Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Serba-serbi Perjalanan Haji’ Category

Kesiapan tuan rumah dalam menyambut tamu-tamu Allah mulai dari pembagian konsumsi selama kami di Mina dan Arafah, pembagian air minum dalam kemasan dan snack sejak dari perjalanan masuk ke kota Mekah, berlimpahnya buah-buahan dan air baik di toilet maupun di tempat-tempat wudhu, jujur, membuat saya takjub. Takjub karena tanah Arab adalah tanah yang gersang. Belum lagi dengan adanya program penghijauan di sejumlah tempat. Inilah cara Sang Khalik memenuhi janji-Nya.

Dulu, sebelum datangnya Islam, Mekah dengan Ka’bahnya sudah menjadi pusat berkumpulnya jamaah paganisme. Mereka tidak hanya melakukan tawaf dan sa’i, yang merupakan ritual warisan nenek moyang, namun juga berkumpul untuk memamerkan kebolehan dan kehebatan mereka dalam bersyair.  Juga sebagai tempat pusat pertukaran perdagangan.

Tentu saja ini merupakan tambahan pendapatan bagi penduduk Mekah. Apalagi Mekah bukanlah tanah yang subur. Jadi, bagi mereka, berdatangannya para tamu dari negri-negri yang jauh, bukan hanya sekedar gengsi dan kehormatan namun juga berkah.

Itu sebabnya ketika Islam datang, dan Allah swt kemudian melarang orang-orang musyrik datang ke Makah untuk berhaji, banyak penduduk kota ini yang keberatan. Mereka khawatir mereka akan hidup dalam kesulitan dan jatuh miskin.

Kini, terbuktikah kekhawatiran mereka ?? Sama sekali tidak !! Justru sebaliknya …

Tiap tahun berbondong-bondong umat Islam dari seluruh penjuru dunia datang untuk memenuhi panggilan haji. Tiap waktu umat Islam datang untuk ber-umrah. Arab Saudi kini benar-benar kaya raya. Pendapatan tidak saja datang dari kegiatan ibadah namun juga dari isi buminya yang dilimpahi minyak oleh Sang Pemilik Alam semesta ini,  Allah Azza wa Jalla. Masya Allah … Inilah balasan nyata bagi orang-orang yang takwa.

“Alif Laam Miim. Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung”.(QS.Al-Baqarah(2):1-5).

Hotel-hotel mewah, jalan-jalan layang dan yang terakhir rencana pembangunan jalur kereta api cepat semacam metro di Perancis atau subway di Singapore sedang dibangun. Ini semua demi kenyamanan para tamu Allah yang begitu dimuliakan oleh-Nya. Begitupun Royal Mecca Tower Clock Hotel, hotel mewah dengan tulisan raksasa “ALLAH” dimana kami tinggal. Tepat di atas tempat tidur masing-masing kamar hotel tersebut, terpasang sebuah pengeras suara yang siap mengumandangkan suara azan dari Masjidil Haram. Termasuk azan yang berkumandang 1 jam sebelum subuh. Allahuakbar !  Tidak ada yang lebih besar dan lebih penting dari Sang Khalik, Allah Azza wa Jalla, Yang Maha Suci dan Terpuji.

Pergi berhaji berdua dengan suami juga mempunyai arti lain. Perjalanan religius ini bisa menjadi honey moon alias bulan madu dengan nuansa yang benar-benar menakjubkan. Hadist yang bunyinya “Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan menahan (tidak memberi) karena Allah. Sungguh ia telah menyempurnakan keimanan.” benar-benar pas dan berkesan sangat dalam. Meski tidak dapat dipungkiri, hal-hal kecil seperti perbedaan pendapat, sedikit keras kepala dan kurang sabar kadang-kadang juga bisa saja timbul. Maklum kami kan hanya manusia biasa  . … 🙂

Selain beribadah kegiatan lain yang juga biasa dilakukan jamaah adalah belanja, mencari oleh-oleh untuk handai taulan. Biasanya tasbih, sajadah dan kurma yang menjadi sasaran utama. Juga abaya, pakaian Muslimah khas Arab Saudi yang biasanya berwarna hitam itu.

“ Lihat apa yang saya beli”, kata Fousia suatu pagi, sambil menunjukkan isi tas plastik besar bawaannya. “ Kamu ini ngapain sih,” potong suaminya setengah marah. “ Buat apa kamu beli pakaian sebanyak itu”.Ini kan bagus dan lagi murah .. G sampai 10 euro !”, jawab Fousia membela diri.

Saya dan suami tersenyum melihat keduanya berdebat. Saya hanya berharap semoga mualaf bule bernama asli Francine ini sekembalinya ke Perancis nanti mau mengenakan pakaian muslimah yang dapat menutup auratnya dengan baik. Teringat kata-katanya suatu hari di tenda Mina beberapa hari lalu : “ Saya pergi haji bukan karena mau menutup aurat tetapi untuk menjalankan rukun Islam ke 5”. Ini adalah jawaban pertanyaan saya kepadanya apakah sepulang haji nanti ia mau memakai pakaian Muslimah.

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS.Al-Ahzab(33):59).

Saya sendiri hal yang paling saya kejar adalah mencari wall paper gambar Ka’bah. Ketika haji 11 tahun lalu, kami membeli wall paper Masjidil Haram ukuran sekitar 2×4 meter. Wall paper tersebut hingga saat ini masih menjadi hiasan dinding musholla mini rumah kami di Jakarta. Sayangnya gambar Ka’bah di dalam wall paper tersebut terlalu kecil. Itu sebabnya pada kesempatan haji kali ini saya merengek suami tercinta agar mau menemani saya ‘hunting’ wall paper bergambar besar Ka’bah. Meski tidak mudah akhirnya kami menemukannya di sebuah toko yang lumayan jauh dari pintu Masjidil Haram yang menjadi ‘daerah kekuasaan’ kami, yaitu pintu 1 atau pintu King Abdul Azis. … Alhamdulillah.

Kini tibalah saatnya untuk kembali ke kehidupan sehari-hari. Selasa, 15 November, usai shalat subuh kami langsung melaksanakan thawaf Wada atau thawaf perpisahan. Thawaf ini wajib dilakukan oleh semua jamaah.  Sekitar pukul 10 pagi kami meninggalkan Mekah dan langsung menuju Jedah. Di bandara khusus haji ini kami harus menunggu selama hampir 13 jam sebelum akhirnya diterbangkan menuju Paris dengan transit terlebih dahulu di Amman, Yordania.

Namun perjuangan kesabaran dalam rangka meraih ridho’Nya belum selesai. Di bandara Amman kami masih harus menunggu lagi 5 jam. Sambil menunggu subuh, dengan beralaskan jaket dingin masing-masing para jamaah memanfaatkan waktu tersebut dengan tidur di kursi-kursi bandara. Bahkan ada juga yang di lantai bandara. Paris saat ini adalah musim dingin. Itu sebabnya jamaah membekali diri dengan jaket dingin.

Sekitar pukul 7 pagi pesawat take off. Penerbangan berjalan lancar. Hingga 1 jam sebelum tiba di Paris, awak penerbangan mengumumkan bahwa pesawat terbang terpaksa harus berbalik menuju Jenerwa, Switzerland ! Karena bandara Charles de Gaulle – Paris, tertutup kabut tebal hingga menyulitkan pendaratan.

Kami hanya bisa ber-istighfar. Yakin, bahwa ini adalah ketetapan Allah yang terbaik. Alhamdulillah, setelah 2 jam menanti di dalam pesawat di bandara Jenewa, pesawat kembali mengangkasa. Sekitar pukul 2 siang kami tiba di Paris dalam keadaan selamat.

Kamipun kemudian saling bersalaman dan berpelukan, tentu saja yang muslimah dengan muslimah dan yang muslimin dengan muslimin, saling meminta maaf dan akhirnya saling bertukar email address dengan saudara-saudari seiman yang selama 18 hari ini selalu bersama, dalam susah dan senang.

Ya Allah, terimalah ibadah haji kami ini. Bersihkanlah kami sebagaimana bersihnya bayi yang baru dilahirkan. Berilah kami kemauan dan kemampuan untuk mengisi sisa hidup ini dengan amal kebajikan yang Engkau ridhoi dengan mencontoh keteladanan Rasulullah Muhammad saw. Ya Allah, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka. Amiiin Ya Robbal ‘Alamiin …

“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdo`a: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat”.(QS.Al-Baqarah(2):200).

“Dan di antara mereka ada orang yang berdo`a: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka“..(QS.Al-Baqarah(2):201).

