Seminggu menjelang berakhirnya masa tugas suami, apartemen yang selama ini kami tinggali sudah harus dikembalikan ke perusahaan. Kami diberi kebebasan mencari sendiri hotel apartemen, dengan tanggungan mereka. Dengan penuh semangat, saya usulkan agar suami memilih hotel di pusat keramaian kota. Ini adalah kesempatan baik dan mungkin terakhir, karena selama ini kami tinggal di apartemen di Courbevoie, tidak berapa jauh dari kantor suami di La Defense.
Maka selama seminggu itu, sungai Seine yang membelah kota Paris menjadi 2 bagian yaitu Rive Gauche ( bagian kiri ) dan Rive Droit ( bagian kanan) menjadi pemandangan kami begitu kami membuka jendela kamar kami, Alhamdulillah …
Stasiun metro St Michel dan stasiun Pont Neuf terletak hanya beberapa puluh meter dari tempat ini. Meski sebenarnya untuk menjelajahi Quartier Latin yang terletak di Paris 5 ini, kita tidak perlu menggunakan metro. Quartier Latin adalah bagian tertua kota yang ramai dipadati turis. Dengan berjalan kaki, Place St Michel, Notre dame de Paris, bulevard St Germain, Sorbonne, Pantheon bahkan Palais de Luxembourg yang agak jauh di selatanpun bisa dicapai. Menyeberangi sungai, ke arah utara, Hotel de Ville atau ke arah barat, musee du Louvre juga masih dapat digapai.
Demikian juga Place de la Concorde, yang merupakan salah satu tempat paling bersejarah di negri ini. Pelataran terluas di Paris ini dikelilingi bangunan-bangunan penting seperti gedung Asembly National yang berhadapan dengan bangunan kembarannya yaitu gereja Madeleine, hotel Crillon, hotel paling bergengsi di Paris dimana tamu negara sering menginap serta jardin Tuleries yang fenomenal itu.
Pelataran ini juga dikelilingi oleh 8 patung yang melambangkan 8 kota besar yang menjadi batas Paris dengan kota-kota tersebut. 8 kota tersebut adalah Brest, Rouen, Lille, Strasbourg, Lyon, Marseille, Bordeaux dan Nantes. Pelataran ini terbuat dari paving block, memberi kesan kuno namun tetap cantik.
Sementara persis di bagian tengahnya berdiri tugu Obelisk, tugu kuno peninggalan raja Ramses, yang merupakan hadiah dari raja Mesir Mohammad Ali pada tahun 1829 untuk Perancis, sebagai lambang persahabatan ke 2 negara. Tugu ini diapit oleh 2 buah air mancur kembar nan indah mempesona, dengan patung-patung erotiknya, seperti biasa ..
Ironisnya, dibalik kecantikan penampilannya, tempat ini menyimpan kenangan yang sungguh pahit. Disinilah raja Louis XVI dan permaisurinya, Marie Antoinette di guilotine alias hukum pancung pada tahun 1793. Dengan cara yang sama, ratusan orang menjadi korban keganasan dan kemarahan rakyat yang merasa terzalimi selama bertahun-tahun hidup mereka dibawah tirani kerajaan.
Alexandre Dumas, seorang penulis kenamaan Perancis berhasil mengabadikan tragedi berdarah ini melalui novelnya yang berjudul La Femme au collier de velours . Hasil karyanya ini dipublikasikan pada tahun 1850.
Suatu hari di hari-hari akhir itu, saya berjalan-jalan ke arah Chatelet, tujuan saya Centre Pompidou yang terletak di Paris 4. ( Paris terbagi atas 20 wilayah / arrondissement). Biasanya di tempat ini, tepatnya di depan pelataran di depan perpustakaan Pompidou yang merupakan perpustakaan terbesar di Eropa, sering ada atraksi gratis. Ternyata benar, hari itu saya berkesempatan menonton pesulap Canada beraksi. Ia menutup sulapnya dengan atraksi yang cukup memukau. Dengan gaya lucu, khas interpreneur profesional, di atas sepeda tingginya ia memainkan atraksi berbahaya, yaitu melempar pisau secara bergantian di antara dua tangannya.
