Feeds:
Posts
Comments

Archive for May 30th, 2009

Steve A Johnson kecil memiliki hobbi duduk-duduk dibawah pohon besar di belakang ladang orang tuanya di Amerika Serikat sambil menatap mega. Tanpa disadarinya pemandangan indah yang selalu membuat dirinya takjub ini meninggalkan bekas yang mendalam di dalam hatinya. Ia tahu bahwa Tuhanlah  yang menciptakannya karena orang tuanya memang mengajarkannya demikian. Ketakjuban ini membuat dirinya berjanji kepada diri sendiri bahwa ia akan selalu memuja-Nya. Tampaknya janji inilah yang selanjutnya membuat dirinya senantiasa dalam pengembaraan rohani selama 20 tahun terakhir.

Steve memang tidak seperti teman-teman kecilnya yang lebih suka bermain dan bersenda gurau dari pada berpikir dan belajar. Bahkan ketika suatu ketika ia mengalami kecelakaan dan harus diopname di sebuah rumah sakit, patung  Yesus Kristus disalib yang terpampang di dinding membuatnya merasa betapa besar pengorbanan-Nya demi membela penderitaan manusia. Padahal ketika itu ia sendiri  sedang luka parah.

Hari-hari selanjutnya, Steve makin terobsesi ingin menjadi pendakwah agar seluruh manusia mau memuja-Nya. Iapun memutuskan menjadi pendeta walaupun ia merasa bahwa untuk tidak menikah adalah hal yang berat. Namun apa arti semua ini dibanding penderitaan-Nya, begitu pikirnya. Rasa kemanusiaan Steve makin lama makin tinggi hingga akhirnya ia memohon kepada pihak geraja agar mengizinkannya mengambil kuliah kedokteran.

Sejak itu Stevepun bergelut dengan berbagai ilmu kedokteran seperti anatomi, biologi, kimia, mikrobiologi dan sebagainya. Akibatnya ia kehilangan waktu untuk mempelajari filsafat maupun teologi. Meskipun begitu setiap hari ia memaksakan dirinya untuk bisa berdoa walaupun hanya sekedarnya. Namun makin hari ia makin merasa tertekan dan mulai merasa bahwa keimanannya berkurang. Sementara ia juga mulai menyadari bahwa ia tidak menyukai ilmu kedokteran. Maka Stevepun mulai terbiasa minum minuman beralkohol dan menenggak obat-obatan. Ia merasa agamanya tidak sanggup membantunya menenangkan hatinya.

Akhirnya Steve menyerah. Ia berkata jujur kepada gereja bahwa ilmu kedokteran tidak cocok baginya. Yang ia inginkan ialah belajar filsafat dan teologi. Dua tahun berikutnya kemudian dihabiskannya untuk berdakwah mengajarkan doktrin Kristen bahwa semua manusia adalah Tuhan dan bahwa semua manusia menanggung dosa begitu mereka dilahirkan. Ia terus berjuang agar dirinya menjadi seorang yang pasrah sementara minuman dan obat-obatan tetap menemaninya dengan setia.

Tahun berikutnya gereja mengirimnya ke Roma untuk belajar teologi sesuai keinginannya. Ia beberapa kali berpindah universitas karena merasa tidak cocok.  Roma. Lovain hingga Toronto dijajalnya. Namun ia tidak kunjung terpuaskan padahal berbagai penghargaan dan beasiswa diterimanya. Ironisnya, hatinya justru semakin terasa hampa. Konflik batin menyerangnya.  Ia  sungguh merasa sulit mengimani  apa yang seharusnya diyakininya. Padahal ia adalah seorang pendeta yang telah sangat mendalami ilmunya. Namun demikian ia berusaha keras untuk terus tekun berdoa agar keimanannya tidak goyah.

Suatu hari secara tidak sengaja Steve berkenalan dengan seorang anak muda asal Abu Dhabi bernama Ismail Hassan Said. Ia seorang Muslim. Karena sering berjumpa, akhirnya mereka bersahabat bahkan tinggal  sepemondokan. Steve memperhatikan bahwa setiap datang waktu shalat Ismail selalu segera shalat. Ismail tidak pernah membicarakan agamanya kecuali bila Steve menanyakannya. Hal ini rupanya malah membuat  Steve penasaran.

Iapun segera mencari tahu tentang ajaran Islam dengan mengikuti kajian-kajian yang diadakan masjid di kota dimana ia tinggal. Namun puncaknya adalah ketika Ismail memberinya buku terjemahan hadis Qudsi. Dalam pengakuannya ia bercerita bahwa ia seolah-olah dibenturkan oleh bongkahan besar es hingga membuat sekujur tubuhnya menggigil sampai ke kedalaman sukmanya akibat keindahan dan kekuatan sesuatu yang dicari dan dirindukannya selama hayatnya.

Sejak detik itu aku tidak kuasa makan dan tidur. Kata-kata dalam hadis itu terus berdengung dan berdentam dalam  rongga kepalaku”, akunya.

Tanpa dapat dibendung lebih lama lagi, Steve akhirnya segera menuju masjid  dan mengikrarkan keislamannya. ” Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah”. Perlahan kepalanya berhenti berdengung, kebekuan jiwanya meleleh dan sukmanya terasa damai. Steve merasakan kebahagiaan yang sulit diuraikan dengan kata-kata, kebahagiaan yang tidak dapat dibandingkan dengan apapun yang dunia dapat berikan. Selanjutnya Steve benar-benar merasakan keindahan shalat dan persaudaraan Islam hingga suatu ketika ia kembali merasakan benturan hebat.

Steve difitnah bahwa ia adalah seorang mata-mata gereja yang menyusup kedalam masjid. Akibatnya iapun dijauhi dan dimusuhi saudara-saudara seimannya yang baru. Sebaliknya beberapa teman dan saudara barunya tersebut malah memanfaatkan namanya untuk mencari sensasi murahan demi sejumlah uang. Kesedihannya makin diperparah lagi dengan adanya vonis dokter bahwa ia menderita kanker ganas yang belum ada obatnya. Dokter menganjurkannya untuk banyak beristirahat dan tidak berpikir yang terlalu berat. Steve benar-benar terpukul atas kejadian beruntun  yang menimpanya  tersebut. ” Sanggupkah aku menjalani sisa hidup ini dengan menjadi seorang Muslim ?”, tanyanya sedih.

Dalam keadaan seperti itulah tiba-tiba ingatan Steve kembali kepada kejadian beberapa tahun yang lalu. Ketika itu ia sedang berada di sebuah biara yang terletak di pegunungan Pensylvania. Teman-temannya sesama pendeta telah lelap tertidur. Dengan mengenakkan jubah hitamnya, Steve memasuki gereja dan dengan khusuk ia berkata lirih : ” Tuhan, aku tak tahu kemana harus berpaling. Aku mengasihi-Mu. Aku ingin mengabdikan hidupku untuk-Mu tetapi bagaimana? Bagaimana? Anugerahilah aku kedamaian-Mu, tunjukkanlah aku ke jalan-Mu”.

Steve tersentak. Rupanya inilah jawaban permintaannya 7 tahun lalu. ” Terima-kasih, Ya Allah ya Tuhanku. Telah Kau tunjukkan jalan itu. Terima kasih atas kesabaran dan kasih-sayang-Mu dalam membimbingku menuju kebenaran yang hakiki ini”, bisiknya terisak. Dipeluknya Qurannya  erat-erat. Islam adalah anugerah dari-Nya yang takkan pernah dilepasnya untuk selamanya. Ingatannya melayang kepada masa kanak-kanaknya dimana ia dulu sering menatap mega dengan penuh kekaguman. Rupanya fitrah itu telah ada  jauh dalam hati sanubarinya sejak puluhan tahun yang lalu namun fitrah tersebut harus dicarinya dengan penuh perjuangan.

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda : “Tiada anak manusia yang dilahirkan kecuali dengan kecenderungan alamiahnya (fitrah). Maka orang-tuanyalah yang membuat anak manusia itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi”.

Jakarta, 27/5/2009.

Vien AM.

Sumber : ” Santri-santri Bule ” oleh Prof. DR.Deddy Mulyana, MA.

Read Full Post »

Sejak kecil Jylly dan keluarga terbiasa memuja sesuatu atau seseorang. Ini adalah kebutuhan yang dirasakan seluruh keluarga. Itu sebabnya mereka terbiasa pergi ke gereja dan sekolah minggu. Disamping itu seperti ayahnya, Jylly juga amat mencintai berbagai bentuk kesenian. Oleh sebab itu Jylly kecil telah mengenal puisi-puisi karya nama-nama besar diantaranya Umar Khayam, seorang sufi terkenal. Setelah agak besar, Jylly mulai belajar balet. Maka dunia baletpun berpindah menguasai pikirannya. Menjelang remaja, sebagaimana jutaan  remaja pada masa itu, Jylly tergila-gila pada kelompok musik The Beatles.

Seiring dengan bertambahnya usia, kegandrungannya pada sesuatu   berubah sedikit demi sedikit. Ia mulai menyukai yoga, musik klasik serta berbagai kebudayaan, diantaranya adalah peradaban kuno Mesir dan Arab. Dari sini ia mulai mengenal dunia Islam walaupun masih sebatas budaya dan seninya. Masih panjang perjalanan yang harus dilaluinya untuk betul-betul mengenal ajaran Islam yang sebenarnya. Bertahun-tahun lamanya, bahkan setelah ia menikah, ia hanya merasa jatuh cinta kepada  Islam sebagai seni dan budaya yang sangat tinggi nilainya.

