Dalam hadis Sahih Muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah meminta Hassan bin Tsabit untuk membuat syair membalas syair orang musyrik yang menyerang nabi, bahkan nabi mendoakan agar jibril membantu Hassan bin Tsabit, Rasulullah berkata,
“Hai Hassan, balaslah sya’ir orang-orang kafir untuk membelaku! Ya Allah ya Tuhanku, dukunglah Hassan dengan Jibril!”.
Itulah yang terjadi hari ini. Umat Muslim berbondong-bondong membuat puisi umtuk membalas puisi yang dibuat Sukmawati, putri presiden RI pertama Soekarno, yang juga adik Megawati presiden ke 4 republik ini. Puisi berjudul ‘Ibu Indonesia’ itu dibuat dan dibacakan oleh Sukmawati dalam acara Indonesia Fashion Week 2018 di JCC Jakarta. Melalui puisinya ketua PNI Marhaenisme ini mengatakan bahwa ia tidak tahu apa itu syariat Islam, konde lebih indah dari cadar dan kidung lebih merdu dari pada azan.
Sudah barang tentu puisi provokatif tersebut memancing emosi sebagian besar umat Islam di bumi pertiwi ini. Tidak hanya mereka yang biasa menulis puisi yang membalas puisi tak etis tersebut tapi juga uztad Felix Siauw dan beberapa uztad lain.
Islam di negri tercinta, terutama sejak adanya kasus Ahok di Pulau Seribu tahun 2016 lalu, terus saja diobok-obok. Segala macam cara terus diupayakan untuk mengolok-olok dan memojokkan ajaran yang dibawa rasulullah Muhammad saw 14 abad silam tersebut. Ironisnya, perbuatan fitnah tersebut tidak hanya dilakukan oleh musuh-musuh Islam namun juga oleh mereka yang mengaku Muslim.
Islamophobia yang selama ini menyerang dunia Barat rupanya juga telah berhasil menyerang Muslim di negri kita tercinta Indonesia. Mereka yang kurang kuat aqidah tampaknya adalah korban yang paling rentan. Isu Arabisasi dengan mudah masuk ke kepala mereka. Segala yang dianggap kearab-arab-an mereka kecam dan hina.
Kata-kata Arab seperti “akhi”, “ukhti”, “ umi”, “abah”, “syukron, “jazakillah” dll bagi mereka tidak pantas di ucapkan di negri ini. Sementara “ dear”, “sis”, “bro”, “mama”, “papa”, “thank you” dll, adalah kata yang amat sangat pantas diucapkan. Demikian juga celana jins, rok dan baju mini yang mereka anggap lebih Indonesia dari pada gamis. Mereka bahkan tidak bisa membedakan mana ajaran Islam mana adat Arab. Termasuk dalam hal menutup aurat yang merupakan perintah Sang Khalik.
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”.( Terjemah QS. Al-Ahzab (33):59).
Di UIN Yogyakarta, dengan alasan radikalisme, berwacana melarang cadar di lingkungan kampus. Padahal seperti apa yang dikatakan wakil ketua umum MUI Zainul Tauhid, radikalisme tidak bisa diukur hanya melalui simbol-simbol, seperti cadar, celana cingkrang (isybal), jenggot dll. Perbedaan pendapat dalam Islam adalah hal yang wajar, harus diterima bahkan disyukuri, selama masih dalam koridor aqidah yang lurus. Membesar-besarkan perbedaan yang tidak mendasar justru akan menimbulkan perpecahan yang pasti akan merugikan umat Islam sendiri.
Dari Ibnu Umar, beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda: “ Seorang muslim itu adalah saudara muslim yang lain. Oleh sebab itu, jangan menzdalimi dan meremehkannya dan jangan pula menyakitinya.” (HR. Ahmad, Bukhori dan Muslim).
Lucunya lagi ketika beredar foto seorang Muslimah bercadar memeluk anjing, ntah siapa awalnya yang mengedarkan foto tersebut, pujianpun keluar berhamburan. Disiarkan, secara berulang-ulang, bahwa Muslimah tersebut berhati mulia karena mau menolong dan merawat anjing gelandangan, tak tanggung-tanggung, 11 ekor pula. Meski ternyata salah satu anjing tersebut adalah jenis Siberian Husky yang harganya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Tak salah bila kemudian banyak yang berpendapat bahwa hal itu adalah rekayasa untuk mendiskreditkan Islam.
Umat Islam apalagi bila ia telah berani bercadar, pasti tahu bahwa ludah anjing adalah najis yang memerlukan ritual khusus untuk menghilangkannya sebelum seseorang yang terkena mengerjakan shalat. Adalah tugas kaum Muslimin untuk mengingatkan saudarinya yang khilaf bukan malah menjerumuskannya dengan memuji-mujinya.
Dari Ibnu Umar: “Siapa yang memelihara anjing, kecuali untuk berburu dan bertani, akan dikurangi dari pahalanya tiap hari sebanyak dua qirath. (HR. Muslim).