Yang tertinggal kini hanya flue yang terus betah menempel di tubuh ini hingga sebulan lebih. Tampaknya guyonan khas sesama haji “ Hanya unta yang tidak terkena flue” memang benar adanya. Semoga Allah membalas kesabaran dalam menghadapi penyakit ringan tapi cukup mengganggu ini dengan yang lebih baik, amiin …

Wallahu’alam bish shawwab.

Semoga bermanfaat.

Jakarta, 1 Februari 2012.

Vien AM.

Read Full Post »

« Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan. Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? » (QS.Ar-Rahman(55):28-30).

Dimulai dari Muzdalifah, lautan pasir dengan sajadah sebagai alas dan langit sebagai atapnya lalu Mina, bumi perkemahan dengan matras lipat sebagai alas dan tenda sebagai atapnya, kemudian pondokan Aziziyah, pondokan sederhana 5 km dari Mekkah dan terakhir Royal Mecca Tower Clock Hotel, hotel mewah bintang 5 yang terletak di pekarangan Masjidil Haram. Subhanallah … Alangkah nikmatnya ! Ini baru contoh kecil yang terjadi selama 18 hari perjalanan haji kami. Belum lagi segala nikmat yang telah diberikan Sang Khalik selama setengah abad lebih umur ini … Masya Allah …

«  Eits, hati-hati … jangan sampai kemewahan ini membuat kita lalai. Paling tidak, 1 jam sebelum azan sebaiknya kita sudah siap menuju Masjidil Haram”, begitu Raga mengingatkan.

“ Iya nih, bahaya .. Ini  bukan saat yang tepat untuk berleha-leha”, sambung suami saya sambil memandang sekeliling kamar hotel yang betul-betul mewah ini.

Sementara di bawah sana terlihat kompleks Masjidil Haram dengan Ka’bahnya yang tak pernah sepi dari jamaah yang thawaf mengelilinginya. Bahkan bukit-bukit batu cadas gagah perkasa yang seakan senantiasa siap melindungi kota suci ini dari segala kejahatan terlihat jelas dari kamar hotel kami. Begitupun Jabal Nur, bukit dengan bentuknya yang khas dimana terdapat gua yang sering dikunjungi Rasulullah, terlihat di ujung kanan kamar kami. Di gua inilah Rasulullah menerima perintah pertama Sang Khalik melalui malaikat Jibril as.

Subhanallah, bersujud saya di depan jendela besar yang terlihat kotor sekali karena memang pasti sulit dibersihkan. Merinding hati ini menyaksikan bait Allah dari ketinggian hotel. Secara fisik, dibanding puluhan hotel dan bangunan yang mengelilinginya, ‘rumah’ berbentuk kubus  ini  memang tidak ada artinya.

Namun justru inilah keistimewaannya. Ka’bah bukanlah bait (rumah) Allah dalam arti sesungguhnya. Ka’bah adalah rumah, lambang keberadaan-Nya dimana seluruh umat Islam harus menujukan arah dan pandangan, terutama ketika shalat. Ka’bah adalah lambang pemersatu umat Islam di seluruh dunia. Sang Khalik sendiri sebenarnya bersemayam di singgasana-Nya yang agung, yaitu Al-Arsy.

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa`at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran? “ (QS.Yunus(10):3

“ (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah”.(QS.Thaaha(20):5-6).

“ (Malaikat-malaikat) yang memikul `Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang bernyala-nyala”,(QS.Al-Ghofir(40):7).

Demikianlah, sebagaimana penduduk bumi, para malaikatpun ber-thawaf. Bahkan mereka ini thawaf jauh sebelum manusia diciptakan. Sejumlah hadist meriwayatkan bahwa setiap hari, 70 ribu malaikat berthawaf mengelilingi Baitul Makmur. Baitul Makmur ini terletak di bawah Arsy, di langit ke 7, tepat di atas Ka’bah.

Rasulullah bersabda ” Baitul Makmur adalah masjid yang berada di langit dan ia betul-betul diatas Ka’bah. Seandainya ia jatuh maka ia akan menghempaskan Ka’bah”.

“ Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat berlingkar di sekeliling `Arsy bertasbih sambil memuji Tuhannya; dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan: “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”.(QS.Az-Zumar(39):75).

Itu sebabnya, ketika thawaf, saya suka sekali memandang langit dimana Ka’bah dinaungi. Sungguh, betapa besar nikmat dan kehornatan yang diberikan Sang Khalik kepada kaum Muslimin, khususnya para jamaah haji dan umrah yang mau memahaminya. Allahuakbar !

Selama 6 hari 5 malam kami berada di Mekkah, kota suci yang dalam Al-Quran juga dinamakan Bakkah atau juga Ummul Qura’ ( ibu negri). Banyak sekali hikmah yang kami dapat selama itu. Berbaur dengan sekitar 3 juta saudara-saudari seiman yang datang dari segenap penjuru dunia, dengan tujuan yang sama yaitu demi memenuhi panggilan Sang Khalik, Allah Azza wa Jalla, benar-benar merupakan kesempatan yang amat langka.

“ Selamat menjalankan ibadah. Semoga Allah mempertemukan kita lagi, di surga nanti”, demikian yang dikatakan seorang jamaah dari Aljazair, sambil memeluk saya, usai shalat di Masjidil Haram.

“ Kalian sungguh beruntung. Meski kalian tidak mengerti bahasa Arab kalian tetap mengimani Al-Quran yang diturunkan kepada seorang nabi yang juga bukan berasal dari bangsa kalian”, puji seorang jamaah dari Syria mengomentari keterangan saya bahwa sebagian besar Muslim Indonesia dapat membaca Al-Quran meski tidak bisa berbahasa Arab.

“ Berbahagialah orang yang melihatku dan beriman kepadaku, lalu berbahagialah ( Rasul mengulang 3 kali) orang  yang tidak melihatku tetapi beriman kepadaku”. (HR. Ahmad dari Abi Sa’id al Khudri).

Belum lagi berbagai cerita saudari-saudari kita yang datang dari belahan bumi lain. Seperti seorang jamaah asal Pakistan dari Amerika Serikat yang menceritakan betapa setiap Jumat seminggu sekali ada saja orang yang bersyahadat di masjid dekat dimana ia tinggal.

Ada juga beberapa pengalaman mengenai jamaah yang tidak begitu memahami cara shalat. Diantaranya, datang terlambat dan ketinggalan shalat namun tidak menambah kekurangan rakaatnya. Maka berbekal “ Sampaikan walau satu ayat” saya beranikan diri untuk memberitahukan kekurangan tersebut meski ternyata ia tidak memahami apa yang saya katakan.

Banyak cara yang dapat kita lakukan untuk membuka komunikasi demi mengais ridho’Nya. Dengan berbagi sajadah misalnya. Suatu hari saya membeli sajadah sulaman buatan India yang sangat cantik. Sengaja saya memilih sajadah berukuran kecil karena berdasarkan pengalaman, terutama di tanah air, sering orang shalat berjamaah di atas sajadah masing-masing yang lebarnya rata-rata 60 cm, tanpa merapatkan barisan. Hal yang sama sekali tidak dianjurkan. Karena tempat yang renggang tersebut akan digunakan syaitan untuk mengganggu shalat kita.

Pada saat pertama akan menggunakan sajadah yang lama saya idamkan itu, ada rasa ragu untuk berbagi. Padahal jamaah di sebelah saya tidak membawa sajadah. Alhamdulillah dengan pertolongan bisikan Allah akhirnya saya membagi sajadah tersebut kepada ‘tetangga’ dengan posisi sajadah bagian kepala untuknya. Di akhir shalat, perbuatan yang tidak seberapa itu ternyata mampu membuahkan kebahagiaan tersendiri. Dengan tulus sambil tersenyum ‘tetangga’ tersebut mengucapkan terima-kasih, dalam bahasa yang tidak saya pahami tapi saya yakin maksudnya.

Atau dengan berbagi ‘kapling’. Shalat di bagian dalam Masjidil Haram pada musim haji, bukanlah hal yang mudah terutama bagi kaum perempuan. Betul-betul perlu tekad, keberanian dan kesabaran extra. Ini dikarenakan saking padatnya jamaah. Kita harus rela berdesak-desakan, menyelinap di antara jamaaah pada shaf-shaf yang super padat, bahkan tidak jarang terpaksa melompati kaki jamaah. Tetapi terus terang saya tidak mau melompati orang yang sedang shalat atau menekan kepala jamaah, hal yang sering dilakukan  jamaah non Asia.

