“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati…”. (Terjemah QS. An-Anbiya (21):35).
Mati adalah suatu kepastian yang tidak mungkin dielakkan manusia, apapun suku, ras, bangsa, agama, laki-laki ataupun perempuan. Dan semua Muslim pasti ingin ketika meninggal nanti dalam keadaan husnul khotimah, yaitu dalam keadaan terbaiknya. Itulah jiwa yang tenang (nafsu muthmainnah).
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”. (Terjemah QS. Al-Fajr (89):27-30).
“ … Demikianlah Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salaamun’alaikum, masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan“. (QS. An-Nahl: 31-32).
Itu sebabnya ketika ada anggota keluarga, kawan atau kerabat yang “dipanggil menghadap” Sang Khalik, doa yang dipanjatkan sering kali adalah “semoga husnul khotimah”.
Lawan dari husnul khotimah adalah su’ul khotimah, yaitu dalam keadaan terburuknya. Itulah jiwa khomisa atau jiwa yang marah/gelisah. Su’ul khotimah akan dialami oleh orang yang rusak keyakinan batinnya, rusak amalannya, yang meninggalkan kewajiban bahkan berani melakukan dosa-dosa besar. Yang hingga ajal menjemput tidak sempat bertaubat.
“(Yaitu) orang-orang yang dimatikan oleh para malaikat dalam keadaan berbuat zalim kepada diri mereka sendiri, lalu mereka menyerah diri (sambil berkata);
“Kami sekali-kali tidak mengerjakan sesuatu kejahatanpun”. (Malaikat menjawab): “Ada, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang telah kamu kerjakan”.
Maka masukilah pintu-pintu neraka Jahannam, kamu kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu”. (Terjemah QS.Ah-Nahl(16):28-29).
Masalahnya Sang Khalik me-wafatkan hamba-Nya tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu, juga tanpa harus sakit atau menunggu tua. Betapa seringnya kita mendengar berita orang meninggal dalam usia muda, sehat pula. Jadi tidak ada jalan bagi kita selain harus selalu menyiapkan diri.
Dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Siapa yang akhir ucapannya adalah kalimat ‘La ilaaha illallah’ ia akan masuk surga.” (HR. Al-Hakim dan selainnya dengan sanad hasan).
Berkata Ibnul Qayyim: “Sering kali orang yang akan meninggal mengucapkan apa yang disukainya dan banyak ia sebut, dan bahkan mungkin rohnya keluar dalam keadaan ia mengucapkan kalimat tadi. Banyak orang yang hobinya main catur di saat sakaratul maut mereka mengatakan “Rajanya mati”, dan sebagian yang lain mendendangkan syair sampai ia meninggal, karena dahulunya ia adalah penyanyi”.
Mujahid berkata, “Tidak ada seorangpun yang akan meninggal dunia, kecuali akan diperlihatkan padanya teman-teman yang biasa duduk bersamanya, baik itu yang hobi bermain, maupun yang gemar dzikir”.
Artinya, orang yang suka dan terbiasa berbuat maksiat akan diwafatkan dalam keadaan yang disukainya itu, yaitu ketika bermaksiat. Sebaliknya, orang yang suka dan terbiasa beramal kebajikan akan diwafatkan dalam keadaan tersebut.
Dengan kata lain, kesiapan itu harus dimulai sedini mungkin. Sekalipun hanya kalimat ‘La ilaaha illallah’ yang kelihatannya sangat mudah. Karena kebiasaan itu tidak datang secara tiba-tiba melainkan harus dilatih, bukan sekedar ucapan di mulut tapi juga di hati, dibuktikan dengan amal perbuatan.
Dalam ayat 27 surat Al-Fajr diatas, disebutkan “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya”. Apa yang maksud di “ ridhoi-Nya”?
“Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (Terjemah QS. An-Nisa (4):69).
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”. (Terjemah QS. Ar-Rad(13):28).
Al-Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitab shahih mereka dari Ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa suka bertemu dengan Allah, maka Allahpun suka bertemu dengannya, sebaliknya barangsiapa yang benci bertemu Allah, maka Allahpun benci bertemu dengannya”
Begitulah yang dimaksud di-ridho Allah swt. Lalu dipersilahkannnya orang-orang tersebut masuk ke surga-Nya.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung akhirnya”. (Shahih, HR. ibnu Hibban)..
Hadist di atas menunjukkan bahwa kita harus senantiasa hati-hati, istiqomah dalam menjalani kebaikan, hingga ajal menjemput. Karena sebaik apapun amal ibadah kita, bila Allah swt membalikkan hati kita di akhir hayat nanti, sungguh celakalah kita.
“Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”
Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa do’a tersebut yang sering beliau baca. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.” (HR. Tirmidzi no. 3522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dan sebagaimana tubuh yang harus dijaga kesehatannya, demikian pula hati kita. Yaitu dengan terus hadir di majlis ilmu, berkumpul dengan orang-orang yang sholeh, senantiasa ber-dzikir dan bermunajat kepada Allah swt agar ridho diberikan akhir yang baik. Tidak sepatutnya urusan dunia mengalahkan urusan akhirat. Urusan dunia tidak akan ada habisnya bila kita terus mengikuti nafsu dan selalu memandang ke atas.
Tengoklah mereka yang hidup dalam kesulitan dan kesengsaraan hingga tidak mempunyai waktu untuk beribadah. Sebaliknya alangkah ruginya orang-orang sukses, kaya raya tapi tidak mau menyempatkan diri untuk kepentingan akhirat-Nya. Karena susah senang, sakit sehat, sukses atau tidak sukses, sejatinya hanyalah cobaan. Nikmat hidup tidak seharusnya hanya dihitung dari harta benda tapi keberkahan dan keridhoan dari Sang Khalik jauh lebih berharga.
Berikut karakter jiwa yang tenang menurut Ibnu Abbas :
- Yang senantiasa membenarkan ke-Esa-an Allah swt. ( QS.Al-Ikhlas(112):1)
- Yang penuh syukur, tidak serakah. ( QS. Ar-Rahman, QS. Lukman (31:12).
- Yang selalu sabar terhadap ujian Allah swt. (QS. Al-Baqarah(2):45,153), Ali Imran(3):186), Al-Ankabut (29):59) dll.
- Yang ridho atas takdir Allah swt. ( QS.Yasin (36):43).
- Yang merasa cukup/puas dengan pemberian Allah (qonaah).
”Ridholah dengan apa yang dibagikan Allah SWT untukmu, niscaya engkau menjadi orang yang paling kaya.” (HR Turmudzi).
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 19 April 2018.
Vien AM.
Leave a Reply