Sepuluh hari setelah pulang dari rantau, kami langsung berkesempatan menyaksikan perayaan malam tahun baru di ibu kota, Jakarta. Malam yang diberi nama Jakarta Night Festival ini adalah malam tahun baru pertama dimana jalan raya protokol ibu kota, MH Thamrin dan Sudirman ditutup untuk kendaraan umum. Ini adalah ide gubernur DKI Jokowi dalam memihak rakyat kecil agar mereka bisa menikmati pesta tutup tahun. Sebelumnya gubenur Ali Sadikin, gubernur DKI tahun 1970 an pernah melakukan hal yang sama, namun bukan dalam rangka menyambut acara tahun baru, melainkan untuk acara HUT DKI.
Mulanya ide penutupan ke 2 jalan utama paling bergengsi di depan bunderan air mancur HI tersebut ditentang oleh pemilik sejumlah hotel berbintang yang berjejer di sepanjang jalan tersebut. Karena hal tersebut tentu akan membuat tamu-tamu hotel kesulitan. Namun akhirnya mereka tidak dapat berbuat banyak ketika ide tersebut benar-benar terealisasi.
Malam itu, dimulai pada pukul 8 malam, penduduk Jakarta terlihat berbondong-bondong meninggalkan rumah dan menyesaki jalanan. Hujan yang turun lumayan lebat sejak pukul 7 dan mengguyur kawasan pusat kota tampaknya tidak menjadi halangan. Dengan payung di tangan, ratusan kaki bersepatu dan bersandal menapaki dan meloncati genangan air yang tampak disana-sini.
Wajah-wajah ceria tua muda besar kecil lelaki perempuan memenuhi jalanan. Gerobak dorong berbagai panganan tampak tak mau ketinggalan menikmati acara istimewa ini. Gerobak sate, ketoprak, gorengan pisang, tahu, tempe, ubi dan singkong, hingga gerobak penjaja minuman botolan, ramai diserbu pengunjung.
Pucaknya, sekitar 200 ribu orang terlihat tumplek di sepanjang jalan Sudirman, MH Thamrin hingga Monas. Pijaran kembang api raksasa dan sinar laser yang ditembakkan dari ujung jalan bundaran ber-air mancur tersebut membuat langit di atas Jakarta terang benderang. Suara hiruk pikuk yang keluar dari 16 panggung musik yang didirikan di sepanjang jalan, turut membuat pesta rakyat tersebut makin hingar bingar. Itu masih ditambah lagi dengan suara berisik tak henti-henti yang keluar dari terompet yang banyak dijual di kawasan tersebut.
Sementara itu, di sudut lain kota Jakarta, sejumlah masjid sibuk menyelenggarakan acara zikir akbar, dengan tujuan yang sama, menyambut datangnya tahun baru. Meski sepintas, acara yang diisi oleh ulama-ulama dan uztadz-uztadz kenamaan ini cukup berhasil menyedot pengunjung, tak urung suara-suara negative tetap bergema. Apa pasal ??
Pasalnya ya tahun baru itu. Mayoritas ulama sependapat bahwa tahun baru Masehi bukanlah milik umat Islam, bukan juga budaya milik bangsa ini. Hari besar yang patut diperingati umat Islam hanya 2 yaitu Hari Raya Iedul Fitri dan Hari Raya Iedul Adha. Disamping beberapa hari lain yang biasa juga diperingati sebagian umat, diantaranya yaitu tahun baru Hijriyah.
Harus diakui, saat ini sebagian besar negara-negara di dunia memang menggunakan kalender Masehi sebagai hitungan tahun resmi negara, termasuk Indonesia. Tapi jangan lupa, pada masa kejayaan Islam, sejak abad 7 hingga abad 20 lalu, kalender Hijriyah pernah digunakan lebih dari separoh dunia. Kalender ini lenyap seiring dengan kejatuhan kekaisaran Turki Ottoman pada tahun 1924, paska PD I.
Indonesia sendiri meski secara resmi menggunakan kalender Masehi, tetap mempertahankan kalender Hijriyah untuk kepentingan acara keagamaan penduduknya yang memang mayoritas Muslim. Tidak aneh, karena untuk menentukan dan memperingati hari-hari besar Islam seperti Hari Raya Iedul Fitri, Hari Raya Iedul Adha, hari-hari puasa Ramadhan, kelahiran nabi dll mutlak diperlukan kalender yang menggunakan peredaran bulan ini sebagai acuannya. ( Kalender Masehi menggunakan peredaran matahari sebagai acuan).
Itu sebabnya, sebagian Negara berpenduduk mayoritas Islam, negara-negara Timur Tengah misalnya, hingga kini tetap menggunakan kalender Hijriyah sebagai sistem penanggalan sehari-hari. Jadi sungguh tidak benar bila ada sebagian orang ‘nyleneh’ yang berkeras berpendapat bahwa kalender Hijriyah adalah kalender Arab bukan kalender Islam. Meski tahun kalender ini baru digunakan umat Islam 6 tahun setelah wafatnya Rasulullah saw, tepatnya pada tahun 638 M.
