Perseteruan Pilpres akhirnya berlalu sudah meski dengan proses dan hasil jauh dari memuaskan. Bahkan Prabowo Subianto sebagai mantan capres masuk ke dalam jajaran kabinet dibawah ex capres yang mengalahkannya. Sesuatu yang amat langka terjadi. Meski alasan mantan danjen tersebut menerima posisi mentri Pertahanan patut diacungi jempol. Yaitu demi untuk menjaga negara dari serangan musuh dari luar yang selama masa kampanye memang menjadi perhatian utamanya. Membuktikan kecintaannya terhadap negara jauh lebih penting dari sekedar harga diri dan gengsi pribadinya. Semoga saja Prabowo bisa tegar dan kuat memperjuangkan keinginan mulia tersebut.
Namun apa lacur belum juga sepekan susunan kabinet diumumkan beberapa mentri sudah bereaksi menyudutkan umat Islam, yaitu dengan melempar isu radikalisme.
Mahfud MD sebagai Menkopolhukam memang menyatakan bahwa radikalisme yang diperangi pemerintah bukan umat Islam, melainkan mereka yang ingin mengganti dasar dan ideologi negara dengan cara melawan aturan-aturan. Namun pada acara ILC TV-One ia menyebut anak SD sebagai virus jahat yang harus diperangi. Ini hanya lantaran ia mendapat kabar tentang seorang anak perempuan usia 11 tahun yang tidak mau keluar kelas dengan alasan ajaran agamanya melarang bertemu lelaki yang bukan muhrimnya.
https://www.portal-islam.id/2019/10/mahfud-md-anak-kelas-5-sd-sudah.html
Apa yang salah dengan hal tsb, mengapa Mahfud seorang Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogya ini begitu geram ? Usia 11 tahun bukan usia yang terlalu belia untuk bisa membedakan mana muhrim mana bukan. Bukankah anak seusia tersebut biasanya sudah haid? Agama yang dimaksud anak tersebut sudah pasti agama Islam. Islam memerintahkan perempuan yang sudah baligh agar menutup auratnya di hadapan laki-laki yang bukan muhrim demi menjaga kehormatannya, dan melarang agar tidak bercampur baur.
Sementara mentri Agama Fachrul Razi di hari-hari pertama tugasnya justru sibuk mengurusi soal cadar dan celana cingkrang yang menurutnya, lagi-lagi sebagai lambang radikalisme. Mantan wakil panglima TNI ini bersikukuh melarang pemakaian keduanya bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) meski dihujani kritik oleh mayoritas anggota Komisi VIII DPR yang membidangi agama dalam rapat perdana di gedung parlemen.
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50334697
Dalam khotbah perdananya pada shalat Jumat di masjid Istiqal ia mengutip ayat 13 surat Al-Hujurat sebagai berikut :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Ayat yang sangat indah. Tapi sayangnya mentri agama tersebut mengutip ayat di atas bukan untuk menunjukkan bahwa yang paling mulia adalah yang paling takwa, yaitu umat Islam yang menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Melainkan untuk menekankan toleransi sebagai dalil yang harus diterapkan kepada non Muslim. Tidak salah sebenarnya karena Islam memang mengajarkan hal tersebut. Masalahnya toleransi seperti apa yang dimaksudkannya??
Untuk diingat, beberapa waktu lalu mentri tersebut mengemukakan keinginannya untuk bertemu ustad Abdul Somad (UAS) yang belakangan ini ini tampak “di incar”. UAS adalah seorang ustad kondang yang dikenal secara terang-terangan mendukung Prabowo pada pilpres yang baru lalu.
Video ceramah jawaban ustad lulusan Maroko atas pertanyaan jamaah mengenai patung dan salib contohnya, yang tiba-tiba viral padahal sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, lagi pula terjadi di dalam masjid usai ceramah. Terakhir jawaban UAS terhadap pertanyaan jamaah tentang haramnya catur dan dadu yang ditanggapi sang mentri “ tidak usah didengarkan”.
Ada apakah gerangan ?? Bukankah tugas seorang ustad/ulama berdakwah kepada umat dan menjawab pertanyaan jamaah secara jujur bedasarkan dalil, tanpa menterlibatkan kepentingan siapapun, baik pribadi apalagi sudut pandang pejabat tertentu. Soal didengarkan atau tidak bukan urusan sang ustad apalagi pak mentri agama.
