Feeds:
Posts
Comments

Archive for September, 2014

”Islam adalah agama rasional dan satu-satunya agama yang menolak adanya dosa warisan.”
Islam adalah agama yang rasional dan universal. Ia bisa diterima dan sesuai dengan akal sehat. Agama Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Sebab, kendati diturunkan di Jazirah Arabia, agama Islam bukan hanya untuk orang Arab, tetapi juga bisa diterima oleh orang yang bukan Arab (Ajam).

Bahkan, ilmu-ilmu dan ajaran yang terkandung dalam Alquran, sesuai dengan pandangan hidup umat manusia. Karena itu, tak heran, bila agama yang dibawa oleh Muhammad SAW ini, dengan mudah diterima oleh orang-orang yang senantiasa menggunakan akal pikirannya. Itulah yang dialami Dr Murad Wilfried Hofmann, mantan Diplomat Jerman. Ia menerima agama Islam, disaat kariernya berada di puncak.

Dr Hofmann, menerima Islam pada 25 September 1980. Ia mengucapkan syahadat di Islamic Center Colonia yang dipimpin oleh Imam Muhammad Ahmad Rasoul. Ia dilahirkan dalam keluarga Katholik Jerman pada 3 Juli 1931. Dia adalah lulusan dari Union College di New York dan kemudian melengkapi namanya dengan gelar Doktor di bidang ilmu hukum dari Universitas Munich, Jerman tahun 1957.

Selain itu, Hofmann dulunya adalah seorang asisten peneliti pada Reform of Federal Civil Procedure. Dan pada tahun 1960, ia menerima gelar LLM dari Harvard Law School. Kemudian, pada tahun 1983-1987, ia ditunjuk menjadi direktur informasi NATO di Brussels. Selanjutnya, ia ditugaskan sebagai diplomat (duta besar) Jerman untuk Aljazair tahun 1987 dan dubes di Maroko tahun 1990-1994. Tahun 1982 ia berumrah, dan 10 tahun (1992) kemudian melaksanakan haji.

Namun, justru sebelum di Aljazair dan Maroko inilah, Hofmann memeluk Islam. Dan ia baru mempublikasikan keislamannya setelah dirinya menulis sebuah buku yang berjudul Der Islam als Alternative (Islam sebagai Alternatif) tahun 1992. Setelah terbit bukunya ini, maka gemparlah Jerman.

Dalam buku tersebut, ia tidak saja menjelaskan bahwa Islam adalah alternatif yang paling baik bagi peradaban Barat yang sudah kropos dan kehilangan justifikasinya, namun secara eksplisit Hofmann mengatakan, bahwa agama Islam adalah agama alternatif bagi masyarakat Barat. Islam tidak menawarkan dirinya sebagai alternatif yang lain bagi masyarakat Barat pasca industri. Karena memang hanya Islam-lah satu-satunya alternatif itu, tulisnya.

Karena itu, tidak mengherankan saat buku itu belum terbit saja telah menggegerkan masyarakat Jerman. Mulanya adalah wawancara televisi saluran I dengan Murad Hofmann. Dan dalam wawancara tersebut, Hofmann bercerita tentang bukunya yang ketika itu sebentar lagi akan terbit itu.Saat wawancara tersebut disiarkan, seketika gemparlah seluruh media massa dan masyarakat Jerman. Dan serentak mereka mencerca dan menggugat Hofmann, hingga mereka membaca buku tersebut. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh media massa murahan yang kecil, namun juga oleh media massa yang besar semacam Der Spigel.

Malah pada kesempatan yang lain, televisi Jerman men-shooting Murad Hofmann saat ia sedang melaksanakan shalat di atas Sajadahnya, di kantor Duta Besar Jerman di Maroko, sambil dikomentari oleh sang reporter: Apakah logis jika Jerman berubah menjadi Negara Islam yang tunduk terhadap hukum Tuhan?

Hofmann tersenyum mendengar komentar sang reporter.Jika aku telah berhasil mengemukakan sesuatu, maka sesuatu itu adalah suatu realitas yang pedih. Artinya, Hofmann paham bahwa keislamannya akan membuat warga Jerman marah. Namun ia sadar, segala sesuatu harus ia hadapi apapun resikonya. Dan baginya Islam adalah agama yang rasional dan maju.

Sebagai seorang diplomat, pemikiran Hofmann terkenal sangat brilian. Karena itu pula, ia menambah nama depannya dengan Murad, yang berarti yang dicari. Leopold Weist, seorang Muslim Austria yang kemudian berganti nama menjadi Muhamad Asad, mengatakan, dalam pengertian luas, Murad adalah tujuan, yakni tujuan tertinggi Wilfried Hofmann.

Keislaman Hofmann dilandasi oleh rasa keprihatinannya pada dunia barat yang mulai kehilangan moral. Agama yang dulu dianutnya dirasakannya tak mampu mengobati rasa kekecewaan dan keprihatinannya akan kondisi tersebut.
Apalagi, ketika ia bertugas menjadi Atase di Kedutaan besar Jerman di Aljazair, ia menyaksikan sikap umat Islam Aljazair yang begitu sabar, kuat dan tabah menghadapi berbagai macam ujian dan cobaan dari umat lain. Atas dasar itu dan sikap orang Eropa yang mulai kehilangan jati diri dan moralnya, Hofmann memutuskan untuk memeluk Islam.

