
Dengan disambut hujan rintik-rintik, atas izin-Nya, sampai juga kami di tepian telaga Sarangan yang cantik itu. Pemandangan gunung Lawu dengan pohon pinusnya yang menjadi latar belakang danau sungguh menambah keindahan danau yang airnya jernih tersebut. Tak salah bila telaga ini juga dinamai Cermin Raksasa. Sejumlah perahu boat dengan aneka warnanya terlihat diparkir di tepi danau, siap mengantar pengunjung mengelilingi danau berudara sejuk tersebut. Disamping juga kuda, yang siap mengitarinya dari daratan.
Sayang hujan makin lama turun makin lebat. Dengan berat hati, akhirnya kamipun meninggalkan danau yang punya kenangan indah tersendiri bagi saya itu. Kenangan puluhan tahun lalu ketika orang-tua saya mengajak kami, anak-anak yang masih kecil, mengunjungi danau tersebut …
Dalam perjalanan kembali menuju Solo, di tengah hujan yang masih mengguyur, keindahan pemandangan pegunungan masih terus menampakkan diri. Hingga ketika terlihat sederetan warung di pinggir jalan, Bimo menyeletuk “Makan mie rebus enak nih kayaknya”, “ Tambah jagung bakar sama pisang goreng”, sahut Laras penuh selera, “ plus kopi panas”, imbuh bapaknya seraya melirik saya, seolah menunggu izin.
Walhasil menepilah kami di salah satu warung yang ditunggui seorang ibu tua. Kami segera keluar dan memesan makanan. Udara terasa dingin menggigit.
“Ini masih lumayan bu, paling cuma 12 drajat. Kalau malam lebih dingin lagi”, ujar si ibu pemilik warung. Kami saling pandang penuh arti,” … Waah g nyangka rupanya orang desapun tahu satuan drajat yaa .. hebring, bisik saya kagum … 🙂
Untung tak lama, munculah kopi, mie rebus, pisang goreng dan jagung bakar pesanan kami. Sambil menikmati dinginnya udara dan cantiknya pemandangan kamipun segera menyantapnya. Angin berhembus datang pergi membawa kabut tebal “menelan” perbukitan deretan bukit hijau kekuningan yang melatar-belakangi warung.
Tak lama kamipun meneruskan perjalanan. Rupanya tempat kami tadi berhenti persis di depan Cemara Kandang, pos bagi mereka yang hendak mendaki ke puncak Gunung Lawu. Pos ini terletak tidak terlalu dengan perbatasan Jateng – Jatim.
Esoknya, kami mengunjungi pasar Klewer untuk membeli sekedar oleh-oleh batik. Setelah itu, dengan berjalan kaki kami menyebrangi jalan dan tiba di masjid Agung yang letaknya bersebelahan dengan kraton ( kerajaan) Solo/Surakarta.