Khalifah Umar bin Khattab ra yang memutuskan bahwa tahun dimana Rasulullah hijrah ( pindah) dari Mekah ke Madinah adalah awal tahun kalender yang bakal menjadi kalender resmi pemerintahan Islam. Kalender itu selanjutnya diberi nama Hijriyah, sesuai dengan alasan dasar pengambilannya. Ini adalah atas usulan Ali bin Abu Thalib.
Ketika itu Umar meminta masukan beberapa sahabat alasan dan dasar apa yang paling tepat untuk menentukan kalender resmi kekhalifahan. Pemicunya, tanggapan beberapa Negara tetangga yang menyatakan bahwa surat resmi kekhalifah dianggap tidak ‘ representatif’ karena hanya mencantumkan nama bulan dan tahun, tanpa tanggal. Hal yang lazim digunakan masyarakat Arab ketika itu.
Tahun kelahiran, tahun wafat dan tahun hijrahnya Rasulullah ditambah tahun awal turunnya ayat Al-Quran adalah beberapa usulan para sahabat yang masuk, menjawab pertanyaan sang khalifah, ketika itu. Namun akhirnya khalifah memilih tahun hijrahnya Rasulullah karena tahun tersebut dapat dianggap sebagai awal tahun kemenangan Islam.
Tahun dimana hukum Islam mulai dapat ditegakkan. Karena di Madinah inilah untuk pertama kalinya, Rasulullah mengeluarkan aturan kenegaraan, negara Islam Madinah, yang mampu mempersatukan suku Aus dan Khazraj, dua suku di Madinah yang sejak lama selalu bertikai. Juga orang-orang Yahudi yang sejak awal selalu memusuhi islam. Meski pada akhirnya tetap mengkhianati perjanjian. Karena mereka menerima Rasulullah dan perjanjian yang dibuat beliau dengan berat hati.
Kalender Hijriyah sendiri yang dibuat dengan acuan pergerakan bulan itu sudah dipergunakan masyarakat Arab jauh sebelum Islam datang. Namun 9 tahun setelah peristiwa hijrah telah di revisi karena turunnya ayat 36 dan 37 surat At-Taubah yang berisi tentang bulan-bulan Haram dan keharaman mengundur-undurkan bulan yang biasa dilakukan masyarakat Arab ketika itu.
“ Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. … … …“. ” Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mensesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir “. (QS. At-Taubah (9): 36-37).
( Baca : http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_Hijriyah#Penentuan_Tahun_1_Kalender_Islam)
Sedangkan sistim kalender Masehi sebenarnya telah digunakan ribuan tahun yang lalu, yaitu sejak abad 7 SM, sebagai kalender tradisional bangsa Romawi. Namun perayaan malam tahun baru sendiri tercatat pertama kali dirayakan baru pada tahun 45 SM, ketika Julius Caesar menjadi kaisar Romawi.
Atas saran seorang ahli astronomi dari Aleksandria, Julius merevisi kalender tersebut dengan mengikuti revolusi matahari sebagaimana yang dilakukan bangsa Mesir. Dan sejak itu ia menjadikan kalender yang kemudian diberi nama kalender Julian tersebut sebagai kalender resmi kekaisaran.
Selanjutnya pada tahun 1582 umat Nasrani dibawah pimpinan Paus Gregorius XII menjadikan kalender Julian diatas sebagai kalender umat Kristiani. Namun mereka merevisinya dengan menjadikan tahun kelahiran Yesus atau nabi Isa as sebagai patokan awal tahunnya. Alhasil lahirlah istilah SM ( sebelum Masehi) atau AD ( Anno Domini) yang artinya Tuhan kita dan M ( Masehi) atau BC ( Before Common Era). Masehi berasal dari kata Messiah ( Yesus ). Tahun 0 adalah tahun kelahiran Yesus. Dan SM adalah tahun sebelum kelahiran Yesus.
Dari keterangan diatas, jelas sudah bahwa sebenarnya kalender Masehi adalah memang benar-benar kalender yang sangat kental nuansa kristennya. Meski saat ini jarang Negara yang mengakui fakta ini. Demi kemudahan komunikasi adalah alasan yang paling sering dikemukakan negara.
Saat ini kita telah berada di abad 15 Hijriyah ( tahun 1434H) abad yang di ‘ klaim’ umat Islam sebagai abad kebangkitan Islam. Pergantian abad ke 15 ini dimulai tepatnya pada bulan November 1980 M. Ketika itu berbagai Negara Islam menyambut pergantian tersebut dengan gegap gempita. Revolusi Iran yang mampu merobohkan kekuatan kerajaan yang sekuler menjadi republik Islam ditandai sebagai awal kebangkitan tersebut oleh sebagian orang.
