul dan para sahabat yang diabadikan dalam ayat 285, Allahpun melanjutkannya dengan janji tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. Masya Allah …

Sesungguhnya Allah memaafkan umatku terhadap tiga perkara, yaitu keliru, lupa dan dipaksa”. (HR. Ibnu Majah; shahih)

Sungguh alangkah beruntungnya kita … Bayangkan bila apa yang ada dalam hati harus kita pertanggung-jawabkan … Alangkah celakanya …

Dengan begitu Allah swt telah menasikh ( menghapus) ayat 284 dan me-mansubkannya (mengganti) dengan ayat 286, bahwa Allah swt tidak akan memberatkan hamba-Nya yaitu apa yang ada dalam hati seseorang. Hanya niat yang baik yang Allah balas sedangkan niat buruk selama hanya dalam hati Allah tidak menghisabnya.     

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa yang berniat melakukan kebaikan lalu tidak mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna, dan jika dia berniat mengerjakan kebaikan lalu mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus lipat hingga perlipatan yang banyak.

Dan jika dia berniat melakukan keburukan lalu tidak jadi mengerjakannya, maka Allah menulis itu di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna, dan jika dia berniat melakukan keburukan lalu mengerjakannya, maka Allah menulis itu sebagai satu keburukan.” (HR. Bukhari, no. 6491 dan Muslim, no. 131 di kitab sahih keduanya dengan lafaz ini).

Memang terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama. Ada yang menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut ayat nasikh-mansub tapi ada pula yang bukan. Masing-masing dengan dalil yang kuat. Tapi sebagai orang awam hal tersebut bukanlah masalah. Yang pasti Allah swt telah menunjukkan kasih sayang-Nya yang begitu besar, terutama bagi orang-orang yang taat pada Allah dan Rasul-Nya. Rahmat Allah lebih luas dari langit dan bumi beserta segala isinya. Sekaligus juga peringatan bahwa Ia mengerahui segala isi hati dan bisikan, yang baik maupun jahat.

Selanjutnya , dalam ayat yang sama ( Al-Baqarah ayat 286) Allah Azza wa Jala mengajarkan bagaimana cara kita memohon kepada-Nya agar dijauhkan dari segala beban dan kesalahan.

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Ma’afkanlah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”

Yang juga tak kalah menarik, adalah hadist berikut :

“Lalu siapa, wahai Rasul?,” tanya para sahabat. Lalu Nabi SAW bersabda, “Kaum yang hidup sesudahku. Mereka beriman kepadaku, dan mereka tidak pernah melihatku, mereka membenarkanku, dan mereka tidak pernah bertemu dengan aku. Mereka menemukan kertas yang menggantung, lalu mereka mengamalkan apa yang ada pada kertas itu. Maka, mereka-mereka itulah yang orang-orang yang paling utama di antara orang-orang yang beriman”. 

Itu adalah jawaban Rasulullah atas pertanyaan “Katakan kepadaku, siapakah makhluk Allah yang paling besar imannya?” yang diajukan kepada para sahabat. Dan itu adalah kita, selama kita terus berada dalam keimanan dan bersiteguh “Kami dengar dan kami taat.”. Allahu Akbar ..

Wallahu’alam bish shawwab.

Jakarta, 23 September 2021.

Vien AM. 

Read Full Post »

Surat Al-Kahfi adalah surat ke 18 dari 114 surat yang terdapat dalam Al-Quranul Karim. Surat yang terletak pada akhir juz 15 dan awal juz 16 ini termasuk dalam golongan surat Makkiyah. Golongan surat Makkiyah adalah surat yang turun sebelum Rasulullah saw hijrah ke Madinah.

Semua surat dalam Al-Quran sudah pasti memiliki banyak kebaikan bahkan ada yang mempunyai keistimewaan. Demikian pula surat Al-Kahfi sebagaimana hadist-hadist berikut :

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra., dari Ibnu Umar ra., mengatakan bahwa “Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa yang membaca surat Al-Kahfi pada hari Jum’at maka akan memancar cahaya dari bawah kakinya sampai ke langit, akan meneranginya kelak pada hari kiamat, dan diampuni dosanya antara dua Jum’at.’”.

Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at, dia akan disinari cahaya di antara dua Jum’at.” (HR. An Nasa’i dan Baihaqi).

Siapa yang membaca surat Al-Kahfi, maka jadilah baginya cahaya dari kepala hingga kakinya, dan siapa yang membaca keseluruhannya maka jadilah baginya cahaya antara langit dan bumi.” (HR Ahmad).

Seperti juga surat lain dalam Al-Quran, Al-Kahfi juga menceritakan banyak kisah hikmah. Surat Al-Kahfi dibuka dengan penegasan bahwa Al-Quran adalah kitab yang lurus, tidak ada kebengkokan di dalamnya. Ia adalah petunjuk, bimbingan sekaligus peringatan bahwa orang beriman dan beramal sholeh, tempatnya kelak adalah surga. Sedangkan orang kafir yaitu orang-orang yang berkeyakinan bahwa Allah Subhana wa ta’ala mempunyai anak, tempatnya adalah neraka.

Setidaknya ada 4 kisah menarik dalam surat ini, yaitu kisah tentang pemuda penghuni gua Kahfi, kisah 2 pemilik kebun, kisah nabi Musa dengan nabi Khidir, dan terakhir kisah raja Dzulkarnaen, dan sedikit kaitannya dengan Yajuj Majuj yang akan muncul di akhir zaman nanti.

Ke 4 kisah tersebut menunjukkan bahwa manusia dalam mengarungi hidupnya akan menghadapi berbagai fitnah dan cobaan. Siapa yang berhasil lolos mereka akan masuk surga sedangkan yang kalah akan masuk neraka. Fitnah dan cobaan yang harus dihadapi manusia paling tidak ada 4, yaitu fitnah agama sebagaimana yang dihadapi para pemuda Kahfi, fitnah kekayaan sebagaimana kisah 2 pemilik kebun, fitnah ilmu seperti kisah nabi Musa yang berguru kepada nabi Khidir, serta fitnah kekuasaan yang dikisahkan melalui raja alim Dzukarnaen.

1. Fitnah agama.

Ini adalah fitnah terbesar dan terberat dalam hidup. Tak salah bila Allah swt menempatkan kisah Pemuda Penghuni Gua Kahfi( Ashabul Kahfi) pada bagian awal surat Al-Kahfi. Kisah ini terdapat pada ayat 9 hingga ayat 26, dibuka dengan ayat tentang keheranan sebagian orang tentang bagaimana mungkin orang bisa tertidur selama ratusan tahun di dalam sebuah gua. 

Selanjutnya pada ayat 13 Allah swt menegaskan bahwa para pemuda yang ditidurkan-Nya tersebut adalah orang-orang beriman.  Mereka hidup pada saat raja dan masyarakat dimana mereka tinggal adalah kafir. Maka demi menyelamatkan aqidah mereka memilih untuk menjauh, pergi meninggalkan kota. Lalu Allah pun berkenan menyembunyikan para pemuda tersebut ke dalam sebuah gua, bahkan menidurkannya selama 300 tahun ditambah 9 tahun.

Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi)”. ( Terjemah Al-Kahfi(18):25).

Namun para pemuda tersebut tidak menyadari bahwa mereka tidur selama itu. Dan ketika akhirnya Allah swt membangunkan mereka, keadaan telah berubah. Raja dan masyarakat telah menjadi orang-orang yang beriman.

Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: “Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)”. Mereka menjawab: “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). … …”. ( Terjemah Al-Kahfi(18):19).

Banyak hikmah dari kisah di atas, namun yang terpenting adalah bahwa aqidah di atas segalanya. Kenikmatan duniawi betapa berlimpahnya tidak ada artinya tanpa aqidah yang kuat.

dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri lalu mereka berkata: “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran”.  ( Terjemah Al-Kahfi(18):14).   

2. Fitnah Kekayaan.

Pada ayat 32 Allah swt memberikan perumpamaan dua orang lelaki, yang satu kaya raya yang lain tidak. Si kaya Allah anugerahi 2 buah kebun anggur  yang dikelilingi pohon-pohon kurma, dan diantara ke 2 kebun tersebut terdapat ladang. Ini masih ditambah lagi dengan mengalirnya sungai di celah-celah kebun hingga tak syak lagi selalu menghasilkan buah yang berlimpah.

Namun sayangnya si pemilik kebun adalah orang yang congkak dan sombong. Ia merasa jumawa dengan harta dan banyaknya pengikut lebih hebat dari temannya. Ia bahkan juga mendustakan hari Kiamat.

Hingga suatu hari dengan pongahnya ia memasuki kebunnya dengan maksud  untuk memanen hasilnya. Namun apa yang terjadi???

Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: “Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku”.    ( Terjemah Al-Kahfi(18):42).   

Salah satu hikmah yang dapat kita petik dari kisah yang tertera dari ayat 32 hingga 46 surat Al-Kahfi di atas adalah bahwa kekayaan termasuk anak dan keluarga, tidaklah kekal. Ia hanyalah titipan yang suatu hari harus dikembalikan pada Empunya, Allah Azza wa Jala. Maka tak sepantasnya orang merasa sombong apalagi menyekutukan-Nya. 

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”. ( Terjemah Al-Kahfi(18):46).   

