Sebelum hijrah, ekonomi Madinah didominasi Yahudi.
Jumlah mereka diperkirakan mencapai lima puluh persen dari penduduk. Mereka membangun ekonomi di Madinah dari nol. Semula mereka adalah gelandangan. Karena gigih, akhirnya mereka memonopoli industri besi, menguasai pertanian, serta mengendalikan keuangan dan pasar. Mereka pun makmur. Untuk mempertahankan kontrol mereka, mereka pun memprovokasi dan memecah belah masyarakat Madinah. Lain dengan Makkah. Kota ini dikuasai oleh orang Quraisy. Namun, praktik dagang yang diterapkan orang Yahudi dan orang Quraisy sama-sama ribawi dan berprinsip “dengan modal yang sekecil-kecilnya mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.”
Berbeda halnya praktik dagang Nabi Muhammad SAW sejak di Makkah sebelum menjadi Rasul lebih mengutamakan pelanggan daripada keuntungan. Hal ini beliau lakukan dengan selalu jujur dan mengatakan harga pokok barang dan biaya mengurus dagangannya. Biasanya beliau melakukan negosiasi dengan pembeli tentang laba yang diinginkannya. Dengan kejujurannya itu maka setiap peminat dagangannya merasa diperlakukan sebagai sahabat dan akhirnya menjadi pelanggan.
Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, praktik jual beli yang beliau lakukan berhasil mengikis habis praktik dagang riba. Kejujurannya ini akhirnya mengantarkan beliau dipercaya menjadi pemimpin Madinah. Untuk mempertahankan harmonisasi penduduk Madinah yang terdiri dari berbagai agama, suku, dan keanekaragaman lainnya, beliau pun menggagas penyusunan Piagam Madinah yang berisi komitmen kelompok-kelompok di Madinah dengan memberikan batasan hak dan kewajiban masing-masing.
Estafet perjuangan Rasulullah SAW terus berlanjut. Para ulama pun berusaha agar dakwah yang mereka lakukan berlangsung dengan damai. Ada hal penting: mereka juga memahami asbabunnuzul (sebab-sebab turunnya) surat Yasin khususnya ayat ke-9 yang pernah dibaca Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan saat dikepung oleh musuh hingga beliau dapat lolos, termasuk pada malam menjelang hijrah. Oleh karena itu, para ulama terutama yang berdakwah ke Nusantara berijtihad dengan mengadakan pembacaan surat Yasin berjama’ah tiap malam Jum’at. Berkah pembacaan surat ini berdampak pada islamisasi yang tidak dapat dilihat oleh mata hati nonmuslim hingga Nusantara jadi kawasan berpenduduk mayoritas muslim.
Namun, keadaan tersebut akhirnya berubah. Bila berabad-abad sebelumnya islamisasi tidak dapat dilihat dengan mata hati orang-orang non-muslim, maka sejak abad ke-19 di Timur Tengah dan sejak abad ke-20 di Nusantara, yahudisasi sistem ekonomi di dunia ini tidak dapat dilihat oleh mata hati sebagian besar umat Islam. Menurut Ahmad Thomson dalam Sistem Dajjal, yahudisasi tersebut bermula dari kehadiran bank-bank di Eropa yang didirikan orang-orang Yahudi.
Pada mulanya bank-bank ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan dinar (uang emas) dan dirham (uang perak) agar aman. Jika ada orang yang menitipkan uang emas atau uang peraknya di bank, sang bankir memberinya tanda terima (kertas). Bankir pun berjanji akan membayar kembali uang emas dan uang perak tersebut secara tunai kepada pembawa pada saat tanda terima itu dipertunjukkan kembali kepada bank. Kertas yang berisi tanda terima ini kemudian dapat dijadikan alat tukar meskipun belum ditukarkan dengan uang emas atau uang perak yang ada di bank. Pada perkembangan selanjutnya, bankir pun mencetak uang kertas sebanyak-banyaknya yang jumlahnya jauh lebih banyak dari pada jumlah uang emas dan uang perak yang ada di bank.
