Feeds:
Posts
Comments

Archive for September 1st, 2010

Namanya adalah Hindun binti Suhail, dikenal dengan nama Ummu Salamah. Ia dibesarkan di lingkungan bangsawan dari Suku Quraisy. Ayahnya bernama Suhail bin Mughirah bin Makhzurn. Di kalangan kaumnya, Suhail dikenal sebagai seorang dermawan sehingga dijuluki Dzadur-Rakib (penjamu para musafir) karena dia selalu menjamu setiap orang yang menyertainya dalam perjalanan. Dia adalah pemimpin kaumnya yang terkaya dan terbesar wibawanya.

Sementara Hindun sendiri dikenal kaumnya selain karena kecantikannya yang mampu  meluluhkan setiap orang yang melihatnya juga karena keelokan pribadinya yang memang telah tertanam sejak kecil.

Banyak pemuda Mekah yang ingin mempersunting Hindun. Namun yang akhirnya berhasil menikahinya adalah Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal, seorang penunggang kuda terkenal dari pahlawan-pahlawan suku Bani Quraisy yang gagah berani. Ibunya bernama Barrah binti Abdul-Muththalib bin Hasyim, bibi Nabi saw. Abdullah adalah saudara sesusuan Nabi dari Tsuwaibah, budak Abu Lahab.

Hindun dan Abdullah hidup bahagia. Rumah tangga mereka diliputi kerukunan dan kesejahteraan. Tak lama setelah itu, dakwah Islam menarik hati mereka sehingga mereka memeluk Islam. Dengan demikian mereka  menjadi orang-orang pertama yang masuk Islam. Maka mulailah mereka berjuang dalam mempertahankan keimanan dan hidup mereka.

Sebagaimana kita pahami, orang-orang Quraisy selalu mengganggu dan menyiksa kaum muslimin generasi awal agar mereka mau meninggalkan agama Islam dan kembali ke agama nenek moyang mereka. Melihat kondisi ini, Rasulullah saw mengizinkan kaum Muslimin untuk hijrah ke Habasyah. Raja Habasyah saat itu adalah seorang pemeluk taat Nasrani yang mengakui Muhammad saw sebagai rasul. Raja tersebut adalah Najasyi.

Di kemudian hari, kelompok orang yang berhijrah ke negri ini disebut sebagai kaum Muhajirin yang pertama. Hindun dan Abdullah adalah satu diantaranya. Di Habasyah inilah Hindun melahirkan anak-anaknya, yaitu Zainab, Salamah, Umar, dan Durrah. Sejak itu Hindun dikenal dengan nama Ummu Salamah atau ibunya Salamah. Dan Abdullah disebut dengan Abu Salamah, ayahnya Salamah.

Beberapa lama kemudian mendengar keislaman tokoh-tokoh besar Mekah seperti Umar bin Khattab ra dan Hamzah bin Abdul Mutthalb, para Muhajirin pertama inipun tertarik untuk pulang kampung. Namun ternyata harapan mereka meleset. Kaum Muslimin masih tetap ditekan dan disiksa orang-orang Quraisy. Beruntung sebagian besar penduduk Yatsrib ketika itu telah berbait hingga akhirnya Rasulullahpun berani mengizinkan mereka untuk hijrah ke Yatsrib, nama lama Madinah.

Namun tampaknya bukan hal yang mudah untuk berhijrah. Orang-orang Quraisy dengan kejam terus berusaha menghalangi mimpi umat islam untuk hidup tentram sambil menjalani agama baru mereka. Ditengah perjalanan kaum Bani Makhzum (kaumnya Ummu Salamah) mencegat dan menyandera Ummu Salamah. Sementara bani Asad, baninya Abu Salamah menculik anak-anaknya. Abu Salamah terpaksa  merelakan keluarganya dan meneruskan perjalanan hijrahnya tanpa orang-orang yang amat dikasihinya itu.

Keadaan demikian berjalan kurang lebih setahun lamanya. Ummu Salamah terus-menerus menangis karena kecewa atas perbuatan kaumnya. Akhirnya ada seorang laki-laki dari kaumnya yang merasa iba dan membiarkan Ummu Salamah menyusul suaminya ke Madinah. Bani Asad juga akhirnya menyerahkan kembali putranya, Salamah.

Namun kehidupan di Madinah bukanlah tanpa perjuangan. Perang demi perang terus berlangsung. Abu Salamah ikut serta dalam Perang Badar dan perang Uhud. Dalam perang Dzil Asyirah yang terjadi pada tahun kedua hijriyah, Rasulullah menunjuknya untuk  mewakili beliau di Madinah.