Ia merasa terbebani dengan pemikiran manusia yang harus menerima dosa asal (turunan/warisan) dan adanya Tuhan selain Allah. Mengapa Tuhan harus memiliki anak dan kemudian disiksa dan dibunuh di kayu salib untuk menyelamatkan diri sendiri. Ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak punya kuasa, tegasnya.

Bahkan, sewaktu masa dalam masa pencarian Tuhan, Hofmann pernah memikirkan tentang keberadaan Allah. ia lalu melakukan analisa terhadap karya-karya filsuf seperti Wittgenstein, Pascal, Swinburn, dan Kant, hingga akhirnya ia dengan yakin menemukan bahwa Tuhan itu ada.

Ia kemudian bertanya; Bagaimana Allah berkomunikasi dengan manusia dan membimbingnya? Disini ia menemukan adanya wahyu yang difirmankan Tuhan. Dan ketika membandingkan agama Yahudi, Kristen, dan Islam, yang umatnya diberi wahyu, Hofmann menemukannya dalam Islam, yang secara tegas menolak adanya dosa warisan.

Ketika manusia berdoa, mereka harusnya tidak berdoa atau meminta kepada tuhan lain selain Allah, sang Pencipta. Seorang Muslim hidup di dunia tanpa pendeta dan tanpa hierarki keagamaan; ketika berdoa, ia tidak berdoa melalui Yesus, Maria, atau orang-orang suci, tetapi langsung kepada Allah, tegasnya.

Hofmann melihat bahwa agama Islam adalah agama yang murni dan bersih dari kesyirikan atau adanya persekutuan Allah dengan makhluknya. Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan,ujarnya. Dalam bukunya Der Islam Als Alternative, Annie Marie Schimmel memberikan kata pengantar dengan mengutip kata-kata Goethe.Jika Islam berarti ketundukan dengan penuh ketulusan, maka atas dasar Islam-lah selayaknya kita hidup dan mati.

Dalam bukunya Trend Islam 2000, Hofmann menyebutkan, potensi masa depan peradaban Islam. Ia menjelaskan, ada tiga sikap muslim terhadap masa depan mereka. Yakni, kelompok pesimis (yang melihat perjalanan sejarah selalu menurun), kelompok stagnan (yang melihat sejarah Islam seperti gelombang yang naik turun), dan ketiga kelompok optimis (umat yang melihat masa depannya terus maju). Karena itu, ia mengajak umat Islam untuk senantiasa bersikap optimis dan menatap hari esok yang lebih baik.

Hofmann juga banyak terlibat aktif dalam organisasi keislaman, seperti OKI. Ia senantiasa menyampaikan pemikiranpemikiran briliannya untuk kemajuan Islam. Pada pertengahan September 2009 lalu, ia dinobatkan sebagai Muslim Personality of The Year (Muslim Berkepribadian Tahun Ini), yang diselenggarakan oleh Dubai International Holy Quran Award (DIHQA). Penghargaan serupa pernah diberikan pada Syekh Dr Yusuf al-Qaradhawi.

Islam Agama Rasional

Ada beberapa alasan yang membuat Murad Wilfried Hofmann akhirnya keluar dari Katholik dan memilih Islam. Dan alasan-lasan itu sangat membekas dalam pikirannya.

Tahun 1961, ketika ia bertugas sebagai Atase Kedutaan Besar Jerman di Aljazair, ia mendapati dirinya berada di tengah-tengah perang gerilya berdarah antara tentara Prancis dan Front Nasional Aljazair yang telah berjuang untuk kemerdekaan Aljazair, selama delapan tahun. Disana ia menyaksikan kekejaman dan pembantaian yang dialami penduduk Aljazair. Setiap hari, banyak penduduk Aljazair tewas.

Saya menyaksikan kesabaran dan ketahanan orang-orang Aljazair dalam menghadapi penderitaan ekstrem, mereka sangat disiplin dan menjalankan puasa selama bulan Ramadhan, rasa percaya diri mereka sangat tinggi dengan kemenangan yang akan diraih. Saya sangat salut dan bangga dengan sikap mereka, ujarnya. Alasan lain yang membuatnya memilih Islam, Hofmann adalah seorang penyuka seni dan keindahan.

Islam punya beragam kesenian yang sangat menarik dan indah, termasuk seni arsitekturnya. Hampir semua ruangan dimanifestasikan dalam seni keindahan Islam yang universal. Mulai dari kaligrafi, pola karpet, ruang bangunan dan arsitektur masjid, menunjukkan kuatnya seni Islam, jelasnya. Dari beberapa alasan diatas, persoalan yang benar-benar membuatnya harus memeluk Islam, karena hanya agama ini yang tidak mengajarkan doktrin tentang dosa warisan.