Dengan tetap mengenakan rosarionya, Jylly terbiasa menghabiskan berjam-jam    waktunya untuk mempelajari ajaran Islam. Ia sangat terobsesi dengan cara hidup para sufi yang mengorbankan hidup demi kecintaan dan penghambaannya pada Tuhannya. Iapun mulai terbiasa melafalkan ayat-ayat suci Al-Quran sekaligus menghafalkannya! Tanpa mengetahui maknanya, sambil berjalan-jalan sendirian di antara semak belukar di sekitar kediamannya, Jylly sering belajar mengucapkan kalimat ” La ilaha ilallah, Muhammadarasulullah ”. Ia tidak menyadari bahwa dengan mengucapkan  kalimat tersebut sesungguhnya dirinya  telah menjadi muslimah. Dengan tuntunan sebuah buku yang didapatnya ketika ia dan suami bepergian ke sebuah negri Islam, ia bahkan mulai mempelajari gerakan  shalat.

Perjalanan spiritual Jylly mencapai puncaknya  ketika ia berusia 35 tahun. Ia bersyahadat secara resmi di sebuah masjid di Sydney. Sebagai seorang Muslimah yang memiliki pengetahuan yang luas ia menyadari bahwa perkawinannya yang telah mencapai usia 14 tahun bakal kandas. Karena dengan keislamannya ini maka suaminya yang non muslim kini menjadi haram baginya. Namun beruntunglah ia, sebab cahaya Islam rupanya telah pula meneranginya. Sang suami yang seorang pematung itupun berbaiat menuju Islam.

Kini Jylly dan suaminya  menjalani hidup secara amat bersahaja. Mereka menanggalkan berbagai  koleksi antik mereka, seperti patung, lukisan serta foto-foto. Bahkan musik klasik yang selama bertahun-tahun menemani hidup Jyllypun ia tinggalkan. Ia merasa kesenangannya itu cenderung mengganggu keasyikannya untuk mengingat Allah. Ia berprinsip kepada  hadis yang dihafalnya di luar kepala  :    ”Aku berlindung kepada Allah dari pengetahuan yang tidak beguna ”. Hidup mereka kini dipenuhi dengan zikir. Semua kegiatan hidup adalah ibadah dalam rangka mengingat Allah. Alam semesta adalah masjid yang agung.

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. ( QS. Adz-Dzariyat ( 51):56).

Jakarta, Juni 2008.

Vien AM.

Sumber : ” Santri-santri Bule ” oleh Prof. DR.Deddy Mulyana, MA.

Read Full Post »

Sara adalah seorang perempuan Skotlandia. Ibunya adalah seorang anggota gereja yang secara rutin mengajak seluruh anggota keluarganya menghadiri gereja dan sekolah minggu pada setiap hari Minggu. Namun setelah remaja Sara tidak lagi melakukan rutinitas tersebut. Ia lebih memilih hidup berhura-hura bersama sebagian besar temannya. Ia sangat menikmati lirikan-lirikan kaum lelaki yang mengaguminya. Namun demikian makin hari ia makin merasa bahwa ada sesuatu yang hilang pada dirinya.

Suatu hari ia menemukan sebuah brosur yang memuat ayat Al-Qur’an dengan terjemahan bahasa Inggris. Ayat tersebut menerangkan bahwa hanya orang shaleh saja yang berhak mendapatkan surga. Tiba-tiba ia merasa bahwa ini adalah sebuah panggilan yang harus dipenuhi. Beberapa hari kemudian ia langsung memutuskan untuk pergi ke masjid dan berikrar ” Ashhadu ala ilaha ilallah wa ashhadu anna Muhammada Rasulullah ”. Tak lama setelah itu iapun memutuskan untuk mengenakan hijab. Ia tahu bahwa orang-orang disekitarnya memandangnya dengan aneh namun sebaliknya ia justru merasa mendapatkan kebebasannya. Dengan berhijab ia merasakan adanya suatu perlindungan khusus dan keyakinan bahwa dirinya tidak diperuntukkan bagi semua lelaki.

Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang“. ( QS. Al-Ahzab (33):59).

Dua tahun kemudian ia meminta agar dicarikan suami sebagaimana yang diajarkan syariah Islam, yaitu tanpa proses berpacaran, suatu hal yang sama sekali tidak lazim dilakukan orang Barat. Setelah melalui beberapa kali perkenalan dengan beberapa pemuda  akhirnya ia mendapatkan kecocokan dengan seorang ekonom Mesir yang sholeh. Setelah menjalani pernikahan, atas dorongan suaminya Sara terus melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi.

Kini mereka telah dikaruniai seorang remaja putri yang mereka didik secara Islami. Sara sangat menikmati hari-harinya sebagai ibu rumah tangga yang selalu mendahulukan kepentingan keluarga. Namun ia tidak menampik bila suatu hari nanti ia ingin bekerja asalkan suaminya mengizinkannya. Walaupun begitu, bekerja yang dimaksud Sara bukan bekerja untuk menyaingi suami dalam hal mencari nafkah namun bekerja sebagai bagian dari amal ibadah untuk membantu meringankan kesulitan orang lain.

”  Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. ( QS. At-Taubah (9):71).

Jakarta, Juni 2008.

Vien AM.

Sumber: ” Santri-santri Bule ” oleh Prof. DR.Deddy Mulyana, MA.

Read Full Post »