Pertunjukkan yang berlangsung hampir 1 jam lamanya itu diakhiri dengan tepuk tangan panjang penonton. Berkali-kali sang maestropun membungkukkan badannya dalam-dalam sambil mengucapkan « Thank you .. Thank You “. Setelah itu iapun melemparkan topinya ke atas, menangkapnya kembali lalu berkeliling mendekati penonton.
“ This is free, of couse .. But the trip from Canada to French is not “, serunya sambil mengedipkan mata penuh arti. “ If you are satisfied, half euro or even 20 euro doesn’t matter”, lanjutnya lagi dengan nada kocak, memancing tawa penonton. Sekedar info, rata-rata orang memberi setengah euro untuk pertunjukkan seperti itu.
Alhasil, topi sang maestro yang digeletakkan di lantai itupun akhirnya penuh terisi koin- koin euro, menjadi tanda sukses pertunjukkannya hari itu. Satu hal yang lazim terjadi di kota ini. Atraksi semacam ini memang hal biasa dan menjadi daya tarik tersendiri bagi para turis manca negara.
Setelah itu penontonpun bubar, berpencar mencari hiburan lain. Demikian juga saya. Pandangan saya tertumbuk pada bendera Palestina yang sedang berkibar, tidak jauh dari tempat saya berdiri. Saya segera mendekati tempat tersebut. Ternyata ini aksi solidaritas untuk kemerdekaan Palestina. Sejumlah poster dan foto-foto kekejaman tentara Israel dipajang di tempat tersebut. Sementara sebuah meja panjang dengan beberapa kursi terlihat dipenuhi pengunjung. Di atas meja terlihat sebuah kotak berisi postcard dan sebuah kotak pos bertuliskan : » Mr le president de la republique », dengan alamat lengkap istana Elysees, istana resmi kepresidenan.
Usut punya usut, ternyata ini semacam poling/ jejak pendapat terhadap berdirinya Palestina merdeka. Pengunjung dipersilahkan memilih satu atau lebih post card yang tersedia di atas meja, kemudian menuliskan apa yang ingin dikatakannya tentang post card yang dipilihnya itu.
Seperti poster dan foto-foto yang dipajang di sekitar lokasi, post card-post card tersebut menggambarkan berbagai kekejaman tentara Israel terhadap rakyat Palestina. Yang lebih menarik, post card pilihan pengunjung tersebut ditujukan kepada presiden Perancis, dan tanpa perangko, karena penyelenggara yang akan langsung menyerahkannya kepada orang no 1 negri tersebut.
Tentu saja saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan berharga tersebut. Kapan lagi bisa menulis surat kepada presiden, isinya tentang penderitaan saudara-saudari kita di Palestina dan harapan bagi kemerdekaan mereka pula.
Dari An-Nu’man B. Basyir ra, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Perumpamaan kaum mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi, dan bantu-membantu itu seperti suatu jasad. Apabila salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain akan turut merasakan sakitnya, dengan tanpa dapat tidur dan demam.” (Shahih Muslim, no. 2586. Bab: Mencintai orang-orang beriman, bantu-mebantu, dan saling kerjasama)
Tidak itu saja, penyelenggara juga menjual T-shirt bertuliskan « Boycot Israel”di bagian depan dan “Go to Hell Israel”di bagian belakangnya. Sesuatu yang rasanya mustahil terjadi tanah air. T-shirt berwarna hijau yang hari itu dijadikan seragam penyelenggara itu dijual dengan harga 8 euro.
Namun jangan salah duga. Aksi tersebut tidak berarti bahwa penyelenggara berpihak kepada kaum Muslimin. Ini hanyalah salah satu bentuk toleransi mereka. Sama halnya ketika mereka berteriak bahwa kaum LGBT ( Lesbian Gay Biseksual Transgender) juga mempunyai hak untuk hidup dan dihormati … 😦
Oya, tidak jauh dari tempat saya berdiri ini, berdiri patung baru yang cukup menarik perhatian. Patung tembaga tersebut adalah patung raksasa Zinedine Zidane, sedang menyeruduk lawannya. 😦 ..Kejadian menghebohkan ini terjadi pada tahun 2006 di pesta kejuaraan sepak bola di Berlin. Meski keberadaan patung raksasa setinggi 5 meter ini berhasil menarik pengunjung, saya yakin, pasti sang pahlawan persepak-bolaan Perancis kelahiran Aljazair ini tidak senang dirinya diabadikan dalam posisi seperti itu.