Pernyataan yang terdapat dalam Alquran sangat jelas, rasional dan tegas.Tak ada keraguan bagi saya akan kebenaran Islam dan misi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SA, paparnya. sya/berbagai sumber Biodata
Nama : Wilfried Hofmann
Nama Muslim : Murad Wilfried Hofmann
Lahir : Jerman, 6 September 1931
Masuk Islam : 25 September 1980

Pekerjaan :
*Direktur Informasi NATO di Brussels Belgia
(1983-1987)
*Duta Besar Jerman untuk Aljazair (1987-
1990)
*Duta Besar Jerman untuk Maroko (1990-
1994).
*Penulis

Dicopy dari : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/09/09/29/78582-hidayah-bagi-sang-diplomat-jerman

Read Full Post »

Urgensi Ahklakul Khorimah.

Ramadhan telah berlalu.  Selesai sudah ganjaran malam Lailatul Qadar  yang berlipat-lipat lebih dari 1000 bulan yang hampir setara dengan ibadah selama 84 tahun itu.

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar”. (QS.Al-Qadr(97):1-5).

Bukan hal yang dilarang mengejar pahala berlipat ganda seperti itu, justru dianjurkan. Namun ada esensi lain yang lebih utama tapi sering dilupakan kaum muslimin, yaitu akhlakul khorimah atau akhlak yang baik sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. Inilah ciri orang takwa yang  merupakan tujuan utama perintah berpuasa di bulan Ramadhan.

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS. Al-baqarah(2):183).

Ciri orang yang takwa yang paling mudah kita temukan ada dalam diri Rasulullah. Aisyah ra mengatakan bahwa Rasulullah adalah Quran berjalan. Maksudnya, bila kita ingin melihat secara nyata, apa itu Al-Quran, bagaimana Islam, maka tengok dan pelajarlah sifat dan sikap nabi penutup ini.

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.(QS. Al-Ahzab(33):21).

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”

Rasulullah adalah seorang yang dikenal jujur, adil, santun, disiplin, hangat, ramah dan apik dalam berpenampilan, namun tetap sederhana dan bersahaja, dan sekaligus tegas. Beliau juga dikenal sangat menghormati kaum perempuan dan begitu  menyayangi anak-anak. Dan kesemuanya itu beliau lakukan demi mencari ridho Tuhannya.

“ Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, ‘Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu “.

Demi Allah. Seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku, dan bulan di tangan kiriku, agar aku menghentikan dakwah ini, niscaya aku tidak akan menghentikan dakwah ini hingga Allah memenangkannya atau aku binasa.”

Itulah jawaban Rasulullah atas permintaan Abu Thalib, paman nabi yang meminta ponakan yang sangat dicintai itu agar menghentikan dakwahnya. Ini dilakukan karena sang paman mengkawatirkan keselamatan nabi yang sejak kecil telah dalam perawatan dan pengawasannya.

Inilah ciri ketakwaan yang sesungguhnya, yang seharusnya menjadi buah dari Ramadhan yang tiap tahun dilalui umat Islam seluruh dunia.

Namun anehnya, sebagian bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim ini, kurang mampu dan ( atau tidak mau ?? )  mencontoh serta   meneladani rasulnya. Bukti paling kentara yaitu dengan banyaknya koruptor di negri tercinta ini. Menjadi  bukti betapa orang-orang yang notabene adalah para pejabat negri, yang mustinya menjadi contoh keteladanan rakyatnya,  tidak memiliki rasa takut kepada Tuhannya, bahwa segala prilakunya senantiasa dalam pengawasan-Nya. Ironisnya lagi, mereka ini tidak punya sedikitpun rasa sesal dan malu ketika pengadilan memvonis kesalahan mereka.

Hal yang tak kalah menyedihkan, adalah betapa banyaknya anak usia SD yang  telah diajari untuk berbuat curang oleh gurunya. Ini  terlihat pada setiap ujian Negara  yang dilakukan tiap tahun di seluruh penjuru negri.  Demi menjaga nama baik sekolah, pihak sekolah rela mengorbankan murid-muridnya agar mau menyontek supaya mendapat nilai yang tinggi. Tak heran bila akhirnya murid berpikir bahwa menyontek itu tidak apa yang penting nilanya bagus ! Naúdzubillah min dzalik …

Nyesel juga lho waktu ujian SD dulu g ikutan nyontek, padahal guru yang jaga sengaja kasih kesempatan. Ijazah temen-temen yang nyontek jadinya pada bagus-bagus, bangga banget mereka”, begitu keluh putra kami yang sekarang telah menyelesaikan S2nya dan sudah bekerja.

Ironis bukan? Orang berbuat curang koq bangga, bahkan mampu membuat orang yang jujur berkecil hati. Kapan kita bisa maju jika kebiasaan buruk seperti ini kita biarkan saja. Karena sejatinya sifat jujur adalah kunci segala keberhasilan. Sebaliknya kebohongan adalah awal bencana besar.

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wajib atas kalian berlaku jujur, karena sesungguhnya jujur itu menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan itu menunjukkan kepada Surga. Seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk selalu jujur sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian sifat dusta, karena sesungguhnya dusta itu menunjukkan kepada keburukan, dan keburukan itu menunjukkan kepada Neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan berusaha untuk selalu berdusta sehingga ia ditulis disisi Allah sebagai seorang pendusta.” (SHOHIH. Diriwayatkan oleh imam Muslim no. 6586).