3. Fitnah Ilmu.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. ( Terjemah QS. Al-Alaq(96):1-5).

Ayat di atas adalah ayat yang pertama kali diturunkan Allah Azza wa Jala kepada Rasulullah saw. Maknanya, Islam mengajarkan bahwa mencari ilmu ( melalui perintah “Bacalah!”) adalah hal yang sangat penting dan utama. 

Nabi Musa alahi salam adalah salah satu dari ulul azmi yang lima, yang sudah pasti ilmunya tidak perlu lagi diragukan. Nabi Musa di anugerahi mukjizat yang sangat banyak, yang paling fenomenal adalah tongkat yang atas izin Allah swt mampu membelah laut hingga dapat menyelamatkan nabi Musa dan pengikutnya dari kejaran Fir’aun yang kejam.

Namun dalam surat Al-Kahfi kisah yang diangkat mengenai nabi Musa tidak sama dengan ayat-ayat dalam surat lain. Yaitu kisah pertemuan dengan nabi Khidir, nabi yang tidak populer dan bahkan kemungkinan tidak mempunyai pengikut. Pada ayat 66 surat tersebut diberitakan bahwa nabi Musa ingin berguru kepada nabi Khidir demi mendapatkan ilmu yang dimiliki nabi tersebut. 

Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” ( Terjemah Al-Kahfi(18):66).

Rupanya itu adalah cara Allah swt menegur nabi Musa as, karena suatu ketika nabi Musa pernah merasa dirinya adalah orang yang paling pandai.

Dari Ubay bin Ka’ab, Rasulullah bersabda, “Pada suatu ketika Musa berbicara di hadapan Bani Israil, kemudian ada seseorang yang bertanya, ‘Siapakah orang yang paling pandai itu?’ Musa menjawab, ‘Aku.’

Nabi Musapun segera menyadari kesalahannya. Maka dengan ikhlas ia mematuhi perintah Tuhannya untuk mencari nabi Khidir dan mempelajari ilmu darinya. Meski pada perjalanannya nabi Musa sering kehilangan kesabaran karena tidak mampu memahami ilmu tersebut hingga sering memprotes. Diantaranya sebagaimana ayat 71 berikut :

Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar”.  

Padahal sejak awal nabi Khidir sudah memperingatkannya bahwa ia tidak akan sabar berguru padanya.

Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku”. ( Terjemah Al-Kahfi(18):67).

“Musa berkata: “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun“. ( Terjemah Al-Kahfi(18):69).

Tiga kali nabi Musa mempertanyakan apa yang dilakukan nabi Khidir. Hingga akhirnya nabi Khidirpun memutuskan untuk mengakhiri pertemuan mereka dan kemudian menjelaskan apa yang dilakukannya sebagaimana yang terekam dalam ayat 78-82 surat Al-Kahfi.

Banyak hikmah yang bisa diambil dari kisah di atas. Namun yang terpenting adalah bahwa ilmu adalah cobaan yang harus dipertanggung-jawabkan. Ilmu sangat banyak dan beragam tetapi yang paling mulia di sisi-Nya adalah yang mampu menambah keimanan bukan malah menjadi sombong apalagi takabur.

( Bersambung).

Read Full Post »

Hari ini kita telah memasuki bulan Sya’ban, bulan pemanasan sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Bulan Sya’ban banyak memilki keutamaan, diantaranya yaitu memperbanyak puasa sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut :

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Sya’ban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Abu Daud dan An Nasai’).

Namun meski Rasulullah berpuasa penuh selama satu bulan pada bulan tersebut, tidak berarti bahwa puasa tersebut adalah wajib. Para ulama sepakat bahwa puasa Sya’ban kedudukannya bisa disandingkan dengan shalat rawatib. Bila shalat rawatib gandengannya adalah shalat-shalat wajib, maka puasa Sya’ban gandengannya adalah puasa Ramadhan.     

Bulan Sya’ban juga sering dinamakan sebagai bulan pembaca Alquran. Pada bulan tersebut dianjurkan untuk lebih banyak membaca Al-Quran dibanding bulan-bulan lain selain bulan Ramadhan.

Salamah bin Kahiil berkata, “Dahulu bulan Sya’ban disebut pula dengan bulan para qurra’ (pembaca Alquran).”

Yang menarik adalah hadist berikut yang menyatakan bahwa manusia banyak yang lalai pada hari itu. Mengapa bisa demikian ???

“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i).

Kaum Muslimin sangat peduli terhadap bulan Ramadhan, tapi sedikit yang peduli terhadap bulan Syaban. Mereka bersemangat menjalankan puasa dan shalat tarawih pada bulan bulan Ramadhan, paling tidak d awal-awal bulan, untuk kemudian semangat pula menyambut Hari Raya Iedul Fitri sebagai hari kemenangan. Pertanyaannya dari kemenangan apa??        