Belum lagi bila kemudian diusir askar, penjaga Masjidil Haram, karena dianggap mengganggu jalanan atau bercampur dengan jamaah lelaki. Terpaksa kita harus keluar dan berjuang lagi mencari tempat shalat. Kalau ingin aman, shalat di lantai 3 yaitu di pelataran masjid memang lebih dijamin banyak tempat kosong, Namun untuk tembus menuju ke pintunyapun tetap perlu perjuangan keras, apalagi bila sudah dekat waktu shalat.

Bahkan pernah pada suatu hari Jum’at satu-satunya kami di Masjidil Haram, kami tidak bisa keluar dari mall dimana hotel kami berada. Pintu sengaja ditutup dan dijaga para askar demi mencegah jamaah dari pelataran masjid masuk ke mall untuk shalat Jumat. Rupanya bahkan pelataran masjidpun sudah tidak mampu menampung jamaah yang membludak. Padahal ketika itu masih 1 jam dari azan. Terpaksa kami shalat di dalam mall…. L

Ironisnya, ternyata banyak jamaah yang kelihatannya memang berniat shalat di pelataran bahkan di dalam mall. Ini terbukti jelas karena jauh sebelum azan mereka sudah memadati pelataran dan lantai mall padahal area di depan Masjidil Haram masih kosong. Malah saya dengar ada saja jamaah yang memilih shalat di dalam kamar hotel dengan alasan Ka’bah kan terlihat dari tempatnya shalat !.

( Bersambung)

Jakarta, 1 Februari 2012.

Vien AM.

Read Full Post »

Selasa, 12 Zulhijjah. Flue yang mulai menyerang saya ketika  mabit di Muzdalifah makin terasa mengganggu. Untuk itu pagi ini kami berniat ke pondokan Aziziyah agar bisa sedikit beristirahat. Ikut bersama kami, Raga dan suami yang kemarin sama-sama batal MCK alias Mandi Cuci Kakus ke pondokan.

Namun setelah istirahat hingga siang hari di kamar pondokan yang relative jauh lebih nyaman daripada tenda Mina, ternyata kondisi kesehatan saya bukannya membaik sebaliknya malah memburuk. Padahal saya sudah menelan obat, baik obat yang diberikan dokter bimbingan maupun yang diberikan oleh suami Raga yang kebetulan seorang dokter.

Hal ini membuat hati saya ciut untuk kembali ke tenda Mina. Apalagi bila membayangkan kondisi Mina yang makin hari makin memprihatinkan. Sampah yang menumpuk dimana-mana dan mulai menyebarkan baunya yang tak sedap. Kamar mandi dan toilet yang juga makin kotor, maklum digunakan ratusan orang dan tampaknya selama 3 hari ini tidak pernah dibersihkan.

Saya berdua suami mulai berpikir untuk mengubah niat awal dari nafar tsani menjadi nafar awal. Kami mendapat info bahwa nafar awal, yaitu mabit di Mina dan melontar jumrah hingga tanggal 12 Zulhijjah, hanya diperbolehkan bagi jamaah yang memiliki halangan, sakit misalnya. Bila tidak ada halangan mabit hingga tanggal 13 adalah lebih utama. Namun kami juga mendengar bahwa hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.

“Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya”.(QS.Al-Baqarah(2):203).

Yang jelas, pada haji yang kami lakukan 11 tahun lalu, kami mengambil nafar awal, padahal tidak ada halangan. Dan setahu kami inilah yang sering dilakukan sebagian besar bimbingan jamaah dari Indonesia.

Namun apapun keputusannya, kami tetap harus kembali ke Mina, karena hari ini kami belum melontar jumrah. Kami sengaja tidak melakukan jumrah pagi tadi sebelum ke pondokan karena afdolnya memang setelah Zuhur, hingga menjelang Magrib.

Kami juga mendapat kabar cukup menggembirakan, jamaah yang akan mengambil nafar awal akan diantar bus meninggalkan Mina menuju pondokan Aziziyah, beberapa saat sebelum Magrib. Karena bila setelah memasuki Magrib jamaah masih berada di Mina maka ia harus mengambil nafar tsani.

Segera setelah makan siang kami ber-empat-pun berkemas menuju jamarat. Seperti kemarin, kami harus melempar ke 3 jamarat, Ula, Wustho dan Aqabah. Menjelang memasuki terowongan terdapat sedikit perubahan. Jamaah yang menuju terowongan dan jamaah yang meninggalkan terowongan dipisahkan. “ Kenapa g dari kemarin ya .. begini kan lebih aman”, komentar suami saya.

Namun belum juga kami merespons komentarnya tiba-tiba kami melihat sejumlah kendaraan, dengan laju cepat, mendahului kami. Harap maklum, terowongan ini memang bukan terowongan khusus pejalan kaki. Terpaksa kami harus menyingkir dan berjalan super hati-hati.

Ini belum seberapa, karena sesampai di ujung terowongan, bus-bus dan kendaraan-kendaraan  pribadi tersebut memblokir jalanan hingga menyulitkan pejalan kaki. Sejumlah petugas berusaha mengatur lalu lintas.

“ Lihat” , celetuk Raga menunjuk jeep mewah yang berhenti persis di depan kami, karena tidak bisa bergerak “ nyonya di depan itu pasti istri pejabat .. trus yang di belakang itu pembantunya”. Saya hanya manggut-manggut sambil berpikir, yang duduk dikursi belakang itu wajah Indonesia, pasti TKW. Bossnya orang kulit hitam, mungkin pejabat, kalau di lihat gayanya. Nasiiiib … orang kita jauh-jauh pergi ke luar negri cuma jadi pembantu, kapan bisa maju ya … menyedihkan sekaligus memalukan, bisik saya dalam hati.

“ Kenapa sih, udah tahu jalanan padat gini koq bisa-bisanya naik mobil .. nyusahin aja ..Pasti malu banget tuh,  jadi tontonan orang banyak “, terdengar suara-suara berkomentar di belakang kami.

Saya jadi teringat. Ketika saya dan suami berhaji tahun 2000 lalu, di tengah-tengah keramaian menuju Jamarat, ada kendaraan pribadi lengkap dengan sirenenya datang. Katanya pejabat mau lewat … Orang-orang tentu saja mengomel karena merasa terzalimi …  Usut punya usut, eh, ternyata sang pejabat itu tak lain tak bukan adalah mantan presiden kita yang waktu itu sedang menjabat yaitu Megawati ! Addduuuh, malunya … salaaaah lagi, 😦

Singkat cerita, selesai sudah kewajiban lontar jamarat hari ini, Alhamdulillah. Sekarang  tinggal memastikan bahwa kami tidak ketinggalan bus. Kami segera bergegas pulang menuju tenda. Sepanjang perjalanan, mulai dari Jamarat hingga perkemahan, terlihat sampah luar biasa menumpuk. Saya merasakan suasana agak sepi. Ternyata sebagian besar jamaah sudah pergi meninggalkan perkemahan.

“ Waduh, jangan-jangan bus kita juga sudah berangkat nih”, saya berucap, benar-benar khawatir. Apalagi melihat langit sudah terlihat mulai gelap, tanda sebentar lagi Magrib.

Benar saja, ternyata bus sudah pergi, membawa separuh lebih teman-teman seperjuangan. Saya lihat kiri kanan tempat saya selama beberapa ini tidur, kosong. Sebagian jejeran matras yang biasanya memenuhi tenda sudah terlipat rapi.

« Ada pengumuman dari panitia. Katanya malam ini panitia tidak menyediakan konsumsi”, begitu seorang jamaah memberitahukan. Hah ?? Bingung saya dibuatnya. Katanya afdolnya malam ini masih mabit tapi mengapa sebagian besar jamaah sudah pulang dan panitia tidak menyediakan konsumsi pula bagi yang mabit. Selama di Mina ini pemerintah Arab Saudi sebagai tuan rumah menyediakan konsumsi, 3 x sehari, lengkap, ada buah, snack dan inuman kalengan. Semua gratis … Subhanaallah …

“ Sudah, tidak mengapa, tenang saja .. Nanti kita bisa beli makanan di luar. Kalau tidak, roti sisa sarapan tadi juga masih ada “, begitu hibur sesama jamaah. Ya sudahlah, saya tidak mau ribet, jalani saja. Tampaknya Allah azza wa jalla tidak meridhoi saya merubah niat awal dari nafar tsani menjadi nafar awal. Dialah yang mengetahui yang terbaik bagi hamba-Nya. Harapan saya  mudah-mudahan malam ini saya bisa istirahat, tidur nyenyak dan besok bangun pagi flue saya sudah berkurang … amiiin ya robbal ‘alamin.