Untuk memalingkan umat Islam terhadap dinar emas dan dirham perak sebagai mata uang yang sudah disyahkan oleh Rasulullah SAW sebagai alat tukar, nishab zakat, dan hudud (batasan pemberlakuan denda dan sanksi), kaum Yahudi mengupayakan agar umat Islam tidak merujuk kepada kitab-kitab kuning yang ditulis para ulama sebelum abad ke-19 yang menjelaskan fungsi kedua mata uang tersebut. Di samping itu, para ilmuwan Yahudi juga merumuskan pelajaran ilmu ekonomi dan menyusupkannya ke kalangan pelajar-pelajar baik Muslim maupun yang lain.
Istilah “ekonomi” yang mereka perkenalkan telah direkayasa sehingga menyimpang dari pengertian yang dirumuskan oleh Xenophon, ilmuwan Yunani yang hidup 3 abad SM. Para ilmuwan Yahudi mengubah makna ekonomi yang terbentuk dari kata “oikos”(rumah tangga) dan “nomos” (aturan) yang semestinya dapat dimaknai “aturan rumah tangga” menjadi dimaknai “hemat” oleh masyarakat dunia. Pengertian hemat ini diambil dari prinsip ekonomi yang mereka rumuskan yaitu: “dengan modal yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya”, suatu prinsip dagang yang dulu dipraktikkan kaum Yahudi dan kaum Quraisy di Arab pada zaman “jahiliyah”.
Masyarakat Indonesia pun sejak 1 abad lalu mengartikan ekonomi menjadi hemat. Kata “ekonomi” yang kita lihat di bis yang dimaknai hemat, tidak seperti bis bertuliskan “AC” yang lebih banyak mengeluarkan biaya. Di samping itu juga terdapat iklan yang berbunyi “praktis dan ekonomis” yang berarti produk-produk yang diiklankannya mudah digunakan dan “hemat” biaya.
Kaum Yahudi pun terus mengamalkan ilmu ekonomi agar mereka semakin hemat. Antara lain dengan mendirikan Dana Moneter Inernasional (IMF) dan Bank Dunia, 1944. Melalui dua lembaga ini, mereka mengatur nilai uang kertas di seluruh dunia menjadi berbeda-beda dan menjadikan dollar Amerika Serikat (AS) sebagai standar peredaran uang kertas secara internasional. Misalnya antara dolar AS dengan rupiah yang semakin jauh perbedaan nilainya. Sebagai contoh, pada 1977 nilai 1 dollar AS sama dengan 627 rupiah. Sepuluh tahun kemudian, 1987, menjadi 1.712 rupiah. Sepuluh tahun selanjutnya, terjadi peningkatan sangat drastis dari semula nilai 1 dollar AS sama dengan 2.433 rupiah pada Juli 1997 secara pluktuatif menjadi 9.700 rupiah pada Januari 1998 dan bahkan beberapa bulan berikutnya mencapai 16.000 rupiah.
Kini 1 dollar bernilai sekitar 9 ribu rupiah, 10 dollar bernilai sekitar 90 ribu rupiah, 100 dollar bernilai sekitar 900 ribu rupiah, dan seterusnya. Uang 100 dollar ini bila berjumlah 10 lembar maka bernilai sekitar 9 juta rupiah, 100 lembar bernilai sekitar 90 juta rupiah, dan seterusnya. Padahal, dollar dan rupiah sama-sama terbuat dari kertas. Sejak tahun 2000, mereka juga mengelabui masyarakat dunia dengan menciptakan mata uang euro. Hal ini juga merupakan rekayasa mereka agar euro dianggap sebagai pesaing dollar. Padahal, salah seorang arsitek pemberlakuan euro adalah Alan Greenspan, gubernur Bank Amerika dan keturunan Yahudi Jerman. Dengan demikian, kaum Yahudi semakin “hemat” berlipat ganda sebaliknya kaum non-Yahudi semakin “boros” berlipat ganda pula.
Peristiwa “hemat” dan “boros” ini sebagaimana terjadi pada kekayaan alam di Nusantara yang semakin mudah ditukar dengan kertas-kertas bertuliskan dollar, euro, dan sebagainya. Pertukaran yang zalim ini membuat sekian ton emas, sekian ton padi, hutan, gunung dan sebagainya yang ada di Nusantara menjadi lenyap. Hal ini mengakibatkan gunung-gunung di kawasan yang terdiri dari belasan ribu pulau ini menjadi gundul sehingga bila musim hujan terjadi longsor, bila musim panas terjadi kemarau yang sangat panas, dan berbagai bencana alam pun terus menerjang Nusantara secara bertubi-tubi.
