Dengan menumpang subway dan berjalan kaki lumayan jauh akhirnya tiba juga kami di masjid Niujie. Rupanya nama masjid tertua di Beijing ini diambil berdasarkan nama jalan dimana ia berada yaitu Niu yang berarti sapi dan Jie ( jalan). Namun ada pula sumber yang mengatakan justru nama jalan tersebut yang mengikuti lingkungannya yang Islami. Nama Niu diambil karena banyaknya restoran halal yang notabene adalah sapi, bukan babi, yang merupakan makanan umum masyarakat Cina.
Masjid Niujie yang mampu menampung 1000 jamaah ini dibangun pada tahun 996 M pada masa Dinasti Song, sempat dihancurkan oleh Bangsa Mongol namun kemudian dibangun kembali tahun 1443 M pada masa Dinasti Ming. Mayoritas Muslim di Beijing adalah suku Hui yang merupakan suku minoritas di kota tersebut.
Model bangunan masjid ini benar-benar unik tidak seperti lazimnya masjid yang biasa kita lihat. Kalau saja tidak pernah melihat fotonya mungkin kami tidak mengira bahwa area seluas 6000 m² tersebut adalah sebuah kompleks masjid. Arsitektur khas Cina berwarna merah terlihat kental mendominasi masjid tersebut.
Area masjid terlihat sepi ketika kami memasuki area sekitar pukul 3 sore. Seorang lelaki setengah baya, kelihatannya penjaga masjid, bergegas menghampiri kami. Dengan bahasa isyarat kami katakan bahwa kami hendak shalat. Segera ia mengantarkan kami ke masjid bagian perempuan. Rupanya bagian laki-laki dan perempuan terpisah lumayan jauh meski masih di area yang sama.
Setelah saya wudhu suami berkata “ Shalat di masjid utama aja yuuk, g rame ini”.
Alhasil kamipun shalat di ruang utama masjid yang memang terlihat senyap. Maklum memang bukan jam shalat. Terlihat hanya ada satu orang sedang shalat. Usai shalat saya melihat ada seorang perempuan setengah baya sedang melihat-lihat masjid. Sayapun menyapanya. Ternyata perempuan tersebut juga seorang turis. Ia datang dari London bersama suaminya. Kami sempat berbincang sebentar. Dilihat dari raut wajahnya kelihatannya ia seorang keturunan Pakistan. Tak lama iapun shalat.
Setelah puas mengelilingi masjid dimana 13.000 Muslim Beijing bertempat tinggal di sekitar area tersebut, kamipun bersiap meninggalkan lokasi. Ketika itu tiba-tba seorang pria keluar mengejar kami. Rupanya lelaki tersebut adalah suami ibu dari London tadi. Pria tersebut mengantarkan jam tangan suami saya yang kami kira hilang, dan ternyata ketinggalan di toilet. Kebetulan tadi saya sempat bercerita kepada sang ibu bahwa suami saya sedang mencari jam tangannya yang tercecer ketika wudhu. Alhamduillah …
Selanjutnya dengan bantuan beberapa orang yang ada di sekitar masjid kami berhasil menyingkat waktu, yaitu dengan bus menuju ke stasiun subway. Karena ternyata jalan yang kami tempuh ketika berangkat tadi bukan jalur yang tepat. Seharusnya kami naik dan turun di stasiun Caishikou yang berada di line 4.
Sesuai rencana kami langsung menuju terminal kereta Beijing Barat untuk menukar tiket kereta cepat ke Xian yang kami beli di tanah air secara on line. Setelah sempat panik karena kesulitan bahasa akhirnya beres juga urusan tersebut. Selanjutnya kami kembali ke hotel untuk mengambil koper dan kembali ke stasiun yang sama dengan perasaan lega. Maklum terminal kereta tersebut sangat luas dan ramai. Sesuai jadwal, malam itu kamipun berangkat menuju Xian.
Kereta api peluru super cepat ( bullet train) yang kami tumpangi tersebut menempuh jarak 1.216 kilometers dengan kecepatan rata-rata 310 km/jam dalam waktu 4.5 jam. Tak rugi rasanya mencicipi kereta kebanggaan negri tirai bambu tersebut meski harus merogoh kocek cukup dalam yaitu CNY 513.5 (sekitar IDR 1.168.212) untuk tiket klas 2. Tak jauh beda dengan harga tiket pesawat, yang hanya 2 jam namun kabarnya bila ditambah kemacetan bandara Beijing maupun Xian bisa lebih dari 4.5 jam. Disamping kabarnya lebih sering delay dari pada bullet train yang jadwalnya hampir selalu tepat.
Setiba di terminal kereta yang mirip bandara tersebut guide kami telah menanti. Kami langsung menuju hotel untuk istirahat. Esoknya jam 9 pagi setelah sarapan di hotel kami menuju tembok tua kota Xian.
Tembok ini dulunya adalah tembok pertahanan kota alias benteng, yang melindungi kota dari serangan musuh. Tembok tersebut dibangun pertama kalinya oleh dinasti Sui (581-617 M). Kini tembok tua yang mempunyai 4 gerbang tersebut masih dipertahankan sebagai salah satu ikon kota. Dari sela-sela tembok yang dulu sengaja dibuat agar bisa mengintai dan menembak musuh itu, pemandangan kota dapat terlihat jelas.
Tembok dengan tinggi 12 meter diatas fondasi 18 meter dengan lebar 15 meter ini bisa dikelilingi dengan sepeda sewaan. Namun kami hanya menyusuri salah satu sisi tembok dengan berjalan santai. Setelah itu kami segera menuju masjid Xian, disamping untuk menziarahinya juga sekaligus untuk mendirikan shalat Jum’at.
Masjid Agung Xian terletak di area Muslim dimana Muslim street berada. Begitu memasuki jalanan ini aroma Islami langsung terasa menyergap. Berbagai macam makanan terlihat menyesaki pedestrian lebar ini, dengan tulisan HALAL dalam huruf hijaiyah terpampang. Mulai aneka rempah-rempahan, bumbu masakan, aneka manisan hingga segala macam kue, sosis, sate dan lauk pauk ada di sini. Rasa senang, bahagia dan haru bercampur menjadi satu. Sungguh tak menyangka di negri yang jauh dari tanah suci dimana Islam hanya minoritas bisa menyaksikan hal seperti ini.
Menurut guide kami, Lulu, hanya inilah satu-satunya Muslim street di negaranya. Pusat jajan jalanan terbesar di Xian ini ternyata bukan hanya dimiliki kaum Muslimin tapi juga seluruh warga kota. Setiap hari area ini disesaki pengunjung yang ingin kuliner.
Karena waktu Zuhur masih agak lama Lulu menawarkan kami untuk makan siang dulu. Kamipun menyetujuinya. Tapi kami terpaksa harus menahan keinginan mencicipi jajanan yang ada di sepanjang jalan tersebut. Lulu tidak mau beresiko menanggung nanti kami sakit perut karena menurutnya kebersihannya kurang terjamin. Ia mengantar kami ke sebuah restoran besar yang tampaknya sudah menjadi langganan travel tempat ia bekerja.
Lagi-lagi kami dibuat terpana. Restoran dengan tulisan HALAL besar
tersebut terlihat mewah dan bagus. Lokasinyapun sangat strategis yaitu di samping The Drum Bell yang merupakan salah satu ikon Xian. Dan yang tak kalah pentingnya adalah masakannya yang cukup lezat …. Masya Allah …
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu“.( Terjemah QS. Al-Baqarah(2):168).
Selesai menikmati makan siang kami langsung menuju masjid. Sekali lagi berhubung masih ada waktu, kami menyempatkan diri untuk melihat-lihat kios-kios yang ada di sepanjang jalan menuju masjid, mengingatkan suasana pasar Seng seberang Masjidil Haram yang sekarang sudah tidak ada lagi itu. Aneka kerudung, tasbih dll bercampur dengan aneka pernak-pernik pajangan khas Cina.
Tampak jelas bahwa Islam telah lama masuk ke kota ini. Tidak hanya Xian namun juga kota-kota besar Cina lainnya. Islam masuk ke negri tirai bambu ini melalui apa yang disebut jalur sutra yaitu jalur perdagangan yang membawa sutra, rempah-rempah dll dari Timur ke Barat dan sebaliknya.
Islam pertama kali di perkenalkan di Cina pada tahun 651 M, tak sampai 20 tahun setelah wafatnya Rasulullah Muhammad saw. Ketika itu khalifah ke 3, Ustman bin Affan ra mengirim seorang utusan. Utusan tersebut diterima secara terbuka oleh Kaisar Dinasti Tang (Li Zhi atau Yung Wei).
Sang Kaisar ini bahkan memerintahkan pembangunan Masjid Huaisheng atau masjid Agung Kanton di Guangzhou, yang merupakan masjid pertama di daratan Cina. Hingga kini masjid ini telah mengalami beberapa kali renovasi. Guangzhou atau orang Arab menyebutnya Khanfu, merupakan pusat perdagangan dan pelabuhan tertua di Cina. Dengan kata lain Islam masuk ke Cina selain melalui jalur perdagangan juga jalur diplomatik.
Namun demikian Sa’ad bin Abi Waqqas, seorang sahabat kenamaan, dan beberapa orang sahabat pada tahun 615 M, sudah pernah datang ke dataran Cina, meski tidak lama. Ketika itu Rasulullah masih ada. Sa’ad kabarnya bahkan datang lagi untuk berdakwah hingga wafatnya pada tahun 635 M, dan dimakamkan di negri tersebut. Makamnya dikenal di kemudian hari dengan nama Geys’ Mazars.
