Heboh kata “kafir” pernah terjadi jelang Pilkada DKI 2017. Kini polemik mengenai kata tersebut kembali mencuat menjelang Pilpres 2019. Puncaknya adalah usulan untuk mengganti kata ‘kafir’ dengan kata muwathinun atau warga negara yang mempunyai kewajiban dan hak yang sama dan setara sebagaimana warga negara yang lain. Usulan tersebut dikeluarkan pada acara penutupan Munas PBNU akhir Februari 2019 lalu. Kata muwathinun dianggap “netral” dibanding kata “kafir” yang dianggap menyakitkan hati yang bersangkutan. “Kekerasan teologis”, ujar pimpinan sidang Abdul Moqsith Ghazali.
“Karena itu para kiai menghormati untuk tidak gunakan kata kafir tetapi muwathinun atau warga negara, dengan begitu status mereka setara dengan warga negara yang lain,” sambungnya.
Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnain mengomentari, jika memang tidak ingin menyebut kafir, maka sebutan agama secara langsung justru lebih baik dari pada menyebut non-muslim.
“Daripada menyebut Non Muslim, bagus mereka disebut dengan Identitas agamanya. Warga Negara Kristen, Dia Kristen. WNI Hindhu, Dia Hindhu.WNI Budha, Dia Budha.Warga Negara Kong Hu Chu, Dia Kong Hu Chu. Tanpa Harus Bawa2 MUSLIM. Dia Non-Muslim. Buat apa bawa-bawa Islam?”, ujarnya.
Sementara Ustad Bahtiar Nasir (UBN), sekjen MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia), yang juga merupakan pimpinan Arrohman Quranic Learning (AQL) mengatakan sebutan kafir tidak pernah menjadi momok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Menurut ustad yang pernah menjabat Ketua Umum GNPF MUI, sebutan kafir menjadi ramai hanya dalam masalah memilih pemimpin beberapa tahun belakangan ini saja.
Tentu kita ingat apa yang menjadi pemicu lahirnya gerakan 212 yang fenomenal itu. Kalau saja Ahok yang ketika itu adalah gubernur DKI tidak pernah mengutak-utik ayat 51 surat Al-Maidah kehebohan tentang ayat kepemimpinan tersebut mungkin tidak akan pernah terjadi. Kelancangan mulut yang menyebabkannya terpaksa berurusan dengan pengadilan atas tuduhan penistaan agama, dan berakhir dengan hukuman penjara 2 tahun yang baru dilaluinya.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. ( Terjemah QS. Al-Maidah(5):51).
Prilaku Ahok mempermasalahkan ayat suci yang bukan agamanya, ayat yang berisi tentang cara memilih pemimpin pula, sementara ia dalam posisi mengincar kursi kepemimpinan, dipandang dari sudut manapun, jelas sangat tidak etis. Ironisnya, tidak sedikit orang yang mengaku Islam namun tetap mati-matian membelanya.
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih”. ( Terjemah QS. Al-Maidah(5):73).
“Saya percaya Yesus Tuhan bukan kafir. Saya keberatan anda menganggap saya kafir, saya bertuhan dan saya terima Yesus adalah Tuhan dan hak saya di negeri Pancasila, saya berhak menjadi apapun di republik ini,” protes Ahok dalam salah satu sidangnya.
Adalah hak Ahok untuk meyakini keyakinannya. Tapi tidak mungkin ia memaksakan keyakinannya itu kepada orang lain. Apalagi memaksa mengubah isi kitab suci umat lain, Al-Quran khususnya.
Namun berkat Ahok pula kaum Muslimin tersadar akan adanya ayat tersebut, bahwa kita dilarang menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Untuk diingat selama ini kita tidak mengacuhkan perintah tersebut. Hal ini tidak ada kaitan sama sekali apakah Indonesia negara Islam atau tidak seperti yang dikeluhkan sebagian orang. Karena kewajiban tersebut berlaku bagi kaum Muslimin, mereka yang mengaku Islam dan sudah semestinya menjadikan Al-Quran sebagai pegangan, dimanapun mereka berada.
Larangan Islam memilih orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin sebenarnya sangatlah wajar dan mudah ditrima akal sehat. Bagaimana mungkin kita dapat menjalankan ajaran Islam secara kaffah bila pemimpinnya tidak satu aqidah. Bagaimana sang pemimpin bisa memahaminya? Lebih parah lagi bila si pemimpin malah menjauhi, melarang bahkan memusuhinya?? Siapa yang rugi??
