Al-Quran menggunakan kata “Aqimus shalaah” untuk perintah shalat, bukan “if’alus shalaah” (kerjakan shalat). Begitu pula dalam seruan iqomah yang dikumandangkan setelah adzan sesaat sebelum shalat, kata yang digunakan adalah kata “qodqoomati sholat” yang artinya sama dengan “Aqimus shalaah”, yaitu dirikanlah sholat.
“ … Aqiimu sholah (dirikanlah sholat), tunaikanlah zakat….” (Terjemah QS. An-Nisaa(4):77).
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, aqimus shalaah (mendirikan shalat) dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. … “.(Terjemah QS. Al-Baqarah(2):277).
Mendirikan shalat dan mengerjakan shalat tidaklah sama. Mendirikan shalat ibarat bangunan, adalah fondasi atau tiang agar bangunan di atasnya dapat berdiri kokoh dan kuat. Atau ibarat pohon, mendirikan shalat adalah akar yang kuat, yang mampu menopang batang dan rantingnya. Jadi shalat yang membuahkan hasil yang baik, yang mampu mencegah dari perbuatan jahat, menjauhkan dari segala sesuatu yang dibenci dan diharamkan-Nya, seperti mencuri, korupsi, berzinah dll, itulah yang dimaksud mendirikan shalat.
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar…”. (Terjemah QS.Al-Ankabuut(29):45).
Perintah shalat telah turun sejak awal kenabian, yaitu melalui ayat 1-3 surat Al-Muzzammil berikut :
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya)”.
Namun perintah shalat 5 waktu sehari baru turun setelah 10 tahun kenabian. Perintah tersebut langsung Allah swt turunkan kepada Rasulullah saw pada peristiwa spektakuler Isra Mi’raj.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah bersabda:”… Lalu Allah mewahyukan kepadaku suatu wahyu, yaitu Dia mewajibkan shalat kepadaku 50 kali sehari semalam. Lalu aku turun dan bertemu dengan Musa as. Dia bertanya, “Apa yang telah difardhukan Tuhanmu atas umatmu?” Aku menjawab, “Shalat 50 kali sehari semalam”. Musa berkata, “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan karena umatmu tidak akan mampu melakukannya. Akupun telah menguji dan mencoba Bani Israel”. Maka akupun kembali kepada Tuhanku, lalu berkata, “Ya Tuhanku, ringankanlah bagi umatku, hapuslah lima kali.” Lalu aku kembali kepada Musa seraya berkata, Tuhanku telah menghapus lima kali shalat”. Musa berkata, “Sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup shalat sebanyak itu. Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”. Maka aku bolak-balik antara Tuhanku dan Musa as hingga Dia berfirman, “Hai Muhammad, yang 50 kali itu menjadi 5 kali saja. Setiap kali setara dengan 10 kali sehingga sama dengan lima puluh kali shalat……”. Akupun turun hingga bertemu lagi dengan Musa as dan mengatakan kepadanya bahwa aku telah kembali kepada Tuhanku sehingga aku malu kepada-Nya”. (HR Muslim)
Peristiwa ini terjadi ketika Rasulullah dalam keadaan kesedihan yang luar biasa. Paman Rasulullah yaitu Abu Thalib yang selalu melindungi Rasulullah dari kejahatan orang-orang Quraisy, dan Khadijah ra, satu-satunya istri Rasulullah yang selalu mendukung dakwah Rasul sekaligus menghibur beliau, dipanggil menghadap Sang Khalik dalam 1 tahun yang sama. Peristiwa menyedihkan tersebut disebut Amul Huzni ( Tahun Kesedihan).
Dari kisah di atas dapat disimpulkan shalat sebenarnya adalah kewajiban sekaligus hak kaum Muslimin sebagai cara berkomunikasi langsung dengan Tuhannya, dimana ia dapat mengadukan nasib dan segala keluh kesahnya. Itu sebabnya shalat yang didirikan atas dasar kebutuhan akan Tuhannya mampu membersihkan diri dari berbagai penyakit hati seperti iri, dengki, sombong, cepat marah dan sebagainya.
Disamping itu shalat yang didirikan atas dasar ketaatan sekaligus harap akan ridho-Nya, sudah pasti akan mendatangkan kenikmatan tersendiri. Cahaya ma’rifatullah akan terus menyertainya hingga iapun mampu menjadi cahaya di tengah masyarakatnya. Ibarat pohon, batangnya mampu menjadi sandaran, daun dan rantingnya mampu memberikan keteduhan, buahnya mampu memberikan kelezatan dan bunganya mampu menyegarkan mata yang memandangnya.
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”. ( Terjemah QS. Ibrahim(14):24-25).
