Hari Raya Haji yang merupakan hari raya kedua setelah Iedul Fitri, sebentar lagi akan tiba. Inilah saatnya untuk berkurban bagi yang mampu membeli hewan ternak kurban tentunya. Yaitu kambing, sapi atau unta yang harganya sudah pasti tidak murah itu. Namun tetap saja setiap kali tiba saatnya, umat Islam berbondong-bondong melakukan ritual potong kurban tersebut. Muslim di Negara-negar Timur Tengah bahkan merayakan hari yang juga disebut Iedul Adha tersebut, lebih meriah daripada Iedul Fitri. Apa sebetulnya hikmah dibalik itu semua.
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya”. ( Terjemah QS. Al-Hajj(22):34).
Penyembelihan kurban adalah syariat yang usianya sudah amat tua, yaitu sejak zaman nabi Ibrahim as. Syariat ini pertama kali dimulai dengan turunnya perintah Allah swt kepada nabi Ibrahim as agar menyembelih Ismail, satu-satunya putra beliau ketika itu. Perintah itu datang berupa mimpi sebagaimana tercermin pada terjemahan surat As-Shaffat ayat 102 – 110 dibawah ini.
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar“.
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).
Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim,sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim“. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Dari ayat-ayat diatas dapat kita ketahui bahwa perintah Sang Khalik untuk menyembelih Ismail, putra Ibrahim as, sejatinya hanya untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat ketaatan Ibrahim kepada Tuhannya, Tuhan yang menciptakannya. Dan sebagai imbalan atas ketaatan keduanya, baik Ibrahim maupun Ismail maka Allah swt pun menggantikan Ismail dengan kambing sembelihan yang besar. Maka sejak itulah penyembelihan kurbanpun menjadi syariat turun temurun, hingga ke umat nabi Muhammad saw detik ini.
Ada 3 macam faktor timbulnya ketaatan, yaitu rasa takut, rasa harap dan rasa syukur. Dan yang paling sempurna adalah ketika ketiganya ada menyatu di dalam jiwa seorang Mukmin.
Rasa takut atau khouf seorang Mukmin timbul karena ia tahu dan yakin akan adanya siksa, baik di dunia, alam kubur maupun di akhirat nanti. Oleh karenanya ia berusaha sekuat mungkin agar tidak melanggar apa-apa yang dilarangnya.
Sedangkan rasa harap atau roja’ muncul karena ia tahu dibalik kerasnya siksa Allah ada rahmat-Nya. Yang dengan demikian ia akan berusaha sebanyak mungkin melakukan perbuatan baik. Perbuatan yang mendatangkan kasih sayang-Nya, agar Ia menjauhkan dirinya dari segala macam siksa.
Sementara itu rasa syukur, yang hanya mungkin timbul bila seseorang banyak merenung, memikirkan betapa banyaknya kenikmatan yang telah ia rasakan di dunia ini, akan menimbulkan keinginannya untuk selalu berusaha memenuhi keinginan-Nya. Dengan kata lain, ia ingin “ membalas” segala kebaikan-Nya, sesuatu yang tentu saja amat sangat mustahil. Hal yang perlu selalu diingat, kenikmatan tidak hanya dalam bentuk kekayaaan/harta benda namun juga nikmat sehat/bisa melihat/mendengar dll, ketenangan hidup dan yang puncaknya adalah nikmat Iman dan Islam.
Maka dengan adanya ke 3 unsur yang menyatu tersebut, lahirlah ketaatan. Yang dengan demikan seberat apapun perintah dan larangan-Nya ia akan berusaha memenuhinya. Contohnya yaitu tadi, nabi Ibrahim yang rela menyembelih putra satu-satunya yang bertahun-tahun lamanya ia tunggu kehadirannya. Juga ketabahan Ismail yang masih belia tapi memahami benar artinya pengorbanan.
Jadi sungguh sebenarnya tidak ada apa-apanya pengurbanan kita membeli seekor kambing atau bahkan seekor sapi, bila kita bandingkan dengan apa yang dikurbankan nabi besar Ibrahim as. Meskipun akhirnya Allah swt menggantinya dengan seekor kambing.
Namun kurban seberapapun besarnya bila tidak didasari atas ketaatan, tidak ada rasa takut, harap ataupun syukur kepada-Nya, tidaklah akan mendatangkan ridho-Nya. Sebaliknya kurban meski hanya seekor kambing kecil itupun untuk satu keluarga, bila dilandasi ketakwaan, ketundukan demi mencari ridho-Nya, akan mendatangkan rahmat dan kasih sayang-Nya.
“Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah), (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan shalat dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka” ( Terjemah QS. Al-Hajj(22):35).
