Kita tentu sering mendengar kata “Barakallah”. Kata ini diucapkan biasanya ketika ada teman, saudara atau handai taulan yang mendapat kebahagiaan dan kesenangan. Ketika menerima hadiah misalnya.
Barakallaah adalah kalimat yang berasal dari Bahasa Arab, kalimat tersebut terdiri dari dua kata yaitu “Baraka” dan “Allah”. Kata “baaraka” memiliki arti berkah/barokah. Jadi “Barakallah” artinya adalah “Semoga Allah memberkahi”. Pengucapan kata yang sebenarnya merupakan doa ini lazimnya diiringi dengan kata “fiika” (untuk perempuan), “fiiki” (untuk laki-laki), atau “fiikum“(untuk lebih dari 1 orang laki-laki dan perempuan).
Para sahabat di zaman nabi biasa mengucapkan kata “Barakallah” sebagaimana yang dikisahkan umirul mukminin Aisyah ra yang diriwayat Imam An-Nasa’i sebagai berikut:
“Aku menghadiahkan seekor domba kepada Rasulullah SAW. Maka Beliau memerintahkan, “Bagi dua-lah domba tersebut (untuk disedekahkan)”. (Maka pembantu beliau pun mengirimkan daging domba tersebut,) Dan telah menjadi suatu kebiasaan bagi Aisyah ra jika pembantunya telah pulang dari melakukan hal yang semisal itu, maka ia akan menanyakan, “Apa yang mereka katakan (setelah kita beri)?” Pelayanannya menjawab, “Baarakallaah Fiikum”. Maka ‘Aisyah pun mengatakan, “Wa Fiihim Baarakallaah”, kita telah membalas do’a mereka dengan do’a yang semisal dan tetap bagi kita pahala atas perbuatan baik yang telah kita lakukan (memberi hadiah daging domba).
Itu sebabnya ketika seseorang yang mengucapkan “ Barakallah” maka jawaban yang paling tepat adalah “ Wa fiikum barakallah”, yang artinya “dan kepadamu juga berkah Allah”. Begitulah yang diajarkan Rasulullah, saling mendoakan. Bukankah sesama Muslim adalah bersaudara? .
Namun apa sebenarnya arti “Berkah” itu sendiri? Apakah ia harus selalu yang sifatnya menguntungkan dan menyenangkan seperti rezeki yang banyak, kesehatan yang baik, panjang umur atau anak-anak yang pintar misalnya?
Kalau memang ya, lalu bagaimana dengan nabi Sulaiman yang diuji dengan sakit tergeletak lemah di kursinya, nabi Ayyub yang diuji dengan sakit keras hingga istri dan anak-anaknya meninggalkannya, atau nabi Yunus yang ditelan ikan hiu??
“Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian ia bertaubat”.(Terjemah QS. Shad (38):34).
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhannya; “Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan”. (Allah berfirman): “Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum. Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran”. (Terjemah Shad (38):41-43).
“Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul, (ingatlah) ketika ia lari, ke kapal yang penuh muatan, kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian. Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela. Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit”.(Terjemah QS. As-Shaffat (37):139-144).
Sakit, mala petaka, kekurangan rezeki dan yang semacamnya sejatinya adalah cobaan dari Allah swt untuk mengetahui seberapa besar sabar dan syukur yang dimiliki seorang hamba.
Dari contoh kisah di atas dapat kita lihat pertolongan Allah swt datang bukan hanya karena mereka adalah para nabi, melainkan juga karena kesabaran dan taubat yang mereka lakukan. Demikian pula kita sebagai manusia biasa. Sakit dll bukanlah siksaan melainkan juga berkah sebagaimana kesehatan yang baik dan rezeki berlimpah yang digunakan untuk mentaati-Nya.