Dengan demikian, para penduduk Nusantara bagaikan “mayat” sehingga tidak dapat berbuat apa-apa ketika kekayaan alam yang dimilikinya ditukar dengan setumpuk kertas yang sudah disihir menjadi uang oleh orang Yahudi. Dan, ketika spekulan Yahudi George Soros ke Indonesia Desember 2006 lalu, ia dengan mudahya datang dan pergi tanpa dapat dihadang oleh siapapun. Bahkan, justru disambut oleh pimpinan ormas Islam yang didirikan dengan misi untuk memberantas takhayul, bid’ah, dan khurofat. Padahal, Soros merupakan aktor utama di balik krisis moneter 1997.
Krisis ini terjadi tepat 1 abad setelah kongres Zionis ke-1 di Bazel Swiss, 1897. Langkah-langkah Soros tersebut berarti kebalikan 180 derajat dengan kejadian yang dialami Rasulullah SAW, para sahabat, dan para ulama ke Nusantara. Bila Rasulullah, para sahabat, dan para ulama mampu melangkah dan keluar dari kepungan orang-orang non-Muslim tanpa bisa dilihat oleh mata hati mereka. Kini kita tak bisa keluar dari krisis karena hati kita tertutup.
Oleh karena itu, sebagian besar kaum Muslimin yang kini bagaikan “mayat” harus menghidupkan baik hati yang ada dalam dirinya maupun sesama Muslim lain hingga mampu keluar dari kepungan takhayul, bid’ah, dan khurofat yang diciptakan orang Yahudi. Langkah untuk keluar dari kepungan musuh pernah dialami Rasulullah SAW di malam hari menjelang hijrah, dengan membaca surat Yasin ayat ke-9: “Dan Kami jadikan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat”.
Berkenaan dengan tindakan orang yang masih hidup terhadap orang yang sudah menjadi mayat, Rasulullah SAW bersabda: “Iqrou Yasin ‘ala mautaakum!”. (Bacalah Yasin kepada orang-orang mati kalian). Sebagaimana dikutip oleh Faruq Nasution dalam buku “Tafsir Surat Yasin dan Asma’ al Husna”, Ibnu Katsir memuat sumber-sumber riwayat yang menyampaikan hadits tersebut dari Ahmad, al-Hakim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dengan pertimbangannya “tidak membantah”.
Imam Jalaluddin As-Suyuthi juga mencantumkan sumber-sumber riwayat hadits ini secara lengkap dalam ensiklopedi haditsnya Al Jami’ ash Shaghir: 312 dan mempertimbangkan sanadnya dengan kode “shahih”. Imam Ahmad menyampaikan pengalaman yang disampaikan suatu kaum (kisah al-Masikhah), bahwa seseorang yang menghadapi kesusahan dalam kematian (sekarat) dapat tertolong dengan membaca surat Yasin. Dengan beberapa sumber riwayat sebelumnya, serta pengalaman yang disampaikan Imam Ahmad tersebut, dikomentari Ibnu Katsir secara bijak (tidak berpihak) dengan kaidah “probabilitas” (al-Mumkinat) yakni dengan memakai pertimbangan kalangan ulama tentang adanya khasiat Surat Yasin, antara lain dapat menurunkan rahmat dan berkah guna memudahkan ruh seseorang keluar dari jasadnya.
Semoga pembacaan surat Yasin di Nusantara tidak hanya bermanfaat kepada orang-orang yang sudah menjadi mayat di alam kubur. Namun, juga kepada orang-orang yang jasadnya masih hidup di dunia ini namun hatinya sedang sekarat bahkan menjadi mayat. Berkah bacaan ini semoga juga menerangi hati yang membacanya, yang tidak membacanya, dan bahkan yang anti dan berusaha memberantas pembacaan surat Yasin tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya, kaum Muslimin pun dapat memberlakukan kembali mata uang dinar emas dan dirham perak hingga mampu melakukan hijrah dari kepungan ajaran dan amalan orang-orang Yahudi. Amin.
Tulisan menarik oleh Nurman Kholis – Peneliti Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI