( Sambungan dari : “ Menilik Jejak Islam Di Eropa (5) “) .
Islam tidak pernah mengajarkan pemisahan antara ilmu duniawi dan ilmu akhirat. atau apa yang sekarang popular disebut Sekularisme. Inilah yang menjadi dasar pesatnya perkembangan ilmu dan sains di dunia Islam pada abad pertengahan. Ridho Allah swt sebagai Sang Pemilik adalah kata kunci.
“Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat “. (QS.An-Nisa'(4):134).
Al-Khawarizmi (783M – 850M), Al-Kindi (801M – 873M), Al-Battani ( 855M – 923M), Ar-Razi/Rhazes (865M – 932M), Ibnu Haitam / Alhacen (965M – 1039M), Al-Biruni (973M – 1050M), Ibnu Sina/Avicenna (980 M – 1037M) dan Al-Jazari (1136 M -1206M) dari Persia, Ibnu Khaldun (732M – 808M) dari Tunisia, Al-Zarqali/Arzachel (1029M – 1087M) dan Ibnu Rusdy/Averroes (1126M – 1198M) dari Andalusia adalah contoh dari sekian banyak ilmuwan Muslim yang hidup di masa kejayaan Islam.
Mereka ini bukan hanya menguasai ilmu yang sifatnya duniawi seperti kedokteran, fisika, kimia, matematika, ekonomi, astronomi, seni dll namun juga ilmu ukhrowi. Bahkan mereka ini juga tidak hanya menguasai satu atau dua bidang ilmu saja. Ibnu Sina misalnya, ia adalah dokter sekaligus ahli filsafat dan matematikus. Mereka adalah para ilmuwan, penemu sekaligus alim ulama handal yang membawa dunia Islam menuju puncak kejayaannya. Andalusia adalah salah satu bukti zaman kejayaan tersebut.
Dari Andalusia inilah ilmu pengetahuan masuk ke Eropa. Namun berbeda dengan ilmuwan Muslim yang selalu mencantumkan nama penemu dan buku yang dijadikan pegangan mereka ( bila itu terjemahan, biasanya berasal dari ilmuwan Yunani kenamaan seperti Socrates yang hidup pada 428BC – 348 BC atau Plato pada 470 BC -399 BC) tidak demikian dengan ilmuwan barat. Dengan penuh kecurangan mereka mengakui buku-buku terjemahan mereka atas namanya sendiri ….
Dan tampaknya kecurangan ini terus berlanjut hingga saat ini, diantaranya yaitu dengan dihilangkannya/ manipulasi sejarah kota-kota lama yang dulu pernah berada dibawah kekuasaan Islam. Contohnya ya di Toledo ini.
Semula saya begitu bersemangat ketika mendapat informasi bahwa peninggalan Islam di Toledo termasuk cukup banyak. Mr Google mengatakan bahwa dengan masih dijaganya keberadaan masjid sebagai peninggalan sejarah Islam di Eropa maka Toledo dapat disebut sebagai satu-satunya kota Eropa yang masih menyisakan toleransi keberagamaan.
Tapi brosur yang sengaja saya beli di hotel tempat kami menginap tidak begitu banyak menyebut peranan Islam dalam membentuk kota dan masyarakat kota benteng ini. Hal ini membuat saya makin bernafsu untuk membuktikan kebenaran pernyataan Mr Google, sumber data internet yang mustinya dapat dipercaya.
Maka setelah sarapan, kamipun berjalan menyusuri jalan-jalan batu sempit yang berkelak kelok menanjak. Bangunan-bangunan tua model abad pertengahan mendominasi kota. Sebagian besar bangunan tersebut saat ini adalah gereja atau museum. Kami menjumpai ada lebih dari dua atau tiga bekas sinagog yang terlihat terawat dengan baik. Pengunjungnya membludak hingga harus mengantri bila ingin melihat keadaan di dalamnya. Tampaknya mereka adalah para peziarah Yahudi dan Kristen.
Obyek wisata yang menjadi primadona seperti biasa adalah Katedral. Katedral dan Alcazar ( aslinya dari bahasa Arab berarti benteng atau istana, saat ini adalah Musium Militer ) adalah dua bangunan yang menjadi simbol kota Toledo. Begitu juga Zocodover ( dari bahasa Arab Suk Al-Dawab) yaitu Pasar Al Dawab. (Memandang Katedral agak lama, ada sedikit keraguan dan harapan, mungkinkah gereja besar ini tadinya adalah masjid? Tidak ada data yang saya peroleh … )
Disamping itu yang juga menarik perhatian para turis adalah gerbang-gerbang kota dan jembatan-jembatan lama. Sebagai kota benteng Toledo mempunya beberapa pintu gerbang. Gerbang utama diberi nama The Alfonso VI Gate. Dulunya nama gerbang ini adalah Bab Shagra yang dalam bahasa Arab adalah Gerbang Sagra. Ada lagi gerbang yang disebut The Sol Gate. Gerbang ini dibangun kembali pada abad 14 dengan gaya Mudejar. Sementara itu Puerte de Bisagra atau Gerbang Bisagra aslinya juga peninggalan Islam.
