Rabat, ibu kota Maroko, pusat pemerintahan.
Menjelang pukul 5 sore kami tiba di Rabat. Melalui jendela mobil kami menikmati pemandangan kota yang terletak di tepi laut Atlantik ini. Rabat tampak lebih modern, teratur dan bersih dari kota-kota lain di Maroko yang kami kunjungi.
Secara harfiah Rabat berarti tempat berbenteng, dari kata bahasa Arab ribath yang artinya menjaga. Ar-Rabat atau Ar-Ribat berarti tempat berbenteng. Faktanya memang Rabat telah menjadi benteng Muslim sejak masa Khulafaur Rasyidin, sekitar tahun 700 M. Itu sebabnya kota ini mendapat julukan Kota Seribu Benteng. Maroko juga termasuk negara yang unik, karena memiliki 2 ibu kota. Yaitu Rabat sebagai ibu kota administrasi dan Casablanca sebagai ibu kota industri.
Maroko adalah Negara Islam berbentuk kerajaan dengan bendera berwarna merah darah dengan bagian tengah bintang berwarna hijau. Warna merah memiliki arti keberanian dan bintang hijau dengan sudutnya yang 5, menggambarkan 5 rukun Islam. Sedangkan lambang negaranya adalah bintang berwarna hijau dengan latar belakang warna merah pegunungan Atlas dan matahari terbit yang diapit oleh dua singa.
Dilambang Negara tersebut terdapat tulisan dalam bahasa Arab “Tansurul laaha yansurkum” yang artinya “Jika Anda memuliakan Tuhan, Dia akan memuliakan Anda“. Kalimat tersebut merupakan penggalan ayat 7 surat Muhammad.
Kepala negara Maroko saat ini adalah raja Mohammed VI. Raja Maroko memegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yang luas, terutama dalam militer, kebijakan luar negeri dan urusan agama. Bahasa resmi yang diakui Negara ada tiga yaitu Arab, Amazigh ( Berber) dan Perancis. Mengapa Perancis? Karena Maroko pernah berada dibawah kekuasaan Perancis selama 44 tahun yaitu sejak tahun 1912 hingga kemerdekaannya pada tahun 1956.
Setelah melewati istana raja dengan halamannya yang sangat luas dan dilindungi tembok besar, menara pensil Muhammad VI dan gedung teater opera yang diarsiteki seorang muslimah kelahiran Irak bernama Zaha Hadid, Muhammad menurunkan kami di Kasbah Udaya.
Kasbah Udaya adalah benteng kota yang dibangun pada abad 11 dan merupakan Warisan Dunia UNESCO sejak 2012. Dari Kasbah inilah pemandangan indah samudra Atlantik dan kota modern Rabat dengan bangunan-bangunan berarsitektur modern seperti menara Muhammad VI dan gedung teater Opera sekaligus menara kuno Hassan terlihat. Sementara di sisi gerbang utama terletak old medina Rabat. Sungguh sebuah perpaduan yang menarik.
Dari Kasbah Udaya kami menuju menara Hassan yang terletak pada pelataran yang sama dengan mausoleum Mohammed V. Menara Hassan mulai dibangun pada tahun 1195 oleh Sultan Yakub al-Mansur dengan tujuan menjadikannya masjid terbesar di dunia pada saat itu. Namun 4 tahun kemudian, kalifah Almohad ketiga tersebut meninggal dunia dan pembangunan masjidpun dihentikan.
Padahal pembangunan masih jauh dari target. Tinggi menara ( 44m) baru setengah dari yang diinginkan bahkan masjidnya sendiri baru berupa tiang meski sudah banyak, yaitu 200 tiang. Orang awam yang menyaksikannya pasti tidak mengira bahwa hal tersebut tidak disengaja. Karena tiang-tiang tersebut justru menjadi daya tarik tersendiri untuk spot foto wisatawan yang berdatangan.
