Untuk menguatkan suatu hubungan biasanya orang membuat suatu kesepakatan yang disetujui ke dua belah pihak. Kesepakatan atau ikatan persetujuan tersebut biasanya dibuat secara tertulis lengkap dengan syarat, tanggung-jawab serta sebab akibat yang akan ditanggung jika salah satu dari pihak yang terkait melanggar persetujuan yang dibuat. Bahkan ada yang harus memakai materai. Tak jarang untuk menjadi sah tidaknya suatu kesepakatan, surat persetujuan harus dibuat didepan Notaris.
Demikian pula antara hamba yaitu manusia dengan Sang Pemilik yaitu Allah Azza wa Jala. Kesepakatan tingkat tertinggi yang pernah ada di muka bumi ini terdiri dari 4 kesepakatan. Yaitu Kesepakatan Ruh, Kesepakatan Fitrah, Kesepakatan Akal dan Kesepakatan Amanah. Kesepakatan ini berlaku bagi semua manusia dari nabi Adam as sebagai manusia pertama hingga manusia terakhir yang dilahirkan ke dunia nanti. Baik para nabi, orang jahat, laki-laki, perempuan, apapun agama, bangsa dan rasnya.
1. Kesepakatan Ruh.
Kesepakatan ini tertulis dalam surat Al-Araf ayat 172 berikut :
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”.
Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
Kesepakatan Ruh dibuat ketika manusia masih berada di alam ruh sebelum lahir ke dunia. Itu sebabnya kita lupa bahwa kita pernah membuat perjanjian Tauhid tersebut. Perjanjian bahwa kelak ketika kita hidup di dunia akan tetap menyembah Tuhan Yang Satu, itulah Allah Subhanallahu Wa Ta’ala, Tuhan Sang Pencipta Yang Tidak Beranak dan Tidak Diperanakkan.
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. ( Terjemah QS. Al-Ikhlas(112):1-4).
2. Kesepakatan Fitrah.
Kesepakatan ini tertulis dalam surat Ar-Rum ayat 30 berikut :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Manusia ketika lahir ke dunia dalam keadaan bersih, jauh dari segala dosa termasuk dosa terbesar yaitu kesyirikan. Itulah fitrah/kodrat manusia. Namun dalam perjalanannya ia akan menjadi kotor tergantung sejauh mana ilmu dan amalnya. Itu sebabnya manusia harus selalu belajar dan menuntut ilmu agar tidak tersesat.
Sayangnya, kebanyakan manusia hanya belajar ilmu yang sifatnya keduniaan/materialistis, lalai terhadap kebutuhan jiwa dan ruhnya. Akibatnya ia lupa akan adanya kesepakatan Ruh yang pernah dibuatnya ketika masih di alam Ruh. Ini adalah tanggung-jawab utama kedua orang-tua yang melahirkan, merawat dan mendidiknya.
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.” ( HR. Bukahri dan Muslim).
Itu sebabnya, setelah dewasa setiap manusia harus mau belajar, berpikir tentang fitrahnya yang mungkin telah luntur bahkan hilang akibat orang-tua yang tidak memahami tugas dan tanggung-jawabnya. Yaitu dengan bertobat dan shalat sebagaimana lanjutan atas 30 surat Ar-Rum di atas.
“dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah”. (Terjemah QS. Ar-Rum(30): 31).
Shalat memang bukan monopoli ajaran Islam karena para nabi dan rasul sebelum Rasulullah Muhammad saw pun mengajarkannya, meski mungkin tidak sama dengan shalat yang biasa dikerjakan umat Islam.
“Hai Maryam, ta`atlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku`lah bersama orang-orang yang ruku`”.( Terjemah QS. Ali Imran(3):43).
