Mei 2008. Setelah Masjidil Aqsho, kunjungan ke Kairo adalah merupakan tujuan terakhir dari paket umrah kami kali ini. Pesawat Air Jordan yang kami tumpangi terbang lumayan rendah diatas gurun Sinai di perbatasan Yordania-Mesir. Lautan pasir gersang tersebut terlihat angker dengan bukit-bukit batu cadas disana sini. Bayangan nabi Musa as dan saudaranya nabi Harun as secara spontan terlintas di benak saya. Tak dapat dibayangkan betapa beratnya perjuangan kedua nabi Allah itu ketika harus memimpin bani Israil lari dari kejaran tentara Firaun. Entah berapa lama perjalanan yang mereka butuhkan hingga sampai ke gurun Sinai. Di tempat ini pulalah Musa as dan kaumnya terpaksa harus menetap selama 40 tahun disebabkan sifat pengecut dan tidak setianya bani Israil. Mereka enggan memenuhi perintah rasul-nya untuk memasuki tanah Palestina yang ketika itu dijanjikan Tuhannya.
“ Mereka berkata: “Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. Jika mereka ke luar daripadanya, pasti kami akan memasukinya.” (QS.Al-Maidah (5):22).
“Allah berfirman: “(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. …“(QS.Al-Maidah (5):26).
Tak berapa lama kemudian dari kejauhan tampak pula laut Merah yang memisahkan benua Asia dari benua Afrika. Saya berusaha keras membayangkan bahwa laut tersebut berwarna merah sesuai dengan namanya namun tidak berhasil. Dari pesawat udara laut tersebut memang tidak sebiru seperti umumnya laut tetapi juga tidak merah.
Pikirannya saya kembali menerawang , kira-kira bagian mana laut tersebut yang berabad-abad tahun yang lalu pernah terbelah dan menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya.
“ Dan (ingatlah), ketika Kami belah laut untukmu, lalu Kami selamatkan kamu dan Kami tenggelamkan (Fir`aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan”.(QS.Al-Baqarah(2):50).
Ingatan saya kembali ke Palestina, tepatnya ke makam nabi Musa as yang terletak sekitar 11 km dari kota Jericho. Kalau dipikir sungguh keterlaluan kaum Yahudi ini. Mereka sama sekali tidak tahu berterima-kasih. Musa as yang telah demikian bersusah payah berjuang membawa keluar bani Israil dari kekejaman Firaun, penguasa Mesir ketika itu , ternyata makamnya amat sangat sederhana. Padahal kaum yang dulunya hanya diperlakukan sebagai budak belian itu sekarang telah menjadi kaum yang berpendidikan tinggi dan terkaya di dunia.
Tak lama kemudian pesawatpun mendarat di bandara Kairo. Suhu udara di ibu kota Mesir tersebut sangat panas dan berdebu. Mula-mula perjalanan dari bandara menuju pusat kota melalui jalan utama Kairo cukup mengesankan. Jalan raya dengan jalur hijau yang ditanami pohon palem terlihat relatif teduh dan bersih. Bangunan-bangunan disepanjang jalan juga tertata rapi bahkan ada sedikit kesan ‘eropa’di sana sini. Apalagi menjelang jembatan utama yang menyeberangi sungai Nil, kota Kairo terlihat indah, tak kalah dengan kota-kota besar dunia lain, khas kota metropolis.
Namun makin lama makin terlihat wajah asli kota Kairo seperti yang dilukiskan Habibul Rahman dalam novel “ Ayat-ayat Cinta”nya. Kairo terlihat ‘crowded’ dan kumuh. Berbagai jenis angkutan umum bercampur baur lengkap dengan klaksonnya yang memekakkan telinga. Para pejalan kaki menyebrang sembarangan. Saya teringat apa yang dikatakan guide kami tentang trik menyebrang jalan di kota ini. Satu, tutup telinga, tutup mata. Dua mantapkan hati untuk menyebrang dan terakhir baca doa! Alhasil, saya dan suamipun sampailah di mal yang terletak diseberang hotel walaupun dengan hati ketar-ketir karena memang kami nyaris tertabrak!
Dilihat dari sejarah dan bentuk bangunannya, Kairo terbagi menjadi 2, yaitu Kairo modern dan Kairo kuno. Pemerintah tampaknya tidak mungkin merenovasi wajah Kairo kuno karena selain sarat sejarah juga padatnya penduduk. Namun di sisi lain ia tetap ingin menggunakan kota tersebut sebagai ibu kota. Oleh karenanya dapat kita saksikan sekarang adanya berkilo-kilo meter bangunan tua dan kumuh sepanjang jalan yang sudah tidak digunakan dan akhirnya dimanfaatkan penduduk sebagai kuburan dan ditinggali penduduk miskin sebagai penjaganya.