Sementara itu Mausoleum Muhammad V yang merupakan makam kerajaan berada di pelataran yang sama dengan menara Hassan baru dibangun ratusan tahun kemudian, yaitu antara tahun 1961 dan 1971. Bangunan modern dengan sentuhan arsitektur khas Maroko ini menampung makam raja Muhammad V dan 2 putranya, yaitu pangeran Moulay Abdallah dan Raja Hassan II. Bersama menara Hassan, mausoleum ini menjadi bagian Situs Warisan Budaya UNESCO.
UNESCO baru-baru ini juga menetapkan Rabat sebagai World Book Capital 2026. Artinya kota ini telah diakui berhasil membudayakan penduduknya untuk cinta buku. Ini dibuktikan dengan banyaknya perpustakaan dan taman bacaan berkwalitas serta berhasil tampil di forum internasional. Sungguh sebuah prestasi bergengsi. Sebelum Rabat, gelar World Book Capital 2025 diberikan kepada Rio de Janeiro di Brasil dan Strasbourg di Prancis untuk tahun 2024.
Esoknya kami melanjutkan perjalanan ke Casablanca yang hanya berjarak sekitar 90 km dari Rabat. Sekali lagi kami disuguhi lukisan indah ciptaan-Nya tapi kali ini pemandangan susur pantai lautan Atlantik bukan pegunungan seperti sebelumnya.
Di Casablanca kami langsung menuju Ricks’s Café karena rasa penasaran mengapa semua travel Indonesia ke Maroko merekomendasikannya. Ternyata keistimewaan café ini karena pernah menjadi tempat shooting film berjudul “Casablanca” yang menurut sebuah survey masuk peringkat teratas dalam daftar film lawas yang ‘wajib’ ditonton.
Film bertemakan cinta dengan latar belakang PD II ini dibuat pada tahun 1942 dibintangi 2 pemain film kenamaan pada masanya, yaitu Humphrey Bogart dan Ingrid Bergman. Ketika kami tiba di tempat terlihat antrian turis yang datang dengan bus-bus turis. Kami hanya berfoto dan menyempatkan “mengintip” menu masakannya yang harganya selangit itu.
Selanjutnya dengan mobil kami menyusuri “ la corniche” alias jalan susur laut Casablanca dengan jalur pejalan kakinya yang super lebar hingga keindahan laut dapat dinikmati semua orang tanpa dipungut bayaran sepeserpun. Temperatur sekitar 15 derajat di awal museum Dingin ini menambah kenyamanan menikmati kota ini. Di muslim Panas temperatur bisa mencapai 40 derajat Celcius. Boulevard ini dimulai dari ujung teluk dimana masjid Hassan II berdiri megah tinggi menjulang hingga melewati mercu suar di ujung teluk di sisi seberangnya.
Dari la corniche kami langsung diantar ke stasiun kereta api Casa Voyajeur untuk menuju Marrakech. Jarak Casablanca – Marrakech 242 km ditempuh sekitar 3 jam dengan kereta api.
Marrakech, kota pariwisata.
Marrakech mempunyai banyak julukan selain kota pariwisata. Yaitu kota merah karena bangunan di kota ini semua terbuat dari tanah merah dan juga kota tujuh orang saleh” ( Sebaatou Rizjel) karena disanalah tujuh sufi terkenal berkiprah dan dikebumikan. Marrakech juga mempunyai julukan mutiara dari selatan.
Kota ini terletak di barat daya Maroko, di kaki pegunungan High Atlas. Marrakech ialah kata Berber yang artinya negeri Tuhan. Mayoritas penduduk di kota yang didirikan pada tahun 1062 dan pernah menjadi ibu kota Maroko ini ialah suku Berber. Atinya Marrakech telah menjadi pusat kebudayaan dan perdagangan selama berabad-abad.
Seperti kota-kota di Maroko lainnya, Marrakech memiliki 2 bagian utama: old medina alias kota tua dan kota modern. Di kota ini terutama di kota tuanya berdiri banyak sekali bangunan peninggalan bersejarah, tak salah bila kota menjadi salah satu kota budaya yang dilindungi UNESCO.