Pasti ia sakit hati, sama seperti sakitnya hati ini, dan juga mungkin kawan-kawan lainnya, karena kabarnya, Zidane terprovokasi melakukan tindakan kasar tersebut karena lawannya yang asal Itali itu selama pertandingan berlangsung terus membuntutinya sambil membisikan kata-kata ejekan terhadap saudara perempuannya yang berjilbab. Zidane memang berasal dari keluarga Muslim. Betul-betul taktik busuk yang berhasil …
Lepas dari Centre Pompidou, saya segera menuju stasiun metro. Waktu telah menunjukkan pukul 17.30. Artinya sebentar lagi masuk waktu Asar. Tujuan saya adalah Mosquee de Paris, masjid terbesar yang ada di kota ini. Masjid ini terletak di, 39 rue Geoffrey Saint-Hilaire, Paris 5. Jika ingin naik metro dari tempat ini, kita harus menumpang metro no 7 dan berhenti di stasiun Place Monge.
Masjid ini dibangun pada tahun 1926 untuk menghormati 70.000 pahlawan Muslim Perancis yang gugur dalam perang melawan Jerman pasca perang Dunia I. Arsitektur masjid ini mirip dengan arsitektur istana Alhambra di Spanyol, lengkap dengan Patio de Leons yang terkenal itu. Tapi ini tanpa Leons atau singanya.
Disinilah saya selama 2 tahun lebih melaksanakan shalat Jumat, bersama ratusan Muslimah Perancis. Benar-benar sebuah kenangan yang sangat indah, mendengarkan kutbah Jumat tausiyah di tanah orang kafir. Sayang, tausiyah tersebut diberikan dalam bahasa Arab. Padahal saya perhatikan meski mayoritas jamaah adalah turunan Arab, harap maklum, Maroko, Alajazair dan Tunisia adalah Negara bekas jajahan Perancis, namun anak-anak mudanya yang merupakan generasi ke 2, ke 3 atau bahkan mungkin ke 4, tidak lagi begitu mampu berbahasa Arab.
Menjadi pertanyaan besar, mungkinkah ini disengaja, karena saya pernah mendengar bahwa masjid agung ini sangat berbau pemerintah. Oleh sebab itu pemerintah melarang menggunakan tausiyah dalam bahasa Perancis, supaya orang Perancis tidak paham. ??!?
“ Katakanlah: “… … , kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. … … “.(QS.Al-Baqarah(2):217).
Atau mungkinkah saya saja yang su’udzon, karena sebelum khutbah resmi, katanya, ringkasan khutbah telah diberikan dalam bahasa Perancis. Maklumlah Islamphobia di Perancis sudah sangat akut. Yang pasti, masjid lain yang ada di negri ini tidak mau mengikuti aturan masjid agung ini. Bahkan kebijaksanaan UOIF, organisasi Islam terbesar di negri ini, sering bersebrangan dengan keputusan dan aturan mesjid ini. Dan sering kali melawan kebijaksanaan pemerintah. Bisa dibilang masjid agung ini adalah milik pemerintah.
Namun sebagai masjid terbesar dan masjid yang paling mudah dicapai oleh Muslim yang tinggal di pusat Paris, masjid ini tetap ramai dikunjungi jamaah. Meski, seperti apa yang telah diprediksi Rasulullah, sebagai salah satu tanda akhir zaman, setiap hari mesjid ini membuka dirinya untuk turis, untuk dilihat-lihat dan berfoto ria. Meski kalau kita mau usnudzon, bisa saja ini menjadi dakwah tersendiri.
( Bersambung).
Leave a Reply