Menurut catatan sejarah awal Cina, masyarakat Cina sudah mengetahui adanya agama Islam di Timur Tengah. Mereka menyebut pemerintahan Rasulullah SAW sebagai Al-Madinah dan agama Islam dikenal dengan sebutan Yisilan Jiao yang berarti ‘agama yang murni’. Masyarakat Tiongkok menyebut Makkah sebagai tempat kelahiran “Buddha Ma-hia-wu” (Nabi Muhammad SAW).
Orang Cina yang pertama kali memeluk Islam adalah suku Hui Chi. Saat ini Islam di Cina memang tidak begitu populer bahkan cenderung ditekan. Namun pada masa dinasti Song, disusul Dinasti Mongol Yuan (1274 M -1368 M), jumlah pemeluk Islam di China semakin besar. Dinasti Mongol menggunakan jasa orang Persia, Arab dan Uyghur untuk mengurus pajak dan keuangan. Pada waktu itu, banyak Muslim yang memimpin korporasi di awal periode Dinasti Yuan. Para sarjana Muslim mengkaji astronomi dan menyusun kalender. Selain itu, para arsitek Muslim juga membantu mendesain ibu kota Dinasti Yuan, Khanbaliq. (Sumber : Sejarah Islam di Negeri Tirai Bambu ).
Pada masa kekuasaan Dinasti Ming, Muslim masih memiliki pengaruh yang kuat di lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang adalah jenderal Muslim terkemuka. Di masa Kaisar Yong Le (Zhu Di) muncul seorang pelaut Muslim yang handal, yaitu laksamana Cheng Ho.
( Lihat :https://kanzunqalam.com/2011/01/13/sejarah-awal-mula-umat-muslim-di-china/ ).
Islam mulai mengalami kemunduran ketika berkuasanya dinasti Manchu-Qing (1644 M-1911 M). Karena dianggap sebagai pembela utama dinasti Ming sebagai dinasti pendahulu, maka semua kegiatan agama, pembangunan masjid dan ibadah hajipun dilarang. Politik “devide et impera” digunakan untuk memecah belah umat Islam yang terdiri dari bangsa Han, Tibet dan Mongol. Akibatnya ketiga suku penganut Islam itu saling bermusuhan.
” Janganlah kalian saling membenci, saling mendengki dan saling membelakangi. Jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara”. ( HR. Muslim).
” Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh” begitu kata pepatah kita.
Selanjutnya selama revolusi kebudayaan China (1966 – 1976), dengan berkuasanya partai komunis, kaum Muslimin tidak diperbolehkan menunaikan ibadah haji secara resmi, kecuali secara diam-diam melalui Pakistan. Syukur Alhamdulillah pada tahun 1979 kebijaksaan tersebut berubah. Sedikit demi nafas Islam kembali berdegup. Pada tahun 2007 adalah puncaknya. Sebanyak 10.700 jamaah China pergi menunaikan ibadah haji.
Sebagian besar Muslim Cina yaitu suku Hui, yang merupakan mayoritas Muslim, kini menetap di Xinjiang ( Daerah Otonomi Uighur Xinjiang ) yang berbatasan dengan Mongolia di sebelah timur dan Rusia di utara, bergabung dengan kaum Muslimin Uighur yang sudah lebih lama menetap di wilayah tersebut. Dari total 25 juta Muslim di Cina , 8,5 juta di antaranya hidup di Xinjiang. Sementara, dari 300 ribu masjid di Cina, 23 ribu di antaranya ada di Xinjiang.
Sayangnya, pemberian status wilayah otonomi oleh pemerintah hanyalah akal-akalan belaka. Islam yang merupakan agama mayoritas masyarakat di tekan habis-habisan. Keberadaan sekolah Islam, masjid, dan imam dikontrol secara ketat. Pemerintah bahkan melarang kaum Muslimin shalat dan berpuasa pada bulan Ramadhan di kantor atau sekolah milik negara.
Keberadaan suku Uighur makin terdesak oleh suku Han yang bukan Muslim, yang tadinya hanya 6 % hingga kini menjadi lebih dari 40 % dan diperlakukan secara istimewa oleh pemerintah. Banyak orang-orang Uighur yang akhirnya memilih meninggalkan kota kelahiran mereka dan mencari suaka ke negara lain, Perancis contohnya. Beberapa tahun yang lalu saya pernah mampir dan mencicipi masakan orang Uighur yang pindah ke Paris dan membuka restoran di kota tersebut.
Sebagai info tambahan, Xinjiang adalah wilayah yang kaya akan mineral dan minyak bumi. Cadangan gas alamnya bahkan merupakan yang terbesar di Cina. Daerah ini juga merupakan lokasi utama bagi Cina untuk melakukan uji coba nuklir.
( Bersambung).
Leave a Reply