Pada perang Uhud, Abu Salamah mengalami luka parah dan nyaris meninggal. Namun tak lama kemudian ia pulih kembali. Bahkan pada perang berikutnya ketika bani Asad dikabarkan akan menyerang umat Islam di Madinah, Rasulullah menunjuk sepupu sekaligus saudara susunya ini untuk memimpin penyerangan. Pasukan Abu Salamah mengalami kemenangan yang gemilang. Mereka pulang dengan membawa harta rampasan perang yang banyak.

Namun luka-luka Abu Salamah kembali kambuh. Ia jatuh sakit. Rasullah beberapa kali menjenguk dan mendoakannya. Sementara itu Ummu Salamah selalu mendampingi, merawat dan menjaganya siang dan malam.

Suatu hari, demam Abu Salamah menghebat. Dengan perasaan duka yang mendalam, Ummu Salamahpun berkata kepada suaminya, “Aku mendapat benita bahwa seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya, kemudian suaminya masuk surga, istrinya pun akan masuk surga jika setelah itu istrinya tidak menikah lagi. Kemudian Allah akan mengumpulkan mereka nanti di surga. Demikian pula jika si istri yang meninggal dan suaminya tidak menikah lagi sepeninggalnya. Untuk itu, mari kita berjanji bahwa engkau tidak akan menikah lagi sepeninggalku. Dan aku berjanji untukmu untuk tidak menikah lagi sepeninggalmu.”

Abu Salamah berkata pelan, “Maukah engkau menaati perintahku?”. Ummu Salamah  menjawab, “Adapun aku bermusyawarah hanya untuk taat.” Abu Salamahpun melanjutkan perkataannya, “Seandainya aku mati, maka menikahlah.” Lalu dia berdoa kepada Allah ”Ya Allah, kurniakanlah kepada Ummu Salamah sesudahku seseorang yang lebih baik dariku, yang tidak akan menyengsarakan dan menyakitinya.”

Pada detik-detik akhir hidupnya, Rasulullah saw selalu berada di samping Abu Salamah dan senantiasa memohon kesembuhannya kepada Allah. Akan tetapi, Allah berkehendak lain. Beberapa saat kemudian maut datang menjemput. Rasulullah menutupkan kedua mata Abu Salamah dengan tangannya yang mulia dan bertakbir sembilan kali. Di antara yang hadir ada yang berkata, “Ya Rasulullah, apakah engkau sedang dalam keadaan lupa?”

Rasulullah menjawab, “Aku sama sekali tidak dalam keadaan lupa, sekalipun bertakbir untuknya seribu kali, dia berhak atas takbir itu.” Kemudian beliau menoleh kepada Ummu Salamah dan bersabda, “Barang siapa yang ditimpa suatu musibah, maka ucapkanlah sebagaimana yang telah dperintahkan oleh Allah, ‘Sesungguhnya kita milik Allah, dan kepada-Nyalah kita akan dikembalikan. Ya Allah, karuniakanlah bagiku dalam musibahku dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya, maka Allah akan melaksanakannya untuknya.”

Setelah itu Rasulullah saw berdo’a: “Ya Allah, berilah ketabahan atas kesedihannya, hiburlah dia dari musibah yang menimpanya dan berilah pengganti yang lebih baik untuknya.”

Abu Salamah wafat setelah berjuang menegakkan Islam, dan dia telah memperoleh kedudukan yang mulia di sisi Rasulullah. Sepeninggal Abu Salamah, Ummu Salarnah diliputi rasa sedih. Dia menjadi janda dan ibu bagi anak-anak yatim.

Setelah wafatnya Abu Salarnah, para pemuka dari kalangan sahabat bersegera meminang Ummu Salamah. Hal ini mereka lakukan sebagai tanda penghormatan terhadapat suaminya dan untuk melindungi diri Ummu Salamah. Suatu hal yang lazim dilakukan masa itu. Maka Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab meminangnya, tetapi Ummu Salamah menolaknya. Ia terus hidup dalam kesedihan yang mendalam.

Akhirnya Rasulullah saw mendatanginya dan berkata kepadanya, “Mintalah kepada Allah agar Dia memberimu pahala pada musibahmu serta menggantikan untukmu (suami) yang lebih baik.” Ummu Salamah bertanya, “Siapa yang lebih baik dan Abu Salamah, wahai Rasulullah?”.

Atas pertanyaan tersebut Rasulullahpun terus berpikir. Tidakkah kedua sahabatnya, yaitu  Abu Bakar dan Umar lebih baik dari Abu Salamah? Namun mengapa Ummu Salamah tetap menolak lamaran keduanya? Akhirnya Rasulullah menyadari bahwa Allah swt telah menunjuk dirinya agar menanggung beban derita perempuan yang telah begitu banyak berkorban dalam Islam ini. Rasulullahpun segera melamarnya.