Masjid kuno yang dibangun oleh Sunan Pakubuwono III pada tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768 ini awalnya memang milik kraton Surakarta. Selain digunakan untuk shalat Jumat sebagaimana layaknya masjid agung, masjid juga digunakan untuk berbagai kegiatan tradisi seperti Sekaten (festival memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW) dengan Garebeg sebagai acara puncaknya.
Pada puncak acara tersebut iring-iringan gunungan, yaitu susunan berbagai makanan yang biasanya terdiri dari hasil bumi, beras ketan, makanan, buah-buahan serta sayur-sayuran yang diusung sejumlah orang diarak dari istana menuju masjid Agung. Setelah didoakan, gunungan yang melambangkan kesejahteraan dan lambang keberkahan tersebut dibagikan kepada masyarakat yang sudah menunggu sejak pagi hari. Selanjutnya sebagian gunungan tersebut dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang mereka dengan harapan agar sawah\ladang mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.
Menurut beberapa sumber, tradisi Garebeg telah dilakukan sejak masa kerajaan Majapahit yang menganut ajaran Hindu, dan berlanjut hingga masa kerajaan Mataram. Wali Songo yang kemudian datang memperkenalkan ajaran Islam memperbolehkan tradisi tersebut berlanjut sebagai jembatan peralihan menuju ajaran Islam.
Kami memang tidak melihat acara tersebut tapi siang itu ketika kami menuju Pasar Klewer terjadi kemacetan parah. Usut punya usut akhirnya kami mendapat info bahwa sedang berlangsung acara haul Habib Ali bin Muhammad.
Awalnya kami tidak paham acara apakah gerangan. Setelah googling kami baru tahu bahwa Habib Ali bin Muhammad adalah seorang ulama besar asal Yaman keturunan rasululah Muhammad saw dari jalur Husein bin Ali bin Abu Thalib, putra dari Fatimah Az-Zahra putri rasulullah saw. Meski ulama Yaman tersebut seumur hidupnya tidak pernah menginjakkan kakinya di Indonesia namun namanya sangat dekat dengan masyarakat Indonesia, khususnya Solo. Itu disebabkan salah keturunan Habib Ali yang menetap di Solo, dan mempunyai banyak murid di kota ini.
https://www.solopos.com/gagasan-haul-dan-risalah-maulid-simtuddurar-883666
Habib Ali wafat pada tahun usia 74 tahun, bertepatan dengan 20 Rabiulakhir 1333 Hijriah atau tahun 1912 Masehi. Hari wafatnya itulah yang kemudian tiap tahunnya diperingarti masyarakat Solo. Itulah yang dinamakan Haul. Beberapa tahun terakhir, jemaah yang mengikuti Haul terus bertambah, tidak hanya dari Solo melainkan juga dari kota-kota lain di Indonesia bahkan dari negara tetangga seperti Singapur, Malaysia, Yaman dll.
Namun seperti juga Maulud ( peringatan hari kelahiran nabi Muhammad saw), Haul sejatinya adalah bagian dari tradisi masyarakat bukan ajaran Islam. Karena Islam hanya mengenal 2 hari besar yaitu hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha sebagaimana hadist berikut:
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata,
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr)” (HR. An Nasai no. 1556 dan Ahmad 3: 178, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim sebagaimana kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Demikian juga upacara Cembengan yang juga dikenal dengan sebutan Tebu Manten. Ritual ini biasa dilakukan pabrik-pabrik gula di Indonesia sebagai ungkapan syukur atas hasil panen sekaligus permohonan akan kelancaran selama proses penggilingan.
Cembengan berasal dari kata Ching Bing (Cheng Beng) yaitu ritual khas Cina untuk mendoakan roh nenek moyang. Istilah ini dikenalkan oleh para pekerja asal daratan Cina yang ketika itu sengaja didatangkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bekerja di berbagai perkebunan milik penjajah Belanda tersebut, termasuk pabrik-pabrik gula. Mereka itulah itulah yang pertama kali membawa tradisi Ching Bing, sebagai ritual diawal musim giling tebu.
Selanjutnya Mangkunegara IV sebagai pemilik pabrik gula Colomadu di Solo, dengan mencampurkan adat Jawa di dalamnya, meneruskan ritual tersebut. Hal ini terekam di dalam museum De Tjolomadoe yang kami kunjungi keesokan harinya.
Musium megah ini rupanya bekas pabrik gula Colomadu yang pernah mengalami kejayaan di masa lalu. Pabrik ini didirikan tahun 1861. Selain krisis ekonomi tahun 1997–1998, pergantian lahan dari perkebunan tebu menjadi persawahan di sekitar lokasi adalah pemicu berhenti beroperasinya pabrik gula tersebut.