Malam itu kami makan seadanya. Suami saya yang malam itu keluar untuk mencari makan bersama Sa’id, suami Raga hanya berhasil membeli 2 bungkus nasi ayam. Maka Raga membagi nasi bungkus tersebut menjadi 2 bagian dengan saya. Demikian pula teman-teman yang lain. Suasana persaudaraan sungguh terasa malam itu. Setelah menelan obat flue, saya bersiap-siap tidur. Saat itulah tiba-tiba, datang panitia membagi-bagikan kotak makanan. Rupanya ada kesalahan informasi. Tapi saya sudah terlanjur tidak ingin makan dan tetap pergi tidur. Besok pagi kami akan melakukan lontar jumrah terakhir. Saya ingin dalam keadaan fit.

Sesuai rencana, ba’da subuh, dengan membawa semua barang ( sebenarnya hanya 1 tas kecil saja karena kami memang tidak membawa banyak bawaan, sesuai anjuran pembimbing) saya dan suami berangkat ke Jamarat untuk melontar jumrah. Jalanan sepanjang menuju Jamarat terlihat betul-betul lengang begitu pula di Jamarat karena sebagian jamaah sudah meninggalkan Mina. Betul-betul pemandangan yang sangat berbeda dengan beberapa hari sebelumnya.

jamarat

jamarat

Bahkan para penjaja segala macam barang jualan yang biasa memenuhi pinggiran jalananpun sudah raib. Yang terlihat hanya para petugas kebersihan yang terlihat sibuk membersihkan sampah yang menggunung. Mulai batu-batu kecil yang berserakan di sekitar Jamarat, sandal-sandal yang tercecer, botol-botol plastik hingga kain ihram dan alas tidur yang ditinggalkan begitu saja.

Alhamdulillah, lontar ke 3 jumrah berjalan lancar. Dengan demikian usai sudah rentetan ritual haji. Lega sudah hati ini. Sekarang tinggal menanti tawaf Wada’ atau tawaf perpisahan yang menjadi tanda berakhirnya kunjungan jamaah ke Mekah. Ini berlaku baik bagi yang melakukan haji maupun umrah di tanah suci ini. Rencananya kami akan meninggalkan pondokan Aziziyah menuju Mekkah Al-Mukaramah sore atau malam ini. Belum ada kepastian jamnya.

Namun sebelumnya, kami menyempatkan diri untuk mengunjungi masjid Khoif yang sempat tertunda beberapa kali. Masjid ini sebenarnya hanya terletak di seberang Jamarat. Namun karena jalan masuknya agak jauh dan harus berputar, ditambah lagi waktu yang sempit dan selalu terburu-buru maka keinginan tersebut terpaksa tertunda terus hingga hari ini.

masjid khoif

masjid khoif

Menurut riwayat, di dalam masjid ini Rasulullah pernah mengerjakan shalat. Demikian pula para nabi as. Ketika kami berdua mengunjungi masjid yang cukup megah ini, masjid terlihat kumuh dan kotor. Masjid ini sesak oleh jamaah yang numpang tidur selama musim haji. Hingga karena saking penuhnya agak sulit kami mendapatkan tempat kosong untuk shalat. Kami kembali meneruskan perjalanan setelah menunaikan shalat sunnah 2 rakaat.

Malamnya, sesuai rencana, dengan 2 bus kami diberangkatkan ke Mekkah Al Mukarammah. Yang di luar rencana, ntah atas sebab jelas apa, jamaah yang datang berpasangan atau ber-3 dalam satu keluarga, kebagian menginap di hotel Royal Mecca Tower Clock ! Hotel yang terletak di pelataran Masjidil Haram ini adalah hotel mewah bintang 5 terbaru dimana kata “ALLAH’ dengan ukuran raksasa terpampang di atasnya.

Hotel yang memiliki jam extra besar dan biasa dijadikan tempat ‘rendez-vous’ para jamaah ini memiliki pengeras suara yang mampu mengumandangkan azan dari Masjidil Haram hingga sejauh 7 km. Sementara ribuan lampunya yang memancarkan cahaya hijau dan putih mampu menjangkau hingga jarak 28 kilometer. Sinar lampu ini sangat berguna dalam membantu orang-orang yang mempunyai masalah pendengaran hingga kurang dapat mendengar panggilan shalat alias azan.

Subhanallah .. Hanya itu yang dapat keluar dari mulut ini. Dari kamar kami di lantai 25, lantai tertinggi hotel, kami dapat memandang Masjidil Haram dengan Ka’bahnya, juga gua Hira, di kejauhan. Gua dimana Rasulullah untuk pertama kali menerima perintah «  Bacalah !”

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.(QS.Al-Alaq(96):1-5).

( Bersambung)

Jakarta, 28 januari 2012.

Vien AM.

Read Full Post »

Senin, 11 Zulhijjah, ba’da Subuh, ber-4 bersama suami dan sepasang suami istri, istrinya asal Maroko dan suaminya, seorang mualaf, dokter asli Guadalope, kami berangkat menuju Mekkah Al Mukarammah untuk mentuntaskan haji yang kemarin tertunda yaitu tawaf dan sai. Fousia dkk yang kemarin pergi bersama kami rupanya masih terlalu lelah hingga memilih untuk menunggu. Hal yang diperbolehkan karena tawaf Ifadah dan sai bisa dilakukan hingga akhir hari Tasyrik yaitu tanggal 13 Zulhijjah.

Kami berjalan kaki menuju Azizyah. Dari situ kemudian kami  menumpang bus dengan biaya masing-masing 20 riyal menuju Masjidil Haram. Kelihatannya ini bukan harga normal karena terjadi sedikit percekcokan antara sejumlah penumpang dengan kenek bus. Seperti yang sudah diperkirakan, lebih dari 2 jam bus baru tiba di kompleks Masjidil Haram. Diringi bunyi klakson kendaraan di belakang bus yang berhenti sembarangan, persis ketika naik tadi, kamipun turun dari bus, dengan perasaan was-was, khawatir tertabrak kendaraan yang menyerobot dari belakang. … 😦

Kami langsung masuk Masjidil Haram. Masya Allah  … Di siang  hari bolong tersebut area tawaf benar-benar padat oleh jamaah. Ini memang saat afdolnya. Sebenarnya bila tidak ingin terlalu berdesakan dan agak santai bisa saja kita tawaf di lantai 2 atau 3. Di lantai 2 malah tidak bakal kepanasan karena tawaf dilakukan di dalam masjid yang beratap. Tetapi kami tidak ingin melakukannya. Rasanya tawaf sedekat mungkin dengan Ka’bah lebih memuaskan meski harus berdesakan.

Awalnya Raga, demikian nama teman kami, ingin agar kami selalu berdekatan, bahkan kalau mungkin ber-4 terus bergandengan. Tetapi saya tidak setuju. Bergandengan lebih dari 2 orang dalam keadaan demikian padatnya sangat berbahaya, terutama bagi jamaah lain. Ini yang sering dilakukan rombongan berbagai negara terutama rombongan Indonesia dan Turki. Biasanya kalau sudah begini, mereka tidak mau dipotong dan tidak peduli dengan jamaah lain.

Setelah berembug, akhirnya kami semua setuju untuk sebisa mungkin bersama meski bergandengan hanya berdua, suami istri. Namun bila keadaan memaksa kami harus berpisah, masing-masing akan meneruskan Sai, shalat Zuhur dan kemudian bertemu di depan jam kecil di depan pelataran mall.

Dugaan kami benar, baru pada putaran pertama saja kami sudah terpisah. Tawaf kali ini benar-benar padat. Teriknya matahari yang berada nyaris tepat di atas kepala seakan tak berpengaruh. Kami  hanyut dalam pusaran ribuan jamaah tamu Sang Khalik yang berputar lambat dengan arah berlawanan jarum jam. Bangunan kubus hitam berukuran sekitar 12x10x15 m yang menjadi pusat perputaran benar-benar bagaikan magnet dengan kekuatannya yang maha dasyat. Tarikannya mencapai hingga puluhan meter. Ini terbukti dengan adanya tawaf yang dilakukan jamaah di lantai 3 pada jarak tersebut. Allahuakbar …

Tanpa terasa usai sudah 7 putaran. Dengan tubuh bermandikan peluh kami keluar dari putaran, dengan susah payah. Padahal kami sudah berusaha keluar putaran sedikit demi sedikit. Putaran yang terasa benar-benar padat dan agak mengganggu sebenarnya hanya ketika mendekati Hajar Aswad. Karena titik tersebut adalah titik permulaan tawaf dimana jamaah disunahkan untuk mengangkat tangan sebelah kanan, sebagai ganti tanda mencium Hajar Aswad yang hampir mustahil dilakukan,sambil mengucapkan “ Bismillahi Allahuakbar “.

