Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Periode Madinah’ Category

Rasulullah saw telah pergi meninggalkan para sahabat yang selama hampir 23 tahun menyaksikan dengan kepala sendiri, ayat demi ayat turun melalui malaikat Jibril as kepada hamba pilihan-Nya itu. Rasulullah kembali ke haribaan Sang Khalik Azza wa Jalla dengan perasaan puas. Sebuah senyum terukir di bibir Rasulullah. Bayangan Abu Bakar ra yang sedang memimpin kaum Muslimin shalat Subuh berjamaah menjadi kenangan terakhir yang ada di benak Rasulullah saw. Missi utama beliau dalam menyampaikan pesan Tuhannya, Tuhan semesta alam beserta seluruh isinya, untuk menyembah hanya kepada-Nya, melalui shalat, tampaknya telah terpenuhi.

Semoga kita, umat Islam yang hidup 14 abad setelah peristiwa fenomenal tersebut, mampu menjaga dan melaksanakan pesan penting tersebut. Yaitu shalat, shalat dan shalat ! Semoga kita tidak mengecewakan Rasulullah  saw dengan menghapus kenangan manis di detik-detik terakhir beliau.

“Salah satu batas (yang membedakan) antara Muslim dengan Kafir adalah Shalat.” (HR. Muslim).

“Amal yang pertama kali akan dihisab untuk seorang hamba nanti pada hari kiamat ialah shalat, apabila shalatnya baik maka baiklah seluruh amalnya yang lain, dan jika shalatnya itu rusak maka rusaklah segala amalan yang lain” (H.R. Thabrani).

Ibarat bangunan, shalat adalah tiangnya. Itu sebabnya Allah tidak menghitung amalan orang yang tidak mendirikan shalat. Shalat adalah rukun Islam kedua setelah syahadat. Syahadat dan shalat adalah 2 hal yang tak terpisahkan. Bila syahadat adalah pengakuan atas keberadaan Tuhan Yang Esa, Allah swt dan Muhammad adalah utusan-Nya maka shalat adalah bukti dari pengakuan tersebut.

Ajaran Tauhid, pengakuan akan Tuhan Yang Maha Esa adalah tugas utama yang diemban semua rasul, dari nabi  Adam as hingga nabi Muhammad saw. Inilah yang dilakukan Rasulullah terhadap orang-orang Quraisy. Orang-orang Quraisy adalah orang-orang yang mengakui bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam. Ini adalah peninggalan ajaran nabi ismail as yang memang lahir di kota Mekah ribuan tahun lalu. Namun dengan berlalunya waktu ajaran tersebut telah diselewengkan sedemikian rupa. Kesyirikan telah merasuk jauh ke dalam diri mereka. Penyembahan terhadap berhala-berhala  dianggap sebagai cara untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah swt. Padahal telah nyata bahwa sesembahan yang selain Allah itu jelas tidak mampu mendatangkan mudharat apalagi manfaat !

“Maka mengapa yang mereka sembah selain Allah sebagai Tuhan untuk mendekatkan diri (kepada Allah) tidak dapat menolong mereka. Bahkan tuhan-tuhan itu telah lenyap dari mereka? Itulah akibat kebohongan mereka dan apa yang dahulu mereka ada-adakan”.(QS.Al-Ahqaf(46):28).

Sedangkan shalat dan syariat ( hukum ) setiap agama yang dibawa para rasul tidak sama. Inilah yang membedakan agama Yahudi yang dibawa nabi Musa as, Nasrani yang dibawa nabi Isa dan Islam yang dibawa Rasulullah Muhammad saw.

“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari`at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari`at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus”.(QS.Al-Hajj(22):67).

“ … … Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”.(QS.Al-Maidah(5):48).

Setiap umat mempunyai nabi yang harus dijadikan contoh dan suri teladan. Itu sebabnya kita, sebagai umat Islam,harus mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah Muhammad saw. Termasuk cara shalat, puasa dan haji yang juga sebenarnya telah dilakukan oleh umat para rasul terdahulu.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.(QS.Ahzab(33):21).

Selanjutnya agar bangunan memberikan manfaat dan indah dipandang, seorang Muslim harus menjalankan amal kebajikan. Orang yang paling takwa adalah orang yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Jadi jelas, bahwa shalat saja tidaklah cukup. Shalat hanyalah tiang bangunan yang pasti amat diperlukan namun belum bisa memberikan manfaatnya. Pada detik-detik terakhir kehidupan Rasulullah, beliau tersenyum bahagia karena paling tidak dasar/tiang tersebut telah mampu berdiri. Sepeninggal Rasulullah, adalah tugas setiap kaum Muslimin untuk mengisi bangunan tersebut.

Namun dengan berlalunya waktu bahkan sebenarnya menjelang hari-hari akhir Rasulullahpun, keingkaran sudah mulai menampakkan diri. Sejumlah orang mengaku-ngaku sebagai nabi. Orang-orang Munafik yang memang telah ada sejak periode Madinah, begitu Rasulullah wafat, kemunafikannya makin menjadi-jadi. Orang-orang yang semenjak diwajibkannya perang sudah enggan melakukannya juga makin memperlihatkan karakter aslinya.

Kekhalifahan khalifah yang 4,yaitu Abu Bakar ra, Umar bin Khattab ra, Ustman bin Affan ra dan Ali bin Abu Thalib yang notabene adalah sahabat-sahabat terbaik Rasulullah juga tidak luput dari kekisruhan dan berbagai fitnah. Beberapa perbedaan pendapat yang sebenarnya tidak terlalu mendasar, dipicu orang-orang yang tidak bertanggung-jawab, seperti si tokoh Munafikun Madinah, Muhammad bin Ubay bin Salul dkk maupun orang-orang Khawarij yang begitu memusuhi Ali Bin Thalib, menjadikan pecahnya persatuan dan persaudaraan dalam tubuh Islam yang sebenarnya masih relative rentan. Para sahabat yang merupakan saksi turunnya ayat-ayat Al-Quranpun tidak luput dari fitnah.

Demikian juga pembukuan Al-Quran yang dilakukan pada masa Ustman bin Affan. Padahal dalam firman-Nya Allah menjamin bahwa Al-Quran itu senantiasa dalam penjagaan dan pengawasan-Nya. Tak ada satupun yang dapat merubahnya , hingga kapanpun. Ini terbukti secara akal sehat bahwa sejak awal turunnya selalu ada kaum Muslimin yang hafal seluruh ayat-ayat suci, bahkan secara sempurna hingga bacaan panjang pendeknya! Sesuatu yang tidak pernah terjadi pada satupun buku di dunia ini.

“Katakanlah: “Al Qur’an itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi. ….” (QS.Al-Furqon(25):6)

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”.(QS.Al-Baqarah(2):23).

Maka tidaklah mengherankan bila dari hari ke hari. fenomena semacam itu tetap ada dan bahkan makin memarah.  Jika ayat-ayat Al-Quran saja bisa menjadi bahan perdebatan apalagi hadist yang memang jumlahnya ribuan itu. Meski sebenarnya tidak semua hadits itu bisa dijadikan pegangan. Karena hadits ada berbagai tingkatan. Dari mutawatir, shahih, hasan, dhaif hingga maudhu’ atau palsu. Itupun masih dibagi dengan berbagai kriteria dan persyaratan yang sangat rumit.

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni`mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”.(QS.Al-Baqarah(2):151).

Al-Quran dan Al-Hikmah ( As-Sunnah) adalah dua hal yang tidak mungkin dapat dipisahkan. Ayat-ayat suci Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah saw melalui malaikat Jibril as. Para sahabat adalah saksinya. Meski mereka memang tidak mendengar sendiri namun mereka menyaksikan peristiwa tersebut. Rasulullahlah yang kemudian memberitahukan dan menyampaikan wahyu tersebut kepada mereka. Selanjutnya beliau memerintahkan para sahabat agar menghafal dan mencatatnya pada media apapun yang dapat ditulisi, seperti batu, kayu, tulang dan kulit binatang dsbnya.

Diluar itu, para sahabat juga terbiasa menghafal apa yang dikatakan, dilihat dan dirasakan Rasulullah saw. Termasuk juga mengamati apa dan bagaimana reaksi Rasulullah dan kaum Muslimin ketika ayat-ayat turun. Juga bagaimana situasi dan keadaan saat itu. Rasulullah bahkan juga menyuruh para sahabat menghafalnya. Tetapi beliau mewanti-wanti agar tidak mencatatnya karena khawatir akan rancu dan tercampur dengan ayat-ayat suci Al-Quran.

Bersabda Rasulullah SAW: Janganlah kalian tuliskan ucapan-ucapanku! Siapa yang (telanjur) menuliskan ucapanku selain al Qur’an hendaklah dihapuskan. Dan kamu boleh meriwayatkan (secara lisan) perkataan-perkataan ini. Siapa yang dengan sengaja berdusta terhadapku, maka tempatnya adalah di neraka. (HR Muslim dari Abu Al Khudri).

Ucapan, tindakan serta reaksi diam dan tidaknya Rasulullah itu baru dibukukan kurang lebih 50 tahun setelah beliau wafat, yaitu pada zaman khalifah Umar bin Abdul Azis (63 – 101 H) dan khalifah-khalifah penerusnya.  Ini dilakukan demi mencegah timbulnya kesalahan, kekhilafan ataupun kesalah-pahaman yang sangat mungkin terjadi akibat berjalannya waktu. Juga sebagai cara untuk menjaga musuh-musuh Islam dalam memanfaatkan kelemahan As-Sunnah bila tidak segera dituliskan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan Al-Quran telah ditulis dan dibukukan secara sempurna. Mengingat inilah satu-satunya alasan mengapa Rasulullah semasa hidup beliau melarang para sahabat menuliskan ucapan-ucapan beliau. Apa yang kemudian dibukukan tersebut dinamakan Al-Hadits.

Ilmu hadits adalah ilmu yang sangat rumit dan luas. Tak ada satupun ilmu di dunia ini yang mempunyai ilmu seperti ini. Ilmu ini sangat menggantungkan pada akhlak dan pribadi seseorang, yaitu si perawi (orang yang menceritakan peristiwa yang terjadi). Salah satu contohnya, seorang perawi yang diketahui pernah berbohong, meski ia sholeh sekalipun, riwayatnya bisa tidak diterima!

Bukhari ( 194-256 H) dan Muslim ( 204-262 H) adalah 2 orang periwayat yang diakui paling baik meriwayatkan hadits. Selama puluhan tahun keduanya berkelana dari kota ke kota di berbagai negri untuk mencari jejak para sahabat. Mereka ingin mendapatkan berita apa yang para sahabat dengar dan ketahui mengenai apa yang dikatakan, dilihat dan dirasakan Rasulullah. Apa dan bagaimana reaksi Rasulullah ketika turun sebuah ayat. Apa dan bagaimana pula reaksi para sahabat dan bagaimana Rasulullah menanggapi prilaku para sahabat tersebut. Kemudian keduanya bekerja extra keras untuk menyaring dan mengelompokkan berita-berita tersebut.

Selain Bukhari dan Muslim, masih ada beberapa periwayat lain yang riwayatnya juga sering dijadikan pegangan para ulama. Diantaranya adalah Malik bin Anas (93-179 H), Abu Dawud (202-275 H), At-Turmudzi (209-279 H), An-Nasa’i (215-303 H), Ibnu Majah (209-273) dll. Sementara kaum Syiah hanya mengakui hadits yang diriwayatkan keluarga Rasulullah seperti putri Rasulullah, Fatimah az-Zahra ataupun sahabat yang dianggap tidak pernah memusuhi Ali bin Abi Thalib. Aisyah, Umirul Mukminin, adalah salah satu orang yang tidak diterima haditsnya oleh kaum Syiah karena memusuhi Ali, dalam perang Jamal. Begitupun sahabat-sahabat besar seperti Umar bin Khattab dan Ustman bin Affan. Namun apapun alasannya, sungguh tidak sepatutnya seorang Muslim itu, secara keseluruhan meninggalkan hadits, melecehkan apalagi tidak mengakuinya.

Orang-orang Anshar dan Muhajirin adalah orang-orang yang dikenal sangat mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Mereka senantiasa bersegera dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

“Bertasbih kepada Allah di rumah-rumah yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas”.(QS.An-Nuur(24):36-38).

‘Abdillah bin Umar menerangkan, bahwa ketiga ayat diatas diturunkan berkenaan dengan kebiasaan kaum Muslimin yang segera menutup toko mereka jika mendengar azan meskipun mereka sedang sibuk berniaga di pasar. Mereka pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah.( HR. Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir).

Begitu pula ketika turun ayat yang melarang khamr (minuman keras). Kaum Muslimin segera menumpahkan minuman tersebut ke saluran-saluran got yang ada di kota Madinah. Anas meriwayat­kan bahwa sejumlah orang tengah minum khamr di rumah Abu Thalhah; begitu mendengar diharamkannya khamr, mereka langsung menumpahkan dan memecah­kan semua bejana khamr.  Jumhur ulama bersepakat bahwa khamr, banyak maupun sedikit, adalah haram. [Suryan A. Jamrah]

Sementara kaum perempuan Anshar langsung menyobek kain-kain gordein mereka untuk dijadikan kerudung begitu turun ayat 31 surat An-Nur.

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, … … Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS.An-Nur(24):31).

Itulah yang dilakukan para sahabat yang hidup dan menjadi saksi turunnya ayat-ayat Al-Quran, 14 abad lalu. Kini, Rasulullah Muhammad saw telah tiada. Ayat-ayat Al-Quran telah sempurna diturunkan bahkan telah dibukukan dengan baik. Demikian pula As-sunnah yang telah selesai diabadikan menjadi Al-Hadits. Maka umat Islam sekarang ini sebenarnya tinggal menjalankan keduanya saja. Bahkan bila ternyata kini terjadi perbedaan pendapat, para alim ulama yang berkompetenpun telah diberi keleluasaan memberikan jalan keluar melalui Ijtihad.

 “ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”.(QS.Al-Bayyinah(98):5).

Semoga kita tidak menyia-nyiakan petunjuk tersebut dan semoga Allah swt ridho memberikan hidayah-Nya hingga kita mampu dan mau menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Shalawat dan salam sejahtera bagi Rasulullah Muhammad saw yang telah berjuang sepanjang hidup beliau demi menyampaikan perintah dan larangan-Nya, amiiin Ya Robbal ‘Alamin.

Wallahu’alam bish shawwab.

Paris, 23 May 2011.

Vien AM.

Sumber :

1.  Sirah Nabawiyah oleh Dr. M. Sa’id Ramadhan Al-Buthy.

2. Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW oleh HMH Al Hamid Alhusaini

3. Sejarah Hidup Muhammad oleh Muhammad Husain Haekal

Read Full Post »

“ Fir-Ar-Rafiqil A’la Fir-Ar-Rafiqil A’la … Fir-Ar-Rafiqil A’la …”.

Itulah kata terakhir yang terus menerus diucapkan Rasulullah Muhammad saw hingga ajal menjemput kekasih Allah ini. Kata ini memiliki beberapa pengertian namun sebagian besar sepakat mengartikannya dengan «  Handai Tertinggi’”. Demikianlah Rasulullah menemui Sang Khalik, Allah swt, yang telah mengutus hamba pilihan-Nya menyampaikan pesan-Nya kepada kita, umat manusia.

Betapa menyesalnya perasaan Abu Bakar karena tidak menunggui dan menemani detik-detik akhir sahabat sekaligus nabi Allah yang amat dicintainya itu. Ia sedang berada di rumah istrinya di luar kota ketika mendengar kabar wafatnya Rasulullah. Ia dan juga para sahabat sama sekali tidak pernah menduga bahwa kemunculan seraut wajah yang dipenuhi senyum kebahagiaan di saat Abu Bakar sedang memimpin shalat subuh dari balik tirai itu adalah merupakan tanda pamit Rasulullah kepada para sahabat. Senyum itu cerminan perasaan puas Sang Nabi bahwa umatnya telah dapat melaksanakan shalat dengan baik. Yang dengan demikian tidak ada alasan bagi beliau untuk khawatir meninggalkan umatnya.

Abu Bakar segera memacu kudanya menuju rumah Aisyah ra. Tanpa berbicara sedikitpun ia langsung masuk kamar dimana jenazah Rasulullah telah terbujur kaku. Perlahan disingkapnya kain yang menutup wajah Rasul, lalu didekap dan diciumnya sahabatnya itu. Dengan menangis, ia berkata:“ Ayah dan ibuku jadi tebusanmu. Allah tidak akan mengumpulkan pada dirimu dua kematian. Adapun kematian yang telah ditetapkan atasmu maka hal itu telah engkau jalani”.

Kemudian Abu Bakar keluar. Disana dilihatnya Umar bin Khattab tengah berbicara kepada orang-orang, meyakinkan bahwa Rasulullah saw tidak meninggal melainkan sedang pergi menemui Rabb-Nya sebagaimana Musa bin Imran dulu pernah dipanggil-Nya.

“Ada orang dari kaum munafik yang mengira bahwa Rasulullah s.a.w. telah wafat. Tetapi, demi Allah sebenarnya dia tidak meninggal, melainkan ia pergi kepada Tuhan, seperti Musa bin ‘Imran. Ia telah menghilang dari tengah-tengah masyarakatnya selama empat puluh hari, kemudian kembali lagi ke tengah mereka setelah dikatakan dia sudah mati. Sungguh, Rasulullah pasti akan kembali seperti Musa juga. Orang yang menduga bahwa dia telah meninggal, tangan dan kakinya harus dipotong!”

“ Tunggu sebentar, wahai Umar. Diamlah”, tegur Abu Bakar. Namun sahabatnya ini tidak menggubrisnya dan terus berbicara emosional. Melihat Umar tidak mau mendengarkannya, Abu Bakar kemudian pergi menemui orang-orang yang tampak kebingungan. Orang-orang ini lalu meninggalkan Umar dan ganti mengerumuni Abu Bakar.

“ Amma ba’du. Wahai manusia ! Barangsiapa diantara kalian menyembah Muhammad maka ketahuilah bahwa Muhammad telah meninggal dan barangsiapa menyembah Allah maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak mati. Allah berfirman :

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.(QS.Ali Imran (3):144).

Mendengar itu, serentak semua orang yang hadir ikut membaca ayat diatas. Demikian pula Umar bin Khattab. Suatu saat Umar bin Khattab berujar : “ Demi Allah, setelah kudengar Abu Bakar membaca ayat tersebut, aku merasa tidak berdaya. Kedua kakiku lemas sehingga aku jatuh terduduk ke tanah”. ( HR. Ibnu Ishaq, Bukhari).

Demikianlah Allah swt mengakhirkan hidup dan perjuangan nabi saw yang selama hampir 23 tahun mengajak seluruh masyarakatnya agar menyembah hanya kepada Tuhan Yang Satu yaitu , Allah swt. Rasulullah saw wafat pada tahun 11 H, tepat pada hari dan tanggal beliau dilahirkan yaitu pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal, dalam usia 63 tahun.

Bukhari meriwayatkan dari Amr ibnu Harits, ia berkata “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan satupun dinar atau budak lelaki ataupun budak perempuan selain dari bhagalnya yang putih yang biasa ditungganginya dan senjata serta tanah yang sudah diikrarkan menjadi sedekah bagi ibnus sabil”.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, Aku adalah pemimpin anak Adam di hari Kiamat dan yang pertama kali keluar dari bumi. Aku adalah pemberi syafaat pertama dan yang pertama diterima syafaatnya. (HR.Muslim).

Seperti dikisahkan dalam kitab Daqaiq Al-Akhbar :

Ketika alam ini dalam keadaan sunyi karena semua makhluk Allah telah mati, maka Allah menghidupkan malaikat Jibril, Mikail, Israfil dan Izrail. Mereka lalu diperintahkan Allah untuk mencari kuburan Muhammad saw. Setelah mereka menemukan makam beliau, maka malaikat Israil memanggilnya, ‘Wahai Muhammad, bangunlah untuk memutuskan hukum dan hisab serta untuk menghadap Zat Yang Maha Penyayang.’

Akhirnya pecahlah kubur tersebut, ketika itu, Rasulullah Saw duduk dalam kuburnya sedang membersihkan debu dari kepala dan jenggotnya. Lalu malaikat Jibril memberikan kepada beliau dua pakaian dan kendaraaan Buraq. Selanjutnya Rasulullah Saw bertanya kepada Jibril, ‘Wahai Jibril, hari apa ini?’ Jibril menjawab, ‘Ini adalah hari kiamat, hari kerugian, hari penyesalan, hari Buraq, hari berpisah dan hari bertemu.’

Kemudian Rasulullah Saw berkata, “ Wahai Jibril, gembirakanlah aku”. Jibril berkata, ‘Surga benar-benar telah dihias karena kedatanganmu, neraka telah ditutup”. Rasulullah berkata kepada Jibril, ‘Aku tidak bertanya tentang hal tersebut tetapi aku meminta penjelasan kepadamu tentang umatku yang banyak berdosa, barangkali kamu meninggalkan mereka di Shirat (Jembatan penyebrangan yang ada diatas neraka)”. Israfil menjawab, ”Wahai Muhammad, demi kemuliaan Tuhanku, aku belum meniup Sangkakala untuk membangkitkan makhluk Allah sebelum kamu bangkit lebih dahulu”. Selanjutnya beliau berkata, ‘Sekarang hatiku bahagia dan menjadi segar mataku.’ Kemudian Rasulullah saw mengambil mahkota dan pakaian, setelah memakai mahkota dan pakaian beliau lalu naik Buraq.

Sungguh, betapa beruntungnya kita sebagai umat Islam. Karena nabinya sangat memikirkan umatnya. Menjelang wafat, meski dalam keadaan sakit keras, Rasulullah menyempatkan diri menengok umatnya. Begitupun ketika dibangunkan dari kubur. Yang pertama ditanyakan adalah nasib umatnya.  Maka dapat dibayangkan bagaimana kecewanya perasaan Rasulullah bila mendapati umat yang amat dicintainya itu ternyata tidak melaksanakan ajakan beliau.

