Kita semua pasti tahu kisah nabi Musa as dengan mukjizat tongkat dan laut Merahnya yang spektakuler. Kisah penyelamatan bani Israel dari kejaran pasukan penguasa Mesir Firaun yang dikenal kejam dan bengis ribuan tahun silam tersebut memang diabadikan tidak hanya didalam kitab suci umat Islam Al-Quranul Karim, tapi juga Taurat dan Injil.
“Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu (bani Israel), lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir`aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan”. ( Terjemah QS. Al-Baqarah (2):50).
Namun yang ingin dibahas kali ini adalah bagaimana kita menyikapi perlakuan buruk bani Israel setelah terlepas dari cengkeraman maut sebagaimana ayat berikut:
“Dan (ingatlah), ketika Kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat, sesudah) empat puluh malam, lalu kamu menjadikan anak lembu (sembahanmu) sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang yang zalim”. ( Terjemah QS. Al-Baqarah (2):51).
Ayat di atas menceritakan tentang bani Israel yang menjadikan anak lembu sebagai sesembahan alias Tuhan mereka. Hal tersebut dilakukan ketika nabi Musa as sedang memenuhi panggilan Sang Pencipta Allah Azza wa Jala. Nabi Musa as hanya meninggalkan kaumnya selama 40 hari 40 malam. Namun sekembali dari “pertemuan” dengan Tuhannya tersebut, kaumnya sudah mengingkarinya. Padahal baru beberapa waktu sebelumnya, dengan mata kepala sendiri, mereka menyaksikan betapa hebatnya mukjizat yang diberikan nabi mereka hingga mereka bisa lolos dari maut yang berada di ujung tanduk.
Prilaku tersebut menunjukkan betapa umat nabi Musa tersebut sangatlah tercela, tidak tahu berterima-kasih. Lupakah mereka bahwa dibawah kekuasaan Firaun ribuan tahun silam nasib mereka benar-benar terpuruk?? Mereka diperlakukan sebagai budak belian. Bahkan pernah suatu masa bayi-bayi lelaki harus dibunuh karena Firaun diberi tahu tukang sihirnya bahwa akan datang lelaki Yahudi merebut kekuasannya.
Allah swt, dalam ayat-ayat Al-Quran, banyak sekali menceritakan prilaku buruk bani Israel. Ini untuk mengingatkan kita, umat Islam, agar mengambil hikmahnya, agar tidak terperosok pada kesalahan yang sama. Jadi bukan hanya sekedar mengolok-olok dan mengutuk bani Israel yang memang telah terkena kutukan-Nya tapi terlebih agar tidak meniru prilaku buruk mereka.
Sekarang mari kita amati bagaimana sikap kita ketika Allah swt memberi kita cobaan, apakah prilaku kita sama dengan bani Israel atau tidak??
Jumat, 28 September menjelang magrib, Palu, Donggala, Sigi dan sekitarnya diguncang gempa berkekuatan 7.2 skala Richter. Tak lama tsunami setinggi lebih dari 10 meterpun datang menggulung wilayah Sulawesi tengah tersebut. Belum lagi guncangan dan amukan gelombang laut dasyat yang menghancurkan ribuan bangunan tersebut usai, bumipun ikut bereaksi.
Bumi tiba-tiba memuntahkan lumpur yang berada di isi perutnya dengan cara yang sungguh mengerikan. Sejumlah saksi yang selamat dari bencana menceritakan apa yang terjadi di depan mata mereka.
“Tanah seperti di blender, di putar, dikocok”, ujar seorang bapak. Sementara seorang ibu dengan penuh emosi mengatakan ”Seperti monster keluar masuk tanah menelan rumah, pohon dan apa saja yang ada di depannya”. Ada juga yang berkomentar “ Layaknya gelombang tsunami tapi bukan air laut melainkan tanah”, katanya bergidik. Saksi lain juga menceritakan rumahnya berpindah sejauh 500 meter lengkap dengan pohon Mangga yang ada di halamannya.
Peristiwa mengerikan yang dikenal dengan nama fenomena pencairan tanah (likuifaksi) laksana pasir hisap ini menelan lebih dari 700 rumah di Perumnas Balaroa (Palu) dan ratusan rumah lainnya di perumahan di Petobo. Kawasan ini amblas sedalam 5 meter-an, menelan tidak hanya rumah tapi juga penghuninya.
Di lain pihak, sejumlah saksi menceritakan Palu beberapa tahun belakangan ini telah menjadi kota penuh maksiat seperti pelacuran, homoseksual, perjudian dll. Bahkan sekitar 4 bulan sebelum mala petaka terjadi, sebuah konferensi lgbt tingkat nasional diselenggarakan di kota tersebut. Tak tanggung-tanggung, konferensi yang dibuka mentri pariwisata tersebut juga dihadiri mentri agama Lukman Hakim yang memang terkesan melindungi kaum yang dilaknat sejak zaman nabi Luth ini.