Di titik inilah jamaah memulai dan mengakhiri tawaf. Lampu neon hijau yang dipasang di dinding masjid, di seberang dan searah Hajar Aswad menjadi patokannya. Jamaah biasanya berjalan agak pelan di tempat ini. Inilah yang menjadi sumber kemacetan.

Setelah berhasil keluar dari putaran, kami berhenti sebentar di depan Multazam untuk berdoa. Kemudian bergeser sedikit ke kanan untuk shalat di belakang maqam Ibrahim meski tidak konsentrasi dan agak terburu-buru karena khawatir tertabrak jamaah yang sedang tawaf. Selanjutnya kami segera menuju tempat Sai. Masih ada sedikit waktu sebelum masuk waktu Zuhur.

Benar saja, memasuki sai ke 5 azan berkumandang.  Kami segera mencari tempat untuk shalat di sekitar area tersebut agar usai shalat nanti dapat segera meneruskan kekurangannya, yaitu 2 x lagi.  Jangan kaget bila mendapati jamaah lelaki dan perempuan shalat bercampur di Masjidil Haram ini. Ini memang biasa terjadi pada musim haji, terutama pada saat-saat puncaknya. Laskar, sebutan bagi penjaga masjid yang bertugas mengatur ketertiban masjid, baru akan kembali menertibkan jamaah, memisahkan jamaah lelaki dan perempuan yang akan shalat, beberapa hari setelah puncak haji. Setelah masjid tidak terlalu padat karena sebagian jamaah telah pulang ke negaranya masing-masing.

Sesuai kesepakatan, usai menyempurnakan sai kami menuju tempat rendez-vous. Ternyata Raga dan suaminya, Sa’id yang sebelumnya memiliki nama baptis Richard itu, sudah menunggu. Kami segera mencari makan siang di dalam mall yang menempel dengan pelataran masjid itu. Setelah cukup lama mengantri meja kursi yang kosong, akhirnya kami mendapatkannya juga.  Alhamdulillah …

Namun belum sempat kami menyelesaikan santapan, azan Ashar telah berkumandang. Hebatnya, tak sampai 5 menit kemudian, serentak semua penjaga restoran menutup restonya. Kemudian berbaur dengan para tamu yang segera menggelar sajadah di dalam resto dan langsung bersiap mendirikan shalat jamaah dengan  ber-imam ke Masjidil Haram ! Masya Allah, indahnya …

Usai meneruskan santapan yang tadi tertunda, kami segera menuju terminal kendaraan umum yang terletak di bawah pelataran Masjidil Haram. Rencana untuk sekedar CMK alias Cuci Mandi Kakus di pondokan terpaksa ditunda karena waktu yang tidak memungkinkan. Bahkan kalau melihat traffic Mekkah seperti tadi pagi, tampaknya kami harus menyewa taxi kalau tidak ingin terlambat sampai di Mina. Atau terpaksa kena dam. …  😦

Dan tampaknya para pengemudi kendaraan umum di Mekkah ini tak mau kehilangan kesempatan emas tersebut. Bayangkan, pengemudi taxi meminta ongkos 200 riyal atau 450 ribu rupiah hanya untuk ke Aziziyah ! Rencananya dari sini kami akan berjalan kaki menuju Mina.

“ Itu sudah murah. Lihatlah kemacetan di depan sana. Saya harus kehilangan bensin dan waktu banyak untuk itu”, begitu sang pengemudi beralasan.

Apa boleh buat, kamipun mengalah. Namun begitu kami menaiki taxi, sopir membuka jendela taxinya dan berteriak kepada sopir taxi yang melintas disampingnya, menanyakan kemana jalan menuju Aziziyah ! Wadduuh … Ternyata sopir asal Pakistan yang baru beberapa bulan mukim di Mekah ini belum hafal jalan.

Tanpa banyak bicara, kami segera turun dari taxi dan mencari taxi lain. Kali ini sopirnya sudah berpengalaman. Ini semua berkat ‘interogasi’ yang dilakukan Raga yang bisa berbahasa Arab. Alhamdulillah … Namun ongkos tetap sama, 200 riyal .. Ya sudahlah ..

Dan memang tidak percuma ..  tak sampai setengah jam kami sudah tiba di tujuan. Sang sopir benar-benar hafal jalanan. Ia menempuh jalan-jalan tikus yang dengan gesit segera berputar begitu terjebak kemacetan.

Kami meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Mina ada di balik terowongan. Tak sampai 15 menit kemudian kami telah berada di Mina. Ketka melihat Jamarat di depan mata, tiba-tiba kami teringat bahwa ini adalah jadwal rombongan kami untuk melontar jumrah. Waktu yang afdol untuk melontar jumrah pada hari ke 2 hingga selesai nanti adalah memang selepas Zuhur hingga menjelang Magrib.  Maka kamipun memutuskan untuk mencegat rombongan tersebut.

Kami menunggu di depan perkemahan jamaah Indonesia sambil menyantap martabak Mesir yang rasanya tidak karuan itu. Jauuuuh dari martabak kita. Plus pop mie … 🙂 … Padahal pada hari-hari biasa saya dan suami tidak membiasakan mengkonsumsi mie instan tersebut minimal setelah 1 pekan berlalu.

Setengah jam lebih kami menunggu. Akhirnya kami memutuskan untuk  melempar jumrah tanpa menunggu rombongan. “ Bisa jadi mereka telah lewat tapi kita tidak melihat atau mungkin mereka merubah jadwal”, begitu kesimpulan kami.

Akhirnya kamipun pergi ke Jamarat. Hari ini kami harus melontar ke 3 jumrah dengan urutan jumrah Ula, Wustho kemudian Aqabah. Jadi tidak seperti kemarin yang hanya melontar jumrah terbesar yaitu jumrah Aqabah. Alhamdulillah, lancar tanpa kesulitan. Namun dalam perjalanan pulang tanpa pemberitahuan sama sekali tahu-tahu jalan menuju kemah yang sudah kami hafal ditutup petugas. Tentu saja kami kebingungan, begitu juga ribuan jamaah yang kemahnya berada di jalur tersebut.

Kami disuruh berputar mencari jalan lain. Namun ternyata akses ke jalur tersebut benar-benar tertutup. Tanpa penjelasan dan solusi yang jelas, komunikasi tidak lancar,  akhirnya terjadilah keributan dimana-mana. Ribuan jamaah kebingungan bagaikan kehilangan induk ayam. Puluhan penjaga yang bertugas menutup berbagai akses tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Ditanya baik-baik ada yang pura-pura tidak mendengar, ada yang menjawab seenaknya dan tidak sedikit malah yang membentak-bentak. Tampaknya mereka stres, se-stres para jamaah, termasuk saya. Apalagi hari makin bertambah gelap saja, menambah kegelisahan. Kesal rasanya hati ini melihat kami, para tamu Allah, diperlakukan semena-mena.

Karena jawaban petugas yang simpang siur akhirnya kami memutuskan untuk mencari peta saja. Setelah berjalan kesana kemari akhirnya kami menemukan sebuah peta besar Mina dipasang di tepi sebuah jalan. Di sebelahnya ada posko untuk membantu jamaah yang tersesat. Sejumlah petugas khusus dengan seragam yang berbeda bertugas di sekitar tempat tersebut. Namun nyatanya tetap tidak mudah. Setelah tersasar kesana kemari akhirnya pukul 8 malam sampai juga kami di perkemahan kami, perkemahan no 33, yang letaknya memang di ujung Mina, tak jauh dari spanduk besar «  End of Mina » … Alhamdulillah …

( Bersambung)

Jakarta, 24 Januari 2012.

Vien AM.

Read Full Post »

Minggu, 6 November 2011 / 10 Zulhijjah 1433H.

Usai subuh, saya segera merebahkan diri yang benar-benar penat ini ke atas matras lipat yang sekarang rasanya bagaikan kasur Dunlopillo ternyaman di dunia. Lega rasanya hati ini telah melewati bagian yang menurut saya tersulit yaitu mabit di Muzdalifah.

Namun baru saja saya mau memejamkan mata, saya melihat seraut wajah Abdul Rahim, jamaah Maroko suami Fousia, bule asli Perancis yang tidur di sisi kiri saya, muncul di sudut pintu tenda. Ia minta dipanggilkan istrinya yang juga sedang bersiap-siap tidur.