Pemakaman Rasulullah dilakukan pada Rabu, 14 Rabiul’awwal. Ini berarti lewat 2 hari setelah wafatnya beliau. Sejumlah pihak, terutama musuh-musuh Islam memang mempermasalahkan hal yang diluar kelaziman ini. Namun ada beberapa alasan mengapa pemakaman tidak dilakukan sesegera mungkin, sebagaimana mustinya.

Sejarah menceritakan bahwa begitu kabar wafatnya Rasulullah tersiar terjadi kelompok-kelompok kerumunan massa yang masing-masing ingin menjadikan anggota kelompoknyalah yang menggantikan kedudukan Rasulullah. Nyaris terjadi perpecahan bila saja Abu Bakar ra tidak segera turun tangan. Kaum Anshar dan kaum Muhajirin akhirnya sepakat membaiat Abu Bakar sebagai pemimpin kaum Muslimin. Sebagai catatan, Rasulullah memang tidak pernah menunjuk seorangpun secara resmi, pasti dan jelas siapa yang berhak memimpin umat Islam sepeninggal beliau. Namun sejumlah tanda menunjukkan bahwa Rasulullah sebenarnya menghendaki Abu Bakar sebagai pemimpin kaum Muslimin. Beliau mengetahui bahwa inilah yang  bakal diterima oleh semua kalangan dan lapisan Muslimin.

Setelah hal ini dapat diatasi, muncul masalah baru, yaitu dimana Rasulullah harus dimakamkan. Ketika itu berkembang beberapa pendapat yaitu Mekah, Madinah atau  Baitul-Maqdis di Yerusalem, Palestina. Yang terakhir ini muncul dengan alasan karena para nabi sebelumnya dimakamkan di tempat tersebut.

Akhirnya Abu Bakar memberikan keputusannya dengan mengatakan: “Aku dengar Rasulullah saw berkata, setiap ada nabi meninggal, ia dimakamkan di tempat ia meninggal.”

“ Setiap Nabi yang diwafatkan oleh Allah pasti dikebumikan di lokasi yang beliau sukai dikubur padanya” .Maka kemudian para sahabat mengubur Rasulullah di tempat pembaringannya”. (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:5649, dan Tirmidzi II : 242 no:1023).

Setelah tercapai kata sepakat,selanjutnya Rasulullah dimandikan. Ali bin Abi Thalib sebagai wakil keluarga yang bertindak memandikan Nabi saw. Ia dibantu oleh Abbas bin Abdul-Muttalib dan kedua puteranya, Fadzl dan Qutham serta Usama bin Zaid dan Syuqran, pembantu Nabi. Ketika itulah  mereka dapati betapa harumnya Nabi saw, sehingga Ali berkata: “Demi ibu bapaku! Alangkah harumnya engkau di waktu hidup dan di waktu mati”.

Selesai dimandikan dengan mengenakan baju yang dipakainya itu, Nabi saw dikafani dengan tiga lapis pakaian: dua Shuhari dan satu pakaian jenis burd hibara dengan sekali dilipatkan. Selesai penyelenggaraan dengan cara demikian, jenazah diletakkan tetap pada tempatnya. Pintu-pintu kemudian dibuka untuk memberikan kesempatan kepada kaum Muslimin, yang memasuki tempat itu dari jurusan mesjid, untuk mengelilingi serta melepaskan pandangan perpisahan dan memberikan doa shalawat kepada Nabi saw. Kemudian mereka keluar lagi dengan membawa perasaan duka dan kepahitan yang teramat sangat mendalam. Sungguh berat terasa perpisahan ini.

Selanjutnya, Abu Bakr dan Umar masuk untuk melakukan shalat jenazah bersama para sahabat, tanpa ada yang bertindak selaku imam dalam shalat tersebut. Setelah itu, kaum Muslimin kembali duduk mengelilingi jenazah Rasulullah saw. Dalam keadaan sunyi dan hening itu,  Abu Bakr kemudian berkata:

“Salam kepadamu ya Rasulullah, beserta rahmat dan berkah Allah swt. Kami bersaksi, bahwa Nabi dan Rasulullah telah menyampaikan risalah-Mu, telah berjuang di jalan Allah sampai Kau berikan pertolongan untuk kemenangan agama. Ia telah menunaikan janjinya dan menyuruh orang menyembah hanya kepada Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya.”

Dengan penuh syahdu dan khusyu’, maka kaum Musliminpun menyambut setiap ucapan yang keluar dari Abu Bakar itu dengan “  Amin … Amin … Amin  … !

Selanjutnya giliran kaum perempuan masuk untuk menshalati jenazah Rasulullah. Dengan khidmat mereka shalat dan mendoakan nabi yang begitu mereka cintai itu. Sungguh pilu perasaan mereka ditinggalkan orang yang selama ini menjadi panutan dan imam yang penuh kasih sayang, perhatian dan lembut. Tak ketinggalan anak-anakpun menshalati Rasulullah.

Sekarang tibalah saatnya untuk memakamkan jenazah Rasulullah saw, mahluk Allah yang paling mulia di muka bumi ini. Sungguh bukan hal yang mudah bagi keluarga maupun para sahabat dan kaum Muslimin untuk melakukan hal ini. Hingga  Fathimah ra, putri kesayangan satu-satunya nabi saw ini berkata kepada Anas bin Malik : Apakah jiwamu rela menaburkan tanah diatas jasad Rasulullah shallallahu’alayhiwasallam? [HR Bukhari].

Orang-orang diam membisu, tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Seolah jiwa mereka ikut pergi melayang bersama ruh orang yang begitu cintai dan hormati itu. Tidak relakah mereka sang nabi pergi menemui Tuhannya ? Tuhan yang telah mengutus nabinya agar memberi peringatan sekaligus berita gembira kepada seluruh hamba di muka bumi ini ? Dan setelah tugas itu usai memberi nabi saw pilihan ;  untuk menemui Sang Pemberi Mandat atau tetap di dunia yang fana ini, bersama orang-orang yang dicintai dan mencintainya  dengan segenap jiwa dan raganya? Padahal sang nabi itu sendiri telah menjatuhkan  pilihan pada pilihan pertama, yaitu kembali kepada Sang Khalik yang begitu dirindukannya ?

Tampaknya, kalau saja Abu Bakar tidak mengingatkan ayat bahwa Muhammad hanyalah manusia biasa yang pada saatnya harus kembali kepada-Nya, kaum Muslimin ingin sekali lebih mempercayai perkataan Umar bin Khattab. Bahwa sang rasul hanya pergi untuk beberapa waktu dalam rangka menemui Tuhannya yang kemudian akan kembali lagi menemui para sahabat, seperti halnya nabi Musa as.

Di antara orang yang membisu diam adalah Utsman bin Affan yang terus mondar-mandir tanpa mampu bertutur kata. Sementara Ali bin Abi Thalib hanya bisa terduduk lesu, tidak mampu bergerak. Adapun Abdullah bin Unais, ia sakit parah hingga meninggal karena duka yang begitu mendalam.

Namun akhirnya Allah swt turun tangan. Dibukanya hati kaum Muslimin agar menerima kenyataan ini. Setelah melalui sedikit perselisihan cara menggali kubur bagaimana yang akan dipilih, akhirnya diputuskanlah cara Madinah. Yaitu menggali tanah kubur dengan dasarnya yang dilengkungkan. Orang Makkah menggalinya dengan dasar yang diratakan.

Dengan cara itulah maka dikebumikan jasad Rasulullah saw yang suci tersebut. Tepat di tempat Rasulullah menghembuskan nafas terakhir beliau dan dimandikan. Di atasnya lalu dipasang bata merah kemudian ditimbun dengan tanah. Upacara pemakaman itu terjadi pada malam Rabu 14 Rabiulawal, yakni dua hari setelah Rasul berpulang ke rahmatullah.

 Aisyah berkata: “Kami mengetahui pemakaman Rasulullah saw setelah mendengar suara-suara sekop pada tengah malam itu“.  Fatimah juga berkata seperti itu.

Wallahu’alam bish shawwab.

Paris, 16 May 2011.

Vien AM.

Read Full Post »

Makin hari sakit Rasulullah saw makin bertambah berat. Namun demikian beliau tetap memimpin  shalat berjamaah di masjid bersama para sahabat, meski usai shalat tidak seperti dahulu ketika sehat, yaitu duduk dikelilingi para sahabat sambil memberikan tausiyah. Rasulullah kini langsung pulang, masuk kamar dan beristirahat.

Suatu hari, ketika Rasulullah saw sudah tidak kuat lagi keluar untuk mengimami shalat maka beliau bersabda: “Perintahkanlah Abu Bakar untuk mengimami shalat.“ Aisyah ra menyahut: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Bakar seorang yang lembut. Ia suka menangis kalau sedang membaca Qur’an. Jika dia menggantikanmu maka suaranya tidak dapat didengar oleh orang“. Nabi saw bersabda: “Kalian memang seperti perempuan-perempuan Yusuf. Perintahkan Abu Bakar supaya mengimami shalat jama‘ah“. Maka Abu Bakarpun keluar dan bertindak sebagai Imam shalat jama‘ah, menggantikan Rasulullah yang makin hari makin terlihat lemah.

Hingga suatu ketika Rasulullah mendengar suara lantang Umar bin Khattab sedang mengucapkan takbir di masjid. “Mana Abu Bakar?” tanya Rasulullah. “Allah dan kaum Muslimin tidak menghendaki yang demikian.”, sambung Rasul lagi.

Rupanya ketika Bilal memanggil Abu Bakar untuk mengimami shalat, ia ketika itu sedang tidak ada di tempat. Maka sebagai gantinya Bilalpun berinisiatif memanggil  Umar, yang dalam pikirannya tentu Nabi saw akan menyetujuinya karena Umar adalah juga salah satu sahabat kepercayaan Nabi.

Waktu terus berlalu. Sakit Rasulullah makin hari makin bertambah. Beliau mengalami demam sangat tinggi. Setiap hari para sahabat bergantian datang menjenguk. Demikian pula Fatimah, satu-satunya putri Rasulullah. Setiap kali datang menjenguk, diciumnya putri kesayangan tersebut. Namun suatu hari ketika sakit Rasul makin berat, Fatimahlah yang mencium ayahnya tercinta.

“Selamat datang, puteriku“, sambut Rasul. Dengan wajah menahan duka Fatimahpun duduk disamping ayahnya. Tak lama kemudian Rasul membisikkan sesuatu ke telinga Fatimah. Seketika Fatimah tertawa. Wajahnya langsung berubah cerah. Tetapi beberapa saat kemudian setelah  Rasulullah kembali membisikan sesuatu, Fatimahpun menangis sedih.

Aisyah kemudian bertanya, apa yang dikatakan ayahnya itu. Fatimah hanya menjawab pendek :
” Aku tidak akan membuka rahasia ayahku “.

Di kemudian hari, setelah Rasulullah wafat, Fatimah mengatakan, bahwa ayahnya membisikkan kata  bahwa dirinya adalah orang pertama dari pihak keluarga yang akan menyusul Rasulullah wafat. Itu sebabnya ia tertawa. Selanjutnya ketika Rasulullah berbisik bahwa beliau akan wafat disebabkan  sakitnya itu, iapun tak tahan untuk tidak menangis.

Selama beberapa hari kemudian, Rasulullah menggigil hebat. Tubuhnya mengalami demam sangat tinggi. Oleh karenanya sebuah bejana berisi air dinginpun diletakkan disamping Nabi saw. Sekali-sekali beliau memasukkan tangan beliau ke dalam air tersebut lalu mengusapkannya ke muka. Saking tingginya suhu tubuh Rasulullah, kadang beliau sampai tak sadarkan diri. Tak lama setelah itu beliaupun sadar kembali dengan keadaan yang begitu payah.

Karena perasaan sedih yang sungguh menyayat hati, suatu hari Fatimah berkata mengenai penderitaan ayahnya itu: “Alangkah beratnya penderitaan ayah!”

“Tidak. Takkan ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini,” jawab nabi saw, berusaha menenangkan putri kesayangan satu-satunya itu .

Suatu hari, Rasulullah meminta Aisyah agar memanggil ayahnya datang. Aisyah ra berkata: “Pada waktu sakit, Rasulullah saw pernah berkata kepadaku: ‘Panggillah kemari Abu Bakar, bapakmu dan saudaramu, sehingga aku menulis sesuatu wasiat. Sebab aku khawatir ada orang yang berambisi mengatakan: “Aku lebih berhak“, padahal Allah dan orang-orang Mukmin tidak rela kecuali Abu Bakar”.

Sementara itu, Ibnu Abbas meriwayatkan : “Ketika Rasulullah saw sedang sakit keras, beliau bersabda kepada orang-orang yang ada di dalam rumah: ‘Kemarilah aku tuliskan sesuatu wasiat buat kalian di mana kalian tidak akan sesat sesudahnya’. Kemudian sebagian mereka berkata, ‘Sesungguhnya Rasululah saw dalam keadaan sakit keras sedangkan di sisi kalian ada Al-Quran, cukuplah bagi kita Kitab Allah’. Maka timbullah perselisihan diantara orang-orang yang ada di dalam rumah. Diantara mereka ada yang berkata: ‘Mendekatlah, beliau hendak menulis suatu wasiat buat kalian di mana kalian tidak akan sesat sesudahnya’. Diantara mereka ada juga yang mengatakan selain itu. Mendengar perselisihan itu bertambah sengit dan gaduh akhirnya Rasulullah saw bersabda: “Pergilah kamu sekalian! Tidak patut kamu berselisih di hadapan Nabi.”

Berita sakitnya Nabi saw yang dari hari ke hari makin bertambah itu telah diketahui oleh seluruh penduduk Madinah. Usama dan pasukannya yang selama itu menunggu di Jurf akhirnya juga mendengar berita tersebut. Maka Usamapun memutuskan untuk pulang dan segera menjenguk Rasulullah. Betapa sedihnya Usama ketika dilihatnya, Rasulullah tidak lagi mampu mengeluarkan suara. Sebaliknya begitu melihat orang yang dicintai datang menjenguk, Rasulullah mengangkat tangan beliau dan meletakannya di bahu Usama, tanda bahwa beliau sedang mendoakannya.

Beberapa waktu kemudian,menyadari bahwa waktunya telah makin mendekat, Rasulullah saw bertanya kepada Aisyah : “Apa yang kamu lakukan dengan (dinar) itu? “.

Ketika sakit Rasulullah makin bertambah parah, beliau, yang hanya memiliki harta tujuh dinar di tangan itu, memang telah meminta Aisyah agar menyedekahkan uang tersebut. Namun karena kesibukannya mengurus dan merawat sang suami tercinta, tampaknya Aisyah lupa melaksanakan permintaan Rasulullah. Dengan menyesal Aisyah  menunjukkan uang yang masih ada di tangannya.

“Bagaimanakah jawab Muhammad kepada Tuhannya, sekiranya ia menghadap Allah, sedang ini masih di tangannya”, begitu komentar Rasul sambil memegang uang yang baru saja diserahkan kembali oleh Aisyah itu. Kemudian segera beliau membagikan uang tersebut kepada fakir-miskin di kalangan Muslimin.

Malamnya, panas tubuh Rasulullah agak berkurang. Karena merasa agak sehat maka subuh esok paginya beliau turun dari pembaringannya.  Dengan berikat kepala dan bertopang kepada Ali bin Abi Talib dan Fadzl bin’l-‘Abbas, beliau keluar menuju masjid untuk shalat subuh berjamaah. Disana beliau mendapati Abu Bakar sedang mengimami shalat. Melihat kedatangan Rasulullah saw, Abu Bakar segera mundur. Namun Rasulullah memberi isyarat agar ia terus melanjutkan memimpin shalat. Selanjutnya Rasulullah duduk di sebelah kanan Abu Bakar lalu melakukan shalat, bermakmum kepada Abu Bakar, bersama para sahabat yang tetap berdiri melanjutkan shalat.

Betapa gembiranya para sahabat melihat Rasulullah kembali dapat shalat bersama mereka. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa shalat tersebut merupakan shalat terakhir mereka bersama orang yang paling mereka cintai. Mereka bahkan menyangka Rasulullah telah sehat dan pulih kembali. Padahal sebenarnya sakit Rasulullah semakin bertambah serius.

Ibnu Mas‘ud meriwayatkan: “Aku pernah masuk membesuk Rasulullah saw ketika beliau sedang sakit keras, lalu aku pegang beliau dengan tanganku seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau mengalami demam panas sekali’. Jawab Nabi saw: ‘Ya, demam yang kurasakan sama dengan yang dirasakan oleh dua orang dari kalian (dua kali lipat).’ Aku katakan: ‘Apakah hal ini karena engkau mendapatkan dua pahala?’ Nabi saw menjawab: ‘Ya, tidaklah seorang Muslim menderita sakitnya itu kesalahan-kesalahannya sebagaimana daun berguguran dari pohonnya’“. ( HR. Muttafaq ‘Alaih).

Dalam keadaan sakit keras seperti itulah Rasulullah saw kemudian menutupi wajahnya dengan kain. Apabila dirasakan sakit sekali maka beliau membuka wajahnya lalu bersabda: “Semoga laknat Allah ditimpahkan ke atas orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid“. ( HR. Muttafaq ‘Alaih).

Ini adalah isyarat dari Rasulullah saw agar kaum Muslimin tidak melakukan tindakan seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani, yaitu menjadikan makam atau kuburan sebagai tempat ibadah atau masjid.

Beberapa hari kemudian, yaitu pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun ke 11 H atau 8 Juni 632 M, ketika para sahabat sedang menunaikan shalat Subuh ber-jamaah, tirai kamar Aisyah yang letaknya memang menempel dengan masjid dimana para sahabat biasa shalat, tiba-tiba tersingkap. Dari balik tirai tersebut muncul seraut wajah Rasulullah dengan senyuman tersungging di bibir.

Betapa gembiranya para sahabat menyaksikan pemandangan tersebut. Mereka bahkan nyaris menangguhkan shalat saking antusiasnya ingin menyambut sang pemimpin yang begitu mereka cintai itu. Mengira bahwa Rasulullah akan shalat, Abu Bakarpun menggeser tubuhnya, untuk memberi tempat kepada Rasulullah. Namun Rasulullah segera memberi tanda agar Abu Bakar meneruskan shalatnya. Kemudian Rasulullah masuk kembali ke kamar.

Selanjutnya karena menyangka Rasulullah telah pulih kembali, dengan hati lega para sahabatpun  bergegas meninggalkan masjid untuk mengurus segala keperluan yang selama ini agak terbengkalai. Demikian pula Abu Bakar. Ia meminta izin untuk pulang ke rumahnya di Sunuh.

Sebaliknya, sebenarnya Rasulullah telah mengetahui bahwa saat-saat terakhir beliau telah tiba.  Para sahabat tidak menyadari bahwa senyum Rasulullah yang mereka lihat itu adalah isyarat pamit Rasulullah yang tampak puas menyaksikan umatnya telah mampu mendirikan shalat Subuh berjamaah dengan tertib. Selanjutnya Rasulullah merebahkan diri ke atas pangkuan Aisyah, siap menghadapi sakratul maut. Aisyah berkata : “ Saat itu, di hadapan beliau terdapat bejana berisi air. Kemudian Rasulullah memasukkan tangan beliau ke dalam bejana dan mengusapkannya ke wajah beliau seraya berkata : “ La ilaha illallah. Sesungguhnya kematian itu mempunyai sekarat”. ( HR. Bukhari).

Aisyah menceritakan,“Ketika aku sedang memangku Rasulullah, tiba-tiba Abdurahman masuk dengan membawa siwak ditangan. Aku melihat Rasulullah terus menerus menatap siwak tersebut hingga aku tahu kalau beliau menginginkannya. Aku tanya “ Kuambilkan untukmu?” Setelah memberi isyarat ‘ya’, lalu kuberikan siwak itu. Karena siwak terlalu keras, kutawarkan untuk melunakkannya dan beliau member isyarat setuju. Beliau kemudian memasukkan ke dua tangannya ke dalam bejana berisi air yang ada di hadapannya lalu mengusap wajahnya seraya berucap : “ Fir-Rafiqil A’la’, sampai beliau wafat dan tangannya lunglai”. ( HR.Bukhari).

Aisyah berkata, “Terasa olehku Rasulullah s.a.w. sudah memberat di pangkuanku. Kuperhatikan air mukanya, ternyata pandangannya menatap ke atas seraya berkata, “Ya Handai Tertinggi dari surga“. “Kataku, ‘Engkau telah dipilih maka engkau pun telah memilih. Demi Yang mengutusmu dengan Kebenaran.’ Maka Rasulullah pun berpulang sambil bersandar antara dada dan leherku dan dalam giliranku. Aku pun tiada menganiaya orang lain. Dalam kurangnya pengalamanku dan usiaku yang masih muda, Rasulullah s.a.w berpulang ketika ia di pangkuanku. Kemudian kuletakkan kepalanya di atas bantal, aku berdiri dan bersama-sama wanita-wanita lain aku memukul-mukul mukaku.”

“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”.(QS.Al-Anbiya(21):34-35).

( Bersambung).

Read Full Post »

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS.Al-Maidah(5):3).

Potongan ayat ini diturunkan ketika Rasulullah sedang melaksanakan wukuf di Arafah. Ayat tersebut turun dengan disaksikan sekitar 144 ribu kaum Muslimin yang untuk pertama kalinya menjalankan ibadah haji tanpa bercampur dengan kaum Musrykin. Karena sebelum itu, kaum Muslimin bila ingin melaksanakan haji harus bercampur dengan kaum Musrykin yang terbiasa tawaf tanpa mengenakan sehelaipun benang di tubuh mereka !

Ayat diatas menandakan bahwa itu adalah akhir dari tugas Rasulullah dalam menyampaikan dakwah. Dan memang demikianlah keadaannya.  Beberapa hari kemudian Rasullullahpun mulai sakit. Namun demikian ini tidak berarti bahwa setelah itu tidak ada lagi satupun ayat yang turun.  Kata “Kusempurnakan ..”  yang dimaksud dalam ayat diatas adalah sempurna dalam kewajiban dan hukum.

