Feeds:
Posts
Comments

Archive for February, 2018

“(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo`a: “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”. Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu, kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (dalam gua itu)”.

Ayat 10-12 surat Al-Kahfi di atas adalah sebagian kecil dari kisah sejumlah pemuda beriman yang pergi ke sebuah gua dan berlindung di dalamnya. Al-Quran menyebut para pemuda beriman tersebut sebagai para penghuni gua Kahfi ( Ash-habul Kahfi).

Dalam tafsir Ibnu Katsir diceritakan bahwa pemuda-pemuda tersebut bertemu di sekitar gua, secara tidak sengaja. Kerajaan Romawi dibawah raja Daqyanus, pada saat itu dipenuhi orang-orang dzalim penyembah taghut dan berhala. Pada hari-hari tertentu rakyat dipaksa untuk menyembelih ternak sebagai persembahan. Demikian pula yang dilakukan orang-tua para Ash-habul Kahfi yang tak lain adalah para pembesar kerajaan.

Namun dengan izin Allah swt, para pemuda belia tersebut lama kelamaan menyadari bahwa hal tersebut adalah sebuah kesesatan. Itu sebabnya diam-diam mereka pergi ke gua Kahfi untuk mengasingkan diri. Disanalah mereka bertemu. Di sana pula akhirnya mereka membuat tempat ibadah untuk memuja Allah swt. Namun itupun akhirnya diketahui kaumnya dan dilaporkan kepada sang raja. Di depan raja, mereka dipaksa bertobat dan kembali kepada ajaran para leluhur.

“dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri lalu mereka berkata: “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran”. ( Terjemah QS. Al-Kahfi (18:14).

Tentu saja raja dan para penguasa kerajaan sangat terkejut dan marah atas keteguhan hati para pemuda yang kukuh mempertahankan keimanan mereka. Namun dengan menahan kesal, raja memberi kesempatan para pemuda untuk memikirkan kembali pendapat mereka. Itulah skenario Sang Khalik yang dengan demikian memberikan kesempatan para pemuda untuk segera melarikan diri.

Dan atas kuasa Allah swt jua, pasukan yang kemudian dikirim untuk mengejar mereka tidak berhasil menemukan jejak para pemuda. Persis seperti yang terjadi pada Rasulullah dan Abu Bakar as Shidiq ketika bersembunyi di dalam gua, dari kejaran kaum Quraysh.

Di dalam gua Kahfi itulah Allah “menidurkan” para pemuda selama ratusan tahun tanpa ada yang mengetahuinya. Kalaupun ada yang pernah melihatnya mereka merasa ketakutan dan menganggapnya sebagai orang gila. Karena selama “tidur” ratusan tahun tersebut para pemuda kadang-kadang bergerak layaknya orang tidur, bahkan matanya kadang-kadang terbuka. Allahlah yang membolak-balikkan tubuh mereka agar terkena pancaran sinar matahari. Itu sebabnya tubuh mereka tidak rusak.

“Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah…. “.( Terjemah QS. Al-Kahfi (18:17).

 “Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan (diri) dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka. “.( Terjemah QS. Al-Kahfi (18:18).

Hingga tiba saatnya Allah swt membangunkan para pemuda tersebut tanpa mereka sadar bahwa mereka telah tidur selama tiga ratus sembilan tahun. Mereka menyangka hanya tertidur sehari atau bahkan setengah hari. Dengan uang perak yang masih tersisa di tangan salah satu pemuda tersebut pergi ke pasar untuk membeli makanan. Teman-temannya mewanti-wanti agar berhati-hati, khawatir raja dan kaumnya akan memergoki mereka.

Namun ternyata tak seorangpun mengenali sang pemuda, juga uang yang dibawanya. Mereka lalu membawanya ke hadapan raja yang sudah bukan lagi raja  Daqyanus. Dan ternyata raja serta kaumnya bukan lagi penyembah taghut, mereka adalah orang-orang beriman. Setelah menceritakan kisahnya, bersama sang pemuda rajapun pergi menemui pemuda lain yang masih menunggu di dalam gua. Demikianlah Allah swt mengakhiri kisah Ash-habul Kahfi, dengan menidurkan para pemuda untuk selamanya.

Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran, betapa keimanan kepada Allah Yang Satu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta adanya hari Kiamat, adalah hal yang amat sangat patut dipertaruhkan. Para pemuda belia yang biasa hidup di lingkungan mewah istana itu adalah salah satu buktinya.

Bukti lain adalah kisah seorang pengikut Firaun yang selama beberapa waktu menyembunyikan keimanannya. Tapi suatu hari terpaksa membuka keimanan tersebut demi melindungi orang beriman lainnya yang akan dibunuh kaumnya dengan resiko ia ikut dibunuh. Peristiwa ini diabadikan dalam surat Al-Ghofir ayat 28 sebagai berikut :

Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir`aun yang menyembunyikan imannya berkata: “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: “Tuhanku ialah Allah, padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. … … “.

Di masa awal keislaman, banyak sahabat yang rela mengorbankan harta bendanya demi Islam. Diantaranya adalah Khadijah ra, istri rasulullah, yang sebelum menikah  adalah seorang yang kaya raya, tapi ketika wafat tidak memiliki harta yang berarti. Demikian pula Abu Bakar yang rela menebus jiwa para sahabat dengan harta yang tidak sedikit. Juga Bilal bekas budak yang sering disiksa demi mempertahankan ke-islam-annya. Belum lagi para sahabat yang rela syahid di medan perang demi melawan kesyirikan dan tegaknya kalimat tauhid.

Disamping itu, ber-tauhid, adalah fitrah manusia. Itulah jalan yang lurus, jalan kebenaran. Setiap manusia yang baru lahir ke dunia sejatinya mengenali Tuhannya yang esa. Orang-tua dan lingkungannyalah yang kemudian menyesatkannya.

Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah) tetapi orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi atau Nasrani atau Majusi sebagaimana seekor hewan melahirkan seekor hewan yang sempurna”.(HR. Bukhari).

Sebaliknya kesyirikan adalah jalan yang bengkok, yang penuh kebathilan dan kemustahilan. Itu sebabnya para pemuda Ash-habul Kahfi meski mereka masih belia sudah dapat merasakan ketidak-nyamanan terhadap kebiasaan dan ajaran yang dianut orang-tua dan para leluhur mereka.

Itu sebabnya potensi pemuda tidak boleh diabaikan. Mereka harus dibina dan diarahkan agar hatinya tetap bersih, mau berpikir dan tidak hanya meniru apa yang dilakukan orang-tuanya. Kebenaran harus ditegakkan dan kebathilan harus dihilangkan. Itulah amar ma’ruf nahi mungkar. Dakwah tidak mengenal lelah dan tidak boleh pernah berhenti. Meski sebenarnya dengan cara-Nya sendiri, kebenaran akan senantiasa menang walau misalnya tak satupun orang mau memperjuangkannya. Manusia hanya bisa berikhtiar Allah yang menentukan hasilnya. Persis seperti yang terjadi pada para pemuda Ash-habul Kahfi yang begitu terbangun dari tidur panjangnya Sang Khalik telah memenangkan mereka.

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran maka hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya, kalau ia tidak mampu maka dengan lisannya, dan kalau ia tidak mampu maka dengan hatinya, mengingkari (dengan hati) itu adalah iman yang paling lemah.” ( HR. Muslim).

Begitu juga dengan yang terjadi saat ini, ketika perzinahan, homoseksual, riba dan khamar merajalela, ayat-ayat suci dipermainkan, ulama tidak ditaati bahkan dibully. Apa yang harus kita lakukan dan bagaimana kita harus menyikapinya? Cukupkah kita hanya berpangku tangan  menyaksikan semua itu terjadi di depan mata kita??

Wallahu’alam bi shawwab.

Jakarta, 28 Februari 2018.

Vien AM.

Read Full Post »

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.(Terjemah QS. Ali Imran (3):110).

Ayat diatas jelas mengatakan umat Islam adalah umat yang terbaik karena menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah swt. Selanjutnya, bila ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik.

