“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6607).
“Sungguh ada seorang hamba yang menurut pandangan orang banyak mengamalkan amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka. Sebaliknya ada seorang hamba yang menurut pandangan orang melakukan amalan-amalan penduduk neraka, namun berakhir dengan menjadi penghuni surga. Sungguh amalan itu dilihat dari akhirnya.” (HR. Bukhari, no. 6493)
Hadist diatas menunjukkan bahwa Allah swt menghitung amalan seseorang tergantung pada amalan akhirnya, bukan jumlah amalan selama hidupnya. Artinya kita sebagai umat Islam jangan pernah merasa puas dengan segala amal kebajikan kita. Karena bisa jadi menjelang ajal kita justru lalai, banyak berbuat amal keburukan seperti menggunjing, riya, buruk sangka dll, hingga berakhir dengan su’ul khotimah … Na’udzubillah min dzalik …
Untuk itu jangan kita sibuk menilai perbuatan orang lain apalagi mencari-cari kesalahannya. Meski tidak jarang kita mendengar berita adanya sejumlah orang yang selama ini dianggap sebagai tokoh Muslim tiba-tiba mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tugas kita minimal adalah saling mengingatkan, tergantung dimana kedudukan kita berada. Tidak boleh kita masa bodoh, membiarkan kejahatan terjadi di depan kita tanpa kita berusaha mencegahnya.
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”(Terjemah QS. Al-Ashr(103){2-3).
“Siapa yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).
Yang lebih mengerikan, di akhir zaman nanti seseorang yang di pagi hari masih dalam keadaan beriman, sore harinya berubah menjadi kafir.
“Bersegeralah melakukan amalan shalih sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap. Yaitu seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di sore hari dalam keadaan kafir. Ada pula yang sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya karena sedikit dari keuntungan dunia” [HR. Muslim]
Hal yang bukan mustahil terjadi mengingat hari ini kita dapat melihat betapa mudahnya orang mendapatkan info dari media sosial, info baik maupun buruk, yang mencerahkan maupun yang menyesatkan. Begitupun ilmu agama. Bila sebelumnya untuk mencari ilmu harus pada orang yang benar-benar menguasai ilmunya maka hari ini ilmu bisa di dapat secara mudah, sesuai yang kita inginkan. Karena orang tanpa ilmu yang benar, dengan mudah dapat berbicara sesukanya dan menyebarkan ilmu maupun pendapatnya melalui medsos. Mereka menjual agamanya demi mendapatkan kenimatan dunia, seperti mencari popularitas dll, yang sebenarnya sangat jauh dibanding kenikmatan akhirat.
Contohnya yaitu orang-orang liberal yang mengatakan bahwa semua agama adalah benar, bahwa kita adalah Muslim Indonesia maka berislamlah secara Indonesia, tidak harus berbahasa Arab ketika berdoa dll.
Hadist di atas menekankan agar bersegara dalam melakukan amal ibadah, tidak menunda-nundanya hingga akhirnya kehabisan waktu dan ajalpun menjemput. Namun demikian amal ibadah harus dilakukan berdasarkan ilmu, tidak asal-asalan apalagi tanpa hati.
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Para ulama berpendapat bahwa yang dimaksud hati yang baik adalah hati yang di dalamnya mempunyai rasa takut pada Allah swt termasuk siksa-Nya, hati yang ikhlas beramal ibadah karena ingin mendekatkan diri pada-Nya, yang meninggalkan maksiat demi meraih ridho-Nya. Termasuk juga di dalamnya yang meyakini para rasul dan mentaati serta beramal ibadah seperti apa yang dicontohkan Rasulullah Muhammad saw.
Islam mengajarkan umatnya agar istiqomah ( konsisten) menjalankan amal ibadah hingga akhir hayat. “Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, sesungguhnya Rasulullah saw pernah bersabda, “Tujulah (kebenaran), mendekatlah dan bergembiralah bahwa sesungguhnya tidak seorang pun dari kalian yang dimasukkan surga karena amalnya.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Tidak juga engkau wahai Rasulullah?” Nabi saw menjawab, tidak juga aku, kecuali bila Allah swt melimpahkan rahmat dan karunia padaku. Dan ketahuilah bahwa amal yang paling disukai Allah adalah yang paling rutin meski sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Betapa seringnya kita mendengar kabar seseorang yang tadinya begitu membenci Islam, atau juga seseorang yang mengaku Muslim meski prilakunya tidak menunjukkan keislamannya, tiba-tiba berubah 180 derajat, menjadi begitu mencintai Islam bahkan mampu berdakwah dengan sangat baik.
“Janganlah kalian terkagum dengan amalan seseorang sampai kalian melihat amalan akhir hayatnya. Karena mungkin saja seseorang beramal pada suatu waktu dengan amalan yang shalih, yang seandainya ia mati, maka ia akan masuk surga. Akan tetapi, ia berubah dan mengamalkan perbuatan jelek.
Mungkin saja seseorang beramal pada suatu waktu dengan suatu amalan jelek, yang seandainya ia mati, maka akan masuk neraka. Akan tetapi, ia berubah dan beramal dengan amalan shalih. Oleh karenanya, apabila Allah menginginkan satu kebaikan kepada seorang hamba, Allah akan menunjukinya sebelum ia meninggal”.
Para sahabat lalu bertanya,“Apa maksud menunjuki sebelum meninggal?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Yaitu memberikan ia taufik untuk beramal shalih dan mati dalam keadaan seperti itu.” (HR. Ahmad, Bukhari – Muslim).
Hadist di atas menerangkan adanya satu kebaikan yang nilainya sangat tinggi, yaitu hidayah. Hidayah ini adalah mutlak milik Allah swt yang akan diberikan kepada siapa saja yang dikehedaki-Nya.
Contoh paling ekstrim yang sering disampaikan adalah kisah seorang pelacur yang memberikan minuman kepada seekor anjing yang kehausan padahal dirinya sendiri sedang sangat membutuhkannya. Kisah ini bukan berarti menghalalkan pelacuran seperti yang sering dituduhkan kaum Islam Liberal. Melainkan untuk menunjukkan bahwa sekecil apapun nilai kebaikan mempunyai nilai tersendiri dalam pandangan Allah Azza wa Jala.
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.”. (Terjemah QS. Al-Zalzalah(99):7).
Nilai kebaikan yang menyebabkan turunnya hidayah. Dengan bekal hidayah inilah hati seseorang menjadi terbuka hingga mampu mengenal Tuhannya. Yang kemudian dengan suka rela menjalankan amal ibadah, istiqomah hingga akhir hayatnya. Hingga Allah swt pun ridho memasukannya ke surga-Nya. Itulah husnul khotimah yang seharusnya menjadi cita-cita tertinggi seorang hamba.
Untuk itu Rasulullah mengajarkan umatnya agar senantiasa membaca doa berikut:
“ Yaa Muqallibal-qulub, tsabbit qulubina ‘ala dinik (Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami atas agama-Mu).” (HR Ahmad).
Wallahu’alam bi shawwab.
Jakarta, 27 Januari 2022.
Vien AM.