Maka dibawah pengawasan langsung Rasulullah, dengan Madinah sebagai pusat pemerintahannya, kaum Musliminpun dengan tenang dapat menjalankan hak dan kewajiban mereka sesuai dengan hukum Islam yang telah benar-benar sempurna. Kendati demikian ada yang masih menjadi ganjalan bagi Rasulullah.

Pada akhir hayat hidup Rasulullah, seluruh jazirah Arab memang telah takluk kepada Sang Khalik,  sebagaimana mestinya. Meski beberapa daerah masih tampak terpaksa melakukannya. Bahkan pada masa itu telah muncul beberapa orang yang mengaku-ngaku nabi. Ini terjadi karena melihat kesuksesan dan ‘keuntungan’ duniawi yang diraih Rasulullah, dalam pandangan mereka tentu saja.

Lain halnya dengan wilayah utara, daerah perbatasan kekuasaan Rumawi dan Persia di daerah Syam, Mesir dan Irak. Wilayah ini,  khususnya perbatasan Syam, Rasulullah berpendapat bahwa harus diperkuat. Tujuannya supaya pasukan Romawi yang beberapa waktu lalu telah menyiapkan pasukannya ( dalam perang Tabuk) tidak kembali lagi menghasut penduduk sekitarnya dan mengerahkan pasukannya untuk melawan Islam.

Untuk itulah maka Rasulullahpun memerintahkan Usamah bin Zaid untuk memimpin kaum Muslimin memerangi mereka. Disamping mendatangi perbatasan Balqo‘ dan Darum di Palestina, putra  Zaid bin Haritsah yang baru berusia sekitar 19 tahun ini juga diperintahkan untuk pergi ke Mu’ta, tempat di mana ayahnya dulu terbunuh.

Namun penunjukkan Usamah yang dianggap masih terlalu belia itu malah memancing reaksi negatif kaum munafik. Padahal penunjukkan tersebut bukannya tanpa maksud. Rasulullah ingin menunjukkan bahwa kaum muda adalah kaum yang patut diandalkan dan harus diberi kesempatan sekaligus tanggung-jawab.

Dia (Nabi saw) mengangkat anak ingusan menjadi komandan di kalangan pembesar Muhajirin dan Anshar”.

Menanggapi hal ini, maka Rasulullahpun segera bertindak. Dalam keadaan kepala mulai terasa sakit, Rasulullah bersabda : “Jika kalian (orang-orang munafik) menggugat kepemimpinan Usamah bin Zaid maka (tidaklah aneh karena) sesungguhnya kalian juga pernah menggugat kepemimpinan ayahnya sebelumnya. Demi Allah, sungguh ia pantas dan laik memegang kepemimpian itu. Demi Allah, ia adalah orang yang sangat aku cintai. Demi Allah, sesungguhnya (pemuda) ini (maksudnya Usamah bin Zaid) sangat baik dan pantas. Demi Allah, ia adalah orang yang sangat aku cintai, maka aku wasiatkan kepada kalian agar mentaatinya karena sesungguhnya ia termasuk orang-orang shalih di antara kalian.“

Maka berangkatlah Usamah beserta pasukan besarnya. Namun setiba di Jurf, sebuah desa tak jauh dari Madinah,  Usamah memutuskan untuk menghentikan pasukannya. Ia mendapat kabar bahwa sakit Rasulullah bertambah parah. Ucapan Rasulullah bahwa hidup beliau tidak lama lagi, terus terngiang-ngiang di telinga para sahabat. Tak satupun diantara mereka yang mau kehilangan detik-detik terakhir kehidupan manusia yang paling mereka cintai itu. Sambil menanti perkembangan, Usamah akhirnya memerintahkan pasukannya untuk mendirikan kemah di tempat tersebut.

Sementara itu Ibnu Ishaq dan Ibnu Sa‘ad meriwayatkan dari Abu Muwahibah, mantan budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah saw, ia berkata: “Rasulullah saw pernah mengutusku pada tengah malam seraya berkata: ‘Wahai Abu Muwaihibah, aku diperintahkan untuk memintakan ampunan bagi penghuni (kuburan) Baqi‘ ini, maka marilah pergi bersamamu”.  Kemudian aku pergi bersama beliau. Ketika kami sampai di tempat mereka, beliau mengucapkan: “Assalamu‘alaikum ya ahlal maqabir! Semoga diringankan (siksa) atas kalian sebagaimana apa yang dilakukan manusia. Berbagai fitnah datang seperti gumpalan-gumpalan malam yang gelap, silih berganti yang akhir lebih buruk dari yang pertama”.
Kemudian beliau menghampiriku seraya bersabda: ;Sesungguhnya aku diberi kunci-kunci kekayaan dunia dan keabadian di dalamnya, lalu aku disuruh memilih antara hal tersebut atau bertemu Rabb-ku dan sorga.’ Aku berkata kepada beliau: “Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, ambillah kunci-kunci dunia dan keabadian di dalamnya kemudian surga”.’ Nabi saw bersabda: ‘Demi Allah tidak wahai Abu Muwahibah! Aku telah memilih bertemu dengan Rab-ku dan sorga”. Kemudian Nabi saw memintakan ampunan untuk penghuni Baqi’ dan meninggalkan tempat. Sejak itulah Rasulullah saw mulai merasakan sakit yang kemudian beliau meninggal dunia”.

Pertama kali Rasulullah saw merasakan sakit keras di bagian kepala. Diriwayatkan dari Aisyah ra bahwa sepulangnya dari Baqi‘, Nabi saw disambut oleh Aisyah ra seraya berkata: “Aduh kepalaku sakit sekali!“ Lalu Nabi saw berkata kepada Aisyah: “Demi Allah wahai Aisyah, kepalaku sendiri terasa sakit“.

Akan tetapi sakitnya Rasul ini tidak mengurangi kebiasaan beliau bercanda dengan istri-istri beliau. Suatu kali karena Aisyah senantiasa ikut mengeluh sakit kepala tatkala Rasul mengatakan bahwa kepala beliau sakit, Rasulpun bercanda :   “Apa salahnya kalau kau yang meninggal lebih dulu sebelum aku. Aku yang akan mengurusmu, mengafanimu, menyembahyangkanmu dan menguburkanmu”.

Dipicu rasa cemburu yang sangat tinggi, dengan kesal Aisyah, yang masih muda itu, menjawab ketus:” Dengan begitu yang lain mendapat nasib baik. Demi Allah, dengan apa yang sudah kaulakukan itu seolah engkau menyuruh aku pulang ke rumah dan dalam pada itu kau akan berpengantin baru dengan isteri-isterimu ! ”.

Mendengar jawaban tersebut, dengan menahan rasa sakit, Nabipun hanya tersenyum sambil memandang mesra sang istri yang dinikahi pertama setelah wafatnya satu-satunya istri tercinta, Khadijah ra itu.

Sakit di bagian kepala itu semakin bertambah berat sehingga menimbulkan demam yang sangat serius. Permulaan sakit ini terjadi pada akhir bulan Shafar tahun ke 11 H. Selama itu Aisyah ra senantiasa menjampinya dengan sejumlah ayat-ayat Al-Quran yang berisi mu‘awwidzat (permintaan perlindungan kepada Allah). Yang dimaksud menjampi adalah mengusapkan tangan sambil meniupkannya kebagian yang sakit seraya membacakan doa.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Urwah bahwa Aisyah ra mengabarkan, Sesungguhnya Rasulullah saw apabila merasakan sakit beliau meniup dirinya sendiri dengan mu‘awwidzat dan mengusapkan dengan tangannya. Dan ketika mengalami sakit kepala yang kemudian disusul kematiannya, itu akulah yang meniup dengan mu‘awwidzat yang biasa digunakannya lalu aku usap dengan tangan Nabi saw seraya mengharap berkahnya.

Suatu hari ketika Rasulullah sedang berada ditempat Maimunah ra, umirul Mukminin yang kebetulan saat itu mendapat giliran, Rasulullah merasa bahwa sakitnya makin terasa berat. Maka Rasulullahpun memanggil semua istri beliau. Rasulullah meminta izin agar untuk seterusnya para Umirul Mukminin  ridho dan mau memberi izin Aisyah ra, merawat beliau di rumah Aisyah. Para Umirul Mukminin sangat dapat memahami keinginan terakhir suami tercinta sekaligus nabi mereka itu. Maka dengan  izin dari mereka semua, akhirnya Nabi saw dipindahkan ke rumah Aisyah dengan dipapah oleh al Fadhal dan Ali bin Abi Thalib.

Di rumah Aisyah ra itulah sakit Rasululah saw semakin bertambah keras. Mengetahui para sahabat  mulai resah dan berduka maka Nabi saw bersabda: “Siramkanlah aku dengan tujuh qirbah air karena aku ingin keluar berbicara kepada mereka.“ Aisyah ra berkata: “Kemudian aku dudukkan Nabi saw di tempat mandi lalu kami guyur dengan tujuh qirbah air sampai beliau mengisyaratkan dengan tangannya: “ Cukup … Cukup “. Kemudian beliau keluar dan berkhutbah kepada mereka.

Nabi saw keluar dengan kepala terasa pusing lalu duduk di atas mimbar. Pertama-tama Rasulullah  saw berdo‘a dan memintakan ampunan untuk para Mujahidin Uhud. Kemudian dengan wajah serius beliau meneruskan :

“Saudara-saudara. Laksanakanlah keberangkatan Usama itu. Demi hidupku. Kalau kamu telah banyak bicara tentang kepemirnpinnya, tentang kepemimpinan ayahnya dulu pun juga kamu banyak bicara. Dia sudah pantas memegang pimpinan, seperti ayahnya dulu juga pantas memegang pimpinan”.

Setelah diam sejenak, demikian pula para sahabat yang hadir, Rasulullah meneruskan sabdanya : “Seorang hamba diberi pilihan oleh Allah, antara diberi kekayaan dunia atau apa yang ada di sisi-Nya, lalu hamba itu memilih apa yang ada disisi-Nya“.

Mendengar itu, sontak Abu Bakar menangis (karena mengetahui apa yang dimaksud Nabi saw) seraya berkata dengan suara keras: “Kami tebus engkau dengan bapak-bapak dan ibu-ibu kami“.

Kemudian Nabi saw bersabda : “Tunggu sebentar wahai Abu Bakar! Wahai manusia sesungguhnya orang yang paling bermurah hati kepadaku dalam hartanya dan persahabatannya ialah Abu Bakar. Seandainya aku hendak mengangkat orang sebagai khalil (teman kesayangan) maka Abu Bakarlah khalilku, akan tetapi persaudaraan yang sejati adalah persaudaraan Islam. Tidak boleh ada Khaukah (lorong) di masjid kecuali Khaukah (lorong) Abu Bakar. Sesungguhnya aku adalah tanda pemberi petunjuk bagi kalian dan aku menjadi saksi atas kalian. Demi Allah, sesungguhnya sekarang ini aku melihat telagaku. Sesungguhnya aku telah diberi kunci-kunci dunia. Demi Allah, aku khawatir kalian akan menjadi musyrik sesudahku tetapi aku khawatir kalian akan berlomba-lomba memperebutkan dunia“.