Kita tentu tahu orang yang bersyahadat dan kemudian memeluk Islam belakangan ini semakin banyak saja. Hebatnya lagi kebanyakan berasal dari kalangan berpendidikan tinggi. Dan fenomena tersebut terjadi di Barat yang notebene adalah ahli kitab, yaitu umat Nasrani dan Yahudi. Mereka juga adalah penduduk negara-negara maju, seperti Jerman, Inggris, Perancis, Rusia dll. Uniknya lagi, peristiwa tersebut terjadi di tengah hebohnya Islamophobia akut yang menyerang Barat sejak beberapa tahun ini.

https://www.konfrontasi.com/content/khazanah/pemuda-perancis-berbondong-bondong-masuk-islam

https://votreesprit.wordpress.com/2013/04/17/remaja-inggris-berbondong-bondong-masuk-islam/

Sementara di negara kita tercinta yang katanya mayoritas Muslim, Islamophobia justru membuat mereka tidak PD alias Percaya Diri. Hal ini tercermin dari pernyataan-pernyataan mereka yang sering memojokkan Islam. Ade Armando, contohnya. Dosen Fisip UI pendukung kuat Jokowi ini sering sekali mengeluarkan pernyataan nyleneh yang sama sekali tidak sesuai dengan ajaran yang dianutnya yaitu  Islam. Terakhir yaitu mengenai prilaku menyimpang homoseksual yang menurutnya Al-Quran tidak melarangnya. Untuk itu ia nekad berujar “Karena saya menghormati semua ciptaan Allah, saya nggak keberatan disejajarkan dengan anjing dan babi”.

Belum lagi tokoh-tokoh JIL ( Jaringan Islam Liberal) seperti alm Nurcholis Madjid, Abdurahman Wahid (Gus Dur), Ulil Abshar, Komarudin Hidayat, Azumardi Azra, Siti Musdah Mulia dan lain-lain yang rata-rata adalah dosen UIN. Mereka tidak hanya melecehkan tapi juga berani meng-halal-kan yang haram dan meng-haram-kan yang halal sesuka mereka.

Di negri tercinta ini pula pemurtadan tidak sedikit terjadi. Tapi tidak seperti di Barat, kebanyakan orang yang murtad dan memilih masuk Kristen tersebut bukan dari kalangan berpendidikan melainkan dari kalangan bawah. Kemiskinan memang sasaran empuk kristenisasi yang dari hari ke hari makin menggurita. Namun, lagi-lagi JIL, hal ini tidak bisa dilepaskan dari tanggung-jawab mereka. Karena merekalah yang menyebarkan ajaran bahwa semua agama adalah sama !

Ironisnya lagi, perbuatan busuk korupsi bukan lagi rahasia di negri yang katanya mayoritas Muslim ini. Pungli, sogok menyogok terjadi dimana-mana. Kejahatan, perampokan, penipuan hampir setiap hari terjadi. Hal ini juga menimpa para ulama, terutama yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah. Bukankah Allah swt memerintahkan kaum Muslimin untuk saling mengingatkan agar menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar. Lalu mengapa ketika ada ulama mengingatkan hal tersebut bukannya didengar malah dibully, difitnah, di teror bahkan ada yang dibunuh. Dan dengan cepatnya pihak kepolisian menyimpulkan bahwa pembunuhnya adalah orang gila. ???

http://nasional.harianterbit.com/nasional/2018/02/03/93092/0/25/Isu-Orang-Gila-Bunuh-Ulama-Meresahkan-dan-Mengerikan-Umat-Islam-Diminta-Waspada

“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

“Dan demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang yang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agamanya. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan”. (Terjemah QS. Al-An’am(6):137).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Terjemah QS. At-Taubah(9):23)

Dalam suatu majlis ta’lim yang saya hadiri beberapa hari lalu, seorang jamaah menanyakan tentang pemimpin yang dzalim sebagaimana ayat di atas. Jujur saya agak terkejut dengan jawaban yang diberikan sang uztad. Beliau tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut, melainkan menceritakan percakapan yang terjadi antara khalifah Ali bin Thalib dengan seorang rakyatnya.

Pada masa pemerintahan ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu ada seseorang yang bertanya kepada beliau, “Kenapa pada zaman kamu ini banyak terjadi pertengkaran dan fitnah (musibah), sedangkan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak?

“Karena pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi rakyatnya adalah aku dan sahabat lainnya. Sedangkan pada zamanku yang menjadi rakyatnya adalah kalian.”, jawab Ali.