Sementara ketika jamaah Kristiani bernyanyi bersama di gereja dengan jilbab panjang menutup hingga dada, tak ada satupun komentar muncul sebagai bagian dari Arabisasi. Jilbab, sejatinya memang bukan hanya ajaran Islam, tapi juga Kristen dan Yahudi. Namun selama ini yang taat memakainya hanya para biarawati. Ntah sejak kapan yang bukan biarawatipun kini mengenakannya.
Yang pasti penghinaan terhadap simbol-simbol Islam belakangan ini, tanpa mengindahkan nilai-nilai agama, moral dan tolerasi, atas dasar hak asasi seakan mendapat legitimasi dari penguasa. Laporan ke pihak kepolisian jika merugikan umat Islam tidak ditanggapi serius. Dengan dalih rasululah adalah seorang yang pemaaf, umat Islam dituntut untuk selalu memaafkan mereka yang telah seenaknya menghina dan mengolok-olok Islam dan syariatnya.
Padahal rasulullah amat sangat pemaaf ketika beliau pribadi yang diserang dan diolok-olok, tidak ketika ajaran Islam dipermainkan. Tentu kita tidak lupa bagaimana murkanya rasulullah ketika mendapat kabar bahwa surat yang dikirimkan beliau kepada raja Kisra dirobek-robek, hingga rasulullah berdoa dan memohon kepada Allah swt agar raja Persia tersebut dilaknat-Nya.
Juga ketika mengetahui seorang Muslimah dipermalukan oleh orang-orang Yahudi Qainuqa hingga mengakibatkan pertengkaran dan syahidnya seorang sahabat karena membela saudarinya. Maka sebagai kelanjutannya rasulullahpun memerintahkan bani Yahudi tersebut untuk hengkang dari kota Madinah, untuk selamanya.
Sukmawati memang akhirnya meminta maaf. Namun hukum harus tetap ditegakkan sebagai peringatan agar orang tidak seenaknya melecehkan ajaran agama. Permintaan maaf dan penyesalannya tentu dapat dijadikan peringan kesalahannya.
“Dan apabila kamu memanggil untuk shalat ( adzan), mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal”. (Terjemah QS. Al-Maidah(5):58).
Apa yang terjadi hari ini sebenarnya buah dari tidak tegas dan tebang pilihnya pemberlakuan hukum. Tengok apa yang dilakukan Ade Armando, dedengkot JIL yang juga dosen UI, yang sudah sering dilaporkan atas tindakannya yang sering menyakitkan hati umat Islam. Merasa dirinya kebal hukum, dengan santainya ia mengomentari puisi kontroversial Sukmawati,
“Azan tidak suci. Azan itu cuma panggilan untuk sholat. Sering tidak merdu. Jadi, biasa-biasa sajalah…“, cuitnya melalui Twitter.
http://yesmuslim.blogspot.co.id/2018/04/dosen-komunikasi-ui-ade-armando-azan.html
Simak pula penggalan puisi karya Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) yang dibacakan Gubernur Jawa Tengah dari partai PDIP Ganjar Pranowo pada sebuah acara sebagai berikut : Kau ini bagaimana. Kau bilang Tuhan sangat dekat. Kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara setiap saat.
Bila hal seperti ini terus dibiarkan ntah apa yang akan terjadi terhadap nasib ke-Islam-an anak cucu kita di kemudian hari nanti. Prof Dr Yusril Mahendra dalam sebuah khutbahnya mengingatkan bahwa sejak berkuasanya rezim ini banyak ritual Islam yang telah dihilangan, diantaranya adalah peringatan Nuzulul Quran dan Isra Miraj. Padahal sejak pemerintahan Soekarno, Soeharto hingga SBY Nuzulul Quran selalu diperingati di Istana Negara, sedangkan Isra Miraj di Mesjid Istiqlal. Kedua acara tersebut dihadiri presiden dan sejumah duta- besar negara sahabat.
Demikian juga dengan tradisi menabuh beduk di Monas pada malam Idul Fitri atau Idul Adha yang telah dihapuskan sejak Ahok menjabat sebagai gubernur DKI.
Dengan itu Yusril mengingatkan bahwa memang ada rencana secara sistimatis untuk melemahkan peran Islam dibumi Indonesia, setahap demi setahap, tanpa ada yang menyadari apalagi mempersoalkannya.
Ini masih ditambah dengan prilaku menyimpang homoseksual sebagian masyarakat yang katanya mayoritas Islam, yang makin merajalela. UU warisan kolonial Belanda memang tidak mengatur hal tersebut secara tegas. Namun kini ketika ada wakil rakyat yang masih memiliki nurani bermaksud mengajukan ruu untuk menyikapi fenomena biadab tersebut, ternyata ada yang tidak suka. Na’udzubillah min dzalik.
Sungguh apa yang dikatakan rasulullah bahwa di akhir zaman nanti kaum Muslimin hanya seperti buih mulai memperlihatkan kebenarannya. Ini saatnya kita harus bangkit dan berjuang melawan kedzaliman. Jangan biarkan kita atau keluarga kita adalah buih tersebut. Buih yang bukan hanya tidak bermanfaat tapi bahkan merusak!
Rasulullah bersabda, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring.” Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati,” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud).
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 8 April 2018.
Vien AM.
Leave a Reply