Buat saya pribadi, pengalaman paling menyedihkan ketika kita di negri minoritas Muslim adalah ketika Lebaran. Lebaran atau Idul Fitri adalah hari kemenangan setelah sebulan lamanya kita berpuasa, mengendalikan hawa nafsu. Makan minum dan hubungan suami-istri adalah diantara yang harus dijaga, meski hanya ketika siang hari saja.
Pada hari kemenangan ini Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk mendirikan shalat Ied sebanyak 2 rakaat, sebaiknya di lapangan terbuka. Di tanah air biasanya ritual ini diteruskan dengan acara silaturahmi. Bermaaf-maafan, ‘sungkeman’, berbincang dan ‘guyon’ melepas rindu sambil menyantap ketupat lebaran beserta kelengkapannya adalah sebuah kesempatan indah yang rasanya sulit untuk ditinggalkan begitu saja.
Bahkan tidak jarang, Lebaran adalah momen langka dimana seluruh anggota keluarga besar bisa berkumpul. Kakek, nenek, bapak, ibu, paman, bibi, anak, ponakan, cucu semua berbaur menjadi satu. Ini yang menjadi penyebab mengapa ‘tradisi’ pulkam alias pulang kampung menjadi suatu ‘keharusan’.
Meski beberapa kali para ulama mengingatkan bahwa acara kumpul-kumpul tersebut bukan bagian dari syariat tapi tetap saja ritual tersebut berjalan lancar tiap tahunnya. Setiap menjelang lebaran kita bisa menyaksikan betapa berjuta-juta orang Indonesia rela bermacet-macet ria demi menjalani acara tahunan pulkam ini. Tidak hanya dari dan ke daerah namun juga yang tinggal jauh di negri seberangpun tak mau ketinggalan momen istimewa ini.
Nah, buat kita-kita yang dengan berbagai alasan tidak pulkam nih … Tidak bisa dipungkiri, bagaimanapun ada semacam perasaan ‘terlupakan’ .. L .. Itu sebabnya sebisa mungkin biasanya mereka-mereka ini berusaha menemukan suasana penggantinya. Kedutaan Besar biasanya adalah tempat berlabuhnya.
Begitu juga kami. Saya dan keluarga sempat mengalami hal ini beberapa kali. Beruntung kami tinggal di kota dimana kedutaan negri kita tercinta berkedudukan. Itulah Kedutaan Besar Republik Indonesia atau KBRI di Paris, Perancis.
Dua minggu sekali pihak KBRI mengadakan acara buka puasa bersama. Ta’jil seperti kolak, es cendol dll adalah menu yang bisa dibilang selalu hadir. Sementara shalat taraweh hanya diadakan pada setiap malam minggu. Namun bila mau kita dapat pergi ke Mosquee de Paris. Masjid terbesar di Paris ini menyelenggarakan shalat taraweh setiap hari. Juga beberapa masjid kecil di sekitar kota tersebut. Sayangnya, tausiyah diberikan dalam bahasa Arab. Harap maklum, sebagian besar jamaah masjid-masjid tersebut memang orang Arab atau keturunan Arab.
Beruntung KBRI menyelenggarakan shalat Ied. Meski shalat hanya diadakan di dalam ruang aula yang letaknya di bawah tanah. Sementara shalat yang diizinkan oleh pemerintah setempat hanya yang diselenggarakan di dalam lingkungan masjid, tidak di lapangan terbuka.
Yang menjadi masalah adalah anak-anak sekolah. Di negri paman Sarkozy ini tidak ada yang namanya libur Idul Fitri. Padahal negri yang mengaku diri berazaskan demokrasi dan ‘laic’ alias sekuler ini secara resmi merayakan sejumlah hari besar keagamaan termasuk beberapa hari besar Yahudi, tentu saja di luar hari-hari besar Kristen. Namun nyatanya tak satupun hari besar Islam yang diberi tempat dan penghormatan yang layak, meski jumlah Muslim jauh lebih banyak daripada penganut Yahudi. Akibatnya, anak-anak , juga para karyawan Muslim terpaksa harus meminta izin atau kalau perlu terpaksa bolos ketika akan mendirikan shalat Ied, shalat hari kemenangan yang hanya setahun sekali diselenggarakan itu.
Beruntung tahun ini, kami sekeluarga diberi keleluasaan untuk menekuni Ramadhan di tanah air. Alhamdulillah kami dapat mendirikan shalat taraweh di masjid setiap hari, kalau mau. Tetapi tak urung ternyata ada sedikit kekecewaan menyelinap di hati ini.