Kami terus berjalan mengikuti arah panduan peta untuk menemukan masjid sebagaimana tertulis di brosur. Kami bolak balik di sekitar suatu lokasi bernama “ Mezquita de Tornerias”. Mezquita dalam bahasa Spanyol artinya adalah masjid. Namun tak ada tanda-tanda sama sekali bahwa itu adalah bangunan masjid. Yang tampak hanya sebuah bangunan kecil di sudut jalan dengan pintu tertutup rapat. Setelah secara seksama mengamati tulisan kecil di salah satu dindingnya barulah kami sadar bahwa ini hanyalah lokasi bekas masjid kecil yang sekarang dijadikan tempat pameran … L .. Olala ..
Suami dan anak saya terlihat mulai bosan namun saya tetap penasaran. “ Ada satu lagi masjid menurut peta ini. Tanggung nih .. kita kesana sebentar ya ..”, rengek saya. “ Palingan g ada apa-apanya bu “, jawab anak saya ogah-ogahan namun tetap mau menuruti keinginan ibunya yang keras kepala ini. Terima-kasih anakku sayang ya … Alhamdulillah …
Beberapa menit kemudian kamipun tiba di tujuan. Benar dugaan anak saya. Masjid tersebut ternyata benar-benar hanya peninggalan sejarah. Masjid yang diberi nama begitu cantik “ Mezquita Del Cristo De La Luz” itu hanyalah bangunan kosong yang ditinggalkan begitu saja.
Bangunan tidak seberapa besar ini seperti bangunan yang belum selesai dibangun. Walaupun sebetulnya keindahannya masih tampak jelas. Dari luar terlihat sejumlah pilar dan tangga yang tak terawat.. “ Ini namanya basa basi .. sekedar syarat pokoknya ada peninggalan yang dipertahankan. Lebih parah lagi kayaknya malah sengaja mau ngecilin peran Islam “, begitu komentar suami saya, pahit. Yaaah … menyedihkan sekali …
373 tahun bukanlah waktu yang pendek. Ini hampir sama dengan masa penjajahan Belanda terhadap Indonesia. Selama ratusan tahun itu rakyat Indonesia hidup menderita dan sangat tertekan. Kebodohan, kemiskinan dan kehinaan terjadi di seluruh pelosok negri.
Lain halnya dengan keberadaan Islam di suatu negri. Ekspansi Islam ke Eropa atau kemanapun bukanlah bentuk penjajahan. Ketika Islam mendatangi suatu negri, kejayaan dan kemegahan selalu terjadi. Masyarakat yang tadinya hidup tidak teratur, selalu berpindah-pindah, liar dan tidak mengenal Tuhan segera berubah menjadi masyarakat madani, masyarakat yang berperadaban tinggi ( civilized society). Ini terbukti dengan lahirnya para ilmuwan, buku-buku pengetahuan, perguruan-perguruan tinggi, sistim pengairan, kota yang teratur, aman dan tentram.
Masyarakat Islam dimanapun berada selalu memprioritaskan keberadaan sebuah masjid. Masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat pusat ibadah shalat namun juga sebagai sarana berkumpul, bertukar pikiran dan pendapat. Apalagi dikota sebesar Toledo yang merupakan salah satu dari 5 ibu kota propinsi Al-Andalusia. ( 4 kota di luar Toledo itu adalah Kordoba, Merida, Zaragoza dan Narbonnne yang sekarang berada di wilayah Perancis Selatan). Keberadaan Grand Mosque atau Masjid Agung adalah sebuah keharusan. Dimanakah gerangan itu sekarang ? Mengapa bahkan lokasi bekasnyapun tidak terindentifikasi ?
Padahal bila mau jujur sebenarnya peninggalan-peninggalan tersebut begitu kasat mata. Menara, gapura dengan lengkung khasnya juga tembok-temboknya yang melindungi kota dari serangan musuh bukankah itu peninggalan Islam ? Yang memang mungkin saja bercampur dengan peninggalan Romawi dan Wisigoth yang berkuasa sebelumnya.
Demikian pula jendela-jendela rumah dengan teralisnya yang khas. Teralis saat ini berfungsi lebih untuk pengamanan. Namun menurut adab Islam masa lalu, teralis berfungsi untuk melindungi kaum perempuan dari pandangan luar. Dengan demikian ia dapat melihat keluar jendela tanpa terlihat dari luar!
( Bersambung)
PF.
Hari ini, 4 November 2010, 6 bulan setelah artikel ini ditulis, tanpa sengaja saya menemukan sebuah website yang mengatakan bahwa Katedral Toledo tadinya adalah Masjid … Allahuakbar .. Akhirya muncul juga bukti tertulis itu… Subhanallah..
Click: http://en.wikipedia.org/wiki/Church_of_San_Sebasti%C3%A1n,_Toledo