Isu SARA ( Suku, Agama dan Ras )adalah isu yang paling ditakuti bangsa ini. Ia bagaikan momok menakutkan yang pantang untuk dibicarakan. Mereka yang tetap nekat membahasnya akan dikategorikan ke dalam tindak kejahatan subversi yang dapat ditangkap dan perlu diamankan. Menurut catatan, banyak kerusuhan diakibatkan hal ini. Meski ada laporan bahwa kerusuhan dan konflik yang dimaksud tak pernah diusut secara tuntas, apa substansinya, hingga terkesan bahwa konflik di masyarakat karena SARA sarat dengan kepentingan politik.
Istilah SARA pertama kali dipopulerkan oleh Laksamana Sudomo, Panglima Kopkamtib di masa Orde Baru, yang telah berakhir pada tahun 1998 lalu. Pada masa itulah benturan antara mayoritas dan minoritas bangsa ini, baik agama maupun suku dan ras, kerap terjadi. Padahal sejatinya, justru perbedaan sikap pemerintah yang mencolok terhadap kedua kelompok inilah yang menjadi penyebab konflik. Bukan SARA yang tampaknya sengaja dikambing-hitamkan.
Yang menjadi pertanyaan, adakah hari ini, isu SARA yang maha heboh itu masih pantas untuk dipertahankan, sakral untuk dibahas dan dibicarakan. Terutama untuk unsur agamanya. Karena bagaimanapun agama tidak sama fungsi dan kedudukannya dengan suku ataupun ras.
“ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat49):13).
Suku dan ras adalah ketetapan, takdir yang tidak bisa dan tidak mungkin kita memilihnya. Ini benar-benar hak prerogative Sang Khalik, Allah swt sebagai pemilik. Ia yang memilihkan kita, siapa orangtua kita, dari suku dan ras mana kita dilahirkan. Sementara agama, bila ia mau, dengan akal dan hati nuraninya, bisa memilih apa yang dianggapnya paling benar, baik dan sesuai dengan dirinya. Meski sepintar dan sepandai apapun, ilmu agama tidak sepenuhnya dapat dicerna oleh akal sehat manusia.
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah hingga ia fasih (berbicara), maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Baihaqi dan Ath-Thabarani).
Pada tahap-tahap tertentu, manusia bisa saja menggunakan akalnya untuk mengikuti ‘cara kerja’ Tuhannya. Bagi orang pandai, dengan catatan hatinya bersih dari segala prasangka buruk, makin pandai dan tinggi ilmu pengetahuan dan sainsnya, ia akan makin menyadari betapa kecilnya manusia itu. Betapa makin digali, teori dan ilmunya itu ternyata akan ‘mentok’, terhalang oleh sesuatu yang tidak dilihatnya, sesuatu yang ghaib. Itu sebabnya, bahkan Einsteinpun menambahkan factor X didepan teori relativitasnya yang fenomenal itu.
Disadari atau tidak, agama adalah kebutuhan setiap manusia normal. Jadi sebenarnya adalah wajar bila manusia mencarinya. Namun dengan adanya isu SARA di negri ini, orang jadi sulit memenuhi kebutuhan tersebut. Bagaimana orang dapat mencari kebenaran sebuah agama bila membicarakannya saja tabu bahkan dianggap melakukan subversi. Padahal sejatinya agama adalah pengetahuan dasar, yang bisa dan boleh dibicarakan dimanapun kita berada. Tidak bisa dikekang, dikerangkeng hanya di dalam masjid.
Mayoritas rakyat negri kita adalah Muslim. Islam mengajarkan agama adalah nafas kehidupan. Itu sebabnya apapun kegiatan kita adalah karena-Nya dan untuk Nya, yang nilainya sama dengan ibadah. Islam bukan hanya kegiatan ritual seperti shalat dan puasa, tapi segala aspek kehidupan. Termasuk dalam hal memilih pemimpin. Meskipun Negara kita bukan Negara syariat Islam tapi bukan juga Negara sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Ini adalah hak seluruh Muslim.
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS. An-Nisa(4):144).
Para pendiri Republik Indonesia tercinta sangat menyadari pentingnya agama dalam kehidupan. Tanpa ridho Tuhannya, mustahil Negara kita bisa maju dan berkembang. Itu sebabnya sila pertama Pancasila adalah tentang ketuhanan, yaitu Ketuhanan yang Esa. Artinya, setiap warga wajib memiliki agama. Di dalam piagam Jakarta yang merupakan cikal bakal pembukaan UUD 45, sila pertama tersebut aslinya bahkan menyebut Islam sebagai agama resmi rakyatnya.