Dengan kata lain, karakter seorang pemimpin tidak akan jauh dari karakter orang yang dipimpinnya. Meski dalam hal tersebut tentu tidak dapat disamakan dengan apa yang terjadi hari ini. Kita pasti tahu siapa Ali dan bagaimana zuhudnya sahabat sekaligus menantu rasulullah saw tersebut. Itu adalah cara Ali merendahkan dirinya dibanding rasulullah saw.

Intinya, dari pada sibuk melihat dan mencari kesalahan dan kekurangan pemimpin lebih baik fokus pada diri dan keluarga kita sendiri. Sudahkah kita membaca, mempelajari dan mengamalkan isi Al-Quranul Karim, secara kaffah ???

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Terjemah QS.Ar-Rad(13):11).

Karena sebaik apapun sebuah kitab bila tidak diamalkan akan sia-sia belaka. Shalat misalnya, sudahkah shalat kita mampu menghilangkan kesyirikan, mencegah kebiasaan buruk seperti berbohong, yang merupakan awal korupsi, dll. Bukankah shalat seharusnya mampu menghilangkan perbuatan mungkar??  Belum lagi soal budaya kebersihan, disiplin, mengantri dan lain sebagianya? Sudahkah kita menjalankannya? Bukankah Islam mengajarkan semua itu??

Dari pengakuan para mualaf, jarang mereka masuk islam karena melihat tingkah laku Muslim yang kebanyakan, maaf, jorok, tidak disiplin, negaranya tidak maju, miskin, pejabatnya banyak yang korupsi dll. Di Barat, rata-rata mereka hanya sekedar penasaran dengan Islamophobia itu sendiri. Mereka melihat keindahan Islam setelah membaca dan mempelajari Al-Quran.

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,  pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”. ( Terjemah QS. Ibrahim (14:4-25).

my bougenvilleBegitulah Allah swt membuat perumpamaan. Mukmin yang baik adalah orang yang banyak manfaatnya bagi orang lain. Sebagaimana akar pohon yang kokoh yang dapat menjadi sandaran bagi yang membutuhkan, buahnya enak dimakan,  cabang dan daunnya yang rindang nyaman untuk berteduh, serta bunganya yang indah dipandang mata.

Jadi sungguh betapa ruginya kita, yang lahir dan besar sebagai Muslim tapi tidak mampu melihat keindahan dan kebenaran Islam. Bagaimana kita bisa menjadi umat terbaik bila Al-Quran hanya dijadikan pajangan, bukannya dibaca apalagi untuk dipahami.

Bila keadaan seperti ini terus dibiarkan terjadi, bisa jadi Barat juga Jepang yang notabene kafir akan terus  menjadi yang terbaik. Namun kali ini dengan izin-Nya, karena Islam telah merasuki kalbu mereka, menjadi penyempurna kemenangan mereka selama ini.

Sementara kita di Indonesia tetap menjadi pecundang. Pecundang sebenar-benar pecundang, di dunia maupun di akhirat karena satu-satunya modal yang tersisa di tengah keterpurukan kita saat ini yaitu iman, telah tergadai, menguap ntah kemana. Sungguh mengerikan … Na’udzbillah min dzalik …

Jangan kita hanya terbuai oleh kenangan sejarah keemasan masa silam dimana kekhalifahan Islam selama berabad-abad pernah menguasai hampir separuh dunia, tanpa mau berjuang merebut kembali kemenangan tersebut. Mari kita berkaca pada semangat rakyat Turki dalam memperjuangkan kembalinya kejayaan Islam. Perkuat aqidah kita dan anak-anak kita, pahami Al-Quran dan As-Sunnah hingga kita mampu menilai mana saudara/i kita seiman yang baik dan patut dipilih dan dijadikan pemimpin. Semoga dalam waktu dekat Indonesia akan memiliki pemimpin sekelas Sultan Erdogan yang mampu mengantar kita keluar sebagai umat terbaik sebagaimana mustinya, aamiin yaa robbal ‘aalamiin…

Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran maka hendaklah ia mencegahnya dengan tangannya, kalau ia tidak mampu maka dengan lisannya, dan kalau ia tidak mampu maka dengan hatinya, mengingkari (dengan hati) itu adalah iman yang paling lemah. ” {HR. Muslim).

Wallahu’alam bish shawwab.

Jakarta, 8 Februari 2018.

Vien AM.

Read Full Post »