Di dalam museum ini pengunjung selain diajak melihat proses pembuatan gula juga diajak mengenang kesuksesan pabrik pertama milik pribumi tersebut. Melalui gula hasil pengolahan pohon tebu pabrik tersebut kekeratonan Solo membiayai hampir seluruh kebutuhan kraton termasuk pemberian beasiswa pendidikan anak-anak pekerja pabrik.
Tak heran bila kemudian sang sultan mengajarkan rakyatnya untuk mensyukuri keberkahan tersebut melalui acara Cembengan. Seperti juga dalam acara Sekaten, Cembengan juga diisi dengan acara arak-arakan sesaji seperti aneka jajan pasar, hasil bumi, nasi tumpeng, nasi merah lengkap dengan tujuh kepala kerbau.
Setiba di pabrik, sesaji kemudian diletakkan di bagian bawah mesin produksi. Khusus kepala kerbau diyakini sebagai penolak bala agar proses giling tebu terhindarkan dari kejadian yang tak diinginkan.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Terjemah QS.Al-Baqarah: 186)
Ini masih dilanjutkan keesokan harinya dengan apa yang dinamakan acara Tebu Manten. Pada acara puncak tersebut, sepasang pohon tebu didandani layaknya manten/pengantin, lalu di arak dengan iringan sesaji dan kepala kerbau seperti hari sebelumnya, hingga masuk ruang giling, digiling, disusul belasan pasang tebu pengiringnya.
“Filosofi dari tebu manten adalah layaknya seperti mantu. Kita ibaratkan, saat ini adalah perpaduan tebu dari pabrik dan dari petani. Harapannya adalah hasil melimpah,” ujar seorang penanggung jawab upacara.
“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, … “.( Terjemah QS. Al-Baqarah(2):45).
Demikianlah kami menutup liburan kami di Solo dan sekitarnya, yang penuh makna dan variasi, dari kulinernya yang menggugah selera, budayanya yang kental hingga pemandangan alamnya yang mempesona. Alhamdulillah …
Trima-kasih yaa Allah, beri kami kemampuan untuk mengambil pelajaran atas segala yang kami lihat dan alami … aamiin yaa robbal ‘aalamiin …
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 29 Januari 2020.
Vien AM.
Maka jadilah kami ber-empat memulai wisata singkat kami. Kami memulai perjalanan dari bandara Adi Soemarmo Solo dengan mobil sewaan. Di pintu keluar bandara sepasang kereta kencana keraton menyambut kami. Sementara orang yang mengantarkan mobil sewaan meng-infokan adanya museum menarik bernama De Tjolomadu yang baru dibuka tahun lalu.
Khusus di Kampung Batik Kauman dan kampung Batik Laweyan pengunjung selain dapat berbelanja batik dengan harga yang relative murah juga dapat melihat proses pembuatan batik. Untuk itu kami memutuskan mengunjungi salah satu darinya yaitu Kampung Batik Laweyan. Sayang ketika kami tiba di lokasi sekitar pukul 10 pagi sebagian besar toko belum buka.
Akhirnya kamipun berburu kuliner yang daftarnya sudah kami kantongi dari jauh-jauh hari. Solo kabarnya memang surga bagi pencinta kuliner. Mulai dari es dawet di dalam traditional Pasar Gede, serabi Notosuman, Soto Tengkleng hingga Timlo Solo, Selat Solo dan Nasi Liwet yang merupakan masakan khas kota tersebut.
Akhirnya kami putuskan masuk lewat pintu tersebut. Jalanan terlihat lengang, kelihatannya bukan jalan umum. Bus dan mobil besar tidak bisa lewat jalan tersebut. Dan memang keputusan yang sangat tepat. Selain landai jalur tersebut mengikuti jalur sungai, sesuatu yang sangat saya sukai. Yang lebih mengejutkan lagi, tidak seperti umumnya sungai di Indonesia yang kurang bersih dan banyak sampah, sungai maupun jalan setapak menuju air terjun ini benar-benar bersih, dan jernih. Batu-batu besar dan kecil menghiasi sungai tersebut … Masya Allah …