Kemudian Rasulullah saw bangkit berdiri untuk kembali ke rumah. Namun Rasulullah berhenti sejenak, menoleh dan berucap :

“Saudara-saudara Muhajirin, jagalah kaum Anshar baik-baik; sebab selama orang bertambah banyak, orang-orang Anshar akan seperti itu juga keadaannya, tidak bertambah. Mereka itu orang-orang tempat aku menyimpan rahasiaku dan yang telah memberi perlindungan kepadaku. Hendaklah kamu berbuat baik atas kebaikan mereka dan maafkanlah kesalahan mereka”.

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka”.(QS.At-Taubah(9):117).

( Bersambung ).

Read Full Post »

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Jabir ra, ia berkata: Selama 9 tahun tinggal di Madinah Munawarah, Nabi saw belum melaksanakan Haji. Kemudian pada tahun ke 10 beliau mengumumkan hendak melakukan haji. Maka berduyun-duyun orang datang ke Madinah, semuanya ingin mengikuti Rasulullah saw dan mengamalkan ibadah Haji sebagaimana amalan beliau.

Namun sebelum melaksanakan niat tersebut, Rasulullah bersabda :“Tetapi orang-orang musyrik masih hadir melakukan thawaf dengan telanjang. Aku tidak ingin melaksanakan ibadah haji sebelum hal itu dihapuskan“. Maka  beliaupun mengutus Abu Bakar ra yang disusul oleh Abu Thalib ra untuk mengumumkan bahwa mulai tahun depan kaum Musrikin dilarang lagi melakukan ibadah haji kecuali mereka mau memeluk Islam. Untuk itu mereka diberi waktu 4 bulan untuk berpikir. Setelah itu bila mereka tetap ingin melakukan ibadah haji dengan mencontoh ritual nenek moyang mereka yang berhaji dengan bertelanjang kaum Muslimin akan memerangi mereka.

“Aku Thawaf di Ka‘bah sebagaimana saat aku dilahirkan oleh ibuku, tidak ada kotoran benda dunia yang melekat ditubuhku“, itulah alasan jahiliyah yang dikemukan kaum Musrykin mengapa ketika berhaji mereka telanjang.

“Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.(QS.At-Taubah(9):3).

Ibnu Sa‘ad meriwayatkan bahwa ketika Nabi saw menunjuk Abu Bakar sebagai Amir Jama‘ah haji, ia (Abu Bakar) berangkat bersama 300 orang dari penduduk Madinah dengan membawa 20 ekor binatang qurban. Rombongan ini berangkat tak lama setelah kaum Muslimin kembali dari Perang Tabuk.

Tahun berikutnya, yaitu pada tanggal 25 Dzul Qaidah tahun 10 H, Rasulullah saw keluar dari Madinah untuk melaksanakan haji. Ada perbedaan pendapat di kalangan para perawi. Ahlul Madinah berpendapat bahwa Nabi saw melaksanakan haji ifrad, sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa beliau melakukan haji Qiran.

Jabir berkata: Setelah onta yang membawanya sampai di lapangan besar aku lihat sejauh pandangan mata lautan manusia mengitari Rasulullah saw, di depan , belakang, sebelah kiri dan kanan beliau. Rasulullah sendiri berada di hadapan kami dan di saat itu pula beliau menerima wahyu.

Maka pada hari Arafah, tepat pada tanggal 9 Dzulhijjah itu, Rasulullah saw menyampaikan khutbah terakhirnya. Khutbah ini disaksikan oleh 124 ribu ( ada yang mengatakan 144 ribu)  kaum Muslimin yang saat itu sedang melaksanakan wuquf bersama Rasulullah.

“Wahai manusia, dengarkanlah apa yang hendak kukatakan. Mungkin sehabis tahun ini, aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian di tempat ini untuk selama-lamanya…. Hai manusia, sesungguhnya darah dan harta benda kalian adalah suci bagi kalian (yakni tidak boleh dinodai oleh siapapun juga) seperti hari dan bulan suci sekarang ini di negeri kalian ini. Ketahuilah, sesungguhnya segala bentuk perilaku dan tindakan jahiliyah tidak boleh berlaku lagi. Tindakan menuntut balas atas kematian seseorang sebagaimana yang berlaku di masa jahiliyah juga tidak boleh berlaku lagi. Tindak pembalasan jahiliyah seperti itu pertama kali kunyatakan tidak berlaku ialah tindakan pembalasan atas kematian Ibnu Rabi‘ bin al Harits”..

“Riba jahiliyah tidak berlaku, dan riba yang pertama kunyatakan tidak berlaku adalah riba Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya segala macam riba tidak boleh berlaku lagi”.

“Hai manusia, di negeri kalian ini, setan sudah putus harapan sama sekali untuk dapat disembah lagi. Akan tetapi masih menginginkan selain itu. Ia akan merasa puas bila kalian melakukan perbuatan yang rendah. Karena itu hendaklah kalian jaga baik-baik agama kalian!”

“Hai manusia, sesungguhnya menunda berlakunya bulan suci akan menambah besarnya kekufuran. Dengan itulah orang-orang kafir menjadi tersesat. Pada tahun yang satu mereka langgar dan pada tahun yang lain mereka sucikan untuk disesuaikan dengan hitungan yang telah ditetapkan kesuciannya oleh Allah. Kemudian mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah”.

“Sesungguhnya jaman berputar seperti keadaannya pada waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun adalah dua belas bulan. Empat bulan diantaranya adalah bulan-bulan suci. Tiga bulan berturut-turut : Dzul Qa‘dah, Dzul Hijjah, dan Muharram. Bulan Rajab adalah antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya‘ban”..

“Wahai manusia, takutlah Allah dalam memperlakukan kaum wanita, karena kalian mengambil mereka sebagai amanat Allah dan kehormatan mereka dihalalkan bagi kalian dengan nama Allah. Sesungguhnya kalian mempunyai hak atas para istri kalian dan mereka pun mempunyai hak atas kalian. Hak kalian atas mereka ialah mereka sama sekali tidak boleh memasukkan orang yang tidak kalian sukai ke dalam rumah kalian. Jika mereka melakukan hal itu maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan. Sedangkan hak mereka atas kalian ialah kalian harus memberi nafkah dan pakaian kepada mereka secara baik”.

“Maka perhatikanlah perkataanku itu, wahai manusia, sesungguhnya aku telah sampaikan. Aku tinggalkan sesuatu kepada kalian, yang jika kalian pegang teguh, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”.

“Wahai manusia, dengarkanlah taatlah sekalipun kalian diperintah oleh seorang hamba sahaya dari Habasyah yang berhidung gruwung, selama ia menjalankan Kitabullah kepada kalian”.

“Berlaku baiklah kepada para budak kalian….. berilah mereka makan apa yang kalian makan dan berilah pakaian dari jenis pakaian yang sama dengan kalian pakai. Jika mereka melakukan sesuatu kesalahan yang tidak bisa kalian ma‘afkan maka juallah hambah-hamba Allah itu dan janganlah kalian menyiksa mereka”.

“Wahai manusia, dengarkanlah perkataanku dan perhatikanlah! Kalian tahu bahwa setiap orang Muslim adalah saudara bagi orang-orang Muslim yang lain, dan semua kaum Muslimin adalah saudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu dari saudaranya kecuali yang telah diberikan kepadanya dengan senang hati, karena itu janganlah kalian menganiaya diri sendiri”.

“ Ya Allah sudahkah kusampaikan?”

“ Kalian akan menemui Allah maka janganlah kalian kembali sesudahku menjadi sesat, sebagian kalian memukul tengkuk sebagian yang lain. Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir,barangkali sebagian orang yang menerima kabar (tidak langsung) lebih mengerti daripada orang yang mendengarkannya (secara langsung). Kalian akan ditanya tentang aku maka apakah yang hendak kalian katakan?”.

Mereka menjawab: “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan (risalah), telah menunaikan dan memberi nasehat.“ Kemudian seraya menunjuk ke arah langit dengan jari telunjuknya, Nabi saw bersabda: “Ya Allah, saksikanlah.” (tiga kali).

Setelah itu turunlah ayat 3 surat Al-Maidah berikut :

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Subhanallah .. betapa leganya hati Rasulullah saw. 22 tahun sudah beliau abdikan jiwa dan raganya bagi memenuhi perintah Tuhannya. Beliau ridho ‘mengorbankan’ seluruh kesenangan hidup duniawinya, keluarga dan harta bendanya demi mencari ridho dan kasih sayang Sang Khalik. Penolakan, ejekan, cemoohan, hinaan hingga penyiksaan, semua beliau lalui dengan sabar dan tawakal. Perjuangan demi perjuangan terus beliau lalui dengan keyakinan pertolongan Allah pasti datang. Islam dengan kalimat tauhidnya pasti akan berkibar memenuhi bumi-Nya. Dan inilah janji yang dinantikan beliau.

Disaksikan 144 ribu umat Islam yang memenuhi padang Arafah, Rasulullah menyampaikan apa yang harus disampaikannya. Kemudian Allah swt pun menjawab pernyataan Rasul-Nya tersebut dengan telah sempurnanya perintah-Nya. Berarti Allah Azza wa Jalla puas dan telah menerima pertanggung-jawaban nabi saw. Ya, inilah puncak kebahagiaan Rasulullah. Allahuakbar … Allahuakbar … Allahuakbar ..

Namun sebaliknya dengan Umar bin Al-Khath­thab. Mendengar firman Allah tersebut, ia malah meneteskan air mata. Ketika hal ini dita­nyakan kepadanya, “Umar! Mengapa engkau menangis? Bukankah engkau ini jarang sekali menangis?”

“Karena aku tahu, selepas kesempurnaan hanya ada ke­kurangan,” jawab Umar. Tampaknya ia telah merasakan suasana perpisahan (wada’) terakhir dengan Rasulullah saw yang sangat dicintainya.

Nabi saw tetap tinggal di Arafah hingga terbenam matahari. Pada saat terbenam matahari itu Nabi saw berserta orang-orang yang menyertainya berangkat ke Muzdalifah. Seraya memberikan isyarat dengan tangan kanannya beliau bersabda:

“Wahai manusia, harap tenang, harap tenang!“. Kemudian beliau menjama‘ takhir shalat maghrib dan Isya‘ di Muzdalifah kemudian sebelum terbit matahari beliau berangkat ke Mina, lalu melontar Jumratul Aqabah dengan tujuh batu kecil seraya bertakbir di setiap lontaran. Setelah itu beliau pergi ke tempat penyembelihan lalu menyembelih 63 binatang sembelihan (budnah). Kemudian beliau menyerahkan kepada Ali untuk menyembelih sisanya sampai genap 100 sembelihan.