 Tak ada jalan lain, segala perbuatan buruk mulai dari menyontek, berbohong, memfitnah dll  harus diberi sangsi dan hukuman, agar si pelaku kapok. Itu bila kita berniat membangun bangsa yang terhormat,  cerminan negara berpenduduk mayoritas Muslim.

Harus diingat, ajaran Islam bukan hanya teori belaka, yang sarat dengan rutinitas rentetan ibadah ritual. Tidak akan ditrima shalat, puasa, zakat dan haji kita bila tanpa disertai perbuatan mulia yang bermanfaat bagi orang lain. Karena sejatinya orang yang paling dicintai Allah swt adalah  Mukmin yang berakhlak baik.  Yaitu mereka yang peduli terhadap sesama, yang suka membantu orang yang dalam kesulitan, yang santun, jujur dan  tidak pamrih, disamping melaksanakan segala kewajiban Tuhannya. Mukmin yang dicintai Sang Khalik adalah ibarat sebuah pohon yang dari akar, batang, dahan, ranting hingga bunga dan buahnya bermanfaat bagi orang lain. Perumpamaannya seperti apa yang disiratkan ayat 24 – 26 surat Ibrahim berikut :

“ Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun”.

Tak heran bila saat ini banyak non muslim yang merasa “ilfil” kata anak muda zaman sekarang, terhadap kaum Muslimin. Betapa banyaknya pengakuan para mualaf yang “curhat”,  jika tidak karena ayat-ayat Al-quranul Karim  yang begitu dasyat, mereka ini tidak bakal tertarik masuk Islam karena banyaknya contoh Muslim yang tidak baik akhlaknya bahkan bejat. Korupsi, pelacuran, mabuk2an dll adalah contohnya.

Sungguh aneh, Indonesia yang setiap tahun mengirimkan 200-an ribu jamaah haji ke tanah suci, tetapi prilakunya tidak mencerminkan hal itu. Juga shalat wajib 5x sehari yang merupakan tali pertolongan terakhir umat Islam ternyata tidak mampu melahirkan insan yang berakhlak mulia.  Apa gerangan yang salah dengan umat ini ???

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya”.(QS.Al-Mauun(107) :4-6).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Yang pertama kali dihilangkan dari umat manusia adalah amanat, dan yang tersisa paling akhir adalah shalat. Berapa banyak orang yang mengerjakan shalat tanpa ada kebaikan di dalamnya sama sekali di dalam dirinya.” (HR Ath Thabrani, hasan)

Marilah kita bersama introspeksi, silahkan menambah ibadah sunnah namun jangan kesampingkan kebiasaan dan sifat baik yang mustinya menjadi buah utama ibadah kita. Mari kita buktikan bahwa semboyan Islam adalah rahmatan lillalamiin, adalah nyata bukan hanya sekedar omong kosong belaka.

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”. (QS. Fushilaat(41):34).

Dari Jabir r.a meriwayatkan bahawa Baginda Rasulullah saw bersabda : Diantara kamu orang yang paling aku cintai dan orang yang paling hampir kepadaku pada hari kiamat ialah orang yang baik akhlaknya. (HR Tirmizi).

Dari Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda : Musa bin Imran a.s berkata: Wahai Tuhanku, siapakah orang yang paling mulia pada pandanganMu? Allah SWT menjawab: Barangsiapa yang memberi maaf meskipun dia memiliki kemampuan untuk membalas dendam. (HR Baihaqi).

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu` dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna dan orang-orang yang menunaikan zakat dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (ya`ni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Mukminun(23):1-11).

Wallahu’alam bish shawwab.

Jakarta, 5 September 2014.

Vien AM.

Read Full Post »

khilafah33

Perbincangan tentang ISIS dan Khilafah menghangat di media massa dan di masyarakat akhir-akhir ini. Diantara pemicunya adalah peredaran salah satu video yang diunggah di Youtube. Video tersebut berisi seruan anggota ISIS dari Indonesia kepada umat Islam di Indonesia agar bergabung dengan organisasi itu.

 Isu ISIS dan Khilafah pun bergulir. Banyak pihak berkomentar. Pemerintah meminta masyarakat mewaspadai dan mencegah organisasi itu berkembang. Kelompok sekular memanfaatkan isu itu untuk memukul apa yang mereka katakan sebagai paham radikal.

 Sikap Proporsional

 Bagi pihak yang tidak suka terhadap Islam, isu ISIS dijadikan sebagai kesempatan untuk menjauhkan masyarakat dari ide khilafah. Mereka kemudian menyimpangkan konsep khilafah dan melakukan ‘monsterisasi’ khilafah. Mereka berupava menanamkan ketakutan atau paling tidak keengganan terhadap ide khilafah. Caranya dengan mengaitkan isu tersebut dengan terorisme, aksi kekerasan dan kejahatan. Mereka pun melekatkan keburukan pada ide khilafah. Isu ISIS di Indonesia dan ide khilafah yang terus diulang-ulang tanpa disertai penjelasan memadai tentu bisa menjadi bagian dari upaya ‘monsterisasi’ itu.

 Semua pihak, khususnya Pemerintah, seharusnya menyikapi isu ISIS secara proporsional. Penolakan terhadap organisasi yang mengklaim telah mendeklarasikan Khilafah itu berikut berbagai tindakan kekerasan yang mereka lakukan jangan sampai diperalat oleh pihak-pihak tertentu, khususnya yang tidak suka terhadap Islam, untuk melakukan ‘monsterisasi’ syariah dan khilafah sehingga menjadi penolakan terhadap syariah dan khilafah. Upaya ‘monsterisasi’itu malah dapat menimbulkan masalah baru karena bisa mengkriminalisasi ide khilafah yang bersumberdari ajaran Islam.

 Khilafah: Ajaran Islam

 Khilafah adalah ide Islam. Karena itu Khilafah harus didukung oleh umat. Khilafah bersumber dari al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. Dalam Islam, Khilafah atau al-Imamah al-‘Uzhma merupakan perkara ma’lumun min ad-din bi adh-dharurah (telah dimaklumi sebagai bagian penting dari ajaran Islam).

 Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia guna menerapkan syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Pengertian ini sekaligus menjelaskan muatan dari Khilafah yakni: ukhuwah, syariah dan dakwah. Ukhuwah artinya persatuan umat Islam seluruh dunia. Syariah artinya penerapan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh). Dakwah artinya penyebaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Tiga muatan inilah yang terangkum dalam kata Khilafah. Karena itu Khilafah sebagai ajaran Islam harus didukung oleh umat Islam.

 Secara historis pun, Khilafah telah membawa rahmat dan pengaruh besar bagi umat Islam di dunia, termasuk bagi negeri ini dan penduduknya. Perlu diingat, Khilafah berperan besar bagi penyebaran Islam di negeri ini sehingga penduduk negeri ini mendapat rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mendapatkan petunjuk kepada Islam. Diantara para wali dan ulama yang menyebarkan Islam di negeri ini sebagiannya diutus dan difasilitasi oleh Khilafah pada masa itu, termasuk sebagian dari Wali Songo. Kesultanan-kesultanan Islam yang dulu memerintah dan memakmurkan negeri ini pun berhubungan erat dengan Khilafah pada masa masing-masing. Bahkan Khilafah pernah turut membantu perjuangan rakyat negeri ini melawan penjajah. Kesultanan Aceh, misalnya, pernah dibantu oleh Khilafah Utsmaniyah dengan senjata modern kala itu dan pasukan yang dipimpin oleh panglima Hizir Reis dalam menghadapi penjajah.

 Kewajiban Menegakkan Khilafah

 Kita telah diperintah untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melaksanakan syariah-Nya secara keseluruhan tanpa pilih-pilih. Kewajiban melaksanakan seluruh syariah itu memastikan kewajiban kaum Muslim untuk mengangkat imam (Khalifah) dan menegakkan Khilafah. Allah Subhanahu wa Ta’ala, misalnya, berfirman:

“Terhadap pencuri laki-Iaki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya … ” (QS al-Maidah 5:38).

Imam Fakhrudin ar-Razi asy-Syafi’i menafsirkan ayat ini dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghayb: “Para mutakallimin berhujjah dengan ayat ini bahwa umat wajib mengangkat untuk diri mereka seorang imam (Khalifah). Dalilnya, melalui ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan penegakkan had (hukuman) atas pencuri dan pelaku kriminal. Tentu harus ada pihak yang diseru dengan seruan ini. Umat sepakat bahwa tidak ada seorang pun dari kalangan rakyat yang berhak menegakkan hudud terhadap para pelaku kriminal. Bahkan umat sepakat bahwa tidak boleh (haram) penegakkan hudud atas orang merdeka pelaku kriminal kecuali oleh imam (Khalifah). Taklif ini merupakan taklif jazim (tegas). Tak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali ketika ada imam (Khalifah). Saat kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan keberadaan seorang imam (Khalifah)-padahal itu masih dalam batas kemampuan mukallaf-maka keberadaan imam (Khalifah) adalah wajib. Karena itu perkara ini memastikan kewajiban untuk mengangkat seorang imam (Khalifah).”

 Imam ‘Alauddin al-Kasani al-Hanafi dalam Bada’iu ash-Shana’i (xiv/406) juga menyatakan: “Mengangkat Al-Imam al-A’zham (Khalifah) adalah fardhu tanpa ada perbedaan diantara ahlul-haq. Dalam hal ini, perbedaan sebagian kalangan Qadariyah tidak ada nilainya. Pasalnya, Sahabat radhiyallah ‘anhum telah berijmak atas (kewajiban penegakkan, red.) Khilafah … “

 Imam an-Nawawi di dalam Syarhu Shahih Muslim (vi/291) pun menegaskan: “Para ulama sepakat bahwa wajib atas kaum Muslim untuk mengangkat khalifah. Kewajiban mengangkat khalifah itu berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal. Adapun yang diceritakan dari al-‘Asham bahwa dia mengatakan Khilafah tidak wajib, juga dari selain dia bahwa Khilafah itu wajib menurut akal dan bukan syariah, maka kedua perkataan ini adalah batil.”

 Syaikh Manshur al-Buhuti al-Hanbali dalam Kasysyaf al-Qina’ ‘an Matn al-lqna’ (xxi/61) juga menegaskan: “Mengangkat Al-Imam al-A’zham (Khalifah) bagi kaum Muslim adalah fardhu kifayah. Pasalnya, manusia memerlukan itu untuk menjaga kesucian dan mempertahankan wilayah, menegakkan hudud, menunaikan hak-hak, memerintahkan kemakrufan dan melarang kemungkaran.”

 Bahkan Imam Ibn Hajar al-Haytsami di dalam Ash-Shawa’iq al-Muhriqah (i/25) menegaskan: “Ketahuilah juga bahwa sesungguhnya para Sahabat radhiyallah ‘anhum telah berijmak bahwa mengangkat imam (Khalifah) setelah lewatnya zaman kenabian adalah wajib. Mereka bahkan menjadikan kewajiban ini sebagai salah satu kewajiban yang paling penting (min ahammi al-wajibat). Buktinya, mereka lebih menyibukkan diri untuk memilih dan mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam. Perbedaan mereka dalam menentukan (siapa yang menjadi Khalifah) tidak menodai ijmak yang telah disebutkan itu.”

 Harus Mengikuti Manhaj Kenabian

 Khilafah yang dikehendaki oleh syariah itu adalah Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Islam telah menjelaskan metode pelaksanaan berbagai kewajiban, termasuk kewajiban menegakkan Khilafah ini. Karena itu menegakkan Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah juga harus terikat dengan metode yang telah dijelaskan oleh Rasul Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sirah beliau. Metode ini

merupakan hukum syariah yang wajib diikuti.Diantara ketentuan metode itu adalah bahwa negeri tempat Khilafah ditegakkan haruslah memenuhi empat kriteria:

 1.  Kekuasaan di wilayah itu haruslah otonom bersandar kepada kaum Muslim.

2. Keamanannya harus terjamin dengan keamanan kaum Muslim. Perlindungan di dalam dan luar negeri harus pula dengan perlindungan Islam, berasal dari kekuatan kaum Muslim sebagai kekuatan Islam saja.

3.  Orang yang dibaiat menjadi Khalifah harus memenuhi syarat in’iqad (legal).

4.  Segera secara langsung menerapkan syariah Islam secara keseluruhan dan mengemban dakwah Islam. Artinya, Khalifah yang dibaiat itu harus berada di tengah-tengah rakyat (tidak terus bersembunyi); memelihara urusan mereka, menyelesaikan problem mereka serta melaksanakan tugas pemerintahan dan ri’ayah seluruhnya sebagaimana yang disyariatkan.

 Keempat kriteria itu belum terpenuhi pada khilafah yang telah diklaim deklarasinya oleh ISIS. Karena itu khilafah ala ISIS tidak bisa dianggap sebagai khilafah yang syar’i. Konsekuensinya, semua hak dan kewajiban syar’i terkait khilafah itu juga belum bisa direalisasi. Dengan kata lain, Khilafah yang syar’i belum terwujud.

 Khilafah adalah kewajiban terpenting. Karena itu kaum Muslim wajib turut serta aktif dalam menegakkan Khilafah. Mereka tidak boleh menjauhi, menolak apalagi sampai menghalangi upaya penegakkan Khilafah. Tindakan demikian merupakan dosa besar.

Hanya saja, upaya penegakkan Khilafah tetap harus mengikuti metode yang telah digariskan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk kita, yakni melalui dakwah fikriyah wa siyasiyah (pemikiran dan politik) tanpa kekerasan. Caranya adalah melalui aktivitas pembinaan dan pengkaderan, berinteraksi bersama umat dan thalab an-nushrah (menggalang dukungan para pemilik kekuasaan). Perjuangan itu pasti berhasil pada saatnya karena itu merupakan janji Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman dan beramal salih di antara kalian bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi … “ (QS an-Nur 24:55).

Ketika kekuasaan Islam terwujud, ia akan menebarkan rahmat. Sayyid Quthub di dalam FI Zhilal al-Qur’an menjelaskan:

“Sesungguhnya dijadikan berkuasa di muka bumi itu adalah kemampuan untuk membangun dan memperbaiki, bukan menghancurkan dan merusak; kemampuan mewujudkan keadilan dan ketenteraman, bukan kezaliman dan penindasan; kemampuan meninggikan jiwa manusiawi dan sistem manusiawi, bukan untuk membenamkan individu dan komunitas pada derajat hewan … ” (al-Islam 717, Syawal 1435H)

Khilafah ar-Rasyidah dan Filosofi Bernegara dalam Islam

Dalam sebulan terakhir ini media massa banyak memberitakan tentang Daulah Islam dan Khilafah ala ISIS yang diklaim telah diproklamasikan di Irak. Berita tersebut dikaitkan dengan berita tentang berbagai tindakan kekerasan, penindasan bahkan kekejaman; juga tentang perlakuan otoriter terhadap warga termasuk warga sipil dan non-Muslim. Semua itu boleh jadi bisa menimbulkan pemahaman keliru tentang syariah dan Khilafah di tengah-tengah umat.