Di kampung halaman yang dirindukan ini, dimana sebagian besar penduduk adalah Muslim, shalat taraweh ternyata malah tidak seindah di negri non Muslim. Mengapa bisa begitu?
Pertama, brisik.
Ya, brisik. Di masjid Paris, nyaris tidak ada seorangpun berani berbicara bahkan berbisik-bisikpun tidak ketika tausiyah sedang diberikan. Semua orang terlihat memperhatikan dengan seksama apa yang dikatakan sang uztad. Malah, begitu nama Muhammad Rasulullah disebut, langsung gumaman shalawat terdengar khidmat diucapkan. Subhanallah .. Betapa indahnya …
Bagi saya, shalat di masjid–masjid Paris laksana shalat di tanah suci. Ini bukan hanya karena imamnya fasih berbahasa Arab namun juga suasananya. Benar-benar khusuk ! Dalam hati saya berpikir, apa ini karena mereka memahami bahasanya? Oh, alangkah beruntungnya kalau saja saya dapat memahami bahasa Arab. Bukankah kitab suci kitapun berbahasa Arab? Bukankah Rasulullah dan para sahabat yang membela mati-matian Islam juga orang Arab? Bahkan shalatpun haram membaca terjemahannya meski kita tidak paham, bukan ?
Yang juga membuat saya heran, kenapa di tanah air, orang, terutama para ibu, sering mengajak anak-anaknya yang masih kecil ke masjid tanpa mengajarkan mereka terlebih dahulu adab dan sopan santun di masjid. Anak-anak berteriak-teriak, bermain kejar-kejar bahkan diatas sajadah kita ! Ya Allah ..
Tentu saja ini tidak terjadi di semua masjid. Namun fenomena ini ada dan yang jelas ini saya alami sendiri.
Yang kedua, shaf-shaf yang kosong dan berjarak.
“ Sebaik-baik shaf pria adalah shaf terdepan dan seburuk-buruk shaf adalah yang terakhir. Dan sebaik-baik shaf perempuan adalah shaf terakhir dan seburuk-buruk shaf perempuan adalah yang terdepan”.
Hadits diatas berlaku ketika tempat shalat antara kaum lelaki dan kaum perempuan tidak terdapat tirai pembatas. Jika ada, shaf terbaik kaum perempuan sama dengan kaum lelaki, yaitu shaf terdepan.
Namun meski setiap kali sebelum shalat dimulai imam mengumumkan agar barisan dirapikan, tetap saja para perempuan tidak bergeming dari kedudukan awalnya. Seolah pengumumam tersebut hanya berlaku untuk kaum lelaki. Beberapa kali saya mencoba mengingatkan untuk merapatkan shaf, nihil hasilnya. Dengan sajadahnya masing-masing yang berlebar kurang lebih 60 cm malah mungkin lebih, masing-masing bertahan di tempatnya yang satu sama lain berjauhan.
Sedihnya lagi, ini juga terjadi ketika shalat Ied. Shaf kosong tidak segera diisi. Jamaah yang baru datang lebih memilih tempat terdekat yang dicapai atau tempat teduh daripada jauh-jauh harus menyelinap dan mengisi shaf kosong. Meski seringkali dengan alasan shaf telah terisi tumpukan sandal jamaah.
” Yaah .. emang sandal ikut shalat apa? Kenapa bukannya bawa tas plastik atau menyembunyikannya dibawah sajadah aja sih?”, pikir saya kesal.
Sungguh terbalik dengan apa yang terjadi di masjid Paris. Di sana, bahkan untuk duduk miring pada tahiyat akhirpun hampir mustahil. Bahu kami saling bersentuhan, persis seperti yang dianjurkan syariat. Tak ada sedikitpun lowongan bagi syaitan untuk menyelinap diantara kami dan mengganggu shalat kami.
Yang terakhir, salam yang mendahului imam.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Pada suatu hari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat. Selesai shalat beliau menghadap kepada kami dan berkata : “Wahai sekalian manusia, aku adalah imam kalian. Janganlah kalian mendahului aku ketika ruku’, sujud, berdiri, dan salam. Karena aku dapat melihat kalian di hadapanku maupun di belakangku.”