“Awal hisab seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka seluruh amalnya baik, dan apabila buruk maka seluruh amalnya buruk.” (H.R. At-Thabrani)
Sebaliknya shalat yang dilakukan sekedar menghilangkan kewajiban, sekedar penggugur dosa, karena adanya unsur keterpaksaan, tanpa niat untuk mengingat dan mendekatkan diri kepada-Nya, tidak akan mampu membuahkan kebaikan. Itulah beda “mendirikan shalat” dan “melakukan shalat”.
“ … wa aqimis shalat ( dan dirikanlah sholat) untuk mengingat-Ku. ” QS Thoha (20: 14).
Namun demikian shalat sejatinya bukan monopoli kaum Muslimin. Karena para nabi sebelum Islam datangpun telah menerima perintah tersebut, meski tidak dengan cara yang sama dengan apa yang diperintahkan kepada kaum Muslimin. Inilah yang dinamakan syariat. Setiap nabi membawa syariatnya masing-masing.
Pada awal datangnya Islam, kiblat shalat kaum Muslimin sama dengan kiblat umat nabi lain yaitu Masjidil Aqsho di Palestina. Namun seiring dengan berjalannya waktu Rasulullah sangat menginginkan suatu hari nanti Sang Khalik menganugerahi umat beliau kiblat khusus yang berbeda dengan umat nabi lain. Kiblat yang diharapkan Rasulullah tak lain adalah Ka’bah di Mekah yang sudah tak asing bagi beliau. Dan karena kasih sayang-Nya yang begitu besar, Allah kabulkan keinginan tersebut. Masya Allah …
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”. ( Terjemah QS. Al-Baqarah (2):144).
Sejak itulah kaum Muslimin senantiasa menghadap ke Ka’bah di Mekah ketika shalat. Dan sebagai pemeluk sekaligus pengikut yang baik, wajib bagi kita sebagai umat Islam untuk mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah saw, termasuk dalam hal shalat dan persiapannya yaitu wudhu. Uniknya shalat maupun wudhu yang dilakukan Rasulullah tersebut tidak dijelaskan di dalam Al-Quran. Tidak ada satupun ayat dalam Al-Quranul Karim yang menerangkan jumlah rakaat dalam tiap shalat. Demikian pula gerakan-gerakan shalat seperti rukuk, wujud dll. Juga keterangan tentang shalat wajib dan sunnah. Itulah pentingnya umat Islam menjadikan Hadist sebagai pegangan.
Rasulullah saw. bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat.”
Yang juga patut menjadi catatan, ternyata orang yang shalatpun bisa jadi Allah masukkan sebagai orang yang celaka, sebagaimana ayat berikut :
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (Terjemah QS. Al-Maa’uun(107):4-5)
Ibnu Mas’ud mengatakan, demi Allah, mereka tidak meninggalkan semua shalat. Andai mereka sama sekali tidak shalat, mereka kafir. Namun mereka tidak menjaga waktu shalat. Ibnu Abbas mengatakan, ‘Makna ayat’ adalah mereka mengakhirkan shalat hingga keluar waktu. (Zadul Masir, 6/194).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan menyebut shalatnya orang munafik. Dia secara sengaja menunda-nunda waktu shalat, hingga mendekati berakhirnya waktu shalat.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Itulah shalatnya orangn munafik .. duduk santai sambil lihat-lihat matahari. Hingga ketika matahari telah berada di antara dua tanduk setan (menjelang terbenam), dia baru mulai shalat, dengan gerakan cepat seperti mematuk 4 kali. Tidak mengingat Allah dalam shalatnya kecuali sedikit”. (HR. Muslim 1443 & Ahmad 11999).
Na’udzubillah min dzalik, semoga kita bukan termasuk orang yang lalai, aamiin …
Terakhir, shalat dapat memperkokoh tali persaudaraan dan silaturahmi sesama muslim. Yaitu dengan digalakannya shalat berjamaah di masjid atau mushola, khususnya bagi laki-laki.
“Barangsiapa yang shalat isya` berjama’ah maka seolah-olah dia telah shalat malam selama separuh malam. Dan barangsiapa yang shalat shubuh berjamaah maka seolah-olah dia telah shalat seluruh malamnya.” (HR. Muslim no. 656).
“Perumpamaan kaum mukminin satu dengan yang lainnya dalam hal saling mencintai, saling menyayangi dan saling berlemah-lembut di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota badan sakit, maka semua anggota badannya juga merasa demam dan tidak bisa tidur”. [HR. Bukhâri dan Muslim,
Itulah persaudaraan Islam (Ukhuwah Islamiyah) yang belakangan sangat kendur hingga mudah di adu domba. Padahal yang demikian akan membuat kita lemah dan mudah diserang musuh-musuh Islam.
Dari Muadz bin Jabal Rasulullah bersabda :
“Pucuk urusan adalah Islam, tiangnya adalah Sholat dan punuknya adalah Jihad”.
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 2 Mei 2019.
Vien AM.
Leave a Reply