Allah Azza wa Jala memerintahkan kaum Muslimin untuk berpuasa selama satu bulan penuh di bulan Ramadhan, dengan tujuan agar menjadi hamba yang takwa. Untuk itu puasa yang dimaksud bukan yang hanya sekedar menahan makan, minum, merokok dan hubungan suami istri di siang hari, tanpa melibatkan Sang Khaliq didalamnya. Karena pada dasarnya ibadah itu tergantung pada niatnya.   

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” ( Terjmah QS. Al-Baqarah(2):183).

Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy).

Pada bulan suci tersebut itu pulalah kaum Muslimin berlomba menjalankan tidak saja puasa tapi juga ibadah-ibadah lain seperti shalat tarawih, iktikaf, membaca Al-Quranul Karim, berinfak-sodaqoh dan amal perbuatan baik lainnya. Dan puncaknya adalah di 10 hari terakhirnya, yaitu hari dimana Al-Quranul Karim diturunkan sekaligus dari Lauh Mahfudz ke langit dunia, itulah malam Lailatul Qadar.

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar”. ( Terjmah QS. Al-Qadr (97)1-5).

Maka ketika Ramadhan berakhir, kemenanganpun akan di dapat bagi orang-orang yang bersungguh-sungguh mau mencapainya. Hari kemenangan tersebut adalah Hari Raya Iedul Fitri. Hari dimana manusia kembali ke fitrahnya yang bersih, jauh dari kesyirikan. Dengan kata lain, bulan Ramadhan adalah ibarat ujian akhir tahun bagi kaum Muslimin.

Namun seperti juga dalam semua lomba dan ujian/test, diperlukan persiapan yang baik jika memang sungguh ingin meraih kemenangan. Yaitu dengan melakukan  pemanasan di bulan Sya’ban ini.

Abu Bakr Al-Balkhi berkata, “Bulan Rajab saatnya menanam. Bulan Sya’ban saatnya menyiram tanaman dan bulan Ramadan saatnya menuai hasil.”

Pada akhir bulan ini hutang puasa Ramadhan tahun lalu harus sudah tuntas dibayar. Pada bulan Sya’ban ini juga memperbanyak puasa dan sedekah, shalat di awal lengkap dengan shalat rawatibnya, mentadaburi ayat-ayat Al-Quran, meluruskan niat ibadah hanya untuk-Nya, serta perbuatan baik lainnya dibiasakan kembali, agar memasuki Ramadhan kita bisa memenangkan lomba dengan lebih mudah.

Para ulama terdahulu memiliki kebiasaan mengkhatamkan Al-Qur’an setiap hari pada bulan Ramadhan. Di antaranya adalah Imam Hanafi (80-148 H) yang dikenal dengan nama Abu Hanifah, yang pernah mengkhatamkan Al-Qur’an 61 kali dalam satu bulan Ramadhan.

Tak heran bila hari inipun banyak Majlis Ta’lim yang meliburkan diri pada Ramadhan terutama pada 10 hari terakhir. Karena para ustad/ustadzahnya mengkhususkan diri berlomba untuk mengkhatamkan Al-Quran. Para ulama sepakat mengatakan Sya’ban ( dan juga bulan-bulan lain) untuk tadabbur Al-Quran sedangkan khusus Ramadhan berlomba mengkhatamkannya sebanyak mungkin.

Pandemi yang sudah lebih dari setahun berjalan ini pasti ada hikmahnya. Ramadhan tahun ini mungkin kita tetap belum bisa shalat tarawih maupun iktikaf di masjid. Namun dengan tetap tinggal di rumah kecuali ada keperluan mendesak, kita dapat maksimal menjalankan ibadah kita dengan lebih baik, bahkan kajianpun tetap bisa kita ikuti via online. Bukankah Rasulullahpun hanya 3 hari pertama shalat tarawih berjamaah di masjid karena khawatir dianggap sebagai kewajiban. Semoga Ramadhan tahun depan kita bisa kembali menjalaninya secara normal, tarawih berjamaah di masjid sebagaimana yang dianjurkan para khulafaur-rasyidin sebagai bagian dari syiar Islam.  

Akhir kata, semoga Allah Subhana wa Ta’ala memudahkan kita dalam  menjalankan seluruh amal ibadah kita, baik selama Sya’ban maupun setelah memasuki Ramadhan nanti, aamiin allahumma aamiin.

Wallahu ‘alam bish shawwab.

Jakarta, 23 Maret 2021 / 9 Syaban 1442 H.

Vien AM.

Read Full Post »

Older Posts »