Hadits diatas jelas mengajarkan kita untuk tidak mendahului gerakan imam. Namun sering saya jumpai ‘tetangga’ saya sudah menoleh ke kiri sebelum imam selesai mengucap salam. Padahal di masjid Paris, salam ini mampu membuat saya merinding haru. Secara serempak makmum mengucap salam agak keras sambil menoleh ke kanan dan kiri begitu imam usai mengucap salamnya yang kedua, bukan yang pertama. Dan karena salam diucapkan dengan agak keras saya merasa bahwa saya sungguh-sungguh didoakan ‘tetangga’ dengan ikhlas bukan sekedar ritual.
Yaah, begitulah .. dibalik sebuah kesusahan pasti ada juga hikmahnya.
“ Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (QS.Al-Insirah(94):6).
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 14 Agustus 2011.
Vien AM.
keren bangeet… saya bru tau kalo perbedaan antara solat d kmpung trcnta ma d paris,, mpe 180 drajat mgkin yaa.. 😀
jadi kepingin solat di paris,, kegnya, lebih kerasa damainya,,, 🙂
Itu yang saya alami lho .. saya rasa tidak di semua masjid di tanah air seperti itu, semoga ..
Btw, terima-kasih sudah mampir .. semoga bermanfaat ..
Memang tidak semua seperti itu…tapi itu ada dan kenyataan
Tugas kita untuk berdakwah masih terbuka lebar
Semoga ALLAH memberikan pemimpin yang amanah,ulama yang berilmu dan tawadhu kepada negeri kita tercinta..
sehingga menghasilkan masyarakat yang istiqomah
Tanya Bu….perbedaan menyambut lailatul qadar di prancis dan tanah air
untuk Bu Vien jazakillahu khairan terima kasih untuk tulisan-tulisannya
Amin Ya Robbal ‘Alamin ..
Betul mas Andri, malah mungkin hanya segelintir tapi kebetulan saya mengalaminya.
Mengenai Lailatul Qadar, bersyukurlah Muslim yang tinggal di tanah air .. Alhamdulillah ..
Di Perancis, untuk i’tikaf rasanya mustahil karena masjid tidak diizinkan buka sepanjang malam. Beberapa masjid bahkan hanya buka pada waktu shalat, ntah karena alasan apa. Di depan masjid terbesar di Paris, sebuah mobil polisi selalu siap berjaga-jaga di depan pintu utama masjid. Padahal setahu saya tidak pernah ada teror. 😦 ..
Assalamualaikum Wr Wb
Saya tidak sengaja menemukan tulisan mbak Vien sewaktu men-google ‘puasa kbri paris’. Kebetulan saya tinggal di Perancis semenjak 2006. Alhamdulillah saya bekerja di salah satu filial VINCI yang spesialisasinya bidang perminyakan sebagai business development manager.
Cita cita saya bisa kembali ke Indonesia supaya istri dan putri saya bisa lebih terbiasa dengan cara hidup islami (istri saya orang perancis dan putri kami berumur 4 tahun). Juga untuk saya pribadi, karena saya merasa iman saya semakin melemah.
Rencananya bulan depan saya akan ke Indonesia (Jakarta dan Balikpapan). Tujuannya mencari peluang kontrak supaya perusahaan dimana saya bekerja bisa membuka kantor cabang di tanah air. Jadi saya sekeluarga bisa mudik.
Mohon maaf, saya menebak suami mbak bekerja di bidang yg sama dengan saya. Saya sangat berterimakasih apabila mbak dan suami punya tips dan advise yang insya Allah bisa mempermudah tercapainya citacita saya.
email saya (denny.hardy@entrepose-contracting.com)
Semoga kita semua selalu berada dalam hidayah Allah SWT.
Terima kasih.
Waalaykum salam wrwb.
Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih sudah mampir ke blog ini dan memberikan komentar.
Namun mohon maaf bila saat ini saya dan suami belum bisa membantu memberikan tips dan advise yang diharapkan mas Hardy.
Suami kebetulan bukan orang management dan tidak mempunyai kuasa untuk itu. Harapan saya semoga dengan adanya tanggapan ini mudah-mudahan ada pembaca yang bisa membantu merealisasikan cita-cita mas Hardy. Semoga Allah swt ridho memberikan jalan keluarnya.
PF:
Saya dengar sejumlah masjid di Perancis mempunyai program untuk belajar bahasa Arab dan mengkaji Al-Quran serta mempelajari syariat Islam, termasuk mosquee de Paris. Buku2 pelajaran tentang Islam dalam bahasa Perancis saat ini juga banyak dan mudah didapat. Bahkan juga untuk belajar shalat anak2, lengkap dengan gambarnya. Contohnya adalah toko buku yang ada di dekat mosquee de Paris. ( ada 2 toko, seingat saya).