“Luth berkata: “Inilah puteri-puteri (negeri) ku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat (secara yang halal)”.
(Allah berfirman): “Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)“.
Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan terbit. Maka Kami jadikan bahagian atas kota itu terbalik ke bawah dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras”.( Terjemah QS. Al-Hijr(15):71-74).
Para pemuka agama tentu saja memprotes dan sudah berusaha mencegah konferensi tersebut tetapi tidak dapat berdaya atas alasan HAM. Penduduk juga menceritakan di Petobo hidup seorang raja judi kaya raya yang rumahnya ikut lenyap dalam tragedy tersebut. Hal mengenaskan tersebut mengingatkan mereka akan Karun, tokoh sombong kaya raya Mesir yang harta kekayaannya ditenggelamkan Allah swt.
“Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya)”.( Al-Qashash(28):81).
Lain lagi ceritanya dengan tsunami yang melanda pantai Talise Palu, membuat ambruk jembatan Kuning ikon Palu yang menghubungkan Sulawesi utara dan selatan serta menelan korban ribuan jiwa itu. Bencana datang menjelang dilaksanakannya festival Nomoni yang baru 3 tahun belakangan ini digalakkan kembali dengan judul “Maraton Internasional Palu”. Festival ini juga dimeriahkan dengan penampilan ritual Balia, yang merupakan bagian dari adat suku Kaili di Lembah Palu.
Ritual Balia adalah ritual permohonan kesembuhan bagi orang yang mempunyai sakit parah kepada arwah leluhur. Sesajen dan bau dupa mengiringi tarian yang membawa usungan orang yang sakit hingga puncak prosesi, yaitu penyembelihan kerbau. Darah kerbau yang disembelih itu menjadi simbol kesungguhan harapan atas kesembuhan.
Para ulama sudah berusaha mengingatkan agar ritual yang sarat kesyirikan tersebut tidak dihidupkan kembali. Tetapi dengan alasan untuk melestarikan adat dan budaya nusantara, pemerintah daerah menolak permohonan tersebut.
Kesyirikan tersebut tak jau berbeda dengan yang dilalukan bani Israel tak lama setelah lolos dari kejaran tentara Firaun ribuan tahun silam. Padahal penduduk Palu adalah rata-rata Muslim. Para ilmuwan mengatakan bahwa bencana yang melanda Palu dan sekitarnya adalah fenomena alam, yaitu karena Indonesia terletak di atas pertemuan beberapa lempengan yang ketika berbenturan menjadi penyebab gempa. Namun siapa yang kuasa menggerakan dan membenturkan lempengan-lempengan tersebut, dan mengapa harus Palu. Bukankah dari dulu letak Palu di atas lempeng-lempeng tersebut, tapi mengapa baru sekarang bencana terjadi??
Lebih menyedihkan lagi, dengan adanya sejumlah penjarahan yang terjadi tak lama paska bencana. Semoga pelakunya hanya para residivis yang lepas dari penjara karena penjara rusak terkena gempa.
Terlepas dari itu semua, penduduk daerah yang tidak terkena bencana, harusnya juga bersyukur tempat tinggalnya masih aman ditinggali. Terutama Jakarta yang sebenarnya sarat segala macam maksiat dan kesyirikan. Yang tampaknya hanya tinggal menunggu gilirannya saja. Kecuali bila penduduknya segera bertobat, memperbaiki kesalahan, dan memperbanyak perbuatan baik dan ibadah kepada-Nya. Lalu Allah swt ridho menerima tobat tersebut.
Namun demikian ada juga hal yang kelihatannya sepele tapi sering sekali terjadi. Yaitu ketika seseorang dalam kesusahan, sakit misalnya. Ia berdoa secara sungguh-sungguh bahkan rela mengeluarkan ratusan juta rupiah demi kesembuhannya. Namun ketika Allah Azza wa Jalla sembuhkan dan dikeluarkannya dari kesulitan ia melupakan-Nya.
“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo`a kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdo`a kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan”. ( Terjemah QS. Yunus (10):12).
Semoga kita bukan orang-orang yang dimaksud ayat di atas. Semoga Allah swt jadikan kita, keluarga kita dan orang-orang yang kita sayangi sebagai orang-orang yang tahu diri, yang pandai berterima-kasih dan bersyukur serta mampu mengambil hikmah segala kejadian yang terjadi, baik yang di hadapan kita maupun di masa lalu, aamiin 3x yaa robbal ‘aalamiin …Jangan sampai Sang Khalik melupakan kita sebagaimana kita suka melupakan-Nya … Na’udzubillah min dzalik ..
Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”. ( Terjemah QS.Thoha (20:126).
Wallahu ‘alam bish shawwab.
Jakarta, 26 Oktober 2018.