( Baca : http://mekahmadinah.faa.im/kebangkitan-islam-bagaimana-dengan-dunia.xhtml )
Kini kita telah memasuki 2/3 akhir abad 15 yang menjanjikan tersebut. Masih ada waktu 66 tahun untuk membuktikan bahwa kebangkitan itu akan menjadi kenyataan. Namun kelihatannya sebagian rakyat Negara kita tercinta masih belum juga Percaya Diri. Buktinya yaitu tadi, masih saja merayakan datangnya tahun baru Masehi secara berlebihan. Mengapa kita harus latah, ikut-ikutan kebiasaan, budaya bangsa dan agama orang/bangsa lain yang tidak sesuai dengan kita ?
Padahal Perancis saja, Negara barat yang maju dan berwajah ‘kristen’ tidak merayakan tahun baru tersebut semeriah Negara kita. 3 tahun, sejak tahun 2000 hingga 2003, kami berada di sana, tak pernah sekalipun kami menyaksikan hal tersebut. Juga dari tahun 2009 hingga 2012 lalu. Tidak di sekitar Eiffel, menara kenamaan yang menjadi ikon kota Paris, tidak juga di Champs Elysees, boulevard terkenal Paris yang belakangan ini dijadikan area mengemis oleh tidak saja Muslim imigran namun juga pemalas bule yang senang memanfaatkan anjingnya untuk memohon belas kasihan. Pemandangan yang sangat kontras dengan deretan gedung-gedung cantiknya yang dijadikan butik eksklusif oleh para desainer kenamaan dunia.
Tampaknya negri ini lebih memilih merayakan hari kemerdekaan Negaranya secara besar-besaran dari pada merayakan tahun baru. Pada hari itulah Paris gegap gempita bermandikan cahaya kembang api yang menerangi langit di atasnya. Mungkinkah ini cerminan bahwa rakyat Perancis tidak lagi agamis ? Karena nyatanya, sebagian besar dari mereka memang Atheis alias tidak percaya akan keberadaan Tuhan.
Apapun alasannya, rasanya sungguh tidak pantas bangsa kita yang masih miskin dan belum maju bahkan hutang negarapun masih bertumpuk merayakan tahun baru yang jelas-jelas bukan milik bangsa maupun agama kita secara berlebihan. Bila alasannya sekali-sekali ingin menyenangkan rakyat kecil, mungkin perayaan ulang tahun kota lebih bisa ditrima.
Masih banyak hal yang harus kita kejar bila kebangkitan Islam yang kita cita-citakan bersama itu ingin benar-benar terealisasi. Bila Barat yang pada zaman kegelapan dulu selama ratusan tahun pernah ketinggalan dari dunia Islam bisa mengejar ketertinggalannya maka mengapa kita yang ‘baru’ 90 tahunan tertinggal tidak mampu mengejar ketertinggalan kita ? Tidak ada salahnya kita belajar dan mengambil sesuatu yang baik dari Barat, selama hal tersebut tidak bertentangan dengan ajaran kita. Sains, kedisiplinan dan kebersihan adalah contohnya. Karena sekarang ini mereka memang jauh lebih unggul dari kita.
“ … Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.(Ar-Rad(13):11).
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”(HR. Ibnu Majah)
Sebalilnya jangan mengambil ilmu ekonomi dan sistim kapitalis mereka karena sebagian besar bertentangan dengan Islam. Tidak perlu kita ikut-ikutan menerapkan sistim bunga dalam dunia perbankan.Kita telah memiliki zakat, infak dan wakaf ; ajaran yang sangat menjanjikan bila dapat dikelola secara benar. Islam telah mengajarkan bagaimana sistim ekonomi yang sehat, yang tidak merugikan orang lain.
“ Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.(QS.Al-Baqarah(2):275).
Arab Spring, gelombang protes dan demonstrasi terhadap kebijakan sekuler Negara yang dilakukan masyarakat Negara-negara Arab sejak Desember 2010 terus berlanjut. Mesir yang berhasil menggolkan syariat Islam dibawah presidennya yang berasal dari Ikhwanul Muslimin meski belum didukung 100 % penduduknya, tampaknya bisa menjadi indikator bahwa kebangkitan Islam memang masih terus berproses meski agak lambat.
Indonesia sebagai Negara dengan penduduk mayoritas Muslim sudah seharusnya berpartisipasi dalam kebangkitan ini. Inilah saat yang tepat untuk bangun dari tidur panjangnya dan berhenti dari mimpi-mimpi indah. Mari kita berjuang bersama saudara-saudari kita sesama Muslim untuk mencapai kemenangan yang dijanjikan-Nya, yaitu rahmatan lil alamin.
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.(QS.Al-Anbiya(21):107).
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 13 Januari 2013.
Vien AM.
Leave a Reply