“ Ton marie. Il est la”, bisik saya kepada Fousia, memberitahukan bahwa suaminya memanggilnya. Fousiapun keluar menemui suaminya. Tak lama kemudian ia  kembali dan mengatakan bahwa mereka akan melempar jumrah pagi ini juga dan akan langsung menuju Mekah untuk Tawaf dan Sai. Ia menambahkan bahwa suami saya kelihatannya juga ingin ikut bergabung bila saya setuju.

Benar saja, tak lama kemudian suami saya muncul dan menyatakan keinginannya. “ Tanggung. Kita gabung aja yuk, supaya cepet beres, setelah itu baru istirahat”, ajak suami saya.

Maka berangkatlah kami ber-9 menuju Jamarat. Selain kami berdua, Abdul Rahim, Fousia, mertua Fousia dan seorang jamaah lelaki, ikut bersama kami 3 orang ibu yang menempati matras di sebelah kiri Fousia. Hari pertama melempar jumrah yaitu pada 10 Zulhijjah afdolnya adalah setelah matahari terbit. Jadi tidak heran ketika kami mendapati jutaan jamaah membentuk gelombang putih dari segenap penjuru Mina muncul mendekati Jamarat. Subhanallah .. hanya itu yang bisa keluar dari mulut ini.

Jarak dari tenda kami di Mina ke Jamarat sekitar 3.5 km. Jarak yang lumayan jauh untuk berjalan kaki. Tetapi karena jalanan amat ramai jarak tersebut tidak terasa jauh. Dan lagi karena seluruh  jalanan menuju ke tempat tersebut sangat lebar maka kepadatannya tidak membuat jamaah sampai harus merasa berdesak-desakan.

Bangunan jamarat saat ini benar-benar jauh berbeda dengan jamarat 11 tahun lalu. Tampak bahwa raja Abdullah yang saat ini memerintah Arab Saudi sangat memperhatikan kepentingan tamu-tamu Allah yang datang ke negrinya baik untuk berumrah apalagi berhaji.

Jamarat dibangun atas kerja sama arsitek lokal dan luar negri yang dikenal berpengalaman dalam pembangunan gedung bertaraf internasional seperti gedung olimpiade. Jamarat yang kabar pembangunannya menelan biaya sekitar Rp 11 triliun adalah sebuah bangunan megah berlantai 5 yang terdiri atas 3 bangunan setengah lingkaran yang saling berhubungan. Ke 3 bangunan ini dihubungkan oleh jembatan pada setiap lantainya. Sejumlah escalator melengkapi bangunan tersebut. Sementara 10 tangga naik dan 12 tangga keluar disiapkan sebagai tangga darurat.

Di dalam ke 3 bangunan inilah berdiri tegak jumrah Aqabah, jumrah Wustho dan jumrah Ula, dengan jarak masing-masing sekitar 300-an meter.  Namun ke 3 jumrah tersebut sekarang bukan lagi berbentuk tugu sederhana. Bangunan berbentuk pipih (elips) dengan panjang masing-masing 30 meter dan tinggi mencapai 10 meter telah menggantikan ke 3 tugu tersebut. Hingga dengan demikian rasanya tidak mungkin lagi seorang jamaah gagal melempar batu.

Jamarat dipersiapkan untuk menampung 500 ribu jamaah/ jam. Dengan demikian dalam waktu 6 jam, 3 juta jamaah diperkirakan dapat menuntaskan ritual melempar jumrah. Ritual yang telah berumur ribuan tahun ini adalah ritual warisan nabi Ibrahim as dalam rangka mengusir godaan syaitan yang ketika itu menganggu nabi Ibrahim as agar membatalkan perintah Sang Khalik untuk menyembelih putra satu-satunya tercinta, nabi Ismail as.

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “ Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”

Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).

Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu”,

Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”.

(QS.Ash-Shaffat(37):102-107).

Pelemparan jumrah dengan batu kerikil sebanyak 7 x ( 7 batu) untuk setiap tugu, yang dilakukan jamaah haji sejak disyariatkannya kepada umat Islam 7 abad silam adalah lambang perlawanan umat  Islam terhadap perbuatan dan sifat-sifat syaitan terkutuk. Sifat buruk yang ada di dalam hati manusia inilah yang harus dienyahkan.

Ironisnya, masih banyak orang yang menyangka bahwa jamarat itulah syaitan yang harus dilempari sehingga tak heran bila ada saja orang yang penuh nafsu melempari jamarat tersebut. Bukan hanya dengan batu kerikil saja sebagaimana  yang dianjurkan tapi batu-batu besar bahkan sandalpun ikut melayang. Saya benar-benar menyaksikan dengan kepala sendiri bagaimana sebuah sandal putih melayang.

Pada hari pertama hari Tasyrik ini, hanya jumrah Aqabah, jumrah terbesar yang dilempar batu. Dengan mengucap “ Bismillahiallahuakbar” seperti yang dicontohkan Rasulullah saw saya memulai pelemparan. Saya niatkan ini untuk membuang sifat egois saya. Selanjutnya berturut-turut hingga 7 x saya lemparkan batu ke arah jamarat tersebut dengan niat membuang sifat-sifat jelek, sifat yang hanya berhak dimiliki syaitan.   Ya Allah hilangkan dari hamba ini sifat-sifat dan kebiasaan syaitan terkutuk ini. Jangan biarkan ia datang dan bercokol lagi pada hamba-Mu yang lemah ini. Hanya kepada-Mu aku berlindung.

Berikut rekaman tentang Jamarah yang diambil dari youtube : http://www.youtube.com/watch?v=Hk1mrxWSBPI&feature=related

Selesai pelemparan jumrah, disunnahkan untuk segera menjauh dari tempat terkutuk itu, menghadap kiblat untuk berdoa kemudian meninggalkan tempat. Dengan selesainya jumrah Aqabah ini maka tahalul awalpun atau tahalul kecil sudah dapat mulai dilakukan. Bagi jamaah lelaki mencukur rambut hingga tuntas alias botak adalah yang paling afdol. Sementara bagi jamaah perempuan menggunting ujung rambut beberapa helai sudahlah mencukupi.

Dengan dilakukannya tahalul kecil berarti larangan-larangan ihrampun usai sudah kecuali hubungan suami istri yang harus menunggu hingga dilaksanakannya tahalul besar. Tahalul besar baru akan terjadi setelah jamaah melaksanakan tawaf ifadah dan sa’i.

Rencananya kami akan melaksanakan semua itu hari ini juga. Itu yang menjadi kesepakatan kami ber-9. Namun untuk memudahkan tawaf dan sai’ kami akan mampir di pondokan di Aziziyah terlebih dahulu. Para bapak ingin melepas ihram sebelum tawaf dan sa’i. Kebetulan pondokan kami memang terletak antara Mina dan Mekkah.

Jarak Mina–Makkah Al-Mukaramah sebenarnya hanya 7 kilometer. Pada keadaan normal dalam waktu 10 menit mustinya sudah sampai. Itu kalau kita menggunakan bus. Namun pada musim haji seperti ini bisa 4 jam-an baru sampai tujuan! Dan berjalan kaki biasanya malah lebih cepat dari naik bus.

Perhitungan kami karena pondokan terletak di perbatasan Mina dalam 1 jam kami akan sampai di pondokan, salin kemudian langsung ke Masjidil Haram. Tapi ternyata, tidak ada satupun diantara kami ber-9 yang hafal jalan !

Jalan ke luar dari Jamarat  begitu banyak. Semua jurusan padat jamaah dengan tujuan masing-masing yang berbeda-beda. Sebagian diantara kami memang bisa berbahasa Arab karena mereka memang keturunan Maroko meski ternyata bahasa Arab Maroko dengan bahasa Arab Saudi tidak persis sama. Akibatnya walaupun sudah bertanya-tanya tetap saja kami tersasar-sasar. Patokan kami saat itu pokoknya jurusan Makkah Al Mukarammah.

Untung akhirnya kami sampai juga meski harus makan waktu 3 jam ! Alhamdulillah .. Kami tiba di pondokan sekitar pukul 10 pagi. Rupanya kami mengambil jalan berputar. Mestinya dari Mina melewati pondokan Aziziyah baru Makkah. Ini terbalik. Kami memasuki pondokan Aziziyah setelah tersesat di jalanan Makkah yang benar-benar padat oleh bus, kendaraan umum lain, sepeda motor dan kendaraan pribadi yang terjebak kemacetan parah dan ratusan jamaah yang lalu lalang, menyelinap di antara kendaraan-kendaraan tersebut.

