Menjelang pukul 19.00 WIB kami memasuki kota Malang. Setelah sepintas mengelilingi kota, bernostalgia melewati sekolah dan rumah masa kecil dimana selama 2 tahun saya pernah tinggal, kamipun bersantap makan malam di sebuah restoran yang cukup dikenal di kota dingin tersebut. Selanjutnya kamipun beristirahat di sebuah hotel.
Esoknya, kembali kami berkeliling kota. Sekitar pukul 11 siang kami meninggalkan Malang untuk menuju Bromo, tujuan utama liburan kami. Perjalanan memakan waktu hampir 5 jam, termasuk makan siang. Kami tiba di lokasi Bromo, yang dinamakan Park Nasional Tengger-Bromo-Semeru pada pukul 4 sore.
Subhanallah .. hanya itu yang dapat kami katakan. Pemandangan kawasan gunung yang kami saksikan di depan mata kali ini tidak seperti umumnya pemandangan pegunungan yang biasanya hijau, teduh dan damai. Gunung Bromo dan gunung Batok yang merupakan bagian dari pegunungan Tengger dengan gunung Semeru yang menjadi latar belakang pegunungan ini dikellingi lautan pasir seluas 5.250 hektar. Pasir hitam abu-abu kering terlihat beterbangan hingga mengotori jalanan bahkan halaman hotel tempat kami menginap. Yang saking tebalnya maka pengunjungpun terpaksa harus menutup hidung dan mulut dengan masker yang banyak dijual penduduk setempat.
Dengan demikian kesan pertama yang tertangkap, menurut saya pribadi, adalah keindahan misterius. Ditambah lagi dengan gunung Bromo yang terlihat terus mengeluarkan asap tebal dari kawahnya serta bentuk gunung Batok yang terlihat kering bergerigi, kesannya adalah angker. Bayangan yang dipantulkan sore hari menjelang magrib tersebut terlihat begitu berbahaya dan mengancam. Sungguh terasa, betapa lemah dan tidak berartinya kita ini. Deretan perkasa gunung hitam kelam tak berpenghuni tersebut seolah berseru menantang “ Bersiaplah ! Bumi akan berguncang begitu Ia mencabutku ! “
“Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, …”(QS.An-Nahl(16):15).
Bromo, gunung api berketinggian 2.392 meter ini adalah gunung yang masih aktif dan cukup berbahaya. Gunung ini telah meletus beberapa kali, yang terakhir terjadi pada bulan November tahun 2010 yang baru lalu. Selama 3 bulan, hingga Januari 2011 kemarin, gunung ini memuntahkan isi perutnya.
Nama Bromo sendiri, berdasarkan beberapa sumber, diambil dari nama dewa tertinggi Hindu, yaitu Brahma, tuhannya pemeluk Hindu. Wilayah pegunungan ini, hingga detik ini, memang adalah rumah bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu. Sementara nama Tengger sendiri memiliki legenda yang cukup menarik.
Hikayat, adalah Roro Anteng, seorang putri raja Majapahit yang cantik jelita. Kecantikannya amat termasyur hingga banyak ksatria gagah berani datang untuk melamarnya. Termasuk seorang raksasa. Karena tidak berani menolak, akhirnya sang putri mengajukan persyaratan. Yaitu agar sang raksasa membangun lautan di sekitar pegunungan Bromo, dalam satu malam!.
Namun menjelang matahari terbit, sang putri terkejut, mendapati bahwa lautan yang dimintanya itu nyaris terlaksana. Maka demi menggagalkan lamaran raksasa yang menyeramkan itu, Roro Antengpun segera memerintahkan rakyatnya agar cepat bangun dan menumbuk padi. Mendengar padi ditumbuk maka ayampun berkokok, mengira matahari telah terbit.
Dengan demikan maka gagallah lamaran sang raksasa. Ia terpaksa pergi dengan meninggalkan gunung Batok yang digunakannya sebagai gayung untuk mengambil air dari kawah gunung Bromo. Kawah gunung Bromo sendiri terlihat begitu lebar akibat airnya yang terus dikeruk. Sementara lautan pasir yang luas terlihat mengelilingi kawasan pegunungan tersebut.
Selanjutnya Rara Antengpun menikah dengan ksatria yang dicintainya. Yaitu Joko Seger, salah satu putra Brahma. Di kemudian hari keturunan pasangan berbahagia ini dinamakan Tengger, singkatan dari Roro AnTENG dan Joko SeGER.
Yang tak kalah menarik, masyarakat Tengger, hingga detik ini, masih suka menyelenggarakan upacara ritual tahunan. Ritual bernama Kasodo yang dikabarkan menjadi salah satu daya tarik turis tersebut diadakan pada setiap bulan purnama pada tanggal 14 dan 15 bulan ke sepuluh ( kasodo) kalender Jawa. Pada upacara itu mereka memohon antara lain panen yang berlimpah dan kesembuhan berbagai penyakit.
Upacara ini dimulai pada tengah malam dari pura yang terletak di tengah lautan pasir. Dari sini arak-arakan yang membawa berbagai sesajen tersebut berjalan menuju kawah Bromo. Selanjutnya sesajen yang berupa berbagai hasil sawah, ladang dan ternak seperti padi, sapi dll itu di lemparkan ke dalam kawah sebagai persembahan kepada Tuhan mereka.
Yang lebih menegangkan lagi, adalah adanya sebagian masyarakat Tengger yang harus menangkap apa yang dilemparkan ke dalam kawah tadi. Dengan menyusuri bibir kawah, mereka menuruninya dan berusaha meraih sesajen tadi. Padahal tidak jarang ada saja korban yang terjatuh ke dalam kawah yang masih mengepulkan asap panas itu.
Tampaknya, ritual melempar sesajen ala agama Hindu inilah yang hingga kini menjadi contoh dan ditiru oleh sebagian pemeluk Islam di beberapa gunung di pulau Jawa, contohnya gunung Merapi di Jawa Tengah. Sungguh ironis, bukan ?
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’ (QS. Al-An’aam: 162-163).
Dalam sebuah hadits shahih, dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selainNya.” (HR. Muslim).
Kurban yang diizinkan dalam Islam hanyalah menyembelih hewan kurban dalam rangka ketaatan kepada Allah swt, Sang Khalik. Persis seperti apa yang pernah dicontohkan nabi Ibrahim as ketika akan menyembelih satu-satunya putra kesayangan beliau, nabi Ismail as. Selanjutnya, hasil sembelihan tersebut harus disalurkan kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkannya. Pada hari raya kurban, kita boleh memakannya sebagian. Jadi kurban tidak boleh disia-siakan dengan di buang ( ke dalam kawah dsb ) atau dipersembahkan kepada sesembahan apapun.
Lagi pula, bila kita kembali kepada sejarah, masyarakat Tengger mulanya adalah penduduk kerajaan Majapahit Hindu yang kalah perang melawan Islam pada masa awal pembentukan kerajaan Islam, Demak. Mereka tidak mau menerima ajaran Islam dan memilih mengasingkan diri ke kawasan pegunungan ini. Sebagian lain memilih pulau Bali sebagai tempat tinggal.
“Katakanlah: “Hai manusia, jika kamu masih dalam keragu-raguan tentang agamaku, maka (ketahuilah) aku tidak menyembah yang kamu sembah selain Allah, tetapi aku menyembah Allah yang akan mematikan kamu dan aku telah diperintah supaya termasuk orang-orang yang beriman”, dan (aku telah diperintah): “Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik”.(QS.Yunus(10):104-105).
Itulah tujuan utama dakwah Islam, yaitu memperkenalkan Tuhan yang sebenarnya, Tuhan yang Esa, yang tidak bersekutu, tidak beranak maupun diperanakan, yang menghidupkan dan mematikan manusia. Itulah Allah swt. Jadi alangkah ironisnya, bila ternyata ada manusia yang kemudian menolak ajakan ini. Namun tidak ada paksaan dalam beragama. Bukan Dia yang rugi, sebaliknya manusia itu sendiri yang mendzalimi dirinya.
“ Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa`at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim”. Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS.Yunus(10):106-107).
Tiba-tiba saya teringat kepada apa yang dikatakan para wali tentang ritual Jawa yang di’isi’ dengan semangat ke’Islam’an. ( pada bagian 1 artikel ini ). Percakapan itu terjadi 5 abad silam namun nyatanya hingga kini ritual tersebut masih saja terjadi. Sungguh, pasti para wali tersebut bakal amat sangat kecewa mengetahui hal ini .. L
“ Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun”.(QS.Al-Isra’(17):44)
Demikian pula gunung-gunung, mereka semua bertasbih kepada-Nya.
Wallahu’alam bish shawwab.
( Bersambung).
Leave a Reply