Dan lagi tidak memilih Yahudi atau Nasrani sebagai pemimpin bukan berarti memusuhi. Sebagai sesama mahluk-Nya kita bahkan wajib mendakwahi mereka. Kalaupun mereka tetap menolak kita tidak boleh memaksa apalagi memusuhi. Apalagi sebagai sesama warga negara Indonesia tercinta, kita wajib menjaga hubungan dengan baik, saling menghormati, tidak menghina dan memaki. UBN dalam kutbahnya menjelaskan kata kafir adalah untuk internal umat Islam. Kafir adalah menolak ajaran Islam. Kafir berasal dari kata tertutup, tertutup dari kebenaran.
https://www.islaminews.com/2019/03/ustadz-bachtiar-nasir-kafir-adalah-kata.html
Pertanyaannya apa urgensi PBNU mengganti kata kafir dengan kata lain?? Muatan politiskah ?? Bukan rahasia lagi bahwa pimpinan PBNU Said Aqil Siradj berteman erat dengan Ahok. Ahok yang begitu keluar dari tahanan 2 tahun dikurangi remisi 1 bulan, langsung bergabung dengan PDIP, yang berarti satu kubu dengan PKB yang tidak dapat dipungkiri satu bendera dengan NU.
https://news.detik.com/berita/d-4158967/said-aqil-pkb-dan-pbnu-harus-sukseskan-jokowi-maruf-amin
Harus diakui NU dibawa kepemimpinan Said Aqil Siradj saat ini sedang mengalami cobaan berat. Tokoh nyleneh ini sering mengeluarkan pernyataan kontroversial, Islam Nusantara contohnya. Siradj juga suka mengolok-olok jenggot yang merupakan Sunnah nabi yang banyak ditiru kaum Muslimin. Ia juga menuduh bahwa sejumlah perguruan tinggi menyebarkan radikalisme melalui masjid.
http://kabarkampus.com/2017/05/dianggap-sebar-radikalisme-pengurus-masjid-salman-datangi-said-aqil/
Sementara Moqsith Abdul Moqsith yang memimpin sidang penutupan Munas PBNU yang baru lalu tercatat di MUI periode 2015-2020 sebagai Wakil Sekretaris Komisi Kerukunan Antarumat Beragama (KAUB). Padahal Moqsith adalah pentolan JIL ( Jaringan Islam Liberal), faham yang telah difatwakan sesat oleh MUI. Selain itu, Hasyim Nasution wakil Moqsith di MUI adalah wakil sekretaris umum LDII, yang juga difatwakan sesat oleh MUI. MUI sendiri hingga hari ini ( periode 2015-2020) diketuai oleh tokoh NU Ma’ruf Amin yang saat ini digandeng presiden Jokowi sebagai wakilnya.
Maka tak heran beberapa waktu lalu, dibentuk apa yang dinamakan Komite Khittah Nahdlatul Ulama (NU). Komite yang mengangkat Choirul Anam sebagai juru bicara tersebut mendesak segera digelarnya Muktamar Luar Biasa NU untuk mengganti kepengurusan yang ada sekarang ini. Choirul menilai Ketua Umum Pengurus Besar NU Said Aqil Siradj dan mantan Rais Aam Ma’ruf Amin melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi.
Sangat disayangkan NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia harus mengalami perpecahan di dalam tubuhnya. Bersyukur masih ada orang dalam yang punya keberanian untuk menjaga kelurusannya. Karena kalau tidak pasti akan makin banyak dai-dai muda yang terpaksa meninggalkan ormas tersebut. Anehnya, protes keras justru datang dari Ulil Absor, si pentolan JIL. Apa urusannya dengan NU??
“Akhir-akhir ini ada gerakan yg menamakan dirinya “NU Garis Lurus”. Namanya sendiri sudah menunjukkan bahwa yg membuat gerakan ini tak mengerti kultur NU,” ujar Ulil melalui akun twitter @Ulil.
Semoga NU terutama para sesepuhnya dapat segera menyadari kekhilafan mereka dan segera menyingkirkan orang-orang yang berniat merusak dan mengadu domba ormas tersebut dari dalam, dan juga merusak ajaran Islam secara keseluruhan.
“Sesungguhnya yang aku khawatirkan pada umatku adalah imam-imam (tokoh-tokoh panutan) yang menyesatkan”. (HR Abu Dawud).
Tidak cukupkah pelajaran dari si tokoh Munafikun Abdullah bin Ubay bin Salul yang selalu berusaha melindungi sahabat-sahabat kafirnya yang memusuhi Islam dan kerap membuat kesal Rasulullah saw?
“Hai Muhammad, perlakukanlah para sahabatku itu dengan baik.“, seru Abdullah bin Ubay bin Salul memprotes keputusan Rasulullah saw.
Tanpa memperhatikan air muka Rasulullah yang kesal, hal itu terus diulanginya sampai 3 kali. Akhirnya Rasulullahpun menjawab ketus : “Mereka itu kuserahkan padamu dengan syarat mereka harus keluar meninggalkan Madinah dan tidak boleh hidup berdekatan dengan kota ini !”.
https://vienmuhadi.com/2017/02/22/abdullah-bin-ubay-bin-salul-dan-kemunafikan/
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 14 Maret 2019.
Vien AM.
Leave a Reply