Wuih, benar-benar pengalaman yang membutuhkan extra kesabaran. Apalagi bila mengingat ketegangan-ketegangan yang terjadi di antara kami. Ada yang terus menerus mengeluh lelah, mengomel, menyalahkan dan berbagai kekesalan lainnya. Oya, bahkan salah satu bapak menghilang ntah kemana, hingga ketika kami sampai di pondokan rombongan tinggal 8 orang. Ya Allah semoga Kau maafkan kami semuanya …

Setelah berembug akhirnya kami sepakat untuk mengurungkan niat awal kami untuk tawaf dan sai demi menuntaskan haji kami hari itu. Kami semua terlalu lelah dan ingin istirahat terlebih dahulu. Apalagi mengingat hari ini adalah hari pertama  Tasyrik yang pasti bakal super padat. Sementara sebelum waktu Magrib kami sudah harus berada di Mina kembali. Terlalu besar resikonya. Yaah apa boleh buat .. masih ada esok hari, insya Allah.

Berdua dengan Abdul Rahim, suami saya memanfaatkan waktu luang tersebut untuk mencukur habis rambut mereka sebagai bagian dari tahalul awal. Yang ternyata untuk itupun juga harus antri hingga menjelang zuhur suami saya baru masuk kamar, mandi dan istirahat sebentar. Kami sepakat akan pulang ke Mina sekitar 14.30. Sengaja agak awal demi mengantisipasi tersesat lagi seperti pagi tadi … 😦  …

Walaupun ngaret dari rencana, ba’da ashar, sekitar pukul 15.30, ber-8 kami berangkat meninggalkan pondokan. Tak sampai 15 menit kemudian kami telah berada di Mina karena ternyata pondokan benar-benar terletak di perbatasan Mina, di seberang terowongan menjelang Jamarat.

mina

mina

Kami berjalan santai sambil menikmati pemandangan Mina dari atas jembatan. Ribuan tenda putih dengan kuncupnya yang khas memadati area yang dikelilingi bukit-bukit itu. Tak ada sejengkalpun tanah kosong juga di lembah sempit diantara bukit-bukit kecuali terisi tenda. Kalau bukan tenda putih resmi milik pemerintah ya tenda-tenda kecil milik pribadi. Takjub rasanya hati ini. Saksikanlah ya Allah betapa hamba-hamba-Mu memenuhi panggilan-Mu. Allahuakbar.

Tanpa terasa kami terpisah dari rombongan. Ketika saya menengok ke belakang terlihat teman-teman tengah berbelok menuruni jembatan yang jumlahnya banyak sekali itu. Yang kalau tidak mempunyai patokan yang jelas pasti akan mudah tersesat. Mereka melambai-lambaikan tangan mengajak  kami berdua agar mengikuti mereka. Padahal saya yakin seyakin-yakinnya bahwa jalur yang kami berdua tempuh saat itu adalah jalur yang benar untuk kembali ke perkemahan.

Saya yakin hal tersebut berkat berkibarnya bendera merah putih yang dipasang berselang-seling dengan bendera  Malaysia sepanjang jembatan menuju Jamarat. Bahkan suara pembimbing kita dalam bahasa Indonesia yang berkali-kali mengingatkan agar jamaah Indonesia berhati-hati ketika melempar jumrah dan agar melindungi jamaah yang sudah sepuh tadi pagipun masih terngiang-ngiang jelas di telinga ini. Karena sebuah kompleks besar perkemahan jamaah Indonesia memang berdiri di depan jalan yang kami lalui. Perkemahan ini kalau dari Jamarat terletak sebelum terowongan yang menuju perkemahan kami. Bahagia rasanya melihat sang merah putih dan  mendengar bahasa kita terdengar di tanah suci ini. Jamaah Indonesia seperti biasa memang menempati no 1 jamaah terbanyak. Subhanallah …

Ironisnya, ntah bagaimana, koq kami semua tidak bertukar mencatat no hp. Akibatnya suami saya terpaksa menghampiri mereka dan berusaha meyakinkan bahwa jalur yang benar adalah jalur yang kami pilih. Paling tidak itulah jalur yang tadi pagi dilalui. Ntah kalau ada jalur lain yang kami tidak tahu. Sayang mereka tidak percaya dan yakin mereka yang benar … 😦   Maka demi menghindari perbantahan berkepanjangan yang memang dilarang ketika berhaji, akhirnya kami sepakat untuk berpisah dan memilih jalur yang diyakini masing-masing. Apa boleh buat …

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. … … “.(QS.Al-Baqarah(2);197).

Singkat cerita. Beberapa saat setelah Magrib, ketika saya memasuki tenda, saya disambut muka masam ke- 3 ibu tadi. Saya tidak melihat Fousia sementara  mertuanya sudah tertidur pulas di atas matrasnya. Ke 3 nya mengomeli Fousia karena ternyata mereka tadi sempat tersesat dan ia dianggap yang paling bertanggung-jawab.  Saya hanya diam saja.

Namun kemudian mereka tersadar bahwa saya kembali lebih sore lagi dari mereka. “ Kamu tersesat juga ?”, tanya salah satu ibu. “ Tidak”, jawab saya ringan. “ Kalau begitu kenapa kamu baru sampai?”, selidiknya lebih jauh. “ Kami mampir dulu untuk melihat-lihat dan membeli oleh-oleh. Kami juga berhenti sebentar untuk menikmati pop mie yang banyak dijual di depan perkemahan Indonesia”, jawab saya sambil menunjukkan tas plastik berisi  oleh-oleh yang saya beli. Terbayang pasti di sepanjang jalan tadi Fousia diomeli ke 3 ibu tersebut, pikir saya.

Tak lama kemudian Fousia masuk tanpa menoleh kepada mereka dan sedikit tersenyum kepada saya meski tanpa mengucapkan  kata sepatahpun. Saya hanya mengelus dada, berharap kejadian ini tidak merusak silaturahim apalagi sampai merusak haji kami. Na’udzubillah min dzalik …

Saya segera keluar lagi  untuk wudhu dan shalat Magrib. Sebentar lagi azan Isya akan dikumandangkan.  Sepanjang di Mina kami mendirikan shalat dengan di jama’ kecuali Subuh tentunya. Begitulah yang dicontohkan Rasulullah saw.

 ( Bersambung).

Jakarta, 21 Januari 2012.

Vien AM.

Read Full Post »

Menjelang pukul 21.00 bus memasuki Muzdalifah. Awalnya saya tidak menyadari bahwa bus telah sampai tujuan. Saya hanya bertanya-tanya mengapa para jamaah hilir mudik di tepi jalan raya penuh debu beterbangan ini?  Saya sama sekali tidak mengira bahwa inilah Muzdalifah.

Terus terang saya memang tidak begitu ingat Muzdalifah. Karena ketika haji 11 tahun lalu kami hanya berhenti sebentar ditepi jalan raya. Dibawah sinar lampu kuning jalan yang terang benderang, kami turun dari bus dan mencari sejumlah batu kecil untuk keperluan melempar jumrah. Keadaan tidak begitu ramai kalau tidak mau dibilang sepi. Setelah itu kami kembali menaiki bus dan duduk manis di dalamnya, ntah berapa lama, yang pasti hingga lewat tengah malam, untuk kemudian beranjak menuju Mina. Mungkin karena saking sebentarnya itu saya sampai tidak sempat memperhatikan suasana sekeliling dan tidak menyimpan kenangan khusus.

Saya baru kembali memikirkan Muzdalifah setelah mendengar cerita teman-teman yang pergi haji dan bermalam di tempat tersebut. “ Sunahnya kan begitu.  Tidur hingga melewati tengah malam alias mabit  di atas bebatuan dengan atap langit “, jelas mereka membuat saya hanya bisa termangu. Terselip sedikit rasa kecewa mengapa dulu kami tidak melakukan hal ini. Rasa kecewa ini tanpa terasa menyelinap jauh ke dalam hati sanubari. Jujur, sebenarnya inilah salah satu penyebab utama mengapa kami ingin mengulang haji kami.

Muzdalifah dalam bayangan saya adalah suatu tempat dimana kita bisa ikut merasakan bagaimana dulu para nabi dibuat terpukau oleh Sang Khalik dengan benda-benda langit ciptaan-Nya. Yaitu dengan didekatkannya pada alam terbuka. Patut diingat sebagian besar utusan Allah pernah mengalami kehidupan sebagai penggembala. Yang dengan demikian selain kesabaran yang tinggi mereka juga sangat dekat dengan alam karena keseharian mereka berada di bawah langit nan luas, dimana milyaran bintang menghiasinya.

“ Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang”,(QS.As-Shaffat(37):6).

Berikut perjalanan spiritual nabi Ibrahim as dalam rangka mencari tuhannya yang diabadikan dalam ayat 75-79 surat Al-Anam.

“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku” .

Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam“.

Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”.

Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”.

Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar“,

maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”.

Dengan bekal seperti itulah saya memasuki Muzdalifah. Di bawah deretan sinar lampu kuning jalanan yang tidak terlalu terang, saya melihat ratusan jamaah lalu lalang . Sementara sederetan bus berjubel mengantri untuk menurunkan jamaah yang makin lama makin menggunung. Debu dan asap knalpot bercampur menjadi satu. Ditambah lagi angin yang lumayan kencang, membuat udara bertambah kotor. Untung bukan angin panas dan udara juga tidak panas. Alhamdulillah …

Semakin mendekat semakin terlihat jelas, mulai  dari tepi jalanan itu sampai jauh ke depan sana,  betapa ribuan bahkan mungkin jutaan jamaah dengan kain ihram kumalnya, ntah dengan alas apa,  bergeletakkan, tanpa tenda atau apapun yang melindungi.  Saya betul-betul terkesima.  Ini kumpulan manusia atau onggokan sampah yang tercecer ??

«  Kita telah tiba di Muzdalifah. Kita akan berada di tempat ini hingga menjelang subuh. Bagi yang sakit atau ada hambatan lain diperkenankan meninggalkannya mulai pukul 2 pagi », terdengar suara pembimbing membuyarkan keterhenyakan saya.

Seakan terlempar dari ketinggian, saya merasa terhempas dan benar-benar terpukul. Kepala saya terasa pening, mual terasa perut ini. Oh, manusia … bagaimana kita bisa merasa sedemikian sombong, angkuh dan memiliki derajat paling tinggi  …

“ Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.(QS.As-Sajadah(32):7-9).

Dari tanah kembali ke tanah. Ya, itulah ungkapan paling tepat bagi manusia saat itu.

Rombongan segera turun dari bus. Kami mendapat ‘kapling’ di tepi jalan menghadap toilet umum. Tak ada komentar apapun yang keluar dari mulut sesama jamaah. Perlahan saya gelar sajadah sederhana yang sengaja saya beli untuk keperluan ini. Beberapa teman ada yang menggelar tikar lebar. Ada yang membawa ‘sleeping bag’. Bahkan ada yang nekat membawa selimut tebal milik tenda Mina.

Pembimbing sebenarnya memang telah mengizinkan jamaah membawa ‘sleeping bag’. Tapi yaitu tadi, saya benar-benar tidak menyangka kondisinya seperti ini. Namun kalau dipikir pasti akan beda kesannya kalau saya tidur di dalam ‘sleeping bag’, mungkin …

Segera saya istighfar. Secara berkelompok kamipun mendirikan shalat magrib dan isya yang digabung. Inilah yang dicontohkan Rasulullah saw.

“ Tidak ada amalan khusus kecuali tidur. Berusahalah istirahat meski sebentar. Masih banyak yang harus kita lakukan setelah ini”, bisik Sabrina, jamaah muda asal Mauritania yang tidur di sebelah saya mengingatkan.  Tak lama kemudian saya lihat sahabat baru saya yang bersuamikan asli Perancis ini tertidur pulas di atas sajadahnya. Iri saya dibuatnya.

Saya memandang suami saya yang kebagian kapling di baris depan kiri saya. Saya lihat ia juga tidak tidur. Ia sedang membaca Al-Qurannya. Namun saya tidak yakin ia bisa membaca dengan baik. Karena lampu-lampu yang dipasang di padang pasir ini, meski banyak jumlahnya , tidak cukup terang untuk keperluan membaca.

Masih ada sedikit rasa khawatir di hati ini. Dengan kain ihramnya itu, ia masih terlihat pucat. Muntaber yang baru dialaminya kemarin bisa saja datang kembali. Apalagi dengan kondisi lapangan seperti ini. “ Ya Allah, mudahkanlah urusan ini. Sehatkan dan pulihkanlah kembali kesehatannya, amiin “.

Perlahan, dengan maksud agar pasir tidak terlalu berterbangan, saya membaringkan diri, mencoba untuk tidur.  Meski masker telah menutupi hidung, tak urung debu mulai mengganggu pernafasan ini. Hidung saya mulai mampet. Saya terus beristighfar, memohon agar supaya kami berdua lulus dari cobaan ini.

Berbaring terlentang memandang bintang-bintang di langit meski udara tidak terlalu bersih membuat hati menjadi tenang.  Bukit-bukit yang mengelilingi padang dimana para jamaah tergeletak pasrah seolah menjaga kami dari kejahatan dan kegelapan malam terlihat begitu gagah perkasa. Ya Allah tidak percuma Kau ciptakan semua ini ya robb.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini de ngan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.(QS.Ali Imran(3):190-191).

Terima-kasih ya Allah telah Kau berikan kami berdua kesempatan untuk menyaksikan tanda-tanda kebesaran-Mu. Berilah kami dan seluruh jamaah yang saat ini sedang berada di padang Muzdalifah ini kemampuan untuk mengambil hikmah atas segala kejadian. Jadikanlah haji kami mabrur, ya Allah.

Tampak jelas bahwa Sang Khalik telah mengatur segala sesuatu dengan sebaik-baiknya; yang lalu, yang sedang berlalu dan yang akan berlalu. Allah azza wa jalla adalah sebaik-baik pembuat skenario yang tak akan lekang oleh waktu, yang senantiasa akan tetap ‘up to date’ hingga akhir zaman nanti.

Padang Arafah yang merupakan puncak haji, pada zaman Rasulullah saw, adalah padang luas yang panas terik. Sama hingga kini. Bedanya, sekarang jamaah tidak perlu kepanasan karena pemerintah Arab Saudi, sebagai tuan rumah yang baik, telah mendirikan tenda-tenda bagi jamaah supaya tidak terlalu tersiksa oleh teriknya panas matahari. Apalagi mengingat bahwa puncak haji yang merupakan rukun haji  tersebut harus dilalui seluruh jamaah tanpa kecuali, mulai matahari sedikit tergelincir dari atas kepala yaitu waktu zuhur hingga matahari terbenam, yaitu waktu Magrib.

Namun sebaliknya, dengan berdirinya ribuan tenda dimana jamaah berlindung di dalamnya maka pesan penting padang Arafah jadi kurang begitu terasa. Suasana di padang Arafah mustinya merupakan cerminan pengadilan akhir zaman dimana semua manusia dikumpulkan di padang masyar untuk menanti keputusan Sang Khalik atas segala tindak tanduk kita. Manusia pada saat itu hadir hanya dengan kain kafan putih, satu-satunya bekal yang dibawa ketika kita masuk kubur. Kain ihram para jamaah lelaki inilah yang mewakili busana akhir kita kelak.

Di tempat itu (padang Mahsyar), tiap-tiap diri merasakan pembalasan dari apa yang telah dikerjakannya  dahulu dan mereka dikembalikan kepada Allah Pelindung mereka yang sebenarnya dan lenyaplah dari mereka apa yang mereka ada-adakan”.(QS.Yunus(10):30).

Akan tetapi dengan adanya mabit di Muzdalifah, kekurangan tersebut dapat digantikan. Di tempat inilah justru saya dapat merasakan fenomena pengadilan akhir zaman di Arafah yang hilang itu. Jadi alangkah ruginya jamaah yang tidak menjalani mabit di Muzdalifah, itu pendapat saya pribadi, terutama bagi yang meyakini bahwa mabit di Muzdalifah adalah bagian dari apa yang dicontohkan Rasulullah saw.

Sekitar pukul 2 pagi, suami saya mengajak mencari makanan. “ Laper nih, cari yang anget-nget yuk”, ajaknya. Beruntung di tempat tersebut ada sejumlah penjual makanan meski tidak banyak pilihannya. Paling tidak adalah penjual kopi, teh panas dan biskut, cukup untuk sekedar pengganjal rasa lapar di pagi hari yang cukup dingin itu.

Tanpa terasa waktu berlalu. Menjelang subuh kamipun meninggalkan Muzdalifah menuju tenda Mina. Tiba-tiba saja bayangan tenda dengan matras lipat dan segala keterbatasan fasilitasnya menjadi terasa begitu mewah, dibanding tidur di Muzdalifah.

Maka ni`mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”(QS.Ar-Rahman(55):16).

( Bersambung)

Jakarta, 17/1/2012.

Vien AM.

Read Full Post »

Older Posts »