Menjelang masa kampanye pilpres dan capres yang akan dimulai awal Juni ini, isu ekonomi kerakyatan tiba-tiba menjadi hal yang krusial. Masing-masing pasangan sibuk meyakinkan rakyat bahwa mereka adalah pengusung panji ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil dan ditanggung bakal berhasil mengeluarkan rakyat dari keterpurukan mereka. Tentu saja ini iming-iming yang amat mengena di hati rakyat negri yang memang mayoritasnya hidup dibawah garis kemiskinan.
Meski demikian sebenarnya belum ada satupun pihak pasangan yang secara ideal mampu mendifinisikan apa yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan ini. Mereka baru bisa memberikan janji bahwa mereka akan memberikan perhatian dan pembelaan terhadap kepentingan ekonomi rakyat banyak terutama rakyat kelas menengah kebawah. Contohnya yaitu pemberian akses permodalan kepada UKM serta subsidi untuk petani dan nelayan miskin.
Contoh diatas kelihatannya memang menarik. Namun bagaimana dengan kenyataannya? Adakah bukti atau contoh bahwa jalan tersebut mampu membuat rakyat keluar dari kemiskinan? Karena harus diakui bukti inilah yang ditunggu masyarakat.
Grameen Bank adalah sebuah bank di Bangladesh yang bisnis utamanya memberikan kredit mikro kepada masyarakat sehingga membuka kesempatan pada kelompok miskin untk mengakses sumber permodalan. Namun ternyata terobosan yang sangat menjanjikan ini tidak dapat berjalan mulus. Mengapa? Tetapi mengapa pula Bangladesh yang dijadikan contoh bukannya negara-negara Barat misalnya?
Jawabannya karena Bangladesh lebih mendekati kondisi negri kita sementara negara-negara Barat telah maju dan mapan. Meski kita juga tahu bahwa hingga kinipun bahkan negri semaju Amerika Serikat belum sepenuhnya mampu keluar dari krisis ekonomi yang melanda mereka akibat kredit perumahan yang macet beberapa waktu yang lalu.
Menurut Akhyar Adnan ( 2007) dan MA Mannan ( 2007) penyebabnya adalah adanya bunga bank. Faktor ini yang menyebabkan nasabah bukan saja tidak dapat menikmati hasil pinjaman namun malah terpaksa menjual asetnya demi melunasi hutang yang sebetulnya awalnya tidak seberapa besar. Fakta ini menunjukkan bahwa semangat pro rakyat miskin saja tidaklah cukup bila tidak diimbangi dengan penggunaan instrumen yang tepat dan effektif.
Indonesia adalah negri yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ajaran Islam telah jelas-jelas melarang umatnya mengambil kelebihan pinjaman atau bunga bank. Al-Quran menyebut dengan riba.
” Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. ( QS. Al-Baqarah(2): 275)
Banyak hikmah yang dapat diambil dengan dilarangnya riba selain dengan terbukti gagalnya mengangkat kemakmuran rakyat miskin seperti contoh diatas. Riba menyebabkan uang dan kekayaan hanya berputar di kalangan tertentu saja. Berdasarkan penelitian, dilaporkan bahwa total belanja masyarakat untuk kosmetika, es krim dan makanan hewan peliharaan seperti kucing dan anjing di Eropa dan AS masih jauh lebih besar dari pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan dan sanitasi air di negara berkembang, seperti Indonesia ini!
Ayat diatas juga menjelaskan bahwa riba menyebabkan orang yang memakannya seperti orang yang kemasukan syaitan dan berprilaku seperti orang gila. Tanda-tanda orang gila adalah lemah, tidak berdaya dan tidak stabil. Ini yang akan terjadi pada negri yang ekonominya jauh dari nilai-nilai-Nya. Diantaranya tergantung pada bantuan negri lain hingga akibatnya mudah didikte dan dijajah minimal secara pemikiran.
Karenanya tidak ada lagi alasan mengapa Indonesia harus tidak menerapkan Ekonomi Syariah. Sistim ini sama sekali tidak membuat susah non muslim. Bahkan Allah swt menjanjikan kemaslahatan dan manfaat bagi semua rakyat baik muslim maupun non muslim bila sistim ini diterapkan dengan baik.
Menjadi tantangan besar, adakah pasangan capres dan cawapres yang berani menjadikan Ekonomi Ssyariah sebagai dasar kebijakan ekonomi negara?
Wallahu a’lam bi shawab.
Jakarta, 4 Juni 2009.
Vien AM.
Disarikan dari Republika, 31 Mei 2009 kolom Refleksi ” Membela Ekonomi Rakyat ” oleh Prof Dr KH Didin Hafidhuddin
Rasional Larangan Riba di http://muslimvillage.wordpress.com/2009/07/05/usury/
Trima-kasih infonya ..