Waspadai Pengaburan Potret Khilafah

Di tengah isu tentang Khilafah ala ISIS, seminggu terakhir ini juga tersebar berita bahwa Amerika Serikat membantu Irak dan kelompok Kurdi untuk menyerang ISIS. Alasannya adalah demi

kemanusiaan, yaitu untuk mencegah genosida (pemusnahan massal) dan pembantaian. Padahal motif kemanusiaan itu hanyalah kebohongan. Pasalnya, jauh sebelum ini, genosida dan pembantaian juga terjadi di Suriah, Afrika Tengah, Myanmar dan belahan dunia lainnya. Namun, Amerika Serikat tidak melakukan campur tangan dengan alasan kemanusiaan. Amerika Serikat dan Barat tidak melakukan apa-apa.

Sebaliknya, Amerika Serikat dan Barat sebelumnya telah melakukan tindakan brutal di lrak, Afganistan, Somalia dan belahan dunia lainnya. Tindakan Amerika Serikat dan Barat telah memakan korban ratusan ribu bahkan jutaan orang tewas maupun terluka.

Karena itu berbagai berita itu haruslah disikapi dengan benar. Jika pun berita-berita tentang apa yang terjadi itu benar, tindakan seperti yang diberitakan itu jelas tidak dibenarkan oleh syariah. Bahkan metode memproklamasikan dan menegakkan negara yang diklaim itu sejak awal sudah keliru. Sekali lagi, jika memang berita-berita itu benar maka: Pertama, kita tidak boleh terperdaya dan tersesatkan sehingga menilai Amerika Serikat dan Barat sebagai penyelamat. Tindakan Amerika Serikat dan Barat serta rezim-rezim diktator dukungan mereka seperti di Suriah, bahkan kebiadaban Israel, jauh lebih brutal dan kejam. Kedua, kita tak boleh terpalingkan dari kewajiban syar’i untuk terus berjuang menegakkan Khilafah ar-Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian.

Khilafah yang Sebenarnya

Khilafah adalah negara kaum Muslim di seluruh dunia untuk menerapkan Islam, baik di dalam maupun luar negeri. Negara adalah organisasi politik yang berfungsi untuk menerapkan kumpulan pemahaman (mafahim), standarisasi (maqavis) dan keyakinan (qana’at) yang diterima dan diemban oleh umat.

Karena itu mendirikan negara Khilafah tak bisa serta-merta dengan mengambil-alih kekuasaan, kemudian semuanya dianggap selesai begitu kekuasaan di tangan. Pasalnya, yang paling mendasar dalam bernegara adalah penerimaan umat terhadap kumpulan pemahaman, standarisasi dan keyakinan yang akan diterapkan kepada mereka. Jika tidak, maka negara itu adanya seperti tidak ada, keberadaannya tidak bisa mewujudkan tujuan bernegara.

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengajarkan metode baku dalam mendirikan Negara Islam di Madinah. Beliau memulai langkahnya dengan proses pembinaan serta penanaman (tatsqif) kumpulan pemahaman, standarisasi dan keyakinan yang hendak diterapkan itu kepada umat; juga kepada ahlul quwwah (para pemilik kekuasaan) sekaligus meminta nushrah (dukungan) mereka. Ketika umat dan ahlul quwwah menerima dan mengembannya, mereka lalu memberikan mandat kekuasaan mereka (taslim al-hukm) kepada Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menerapkan kumpulan pemahaman, standarisasi dan keyakinan tersebut kepada mereka.

Sebagai organisasi yang berfungsi untuk menerapkan kumpulan pemahaman, standarisasi dan keyakinan kepada rakyat, negara memang membutuhkan kekuatan (quwwah). Kekuatan juga dibutuhkan untuk menjaga dan melindungi negara. Namun, negara bukanlah kekuatan (quwwah) yang identik dengan militer. Negara juga tidak boleh menggunakan pendekatan militeristik, apalagi menjelma menjadi military state (negara militer). Selain akan menjadi ‘monster’, penjelmaan negara seperti ini juga menjadi madarat bagi umat. Padahal Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Siapa saja yang meneror seorang Muslim, Allah akan meneror dia pada Hari Kiamat. Siapa saja yang menyebarkan rahasia saudaranya, Allah akan menyebarkan rahasianya pada Hari Kiamat kepada para makhluk” (Dikeluarkan oleh ar-Rabi’ bin Habib dalam Musnad).

Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:

“Tidak boleh ada kemadaratan (dharar) dan sesuatu yang bisa memadaratkan (dhirar) dalam Islam” (HR Ibn Majah, ad-Daruquthni dan Malik).

Karena itu negara militer (military state), negara totaliter atau negara otoriter jelas diharamkan dalam Islam (Al-Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukm fi ai-Islam, hlm. 242 & 246, cet.VI, edisi Muktamadah, 1422 H).

Negara Khilafah, sebagaimana yang digariskan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, disyariatkan untuk mengurus urusan umat dengan menerapkan hukum syariah. Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Pemimpin umat manusia adalah pengurus rakyat. Dia bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Ibn Hibban, an-Nasa’i dan al-Baihaqi).

