Feeds:
Posts
Comments

Archive for July 8th, 2024

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a:

Allahumma inni a’udzu bika minal ‘ajzi wal kasali, wal jubni wal haromi wal bukhl. Wa a’udzu bika min ‘adzabil qobri wa min fitnatil mahyaa wal mamaat. (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan rasa malas, rasa takut dan keburukan di waktu tua, dan sifat kikir. Dan aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur serta bencana kehidupan dan kematian).” (HR. Bukhari no. 6367 dan Muslim no. 2706).

Hadist di atas mengajarkan bagaimana Rasulullah berdoa memohon kepada Allah swt, agar seorang Mukmin terhindar dari sifat lemah, malas, rasa takut dan keburukan di hari tua serta sifat kikir. Juga agar terhindar dari siksa kubur yang sangat mengerikan serta dari bencana kehidupan dan kematian.

Semua orang pasti akan mengalami ketuaan kecuali Allah swt berkehendak lain. Dan kita semua menyadari bahwa masa tua adalah masa dimana keadaan fisik dan kesehatan sudah banyak berkurang. Tulang sudah mulai  keropos hingga shalat tidak tahan berdiri lama, penglihatan mulai memudar hingga membaca huruf-huruf Al-Quran kurang jelas, daya ingat menurun hingga sulit menghafal ayat-ayat suci Al-Quran apalagi memahaminya, dll. Itu adalah kodrat,

“ … … kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, … … “.( Terjemah QS.Al-Hajj(22):5).

Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu; dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa”. ( Terjemah QS.An-Nahl (16):70).

Ayat di atas menyatakan bahwa manusia diwafatkan ada yang dalam usia muda/dewasa namun ada juga yang diberi kesempatan hidup yang saking panjangnya hingga menjadi pikun. Tentu tak satupun orang mau dan ingin menjadi tua dalam keadaan pikun. Namun bila Sang Khalik berkehendak sudah pasti kita tidak akan mampu melawan kehendakNya.  

Lalu apa yang dapat kita lakukan agar ketika kita mengalami hal tersebut kita tetap dapat mendapatkan pahala yang di hari Hisab nanti akan menjadi pemberat timbangan kebajikan kita. Bukankah Allah adalah Zat yang Maha Adil, maka tidak mungkin Ia mendzalimi apalagi melanggar janji-Nya.  

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara :[1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,[2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,[3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,[4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,[5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir).

Hadist di atas secara tegas menyatakan, “Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu”, bahkan di urutan pertama. Ini menunjukkan bahwa ketika tua kita tidak akan mampu beramal ibadah sebaik dan sekuat ketika kita masih muda. Itu sebabnya Allah swt memerintahkan kita untuk mengerjakan amal ibadah sejak muda, tidak menunggu dan menundanya hingga tua, lemah dan sakit-sakitan. Menunaikan ibadah hajinya, contohnya. Rukun Islam ke 5 ini benar-benar membutuhkan tenaga dan kesehatan yang prima. Begitu pula berpuasa.   

Namun karena kasih sayang dan adil-Nya, Allah swt akan tetap menghitung amal kebaikan mereka yang sudah tua dan tidak sanggup lagi mengerjakan amal ibadah, sesuai dengan apa yang biasa mereka kerjakan ketika muda. Tidak sanggup tentu tidak sama dengan malas. Masya Allah … Alangkah beruntungnya orang yang sejak muda senantiasa menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Namun demikian, ada hal lain yang perlu diperhatikan, yaitu jangan pernah puas dengan amalan yang kita lakukan. Apalagi bermalas-malasan merasa cukup dengan ibadah wajib saja yang sebenarnya belum tentu ditrima Sang Khalik. Itu sebabnya Rasulullah mengajarkan kita untuk melakukan ibadah-ibadah sunnah dengan tujuan dapat menambal kekurangan ibadah wajib kita.

Disamping itu, meski umat Islam dijamin masuk surga berkat syahadatnya, namun tetap harus melewati proses yang tidak sedikit. Diantaranya adalah melewati jembatan Shirothol Mustaqim. Jembatan yang membentang di atas neraka ini selain sangat tipis, juga tajam hingga sangat sulit untuk dilewati.

Orang Mukmin (berada) di atasnya (shirâth), ada yang secepat kedipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang secepat angin, ada yang secepat kuda yang amat kencang berlari, dan ada yang secepat pengendara. Maka ada yang selamat setelah tertatih-tatih dan ada pula yang dilemparkan ke dalam neraka. Mereka yang paling terakhir merangkak secara pelan-pelan”. (Muttafaqun ‘alaih).

Itu sebabnya Allah Azza wa Jala memerintahkan umat Islam untuk membaca surat Al-Fatihah pada tiap rakaat shalat kita. Jumhur ulama menafsirkan bahwa ayat 6 dan 7 surat tersebut adalah permohonan agar kita dapat melewati jembatan Shirothol Mustaqim tanpa kesulitan. Shirothol Mustaqim ini bisa dilewati berdasarkan kwalitas amal perbuatan manusia. Ada yang secepat angin namun tidak sedikit yang harus berkali-kali jatuh bangun.

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Mereka melewati shiroth sesuai dengan tingkat amalan mereka. Di antara mereka ada cahayanya seperti gunung, ada cahayanya yang seperti pohon, ada cahayanya setinggi orang berdiri, yang paling sedikit cahayanya sebatas menerangi ampu kakinya, sesekali nyala sesekali padam”. ( HR. Ibnu Abi Hâtim dan Ibnu Jarîr).

Hadist diatas menerangkan tentang cahaya yang dimiliki seorang beriman. Cahaya inilah yang akan menyelamatkan kita ketika menyebrangi Shirotol Mustaqin. Inilah salah satu hikmah Allah swt memerintahkan umat Islam untuk berwudhu.

Sesungguhnya umatku akan dihadirkan pada hari kiamat dengan wajah berseri-seri karena sisa air wudu, maka barangsiapa diantara kalian yang mampu memanjangkan cahaya wajahnya maka lakukanlah” (HR. Bukhari).  

Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan”. ( Terjemah QS.Al-An’am (6):122).

“Dan dibentangkanlah shirâth di atas permukaan neraka Jahannam. Maka aku dan umatku menjadi orang yang pertama kali melewatinya. Dan tiada yang berbicara pada saat itu kecuali para rasul. Dan doa para rasul pada saat itu: “Ya Allâh, selamatkanlah, selamatkanlah……di antara mereka ada yang tertinggal dengan sebab amalannya dan di antara mereka ada yang dibalasi sampai ia selamat”. [HR. Muslim].

Akhir kata semoga kita dapat mengamalkan doa Rasulullah saw diatas. Memanfaatkan waktu muda dan sehat kita dengan sebaik-baiknya, hingga ketika kita tua dan tidak lagi sanggup melakukannya, Allah swt akan tetap mencatatnya seperti ketika kita muda, aamiin yaa robbal ‘aalamiin …

Wallahu ‘alam bish shawwab.

Jakarta, 8 Juli 2024.

Vien AM.

Referensi:

https://almanhaj.or.id/10712-mengimani-shirath-jembatan-di-atas-neraka-2.html

Read Full Post »