Sekitar pukul 3 sore kami tiba di stasiun kereta api Marrakech yang berada di bangunan modern di kota baru Marrakech. Selanjutnya dengan taxi ( orang Maroko menyebutnya Grand Taxi/Petit Taxi) kami diantar ke kota tua yang jaraknya tidak begitu jauh dari stasiun. Lalu dengan berjalan kaki sambil menyeret koper menyusuri jalan-jalan kecil diantara keriuhan souk/pasar, akhirnya tiba kami di riad yang telah kami pesan sebelumnya.
Setelah cek-in kami langsung menuju Djemaa el-Fna yang ternyata sangat dekat dengan riad yang kami tinggali. Djemaa el-Fna adalah alun-alun terbesar dan teramai tidak saja di Maroko tapi juga Afrika. Turis manca negara dan turis lokal terlihat hiruk pikuk berbaur dengan para pedagang yang menjual berbagai barang dagangan. Disana-sini terlihat orang bergerombol menyaksikan penduduk asli memamerkan bermacam atraksi seperti bermain musik tradisional, bernyanyi, menari, pertunjukkan api, sulap, monyet bahkan ularpun ikut beraksi. Tenda-tenda makanan yang menyajikan makanan tradisional seperti tajin, kuskus dll disesaki para tamu. Pedagang berbagai buah-buahan segar untuk diolah menjadi jus tak mau kalah berteriak-teriak menawarkan dagangannya.
Puas menikmati keramaian Djemaa el-Fna kami berjalan menuju masjid Koutubia yang merupakan ikon Marrakech. Masjid ini merupakan simbol kekayaan sejarah dan budaya kota ini. Masjid Koutubia dibangun pada tahun 1150 dengan batu pasir merah, dengan desain campuran arsitektur Islam Andalusia dan Spanyol yang dikenal dengan nama Hispano-Moresque.

Menara masjid setinggi 77 meter yang dijuluki “Roof of Marrakech” ini puncaknya dihiasi dengan 4 bola bersusun dari emas murni. Menara masjid ini menjadi model untuk pembangunan menara Masjid Giralda di Kota Sevilla, Spanyol dan menara Masjid Hassan II di Rabat, Maroko. Karena kemiripan bentuk dan desainnya, ketiga menara ini kerap disebut sebagai tiga seri menara kembar. Tampaknya julukan “Roof of Marrakech” ini yang menjadi alasan bahwa gedung di kota ini tidak boleh melebihi tinggi masjid Koutubia.
Sesuai namanya yaitu masjid Koutubia ( Koutub dari kata Kitab dalam bahasa Arab yang artinya buku) masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat shalat namun juga sebagai tempat belajar karena memiliki perpustakaan dengan buku bermacam topik tidak hanya tentang Islam.
Lagi-lagi sayangnya, begitu tiba di depan masjid, seperti juga masjid di kota-kota lain di Maroko, masjid tutup dan hanya bisa dimasuki menjelang waktu shalat wajib. Apa boleh buat, kami terpaksa harus puas memandangnya dari luar, dilanjutkan dengan berjalan-jalan di taman sekitarnya. Marrakech dikenal mempunyai banyak taman luas.
Esok paginya, ketika melewati alun-alun Djemaa el-Fna, kami dibuat takjub melihat alun-alun yang kemarin malam begitu ramai, pagi ini telah terlihat bersih dari segala sampah. Dan Alhamdulillah kami berdua sempat mendirikan shalat Zuhur ( dan Asar ) secara berjamaah di masjid Kuotubia begitu adzan berkumandang. Dari penjaga riad, kami baru mengetahui ternyata masjid tersebut baru dibuka kembali beberapa hari lalu akibat gempa yang terjadi pada September 2023 lalu. Gempa dahsyat berskala 6,8 Richter di barat daya Marrakech tersebut menewaskan nyaris 3.000 orang, kebanyakan di desa-desa terpencil pegunungan High Atlas. Sejumlah bangunan bersejarah di Marrakech dan juga sekitar masjid Koutubia runtuh tapi masjid Koutubia sendiri hanya mengalami sedikit kerusakan.
( Bersambung).
Leave a comment