 Karena itu negara (ad-dawlah) dan kekuasaan (as-sulthan) dalam Islam ada untuk mengurus urusan umat. Tanpa itu tidak mungkin urusan umat bisa diwujudkan. Maka dari itu, filosofi dasar bernegara dalam Islam adalah mewujudkan kemaslahatan umum (al-mashlahah al-‘ammah) baik yang bersifat vital (al-mashlahah ad-dharuriyyah) seperti menjaga agama (hifdz ad-din), jiwa (an-nafs), akal (al-‘aql), keturunan (an-nasi), kehormatan (al-karamah), harta (al-mal), keamanan (al-amn) dan menjaga negara (hifdz ad-daulah); maupun kemaslahatan pelengkap (al-mashlahah al-takmiliyyah), dibutuhkan (al-mashlahah al-hajiyyah) dan kebaikan (al-mashlahah at-tahsiniyyah).

Kemaslahatan vital, seperti menjaga agama, akan terwujud jika negara menerapkan Islam dengan benar dan konsekuen, serta menjaga Islam dari berbagai penyimpangan. Caranya adalah dengan penerapan sanksi atas orang murtad serta orang yang pahamnya salah. Jiwa akan terjaga jika qishash diterapkan atas orang yang menghilangkan nyawa orang lain. Akal akan terjaga ketika khamer, narkoba dan sejenisnya diharamkan dan siapa saja yang terlibat dengan itu dikenai sanksi. Keturunan akan terjaga ketika hukum pernikahan diterapkan, zina diharamkan dan sanksi bagi pelakunya ditegakkan. Kehormatan juga akan terwujud ketika orang yang menuduh zina dijatuhi sanksi sekaligus ditolak kesaksiannya. Harta akan terjaga ketika pencurian, korupsi dan perampokan dikenai sanksi. Keamanan pun akan terjaga ketika bughat, begal dan pengacau keamanan dilarang serta pelakunya dijatuhi sanksi yang berat.

Namun, kemaslahatan vital ini tidak bisa diwujudkan sendiri karena membutuhkan seperangkat hukum syariah yang lain. Karena itu ada kemaslahatan pelengkap (al-mashlahah al-takmiliyyah), seperti larangan melihat lawan jenis, berdua-duaan dan membuka aurat, yang melengkapi larangan berzina. Sebab, zina tidak hanya diharamkan, tetapi semua pintu perzinaan juga wajib ditutup rapat-rapat.

Hukum syariah juga mewujudkan kemaslahatan yang dibutuhkan (al-mashlahah al-hajiyyah), seperti rukhshah tidak berpuasa bagi musafir dan orang yang sakit; menjamak dan memendekkan shalat bagi musafir; bertayamum bagi orang yang sakit dan tidak menemukan air. Selain itu, hukum syariah juga mewujudkan kemaslahatan kebaikan (al-mashlahah at-tahsiniyyah), seperti bersuci dari najis, hadas besar dan kecil; larangan kencing di lubang, atau air yang berhenti; memakai wangi-wangian, memotong kuku, menyisir rambut, dan sebagainya. Semuanya ini merupakan kemaslahatan yang bersifat tahsiniyyah.

Seluruh kemaslahatan ini hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan syariah Islam dengan sempurna, baik dan benar, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), kecuali menjadi rahmat bagi se/uruh alam semesta” (QS al-Anbiya’ 21:107).

Makna “rahmat[an]” adalah jalb al-mashalih (terpenuhinya kemaslahatan) dan daf’u al-mafasid (terhindarkannya kerusakan dan kemadaratan). Ini berlaku bukan hanya untuk orang Islam, tetapi juga non-Muslim; bukan hanya untuk manusia, tetapi juga alam dan kehidupan. Itulah makna frasa rahmat[an] lil-‘alamin.

Hanya saja, seluruh kemaslahatan tersebut tidak akan terwujud jika syariah Islam tidak diterapkan dengan sempurna, baik dan benar, di bawah naungan Khilafah. Khilafah itu haruslah yang mampu menerapkan syariah Islam dengan sempurna, baik dan benar. Itulah Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.

Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah ini dibangun dengan pondasi umat Islam yang menerima dan meyakini kumpulan pemahaman, standarisasi dan keyakinan Islam yang diterapkan kepada mereka;

sebagaimana Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah yang pertama. Metode yang digunakan untuk membangun Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah juga mengikuti sepenuhnya metode Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam dan para Sahabat dalam mendirikan negara. Para pendiri dan pemangkunya juga mempunyai karakter sebagaimana pendiri dan pemangku Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah yang pertama.

Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah menerapkan Islam secara sempurna, dengan baik dan benar, di dalamnya darah, harta, kehormatan, akal, keturunan manusia baik Muslim maupun non Mulsim akan terjaga dan terlindungi.

Begitulah Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Itulah Khilafah yang wajib ditegakkan dan diperjuangkan oleh umat Islam di seluruh dunia. Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah ini akan menjadi pangkal kebangkitan dan kemuliaan umat Islam. Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah ini juga menjadi solusi dari berbagai masalah yang menyelimuti umat Islam.” (al-Islam 718/Syawal 1435H)

Wallah a’lam bi ash-shawab.

Sumber: al-Islam edisi 717-718, Syawal 1435 H/Agustus 2014

Dicopy dari :

http://www.akhirzaman.info/islam/80-hizbut-thahrir/2375-khilafah-ajaran-islam-bukan-kejahatan.html

Read Full Post »