Meskipun besar tidaknya kurban sepatutnya tentu sesuai kemampuan, tidak melulu hanya atas dasar takwa. Seharusnya malu seseorang yang telah diberi harta melimpah ruah namun hanya berkurban sedikit, tidak sesuai dengan apa yang dimikilinya, yang diterimanya. Resesi ekonomi yang belakangan ini sedang terjadi bukan alasan untuk tidak menjalankan syariat mulia ini. Disinilah keyakinan kita diuji, bahwa apabila kita bersyukur pasti Allah akan menambah nikmat-Nya.
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (Terjemah QS. Ibrahim(14):7).
Disamping itu kurban juga memiliki hikmah lain, yaitu kepedulian sosial. Allah swt memerintahkan kita untuk menyembelih hewan ternak seperti kambing, sapi atau unta bukannya tanpa tujuan. Hewan ternak yang dalam bahasa Arabnya adalah An’am artinya adalah yang diberi nikmat.
Ya hewan ternak terutama kambing, sapi dan unta, adalah hewan yang mempunyai kenikmatan yang amat banyak. Mulai dari fungsinya, kambing dan unta yang bisa dijadikan alat transportasi, sapi sebagai bajak sawah, hingga manfaatnya; dari susu, daging, kulit hingga bulunya. Rasanya tak satupun Negara di dunia ini yang tidak memanfaatkan ketiga hewan tersebut, ntah itu untuk dikonsumsi susu/dagingnya atau/dan diambil kulit serta bulunya.
Sungguh tak salah Sang Khalik memerintahkan kita untuk berkurban ketiga hewan tersebut. Setelah hewan disembelih dengan cara dan syarat-syarat yang telah ditentukan, daging, kulit serta bulunya dibagikan kepada fakir miskin. Orang yang berkurban boleh ikut menikmatinya tapi tidak boleh lebih dari 1/ 3 bagiannya. Dengan demikian, secara zahir, paling tidak ada 3 pihak yang diuntungkan pada hari kurban, yaitu si penjual hewan, fakir miskin dan si pemberi kurban.
Jadi tidaklah benar persangkaan sebagian orang yang berpendapat bahwa kurban dalam Islam tidak ada bedanya dengan persembahan sesajian dalam agama lain. Kurban dalam Islam benar-benar untuk kemaslahatan umat, bahkan bukan hanya Muslim saja yang boleh menikmatinya.
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bahagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu” . (Terjemah QS. Al-An’am(6):136).
Maka alangkah anehnya bila saat ini ada Negara, contohnya Belgia, yang baru-baru ini mengeluarkan larangan berkurban bagi umat Islam. Apa alasannya? Bila cara penyembelihannya yang dipertanyakan, ketahuilah bahwa Rasulullah Muhammad saw adalah mahluk Allah yang paling menyayangi mahluk ciptaan Allah, termasuk hewan.
“Sesungguhnya Allah mewajibkan perbuatan baik terhadap segala sesuatu. Apabila kalian membunuh maka bunuhlah dengan cara yang baik. Dan jika kalian menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik pula. Hendaklah salah seorang diantara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan (tidak menyiksa) sesembelihannya.” (H.R. Muslim)
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah pernah melewati seseorang yang meletakkan kakinya didekat leher seekor kambing, sedangkan dia menajamkan pisaunya. Binatang itu pun melirik kepadanya. Lalu beliau bersabda (artinya): “Mengapa engkau tidak menajamkannya sebelum ini (sebelum dibaringkan, pen)?! Apakah engkau ingin mematikannya sebanyak dua kali?!.” (H.R. Ath Thabrani dengan sanad shahih)
Pengalaman pribadi kami dengan seorang sahabat non Muslim yang asli Perancis, ia lebih senang membeli daging halal yang ada di kotanya. Alasannya, dagingnya lebih empuk dibanding daging standard yang dijual di kota tersebut. Tidak mengherankan bukan? Karena hewan yang dipotong secara syar’i memang dalam keadaan santai alias tidak tegang hingga dagingnya lebih empuk dibanding yang tidak dipotong secara syar’ i. Perumpamaannya, persis ketika seseorang akan diambil darahnya, si perawat pasti selalu mengingatkan agar kita tidak tegang, supaya darah lebih mudah diambil.
Mungkin yang masih harus menjadi PR bagi kita umat Islam, adalah penyelenggaraannya yang kadang kurang memperhatikan faktor kebersihan dan area pemotongan yang sering kali terkesan sembarangan.
Wallahu’ alam bish shawwab.
Jakarta, 7 September 2015.
Vien AM.
Leave a Reply