Puas menikmati keindahan pemandangan dan suara gemericik air kamipun melanjutkan perjalanan ke telaga Sarangan, yang jaraknya sekitar 40 km dari Grogojan Sewu. Telaga cantik ini terletak di kabupaten Magetan Jawa Timur, di lereng Gunung Lawu, di sisi belakang Grogojan Sewu pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, tidak jauh dari perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sebelum tragedy Siprus paska dominasi Inggris, Muslim Turki Siprus datang ke Inggris sebagai pelajar dan turis. Selanjutnya setelah berhasil mengembangkan bisnis, pada tahun 1970an mereka mengajak keluarga besar mereka termasuk yang di Turki daratan, untuk membantu bisnis mereka yang berkembang pesat. Mereka inilah yang kemudian membangun masjid yang hingga kini banyak bertebaran di Inggris. Termasuk The London Central Mosque yang juga dikenal dengan nama the Islamic Cultural Centre (ICC) atau Regent’s Park Mosque karena letaknya yang memang di Regent’s Park, pusat kota London.
Durham menjadi daya tarik sendiri, setidaknya bagi putri kami, karena disitulah dilakukan shooting film Harry Potter. Namun sungguh tak dinyana dalam perjalanan menuju gereja abad pertengahan tempat shooting diakukan kami menemukan adanya resto dengan tulisan HALAL terpampang.


Sementara itu di Edinburg, ibu kota Skotlandia yang sebagian kotanya adalah kota tua abad pertengahan yang terdaftar sebagai situs warisan Unesco, selain resto kebab Halal, secara tidak sengaja kami menemukan sebuah masjid megah, Masjid Central Edinburg. Masjid yang terletak tidak jauh dari universitas Edinburg ini sebagian besar dana pembangunannya berasal dari raja Fahd dari Arab Saudi. Masjid ini resmi dibuka pada tahun 1998.
Belakangan melalui google map, terlihat adanya masjid bernama Dar Al-Arqam. Masjid ini terletak di sisi lain Edinburg University. Dari kejauhan orang pasti tidak akan mengira bahwa bangunan tersebut adalah bangunan rumah ibadah umat Islam. Sayang tidak ada keterangan resmi sejak kapan bangunan yang tampaknya bekas sebuah gereja itu berubah fungsi menjadi masjid.
Kedatangan kami ke Newcastle adalah untuk mendampingi putri bungsu kami melanjutkan study di Newcastle University. Salah satu alasan mengapa kami mengizinkan putri kami tersebut memilih Inggris, karena Inggris dikenal lebih terbuka terhadap dunia Islam dibanding negara Eropa lain.

Saat ini bila kita ingin berjalan kaki menuju tepi sungai dimana berdiri “Gateshead Milennium Bridge” yang merupakan ikon kota, kita akan melewati apa yang dinamakan“Newcastle castle”. Ini adalah bekas benteng peninggalan abad pertengahan.

Di area yang kini sudah berubah menjadi Cina Town tersebut berdiri sebuah restoran mewah yang menyajikan masakan khas Inggris, dengan nama Blackfriars. Restoran ini memanfaatkan bangunan tua abad pertengahan bekas biara Blackfriars di masa lalu. Blackfriars adalah nama salah satu persatuan persaudaraan gereja ketika itu. Mereka adalah pendakwah Kristen pertama yang memasuki tanah Inggris. Di area Blackfriars itu pulalah dulu pernah berdiri penginapan yang sering digunakan raja Henry III ketika berusaha menalukkan Skotlandia.