Yang patut diingat, Islam tidak pernah mengajarkan permusuhan kepada umat agama lain. Konsep negara Madinah, negara pertama islam dalam sejarah dunia, menjadi buktinya. Setiap umat wajib mematuhi hukum agamanya. Pengusiran terhadap umat Yahudi baru terjadi setelah terbukti mereka mengkhianati perjanjian yang ditanda-tangani Rasulullah saw sebagai kepala Negara, dengan perwakilan Yahudi. Itupun bertahap, tidak semua suku Yahudi, namun suku yang bersangkutan saja. Meski semua suku agama yang dibawa oleh nabi Yakub as dan keturunannya seperti nabi Yusuf as, nabi Musa as, nabi Daud as, nabi Sulaiman as dan nabi Isa as atau Yesus orang Kristen menyebutnya, pada akhirnya terpaksa harus hengkang dari Madinah dan Makah. Ini dikarenakan mereka sendiri yang berkomplot memusuhi Islam dan nabi Muhammad saw sebagai nabinya.
Bangsa Indonesia sebagai Negara mayoritas Muslim mustinya mencontoh hal ini. Muslim sebagai mayoritas harus dapat melindungi kaum minoritas. Sebaliknya kaum minoritas harus menghormati kaum mayoritas. Keadilan mustinya proposional sesuai jumlah pemeluk agama, hingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Patut diingat bahwa kaum minoritas mempunyai hak sebagai tetangga yang harus dihormati dan diperhatikan.
Dakwah atau ajakan masuk Islam, yang merupakan kewajiban Muslim harus dilakukan dengan santun, tidak memaksa. Karena sejatinya kebaikannya untuk yang diajak bukan yang mengajak. Jadi dakwah harus dilandasi rasa kasih sayang agar saudara/saudari atau kenalan kita selamat dari azab dan kemurkaan Allah swt.
“ Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.(QS. Al-An’am(6):108).
Mungkin ada baiknya urusan tiap agama itu dibawah pengawasan direktorat agama masing-masing. Ini agar supaya kemurnian tiap agama dapat dijaga sebaik mungkin, agar kesesatannya dapat diantisipasi. Karena tidak dapat dipungkiri dalam setiap zaman, kesesatan dalam agama selalu saja muncul, apapun motivasinya.
Amerika Serikat, negara besar mayoritas Kristen yang mengklaim diri sebagai Negara demokrasi, jelas-jelas melarang aliran sesat Kluxklux clan dan Children of god. Namun di Indonesia, pelarangan Syiah, Ahmadiyah, JIL dll dianggap melanggar demokrasi dan toleransi beragama. Padahal MUI sebagai lembaga pengawasan agama yang resmi diakui negara sudah mengeluarkan instruksi bahwa aliran-aliran tersebut sesat. Sama dengan mayoritas negara2 islam seperti Malaysia dll.
“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Sesungguhnya (ummat) agama ini (Islam) akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya satu golongan di dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, al-Hakim dan ad-Darimi).
“Aku wasiatkan kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah, tetaplah mendengar dan taat, walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Sungguh, orang yang masih hidup di antara kalian setelahku akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid‘ah. Dan setiap bid‘ah itu adalah sesat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Perpecahan dalam tubuh Islam makin hari makin makin menjadi-jadi sebagaimana telah diprediksi Rasulullah. Sebagai contoh sederhana, penetapan Hari Raya Iedul Fitri saja belakangan ini kerap tidak bersamaan. Padahal teori yang digunakan dari dulu sama yaitu hilal dan hishab, tidak pernah berubah. NU dan Muhammadiyah yang merupakan dua lembaga besar Islam yang memiliki pengaruh besar di mata rakyat Indonesia, dari dulu juga sudah ada. Lalu apa yang salah di negri ini??
Hukum di Indonesia sudah cukup banyak, rasanya tidak perlu ditambah lagi. Tinggal pelaksanaannya. Kita bisa melihat betapa pelanggaran hukum sering sekali terjadi tanpa ada hukumannya. Dari pelanggaran berat yang dilakukan pejabat sampai pelanggaran ringan yang dilakukan rakyat jelata secara masal pula. Contoh sederhananya yaitu para pengendara sepeda motor yang tanpa rasa bersalah sedikitpun menjalankan kendaraannya melawan arah dan melanggar lampu lalu lintas. Kuncinya jelas, tidak ada ketegasan dari penegak hukum!
Tampaknya inilah saat yang tepat untuk memilih pemimpin yang tegas, selain tentu saja yang bisa melindungi hak dan kewajiban kita sebagai Muslim. Yang dapat memimpin dan mengarahkan arah demokrasi yang benar, bukan demokrasi kebablasan tanpa batas, yang dapat membuat para PSK merasa berhak menjalankan kegiatan prostitusi dll. Naudzubillah min dzalik.
Ikuti apa kata mayoritas ulama yang jelas ke-shaleh-annya, ulama yang bukan hanya menjadikan Islam sebagai wacana dan perdebatan publik. Kalau perlu ulama yang bukan simpatisan partai bila kurang percaya kepada partai Islam. Biarkan mereka yang mempertanggung-jawabkan ajakan/pilihan mereka.
“ … … Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. … … “. (QS. Fathir(35):28).
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 10 Juni 2014.
Vien AM.
Leave a Reply