Hal pertama yang bagi sebagian besar wisatawan sebuah surprise adalah kenyataan bahwa pyramid raksasa ‘The Great Pyramid of Giza’ ternyata hanya terletak beberapa km dari pusat kota. Bahkan ketika kami sedang menyantap makan siang di hari pertama kunjungan kami, ujung pyramid terlihat dari meja makan kami. Namun demikian keadaannya langsung berubah begitu mendekati lokasi. Piramid berdiri kokoh menjulang di gurun tinggi berpasir dan berdebu tebal dengan ‘Sphink’nya, patung singa berkepala manusia, yang dengan gagah perkasa seolah sedang menjaga agar lokasi tetap eksis tanpa harus bercampur dengan riuh rendahnya suasana kota.
Malam harinya pemandangan tampak lebih mengesankan lagi. Dengan bantuan beberapa lampu sorot yang diarahkan ke pyramid dan sang body guard ‘ sphink’ , para wisatawan dapat duduk-duduk di kursi yang ditata rapi menghadap pyramid sambil menghayal dan membayangkan kehidupan beribu-ribu tahun yang lampau.
Piramid Giza yang merupakan 1 dari 97 piramid yang ada di seluruh Mesir ini merupakan piramid terbesar dengan tinggi 146 m. Piramid ini terdiri dari 3 bangunan pyramid. Yang terbesar dibangun oleh Raja Cheops (Khufu) pada 2500 an SM dalam waktu 20 tahun. Sedangkan pyramid kedua dibangun oleh putanya, raja Chepren ( Khafra’). Piramid selain menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi raja konon juga dimaksudkan sebagai tangga menuju hidup abadi di singgasananya yang tertinggi yaitu di langit. Karena para fir’aun menganggap dirinya Tuhan.
“ Dan berkata Fir`aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta”.(QS.Al-Qashash(28):38).
Esok harinya kami pergi mengunjungi museum of Cairo. Berbagai peninggalan sejarah Mesir kuno terlihat di museum ini. Peradaban negri yang telah tumbuh subur sejak 7000 tahun silam ini memang menarik. Namun yang paling menarik adalah sejarah dan cerita tentang Fir’aun. Menurut sejarah, Mesir kuno pernah diperintah oleh 330 Fir’aun yang terbagi menjadi 31 dinasti. Setelah itu Mesir sempat takluk dibawah Iskandar Agung, Romawi dan kemudian Yunani sebelum akhirnya ditaklukkan Islam dibawah kepemimpinan panglima ‘Amru bin ‘Ash pada tahun 641 M pada masa kekhalifahan Umar Bin Khattab ra.
Adalah Tutankhamon, firaun yang diperkirakan meninggal dalam usia amat muda, yaitu 18 tahun. Makamnya ditemukan di ‘Lembah Para Raja’ atau ‘Valley Of The King’ pada tahun 1922 lalu setelah diperkirakan terkubur selama lebih 3220 tahun! Tidak hanya itu, para arkeolog bahkan berhasil menemukan harta karun yang disimpan di sejumlah peti bersama jasadnya yang telah dimumikan. Harta yang berupa berbagai pajangan dan patung besar dan kecil yang terbuat dari emas dan marmer, perhiasan emas dan permata bahkan sejumlah kursi yang ditatah emas dan permata yang sungguh nilainya tak terkira itu sekarang memenuhi seluruh lantai 2 Museum Kairo.
Ironisnya, di lantai berikutnya dipajang pula keranjang kecil sederhana yang konon menyimpan jasad rakyat miskin yang tidak mempunyai apa-apa untuk menemaninya di alam berikutnya. Selanjutnya ada pula peti dengan gambar berbagai macam makanan, buah-buahan dan sayur mayur sebagai teman si mati yang hanya mampu membuat gambar apa yang dibutuhkannya di alam berikut.
Esoknya, karena pihak travel tidak mengadakan jadwal khusus kunjungan, saya,suami dan salah seorang diantara rombongan setanah air memutuskan mengunjungi piramid tertua di Mesir. Piramid yang berada di padang pasir Sakkara, 25 Km Kairo ini dibangun oleh Raja Zoser. Di lokasi pyramid ini masih terlihat adanya peninggalan bangunan kuno dengan pilar-pilar besar dengan berbagai lukisan yang menghiasi dinding marmernya yang berwarna merah muda kecoklatan.