Hal ini sekaligus menjawab keheranan kami di awal kedatangan pada Ahad sekitar pukul 9 pagi yang terlihat lengang, nyaris tak ada kegiatan apapun. Lepas pukul 3 sore kota baru terlihat mulai ramai. Mengingatkan kami ketika mengunjungi kota pelajar Salamanca di Spanyol beberapa tahun lalu. Menurut petugas hotel, Ahad pagi hingga siang penduduk yang sebagian besar pelajar itu masih teler akibat begadang semalaman. Mungkin begitu pula Newcastle dimana di dalamnya terdapat 2 universitas besar yaitu Newcastle University dan Northumbria University.

Itu sebabnya surprised juga kami ketika mendapati Newcastle University memiliki masjid, meski tidak besar, yang biasa digunakan shalat 5 waktu dan shalat Jumat staff dan mahasiswa kampus tersebut. Masya Allah …
NUIS tidak hanya menyediakan dan mengatur waktu shalat tapi juga berbagai kegiatan lain, seperti olah raga, seni, ketrampilan dll. Kegiatan tersebut dilakukan secara rutin dan teratur. Diantaranya pembuatan barang keramik seperti yang sempat diikuti putri kami beberapa waktu lalu.
Setelah mampir di beberapa meeting point untuk menjemput para tamu sesuai daftar, bus berkapasitas 24 orang itupun langsung melaju meninggalkan kota. Sepanjang perjalanan dari Melbourne ke Geelong yang terletak di barat daya Melbourne adalah hamparan padang rumput luas nan hijau, dengan sapi dan domba-domba berbulu lebat yang sungguh meneduhkan mata. Australia memang dikenal sebagai negara pengeksport daging dan susu kedua ternak tersebut.

Beberapa kali Tim menghentikan bus, memberi kesempatan tamu-tamunya untuk turun menikmati keindahan pantai. Kami juga berhenti sebentar di sebuah hutan kecil untuk hunting koala yang banyak menempati hutan tersebut. Dari penjelasan Tim, kami baru tahu binatang lucu yang menjadi ikon Australia disamping Kangguru tersebut ternyata termasuk jenis hewan perusak. Binatang yang tidak suka hidup berkelompok dan sangat suka bertegger di atas pohon itu, sebenarnya telah merusak batang pohon yang dikeratnya setiap hari, meski mungkin tanpa disadarinya.

Untuk mengenang kejadian tragis tersebut tempat itu kini diberi nama Jurang Loch Ard ( Loch Ard Gorge) atau juga Tom and Eva Pilar. Tempat ini termasuk dalam kawasan Taman Nasional Port Campbell, yang selalu ramai dikunjungi para turis.


Sesuai yang dijanjikan, selama perjalanan tersebut bus berhenti di 13 spot menarik termasuk Loch Ard Gorge dan Twelve Apostles yang fenomenal. Satu hari sudah pasti tidak cukup memang untuk menikmati Great Ocean Road. Tak salah bila setiap kali bus berhenti Tim selalu mengingatkan, jam berapa harus kembali ke bus. Tak pernah ia memberikan waktu lebih dari 20 menit untuk setiap spot. Tidak puas sebenarnya tapi apa boleh buat. Apalagi melihat yang lain selalu on time kembali ke bus. Akhirnya kamipun sepakat untuk tidak terlalu berlama-lama.





Sementara saya dan suami sebentar-sebentar berhenti, selain untuk mengagumi keindahannya, juga untuk mengatur nafas dan menjaga kaki supaya tidak terlalu lelah mendaki tangga yang cukup panjang dan tinggi itu … maklum faktor U … 🙂 … Akhirnya kamipun tiba di atas bukit pulau Padar dengan mata terbelalak … Masya Allah, sungguh indah ciptaan-Mu … Rasanya inilah pemandangan alam tercantik yang pernah kami saksikan selama ini.
![20180706_110431-1[1]](https://vienmuhadi.com/wp-content/uploads/2018/07/20180706_110431-11.jpg?w=150&h=142)



![CYMERA_20180624_095756[1]](https://vienmuhadi.com/wp-content/uploads/2018/07/cymera_20180624_0957561.jpg?w=225&h=300)