Kisah Tsa’labah seorang yang awalnya hidup dalam kemiskinan adalah sebuah contoh nyata yang harus selalu kita ingat. Suatu hari Tsa’labah yang sudah bosan hidup dalam keadaan miskin memohon agar Rasulullah mau mendoakannya menjadi orang kaya. Rasulullah mulanya menolak. Namun karena Tsa’labah terus merengek akhirnya Rasulullahpun mengabulkannya seraya memberinya modal 2 ekor kambing untuk modal awal.
Dalam waktu singkat kambing Tsa’labahpun terus berkembang-biak hingga ia harus pindah ke luar Madinah untuk mencari lahan yang luas. Akibatnya Tsa’labah yang tadinya rajin shalat 5 waktu di masjid Nabawi bersama Rasulullah dan para sahabat mulai jarang melakukannya. Puncaknya ia menolak membayar zakat yang kini menjadi wajib baginya. Ia bahkan marah-marah dan menuduh petugas zakat yang tak lain adalah para sahabat dengan tuduhan ingin memerasnya.
Tentu saja Rasulullah sangat kecewa melihat prilaku buruk Tsa’labah. Beliau adukan hal tersebut kepada Sang Pemilik. Tak lama Tsa’labah menyadari kesalahannya dan memohon agar Rasulullah mau menerima zakatnya. Namun Rasulullah menolaknya juga khalifah Abu Bakar dan Umar sepeninggal Rasulullah. Akhirnya Tsa’labah wafat dalam keadaan menyesal seumur hidup dan kambingnyapun semua mati bersamanya. Tidak ada keberkahan dalam seluruh harta dan kekayaan yang dimiliki dan diimpikannya Na’udzubillah min dzalik.
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Qona’ah dan selalu merasa cukup dengan harta yang dicari akan senantiasa mendatangkan keberkahan. Sedangkan mencari harta dengan ketamakan, maka seperti itu tidak mendatangkan keberkahan dan keberkahan pun akan sirna.”
Dengan kata lain berkah adalah segala hal yang mampu membuat kita dekat kepada Sang Khalik. Rezeki yang berkah adalah rezeki yang digunakan di jalan Allah, untuk membantu anak-anak yatim piatu, orang miskin dll. Kalaupun rezeki hendak digunakan untuk berjalan-jalan ke luar negri misalnya, selama hal tersebut dapat membuat kita lebih bersyukur, mengagumi ciptaan-Nya, lebih mengenal sifat-sifat-Nya serta membuat kita lebih takwa yaitu dengan menjauhi larangan dan mengerjakan perintah-Nya, itulah berkah.
Begitu pula sakit dan sehat. Berkah itu tidak selalu sehat dan panjang umur. Ada yang umurnya pendek tapi dahsyat taatnya, layaknya sahabat Mus’ab bin Umair dkk yang gugur syahid di medan jihad.
Tanah yang berkah itu bukan yang panoramanya indah. Makkah dimana Ka’bah berada di dalamnya, adalah contohnya. Tanah tersebut memang tandus tapi keutamaannya dihadapan Allah tidak tertandingi tanah manapun.
Makanan yang berkah bukan yang komposisi gizinya lengkap melainkan makanan yang mampu mendorong pemakannya menjadi lebih taat setelah mengkonsumsinya. Demikian pula ilmu. Ilmu yg berkah itu bukan yg banyak riwayat dan catatan kakinya, melainkan yang mampu menjadikan seorang meneteskan keringat dan darahnya beramal dan berjuang untuk agama Allah
Istri yang cantik, suami yang gagah dan sukses, anak-anak yang lucu, pintar bahkan bergelar S2 atau S3 ketika dewasa bukanlah berkah bila tidak mau mentaati Rabb yang telah menciptakan mereka. Sama halnya dengan jabatan. Jabatan yang tidak membuat seseorang menjadi dekat pada-Nya adalah bukan berkah melainkan petaka.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Terjemah QS. Al A’rof(7):96).
Semoga Allah senantiasa melimpahkan kita berbagai keberkahan. Amin Yaa Mujibbas Saailin.
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 14 Juni 2018.
Vien AM.
Leave a Reply