Di kemudian hari, setelah menjalani kehidupan sebagai salah satu Umirul Mukminin, Ummu Salamah ra dikenang tetap istiqomah. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa wahyu yang datang sebelum pernikahan rasulullah dengan Ummu Salamah ra sering terjadi dikamar Aisyah ra. Hal ini yang sering dibanggakan istri Rasulullah termuda tersebut. Namun sejak pernikahan dengan Ummu Salamah, wahyu lebih sering datang di kamar Ummu Salamah. Untuk diketahui, Rasullah menempatkan Ummu Salamah di kamar Zainab binti Khuzaimah, istri nabi yang telah meninggal dan digelari Ummul-Masakiin (ibu bagi orang-orang miskin) karena tingkat kepeduliannya yang amat tinggi terhadap orang miskin.

Disamping itu, Ummu Salamah juga dikenal karena sifatnya yang bijak. Suatu ketika pada tahun ke 6 setelah hijrah, Rasulullah mengajak para sahabat untuk melaksanakan umrah ke Mekkah. Ketika itu sebagian besar kaum Quraisy penduduk Mekkah belum mau menerima ajaran Islam bahkan sangat memusuhi ajaran tersebut.  Oleh sebab itu mereka tidak mengizinkan Rasulullah beserta para pengikutnya masuk ke kota tersebut walaupun hanya untuk sekedar melaksanakan umrah.

Sebenarnya sebagian besar sahabat ketika itu tidak mau menerima sikap ini. Mereka merasa bahwa mereka berniat melakukan sesuatu yang di-ridhoi Allah SWT dan pasti Allah akan membela mereka. Jadi mereka berkesimpulan mereka harus mengambil jalan kekerasan. Namun apa yang dilakukan Rasulullah? Beliau justru menyetujui untuk menanda-tangani sebuah kesepakatan yang intinya mereka tidak mungkin melaksanakan umrah saat itu dan mereka harus mundur dan kembali.

Kemudian setelah kesepakatan tercapai, Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk menyembelih hewan kurban bawaan mereka serta bercukur layaknya orang yang telah menunaikan ibadah umrah. Ternyata walaupun Rasulullah telah mengulangi perintah tersebut hingga 3 kali tidak seorangpun sahabat yang mentaatinya. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Mungkin para sahabat benar-benar kecewa atas keputusan yang diambil Rasulullah.

Rasulullah akhirnya mengeluhkan hal tersebut kepada Ummu Salamah yang ketika  itu mendapat giliran untuk menemani Rasulullah menjalankan tugas. Ummu Salamah kemudian menghibur  Rasulullah agar tidak usah terlalu kecewa atas sikap para sahabat. Menurutnya lebih baik Rasulullah langsung menyembelih kurban dan bercukur tanpa harus menunggu reaksi para sahabat. Dan memang benar ternyata para sahabat segera meniru perbuatan Rasulullah.

Pada hari tuanya, melalui surat yang ditata dengan kata yang indah, Ummu Salamah juga pernah mengingatkan Aisyah ra agar tidak turut campur dalam peperangan (perang Jamal dll) yang terjadi akibat fitnah pada masa pembunuhan Ustman bin Affan ra.

“Dari Ummu Salamah, Istri Nabi shallallahu alaihi wassalam., untuk Aisyah Ummul-Mu’ minin.

Sesungguhnya aku memuji Allah yang tidak ada ilah (Tuhan) melainkan Dia.  Amma ba’du.

Engkau sungguh telah merobek pembatas antara Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dan umatnya yang merupakan hijab yang telah ditetapkan keharamannya.
Sungguh Al-Qur’an telah memberimu kemuliaan, maka jangan engkau lepaskan. Dan Allah telah menahan suaramu, maka janganlah engkau niengeluarkannya. Serta Allah telah tegaskan bagi umat ini seandainya Rasulullah shallallahu alaihi wassalam mengetahui bahwa kaum wanita memiliki kewajiban jihad (berperang) niscaya beliau berpesan kepadamu untuk menjaganya.

Tidakkah engkau tahu bahwasanya beliau melarangmu melampaui batas dalam agama, karena sesungguhnya tiang agama tidak bisa kokoh dengan campur tangan wanita apabila tiang itu telah miring, dan tidak bisa diperbaiki oleh wanita apabila telah hancur. Jihad wanita adalah tunduk kepada segala ketentuan, mengasuh anak, dan mencurahkan kasih sayangnya”.

” Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (QS.Al-Ahzab(33):32-33).

Ummu Salamah wafat dalam usia 84 tahun pada tahun 59 H. Ia dishalatkan oleh Abu Hurairah r.a. dan dikuburkan di al-Baqi’ di samping makam  Ummirul-Mukminin lainnya.

Wallahu’alam bish shawab.

Paris, 1 September 2010.

Vien AM.

Read Full Post »