Setelah itu beliau naik kendaraannya berangkat ke Ka‘bah (ifadhah) lalu shalat dhuhur di Mekkah, dan pergi mendatangi Banu Abdul Muthalib yang sedang mengambil air Zamzam lalu bersabda: “Timbalah wahai banu Abdul Muthalib, kalaulah tidak karena orang-orang berebut bersama kalian, niscaya aku menimba bersama kalian.“ Kemudian mereka memberikan setimba air kepadanya dan beliaupun minum darinya. Kemudian Nabi saw berangkat kembali ke Madinah.

Sesampai di Madinah, Rasulullah mengumpulkan kembali para sahabat. Rasulullah mengulang kembali ayat 3 surat Al-Maidah yang diturunkan di padang Arafah dan menceritakan apa yang dikatakan malaikat Jibril as kepada beliau.

“Wahai Muhammad, sesungguhnya pada hari ini telah disempurnakan urusan agamamu, maka terputuslah apa yang diperintahkan oleh Allah swt dan demikian juga apa yang terlarang oleh-Nya. Oleh itu kamu kumpulkan para sahabatmu dan beritahu kepada mereka bahwa hari ini adalah hari terakhir aku bertemu dengan kamu“.

Mendengar berita tersebut maka para sahabatpun berseru gembira ““Agama kita telah sempurna. Agama kila telah sempuma”.

Sebaliknya dengan Abu Bakar ra. Ia segera pulang ke rumah, mengunci pintu dan menangis kuat-kuat. Ia begitu berduka menyadari bahwa kekasih Allah yang sejak kecil telah menjadi sahabat terbaiknya ini akan segera meninggalkannya. Sementara itu para sahabat lain merasa heran akan kesedihan Abu Bakar.

“Wahai Abu Bakar, apakah yang telah membuat kamu menangis sehingga begini sekali keadaanmu? Sepatutnya kamu berasa gembira sebab agama kita telah sempuma.”    

Abu Bakarpun menjawab :”Wahai para sahabatku, kamu semua tidak tahu tentang musibah yang menimpa kamu. Tidakkah kamu menyadari  bahwa apabila suatu perkara itu telah sempuma maka akan terlihatlah kekurangannya. Turunnya ayat tersebut, menunjukkan dekatnya perpisahan kita dengan Rasulullah saw, Hasan dan Husin akan segera menjadi yatim dan para isteri nabi menjadi janda”.

Mendengar jawaban Abu Bakar itu, serentak para sahabatpun ikut menangis. Salah seorang yang melihat peristiwa tersebut kemudian melaporkannya kepada Rasulullah. “Ya Rasulullah, kami baru pulang dari rumah Abu Bakar  dan kami mendapati banyak orang menangis dengan suara yang kuat di hadapan rumah beliau”.

Maka berubahlah muka Rasulullah. Dengan bergegas beliau menuju ke rumah Abu Bakar.

“Wahai para sahabatku, kenapakah kalian semua menangis?”, tanya Rasulullah cemas.

“Ya Rasulullah, Abu Bakar mengatakan bahwa turunnya ayat 3 surat Al-Maidah adalah menandakan bahwa waktu wafatmu telah dekat. Benarkah itu, ya Rasulullah?”, tanya Ali bin Abu Thalib resah.

“ Semua yang dikatakan Abu Bakar itu benar adanya. Sesungguhnya masa untuk aku meninggalkan kalian semua telah hampir dekat.”, begitu jawab Rasulullah.

Kemudian satu demi satu Rasulullullah saw menyalami para sahabat dan berwasiat kepada mereka. Maka pecahlah tangis dimana-mana. Untuk beberapa lama suasana duka menyelimuti sekitar rumah Abu Bakar. Selanjutnya ada beberapa pendapat tentang berapa lamanya Rasulullah berada di antara para sahabat sejak turunnya ayat di padang Arafah tersebut. Ada yang mengatakan 21 hari, ada pula yang mengatakan 35 hari. Namun ada juga yang mengatakan Rasulullah masih ada di antara para sahabat hingga 50 bahkan 81 hari setelahnya.

Wallahu’alam bish shawwab.

Paris, 29 April2011.

Vien AM.

Read Full Post »

XXVII Perang Tabuk.

Pada suatu hari di tahun 9 Hijriyah, kaum Muslimin menerima kabar dari para pedagang yang kembali dari negeri Syam bahwa pasukan Romawi sedang merencanakan penyerangan besar-besaran terhadap Islam. Pasukan berjumlah 40.000 personil ini mendapat dukungan dari orang-orang Arab Nasrani yang berada di bawah kekuasaan kekaisaran yang berpusat di Konstantinopel itu.

Kekaisaran Romawi meski menyatakan diri sebagai kerajaan Nasrani, sebenarnya mereka hanya menjadikan agama sebagai tameng. Mereka mencampur-adukkan agama dengan paganisme dan berbagai kebathilan lainnya. Mereka tidak menempatkan kekuasaan dan hukum Allah diatas segalanya. Agama digunakan sebagai alat untuk menjajah rakyat dan bangsa-bangsa di sekitarnya. Itu sebabnya kemenangan demi kemenangan yang dicapai Islam di seluruh jazirah Arabia, yang memang telah dikisahkan dalam Taurat maupun Injil, membuat para penguasa yang haus kekuasaan ini menjadi ketakutan.

Mendengar itu, Rasulpun tidak tinggal diam apalagi gentar. Beliau segera menyiapkan pasukannya yang terdiri atas 30.000 orang untuk menyambut serbuan orang-orang yang tidak menyukai ajaran yang dibawa Rasulullah dan berkembang amat pesat tersebut. Secara bergantian, 1 ekor unta untuk 2-3 orang, pasukan bergerak menuju medan perang. Bahkan karena kekurangan air minum, beberapa untapun terpaksa disembelih.

Imam Ahmad meriwayatkan di dalam Musnadnya dari Abu Hurairah ra ia berkata: “Pada waktu perang Tabuk kaum Muslimin mengalami kelaparan sehingga mereka berkata: “Wahai Rasulullah saw, ijinkanlah kami menyembelih onta-onta kami untuk dimakan.“ Nabi saw menjawab: “Lakukanlah!“ Tetapi Umar ra datang seraya berkata: “Wahai Rasulullah saw, kalau mereka menyembelih onta-onta itu niscaya kendaraan kita berkurang. Tetapi perintahkanlah saja agar mereka mengumpulkan sisa perbekalan mereka kemudian do‘akanlah semoga Allah memberkatinya.“ Lalu Nabi saw memerintahkan agar sisa-sisa perbekalan mereka kumpulkan di atas tikar yang telah digelar. Maka orang-orang pun berdatangan. Ada yang membawa segenggam gandum dan ada pula yang membawa segenggam kurma, sehingga terkumpullah perbekalan makanan yang tidak terlalu banyak, kemudian Nabi saw memohonkan keberkahannya. Setelah itu Nabi saw berkata kepada mereka: “Ambillah dan penuhilah kantong-kantong makanan kalian!“ Kemudian mereka pun memenuhi kantong-kantong makanan mereka sampai tidak ada tempat makanan yang kosong di perkemahan kecuali mereka telah memenuhinya. Mereka juga telah makan hingga kenyang. Bahkan makanan itu masih tersisa. Kemudian Nabi saw bersabda: “Aku bersaksi tidak ada Ilah selian Allah dan sesungguhnya aku adalah Rasul Allah. Seorang hamba yang menghadap Allah dengan dua kalimat tersebut, tanpa ragu, pasti tidak akan dihalangi masuk surga.“

Perang ini berlangsung pada bulan Rajab, di puncak musim panas dan ketika orang-orang menghadapi kehidupan yang sangat sulit. Pada saat yang sama, musim buah-buahan Madinah mulai dapat dipanen. Itu sebabnya banyak kaum Muslimin yang enggan menjalankan ajakan Rasulullah untuk berjihad di jalan Allah. Berbagai alasan dikemukan. Allah swt mengabadikan bermacam keberatan tersebut  dalam ayat-ayat berikut :

“Diantara mereka ada orang yang berkata: “Berikanlah saya ijin (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah.“ Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahanam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.“ (QS At-Taubah(9): 49).

“ Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah saw, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan mereka berkata: “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini. …… “ (QS.At- Taubah(9):81).

Sebaliknya kaum Muslimin dari kalangan sahabat dekat Rasulullah yang selama ini telah dikenal keimanannya tanpa ragu tetap memperlihatkan kwalitas mereka. Turmidzi meriwayatkan dari Zaid bin Aslam dari bapaknya, ia berkata: “Aku pernah mendengar Umar ra berkata: Rasulullah saw memerintahkan kami bersodaqoh dan kebetulan waktu itu aku sedang punya harta, lalu aku berucap: Sekarang aku akan mengalahkan Abu Bakar, jika memang aku dapat mengalahkannya pada suatu hari. Kemudian aku datang kepada Rasulullah saw membawa separuh hartaku. Nabi saw bertanya kepadaku: “Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?“ Kujawab: “Sebanyak yang kuserahkan.“ Kemudian Abu Bakar ra datang membawa semua hartanya. Nabi saw bertanya “Wahai Abu Bakar, apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?“ “Allah dan Rasul-Nya.“ Akhirnya aku berkata: “Aku tidak akan dapat mengalahkannya (dalam perlombaan melaksanakan kebaikan) untuk selama-lamanya”.

Sementara Ustman ra menyerahkan 300 keping uang sebanyak 1000 dinar yang diletakkan di kamar Rasulullah saw. Menanggapi ini Rasulullah berujar : “”Tidak akan membahayakan Ustman apa yang dilakukan sesudahnya.“

Beberapa orang dari kaum Muslimin yang dikenal dengan panggilan Al-Buka‘un (orang-orang yang menangis) datang kepada Rasulullah saw meminta kendaraan guna pergi berjihad bersamanya. Akan tetapi Nabi saw menjawab mereka: “Aku tidak punya kendaraan lagi untuk membawa kalian.“ Kemudian mereka kembali dengan meneteskan air mata karena sedih tidak dapat ikut serta berjihad.

Namun tampaknya ajakan perang kali ini hanya merupakan ujian belaka. Karena setiba di Tabuk, para hamba Allah ini tidak menemukan pasukan musuh. Demikianlah Sang Khalik menguji keimanan hamba-Nya.

Bahkan tak lama kemudian, Yohanna, gurbernur Ailah, datang kepada Nabi saw meminta diadakan perjanjian damai. Untuk itu menyatakan kesediaannya membayar jizyah. Demikian pula yang dilakukan penduduk Jarba‘ dan Adzrah. Rasulullahpun menerima permintaan damai tersebut. Maka dibuatlah surat perjanjian antara ke dua belah pihak… Allahuakbar ..

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”.(QS. At-Taubah(9):29).

Setelah itu Rasulullah dan pasukan kembali ke Madinah dan langsung memasuki masjid untuk mendirikan shalat 2 raka’at. Nabi saw kemudian duduk dikelilingi para sahabat, baik yang baru pulang dari perjalanan perang yang baru lalu maupun yang tidak. pergi

Terhitung ada sekitar 80 orang yang tidak ikut dalam perang. Di tempat inilah masing-masing kemudian mengajukan alasan mengapa mereka tidak datang memenuhi panggilan Rasulullah. Setelah mendengarkan dengan seksama, dengan bijaksana, Rasulullahpun menerima pernyataan dan alasan mereka. Lalu Rasulullah berdoa dan memohonkan ampunan Allah swt bagi mereka. Kecuali  Ka‘ab bin Malik, Murarah bin Ar Rabi‘ dan Hilal bin Umaiyah.  Rasulullah tidak dapat menerima alasan ketiganya. Rasulullah hanya berkata bahwa Allah swt sendiri yang akan memberikan keputusan-Nya.

