Adalah kodrat manusia, perempuan tertarik kepada lelaki, dan lelaki tergoda kepada perempuan. Yang tidak normal, di luar kodrat bahkan haram dalam pandangan Islam adalah tertarik ( secara hubungan seksual) dengan sesama jenis. Namun demikian ketertarikan dua jenis kelamin berbeda tersebut harus dikendalikan, diatur sesuai kehendak Sang Khalik, tidak diumbar dan dibiarkan lepas begitu saja tanpa kendali. Itulah perbedaannya dengan binatang.
Rasulullah saw bersabda, ”Pernikahan adalah sunnah-ku, karena itu barangsiapa yang tiada menyukainya maka ia bukan termasuk umatku .”
Sunnah terbagi atas dua jenis sebagaimana sabda Rasulullah: ”Sunnah itu ada dua macam : (1) sunnah yang merupakan suatu kewajiban, yang jika diikuti niscaya beroleh petunjuk dan jika ditinggalkan niscaya tersesat. Dan (2) sunnah yang bukan kewajiban, yang bilamana dikerjakan niscaya mendapat pahala (keutamaan) dan jika ditinggalkan bukan merupakan suatu kesalahan.”
Pernikahan dalam Islam hukumnya adalah sunnah yang termasuk dalam sunnah kelompok pertama, yaitu jika diikuti niscaya beroleh petunjuk dan jika ditinggalkan niscaya tersesat. Artinya, Allah swt mengganjar hambanya yang mau menikah bukan saja dengan pahala yang banyak namun lebih utama lagi beroleh petunjuk. Karena menikah dapat menjauhkan seseorang dari perbuatan zina yang sangat dilaknati dan dimurkai-Nya.
“Dan orang-orang yang tidak menyembah Rabb yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, ……” ( Terjemah QS. Al Furqon(25): 68-70).
Zina bukan hanya melakukan persetubuhan antar pasangan yang bukan muhrim, tapi juga termasuk perbuatan-perbuatan yang membangkitkan syahwat.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (Terjemah QS. Al Isro’(17): 32).
Hukuman perbuatan zina amatlah berat karena zina merampas kehormatan dan merusak nasab. Padahal ajaran Islam itu menjaga kehormatan jiwa, agama, nasab, akal dan harta. Bahkan seluruh agama menyatakan bahwa zina itu terlarang, tidak ada satu pun agama yang menyatakan halal.
Ironis bagi rata-rata orang Barat ( non Islam ) zina adalah hal biasa, bukan perbuatan buruk. Menurut mereka zina adalah kebutuhan dan kesenangan manusia yang harus tersalurkan seperti juga kebutuhan makan dan minum. Setidaknya itulah pemikiran yang dipopulerkan Sigmund Freud pada awal abad 20. Freud adalah seorang Yahudi asal Austria yang dikenal sebagai bapak teori Psikoanalisis. Freud seperti juga temannya sesama ahli psikologi kenamaan Friedrick Nietzsche adalah penganut Atheis alias tidak percaya akan adanya Tuhan. “ Tuhan telah mati” itu yang mereka katakan.
Namun demikian, hukum pernikahan dalam Islam tidaklah bersifat kaku dan mengikat sehingga dapat menyulitkan para hamba-Nya. Karena pada dasarnya Allah menghendaki agar manusia hidup bahagia. Karenanya bila ada sebagian kecil manusia yang disebabkan satu dan lain hal merasa tidak sanggup menikah, hal ini masih dapat dibenarkan.
Contohnya adalah orang yang sakit parah dan laki-laki impoten. Sebagian ulama bahkan berpendapat haram hukumnya. Sebab hal ini dapat mengakibatkan timbulnya pertengkaran dan ketidak-bahagiaan sepihak. Itu sebabnya Islam tidak mengharamkan perceraian bila memang benar-benar tidak dapat dihindarkan. Misalnya ketidak-cocokan yang mengakibatkan pertengkaran yang berkepanjangan hingga membuat anak menjadi korban ketakutan, suami yang tidak menafkahi keluarga hingga waktu tertentu. dll.
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah cerai.”
Abu Yusuf berkata, “Ketahuilah –barakallahu fikum– bahwa asal hukum cerai adalah makruh dan terlarang, namun bisa berubah pada hukum lainnya. Hal ini sangat tergantung pada kondisi rumah tangga tersebut, bisa menjadi haram, boleh, sunah bahkan wajib.“.
Perceraian menjadi wajib hukumnya ketika salah satu pasangan murtad.
Namun demikian pernikahan dalan Islam bukan hanya sekedar untuk menghindarkan zina, melainkan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawardah wa rahmah. Yaitu keluarga yang tenang, terhormat, aman, penuh cinta dan kasih sayang, saling menjaga dan melindungi, dibawah naungan ridho Allah Azza wa Jala. Hingga dengan demikian hubungan seksual yang dilakukan sepasang suami istri akan mendatangkan kenikmatan, kesenangan serta kebahagiaan yang sesungguhnya, bukan semu dan sesaat apalagi sekedar pelepasan nafsu birahi.
Tanda keluarga yang demikian terlihat dengan antara lain adanya kesetiaan dari masing-masing pasangan, anak-anak yang berbakti kepada kedua orang-tuanya serta lingkungan sosial yang sehat serta rizki yang dekat.
Itu sebabnya pernikahan memerlukan saksi agar dapat ditrima masyarakat sekitar. Karena sejatinya keluarga adalah bagian atau kelompok terkecil dari sebuah masyarakat. Masyarakat yang akan dapat saling melindungi dan mengingatkan. Dalam rangka menciptakan masyarakat yang adil, tenang dan makmur inilah, Islam mengajarkan agar perempuan dan laki-laki yang telah cukup umur segera melangsungkan pernikahan.
” Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Terjemah QS.Ar-Rum(30):21).
Rasullullah bersabda: “ Pilihlah untuk benih-benih kalian, karena sesungguhnya keturunan itu direncanakan”.
Namun dari hadist diatas dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah sebuah perencanaan masa depan berjangka panjang. Maka diperlukan kesiapan dalam banyak hal, diantaranya dalam memilih calon pasangan. Diperlukan pula tanggung jawab tinggi agar pernikahan dapat berjalan lancar sesuai apa yang di kehendaki-Nya.
Akhir kata, pernikahan, perceraian dan segala tindakan dalam hidup ini harus berlandaskan ketaatan pada-Nya.
“Siapa yang cintanya karena Allah, bencinya karena Allah, memberinya karena Allah dan tidak memberi pun karena Allah, maka sungguh telah sempurna keimanannya.” (HR. Abu Dawud).
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 28 Juni 2021.
Vien AM.
Leave a Reply