Perjalanan dengan kendaraan pribadi milik seorang mahasiswa Al-Azhar yang hari itu merangkap menjadi guide sekaligus sopir kami ini berlanjut ke Memphis. Disini dapat kita temui patung raksasa Ramses II. Sayangnya, ntah mengapa patung setinggi 13 m ini tidak berhasil dibuat berdiri oleh para pembuatnya sehingga pengunjung hanya bisa melihatnya dalam keadaan terbaring.
Anehnya lagi, dari sekian banyak patung yang kami jumpai, sebagian besar hidungnya dalam keadaan rusak. Menurut beberapa guide, konon, mereka mempunyai anggapan bahwa orang yang telah meninggal pada suatu saat dengan kembalinya roh si mati, ia akan hidup kembali. Dan melalui hidung inilah roh akan masuk ke jasad. Oleh karenanya untuk menghalangi agar mayit tidak hidup lagi, para musuh seringkali merusak hidung patung musuh-musuhnya!
Pada hari terakhir kami mengunjungi peninggalan sejarah Islam. Kairo memiliki lebih dari 150 masjid bersejarah,diantaranya adalah Benteng Salahudin, Masjid Amr Bin Ash, Masjid Ahmad Ibnu Talon, Masjid Muhammad Ali Pasha, Masjid Saiyedah Zenab, dan Masjid Al-Azhar. Masjid Amr Bin Ash tercatat sebagai masjid tertua di Mesir yang didirikan Gubernur Islam pertama di negeri itu, Panglima Amr Bin Ash, pada tahun 21 Hijriyah atau 721 Masehi.
Masjid Muhammad Ali Pasha yang berada didalam kompleks Benteng Salahuddin adalah peninggalan Islam pertama yang kami kunjungi. Masjid dengan arsitektur Turki ini sangat mirip dengan masjid Biru, Blue Mosque di Istambul. Masjid ini terlihat sangat menonjol karena selain memang megah dan besar juga terletak di ketinggian. Nama Ali Pasha sendiri diambil dari nama seorang panglima berdarah Albania yang ditugasi sultan Turki Ottoman untuk memerintah Mesir pada tahun 1800an. Sedangkan benteng Salahuddin adalah benteng yang dibangun oleh Sultan Salahuddin Al-Ayubbi pada abad 10 dari ancaman serangan pasukan Salib ke negri tersebut. Meskipun ternyata pasukan ini pada akhirnya tidak pernah sampai ke daerah pusat kekuasaan sultan yang sangat dikenal keadilannya itu.
Selanjutnya adalah masjid Al-Azhar. Masjid yang hingga kini dikenal sebagai pusat dakwah dan pendidikan Islam ini dibangun pada tahun 970M dan merupakan bagian dari universitas Al-Azhar. Di masjid ini kami sempat melaksanakan shalat Jumat yang diikuti banyak sekali jamaah perempuan.
Sayangnya, dari sekian banyak masjid dan peninggalan Islam hanya sebagian saja yang masih terlihat terawat dengan baik.
Jadwal acara malam terakhir kunjungan kami ke Kairo yang telah disusun pihak travel adalah makan malam di kapal pesiar. Namun kami mendengar bocoran bahwa di atas kapal tersebut biasanya di suguhkan acara tari perut ! Tentu saja kami protes. Bagaimana mungkin mereka tega mengotori wisata umrah ini dengan hal-hal yang tidak pantas.
Setelah melalui pembicaraan yang lumayan alot, orang Mesir memang terkenal dengan sifat keras kepalanya, akhirnya disepakati bahwa ketika penari akan masuk kami akan segera diberi kode. Dengan demikian kami bisa pergi keluar ke dok kapal.
Yang juga cukup mencengangkan adalah soal makanan. Makanan yang disediakan di kapal sungguh luar biasa buanyaknya. Namun ternyata orang Arab, yang merupakan tamu terbanyak di kapal, mengambil makanan yang disajikan secara prasmanan tersebut dalam jumlah yang juga banyak hingga ada saja tamu yang tidak kebagian makanan. Namun apa yang terjadi? Makanan-makanan tersebut disisakan begitu saja di dalam piring hingga terbuang percuma…
” Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya ”.(QS. Al-Isra(17):26-27).
Esok paginya, kamipun pulang ke Jakarta dengan transit beberapa jam di Bangkok dengan membawa kenangan dan hikmah yang banyak, Insya Allah…Terima-kasih Ya Allah …
Jakarta, Agustus 2009.
Vien AM.
Leave a Reply