Ka‘ab ra dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim mengungkapkan kisahnya sendiri sebagai berikut :

Diantara kisahku bahwa aku tidak ikut dalam berperang itu. Aku segera memulai persiapan untuk maju ke medan perang bersama kaum Muslimin, tetapi aku kembali lagi dan belum mempersiapkan sesuatu, kemudian aku berkata dalam hati: Aku sebenarnya mampu (ikut ke medan perang). Aku terus berusaha mempersiapkan untuk berangkat tetapi ternyata aku belum mendapatkan apa-apa untuk berangkat. Ketika kaum Muslimin sudah berangkat dan berjalan jauh menuju medan perang akupun masih belum mempersiapkan apa-apa. Lalu aku berkeinginan untuk menyusul mereka andai aku telah melakukannya tetapi aku pun tidak ditakdirkan untuk itu.

Setelah Rasulullah saw berangkat, aku keluar menemui orang-orang. Aku sangat sedih karena aku tidak melihat kecuali orang yang kental sekali kemunafikannya atau orang lemah yang diberi dispensasi oleh Allah.

Ketika kudengar Nabi saw telah bergerak pulang, aku merasa gelisah. Terlintas pula keinginan untuk berbohong demi menyelamatkan diri dari kemarahan beliau nanti! … Kemudian aku meminta pandangan setiap orang yang pantas memberikan pandangan dari keluargaku. Ketika diberitahukan bahwa Rasulullah saw telah datang, hilanglah segala kebathilan dari pikiranku dan aku putuskan untuk berkata jujur kepada beliau. Aku datang menemui Rasulullah saw seraya mengucapkan salam kepadanya tetapi beliau tersenyum sinis kemudian berkata: “Kemarilah!“ Setelah aku dihadapannya, beliau bertanya: “Kenapa kamu tidak berangkat? Bukankah kamu telah membeli kendaraan?“ Aku jawab: “Ya, benar!. Demi Allah sekiranya aku sekarang ini berhadapan dengan orang lain dari penduduk dunia, tentu mudah bagiku mencari alasan untuk menghindari kemarahannya. Apalagi aku adalah orang ynag pandai berdebat. Demi Allah aku tahu jika aku hari ini berbicara bohong kepada engkau sehingga engkau tidak memarahiku, sungguh pasti Allah yang mengetahui kebohongan itu akan memarahi engkau karena aku. Jika aku berkata jujur kepada engkau niscaya engkau memarahiku. Namun aku akan tetap berkata jujur demi mengharap ampunan Allah. Demi Allah, sungguh aku tidak punya halangan (udzur) apa-apa. Demi Allah, sebenarnya aku saat itu dalam keadaan kuat dan sanggup berangkat ke medan perang!“.

Rasulullah saw menyahut: “Ya, itu memang tidak bohong. Pergilah sampai Allah menentukan sendiri persoalanmu!“. Aku lalu pergi.

Ketika aku pergi, beberapa orang dari Banu Salmah menyusul dan menyalahkan tindakanku (karena tidak mengemukakan alasan sebagaimana orang lain). Kutanyakan kepada mereka: “Apakah ada orang lain yang berbuat sama seperti yang kulakukan?“ Mereka menjawab: “Ya, ada dua orang, dua-duanya mengatakan kepada Rasulullah saw seperti yang telah engkau katakan, dan beliau juga mengatakan kepada mereka, seperti yang beliau katakan kepadamu!“ Aku bertanya lagi: “Siapakah kedua orang itu?“ Mereka menjawab: “Murarah bin Ar-Rabi‘ dan Hilal bin Umaiyah.“ Mereka lalu menerangkan bahwa dua-duanya itu orang shaleh dan pernah ikut perang Badr. Dua-duanya dapat dijadikan contoh.

Kemudian Rasulullah saw mencegah kaum Muslimin bercakap-cakap dengan kami bertiga, sebagai orang yang tidak turut serta berangkat ke medan perang Tabuk. Semua orang menjauhkan diri dari kami dan berubah sikap terhadap kami, hingga aku sendiri merasa seolah-olah bumi yang kuinjak bukan bumi yang kukenal.

Keadaan seperti ini kualami selama lima puluh hari. Dua orang temanku tetap tinggal di rumah masing-masing dan selalu menangis sedang aku sendiri sebagai orang muda dan berwatak keras tetap keluar seperti biasa, shalat jama‘ah bersama kaum Muslimin dan mondar-mandir ke pasar. Selama itu tak seorangpun ynag mengajakku bercakap-cakap. Akhirnya aku datang menghadap Rasulullah saw, kuucapkan salam kepadanya saat sedang duduk sehabis shalat. Dalam hati aku bertanya: Apakah beliau menggerakkan bibir membalas ucapan salamku atau tidak. Kemudian aku shalat dekat beliau sambil melirik ke arah beliau. Ternyata di saat aku masih shalat beliau memandangku, tetapi setelah selesai shalat dan aku menoleh kepadanya, beliau memalingkan muka.

Pada suatu hari di saat aku sedang berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba seorang asing penjaja dagangan yang datang dari Syam bertanya-tanya: “Siapakah yang dapat membantu saya menunjukkan orang yang bernama Ka‘ab bin Malik?“ Banyak orang menunjukkannya. Ia kemudian menghampiriku lalu menyerahkan sepucuk surat kepadaku dari Raja Ghassan. Setelah kubuka ternyata berisi sebagai berikut: “Amma ba‘du, kudengar bahwa sahabatmu (yakni Rasulullah saw) telah mengucilkan dirimu. Tuhan tidak akan membuat dirimu hina dan nista. Datanglah kepadaku, engkau pasti kuterima dengan baik….“

Setelah kubaca aku berkata: “Ini juga termasuk cobaan!“ Kunyalakan api kemudian surat itu kubakar.

Setelah lewat empat puluh hari, datanglah utusan Rasulullah saw kepadaku. Ia berkata: “Rasulullah saw memerintahkan supaya engkau menjauhkan diri dari istrimu!“ Aku bertanya: “Apakah ia harus kucerai ataukah bagaimana?“ Ia menjawab: “Tidak! Engkau harus menjauhinya, tidak boleh mendekatinya!“

Kepada dua orang temanku (yang senasib) Rasulullah saw juga menyampaikan perintah yang sama. Kemudian kukatakan kepada istriku: “Pulanglah engkau kepada keluargamu, dan tetap tinggal di tengah-tengah mereka hingga Allah menetapkan keputusann-Nya mengenai persoalanku!“

Tinggal sepuluh hari lagi lengkaplah masa waktu lima puluh hari sejak Rasulullah saw melarang kaum Muslimin bercakap-cakap dengan kami. Tepat pada hari kelima puluh aku shalat subuh memikirkan keputusan apa yang akan ditetapkan Allah dan Rasul-Nya atas diriku yang tengah mengalami penderitaan berat ini, hingga bumi yang luas ini kurasa amat sempit. Tiba-tiba kudengar suara orang berteriak dari bukit: “Hai Ka‘ab bin Malik, bergembiralah…!“

Seketika itu juga aku sujud (syukur) karena aku sadar bahwa ampunan Allah telah datang. …
Setelah mengimami shalat subuh berjama‘ah Rasulullah saw mengumumkan kepada kaum Muslimin bahwa Allah berfirman berkenan menerima taubat kami. Banyak orang berdatangan memberitahukan kabar gembira itu kepada kami bertiga.

Setelah orang yang kudengar suaranya dari atas bukit itu datang untuk menyampaikan kabar gembira kepadaku, kulepas dua baju yang sedang kupakai, kemudian dua-duanya kuberikan kepadanya dengan senang hati. Demi Allah, aku tidak mempunyai baju selain yang dua itu. Aku berusaha mencari pinjaman baju kepada orang lain, dan setelah kupakai aku segera pergi menemui Rasulullah saw. Banyak orang yang menyambut kedatanganku mengucap selamat atas ampunan Allah yang telah kuterima.

Aku kemudian masuk ke dalam masjid. Kulihat Rasulullah saw sedang duduk dikelilingi para sahabatnya. Thalhah bin Ubaidillah berdiri kemudian berjalan tergopoh-gopoh kepadaku. Selain Thalhah tidak ada orang lain dari kaum Muhajirin yang berdiri menyambut kedatanganku. Kebaikan Thalhah itu tidak dapat kulupakan.

Setelah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah saw , beliau dengan wajah berseri-seri kegirangan berkata: “Gembiralah menyambut hari baik yang belum pernah engkau alami sejak lahir dari kandungan ibumu!“ Aku bertanya: “Apakah itu dari anda sendiri, wahai Rasulullah? Ataukah dari Allah?“ Beliau menjawab: “Bukan dari aku, melainkan dari Allah.“

Kemudian aku berkata: “Wahai Rasulullah saw, sebagai tanda taubatku, aku hendak menyerahkan seluruh harta bendaku kepada Allah dan Rasul-Nya.“ Tetapi beliau menjawab: “Lebih baik engkau ambil sebagian dari hartamu itu!“.

Selanjutnya kukatakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, Allah telah menyelamatkan diriku karena aku berkata benar. Setelah aku bertaubat, selama sisa umurku aku tidak akan berkata selain yang benar!“.

Kemudian turunlah firman Allah kepada Rasul-Nya :

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka nyaris berpaling (tergelincir), namun kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesunguhnya Allah Mahaya Penyayang terhadap mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubatnya) sehingga bumi yang luas ini mereka rasakan amat sempit, dan jiwa mereka pun dirasa sempit oleh mereka, kemudian mereka menyadari bahwa tidak ada temapt lari dari (siksaan) Allah selain kepada-Nya, kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap bertaubat. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hari orang-orang yang beriman, tetapi bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang selalu benar“.(QS At-Taubah(9):117-119).

Sementara itu, semenjak kepulangan Rasullullah dan pasukan Muslim dari perang Tabuk, Rasulullah menerima sejumlah utusan yang datang berduyun-duyun menyatakan ke-Islaman mereka. Sebaliknya, Rasulullah juga aktif mengirim beberapa utusan untuk memperkenalkan Islam. Diantaranya yaitu Khalid bin Walid yang dikirim ke Najran, Ali bin Abi Thalib ra yang dikirim ke Yaman dan Abu Musa Al-Asy’ari serta Mu’adz bin Jabal ke pelosok Yaman.

Dalam kesempatan tersebut, Rasulullah berwasiat, “ Permudah dan jangan mempersulit ! Gemarkan dan jangan membuat orang lari, berusahalah dengan penuh keikhlasan dan kekuatan!”

Wallahu’alam bish shawwab.

Paris, 26 April 2011.

Vien AM.

Read Full Post »

Older Posts »