3. Kesepakatan Akal.
Kesepakatan ini adalah kesepakatan untuk menjadikan para rasul sebagai panutan dalam menjalani kehidupan di dunia. Ayat Al-Quran yang menuliskan kesepakatan ini sangat banyak jumlahnya, diantaranya adalah surat An-Nisa ayat 165 dan surat Al-Baqarah 285 berikut :
“(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Terjemah QS. An-Nisa (4):165).
“Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami ta`at”. (Mereka berdo`a): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali“.(Terjemah QS. Al-Baqarah (2):285).
Pada setiap masa Allah swt senantiasa menurunkan utusan-Nya, dari nabi Adam as hingga nabi Muhammad saw, dengan membawa ajaran pokok Tauhid yaitu bahwa Tuhan adalah Satu, tidak beranak maupun diperanakkan. Melalui malaikat yang sama pula yaitu, Jibril as, para nabi dan rasul menerima ajaran-Nya.
Pada dasarnya ajaran tersebut hampir sama. Perbedaan hanya terletak pada tata cara yang diajarkan rasul masing-masing. Itu sebabnya kesepakatan ke 3 ini dibuat. Namun meski namanya Kesepakatan Akal tidak berarti akal adalah segala-segalanya. Karena yang dituntut kesepekatan tersebut justru memuliakan para nabi dan rasul di atas akal. Karena akal sering kali mudah kalah oleh syaitan yang merupakan musuh abadi manusia.
Untuk itu Allah swt mewajibkan umat Islam untuk selalu membaca surat Al-Fatihah dalam setiap rakaat shalatnya, yang didalamnya terdapat ayat 6 dan 7 sebagai berikut :
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang DIMURKAI dan bukan (pula jalan) mereka yang SESAT”.
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan yang dimaksud “DIMURKAI” dalam ayat di atas adalah umat Yahudi sedangkan yang “SESAT” adalah umat Nasrani. Mengapa demikian??
Umat Yahudi disebut umat yang dimurkai karena mereka berakal tapi tidak beramal kebajikan. Rata-rata orang Yahudi bukan saja memahami kitab Taurat mereka, tapi juga Al-Quranul Karim. Bahkan hadistpun mereka percayai. Sayangnya mereka hanya merasa cukup mempercayainya tapi tidak mengamalkannya. Mereka bahkan sangat suka berbuat jahat diantaranya membunuhi para nabi.
“ … … Sekiranya mereka mengatakan: “Kami mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami”, tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis”. ( Terjemah QS. An-Nisa(4):46).
Sementara umat Nasrani mereka banyak berbuat kebaikan tapi tanpa ilmu. Diantaranya keyakinan bahwa Tuhan adalah tiga sebagaimana diabadikan ayat 73 surat Ali Imran berikut:
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih”.
Itu sebabnya kita, umat Islam senantiasa diingatkan agar jangan meniru keduanya. Umat Islam harus berprinsip “Sami’na wa atho’na” ( kamu dengar dan kami patuh)”, yaitu berilmu dan mengamalkan ilmu tersebut dengan meniru apa yang dicontohkan rasulullah. Itulah Sunnah Rasul atau yang biasa juga dinamakan Hadist.
“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan”.( Terjemah QS. An-Nuur(24):52).
4. Kesepakatan Amanah atau Kesepakatan Mengemban Amanah.
Kesepakatan ini tertulis di dalam ayat 72 surat Al-Ahzab berikut:
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.
Manusia dikatakan zalim dan bodoh karena amanat yang enggan ditrima oleh langit, bumi dan gunung-gunung itu amanat yang teramat sangat berat. Amanat tersebut yaitu menjadi khalifah di muka bumi, khalifah yang adil yang mampu ber-a’mar ma’ruf nahi mungkar, berbuat kebaikan dan menolak kemungkaran. Dan bila tidak mampu dan tidak mau bertobat azab adalah balasannya!
“sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mu’min laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. ( Terjemah QS. Al-Ahzab(33):73).
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 30 September 2018.
Vien AM.
Leave a Reply