Sebagai catatan, Fachrul Razi diangkat sebagai mentri agama oleh Jokowi karena latar belakang militernya yang dianggap mampu menumpas radikalisme di Indonesia. Isu radikalisme ini memang demikian hebohnya sampai-sampai menjelang pelantikan mentri baliho dengan tema tumpas radikalisme bertebaran di sepanjang jalan utama Jakarta.
Pada acara pelantikan para mentri, Jokowi bahkan sempat melempar wacana mengubah istilah radikalisme dengan manipulator agama.
“Atau mungkin enggak tahu, apakah ada istilah lain yang bisa kita gunakan, misalnya manipulator agama. Saya serahkan kepada pak Menko Polhukam untuk mengkoordinasikan masalah ini,” jelasnya.
Sebelumnya Jokowi memang menyatakan bahwa salah satu fokus pemerintahannya lima tahun kedepan adalah pemberantasan radikalisme dan intoleransi, dan ingin agar secara konkret.
https://www.merdeka.com/peristiwa/jokowi-usul-ganti-istilah-radikalisme-jadi-manipulator-agama.html
Beberapa waktu lalu, ketua KPK memanggil seorang bawahannya yang mengundang UAS berceramah di instansinya. Padahal bila kita perhatikan tidak satupun isi ceramah UAS yang berpotensi mengundang radikalisme. Kecuali bila pernyataan penceramah kondang tersebut mengenai kehidupan dunia yang hanya senilai setengah sayap nyamuk dianggap menyinggung pihak tertentu hingga harus dimasukkan sebagai radikal ! Atau kata “kafir” yang belakangan menjadi isu sensitif ..
“Seandainya dunia ini di sisi Allah senilai harganya dengan sayap nyamuk niscaya Allah tidak akan memberi minum barang seteguk sekalipun kepada orang kafir” (HR. Tirmidzi).
Maka tak heran bila ketika sang menag berwacana mengeluarkan daftar sertifikasi ulama bahkan majlis taklim yang didominasi emak-emak itu harus mendaftar maka reaksi umatpun beragam. Diantaranya adalah Din Samsudin, tokoh Muhammadiyah yang saat ini menjabat sebagai ketua MUI. Ironisnya, tokoh yang juga dikenal sebagai tokoh lintas agama ini justru di isukan masuk ke dalam daftar terorisme dunia.
Sertifikasi dengan alasan agar ulama lebih mengedepankan persatuan bangsa apapun agamanya, sementara majlis taklim agar pemerintah dapat mudah menyalurkan bantuan, sungguh adalah alasan yang terkesan sangat dicari-cari.
Din juga mempertanyakan urgensi wacana sertifikasi nikah yang akan dikeluarkan kemenag. Bukankah menikah adalah sunnah yang sebaiknya disegerakan bila seseorang memang sudah siap. Apalagi di zaman sekarang dimana budaya Barat sudah begitu merasuki cara berpikir dan bergaul muda mudi bangsa ini. Pernikahan seharusnya dipermudah bukan malah dipersulit.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. ( Terjemah QS. Al-Isra(17):32).
‘Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).’”[HR. Al-Bukhari].
Terakhir adalah viralnya tentang seorang direktur BTN yang dituduh terpapar radikalisme hanya karena sang bersangkutan pada tahun 2017 lalu memposting “Gerakan 7 juta status. Kami percaya Ulama dan mendukung perjuangannya. Jangan dishare tapi di copy, agar tembus 7 jt. VIRALKAN !!! #Gerakan7jutastatus” di status medsosnya. Lengkap dengan foto Habib Rizieq yang bertuliskan, “Kami Percaya Ulama, Habib Rizieq dan Mendukung Perjuangannya.”
Semakin jelas apa sebenarnya yang dimaksud radikal/radikalisme dalam pandangan pemerintah. Na’uzubillah min dzalik …
Yaa Allah lindungi kami dan anak cucu kami dari fitnah Dajjal yang makin nekad menunjukkan keberaniannya melawan kekuasaan-Mu. Yaa Allah Jangan biarkan musuh kaum beriman itu mengadu domba kaum Muslimin dengan doktrin Islam Nusantaranya yang menyesatkan itu. Bukankah Islam itu hanya satu yaitu Islam yang rahmatan lil aa’lamiin, yang dibawa rasulullah Muhammad saw untuk disebarkan kepada seluruh umat manusia dimanapun berada. Islam yang merupakan ajaran warisan para nabi, untuk tidak menyekutukan Allah swt dengan siapapun dan apapun.
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya`qub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. ( Terjemah QS. Al-Baqarah(2):132).
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 1 Desember 2019.
Vien AM.
Leave a Reply