Randonnée atau hiking bagi kebanyakan masyarakat Perancis adalah olah raga yang digemari hampir semua lapisan umur, terutama pada musim panas. Jadi jangan heran, bila sekali waktu mendapat kesempatan hiking di negri ini, kita bakal sering jumpa dengan orang yang tidak lagi muda. Walaupun mungkin bukan track-track yang sulit.
Saya pikir, orang Perancis ( atau mungkin kebanyakan orang Barat ya ?) suka hiking mungkin karena fasilitasnya tersedia. Selain juga mungkin karena kesadaran mereka agar menjaga kesehatan sudah tinggi. Dan hiking termasuk olah raga yang murah meriah, terutama buat yang tinggal tidak jauh dari pegunungan. Selain itu kebanyakan orang Barat adalah orang yang sangat menghargai dan mengagumi keindahan alam.
Itu yang saya alami selama 1 tahun lebih tinggal di negri ini. 2 kali sudah saya mencoba ikut hiking. Padahal sebelumnya, selama di tanah air, hampir tidak pernah saya melakukannya.
Sungguh saya merasa sangat beruntung karena di usia yang sudah tidak lagi muda ini masih mendapat kesempatan menikmati keindahan ciptaan-Nya melalui kegiatan yang menyehatkan tubuh ini. Alhamdulillah. Sementara hampir setiap week-end kami bisa berjalan-jalan ke pegunungan. Kebetulan kami memang tinggal di Pau, kota kecil di kaki pegunungan Pyrenee, pegunungan ke 2 terkenal di Eropa.
Pegunungan sepanjang 430 km ini adalah pembatas antara Perancis di bagian selatan dengan Spanyol di utara. Rangkaian pegunungan yang di musim dingin menjadi tujuan olah raga ski ini dibagi atas 3 bagian, yaitu Pyrenee Atlantik, Pyrenee Sentral dan Pyrenee Oriental. Pegunungan cantik ini membujur dari lautan Atlantik di sebelah barat hingga laut Mediterania di timur. Tercatat sebanyak 48 puncak gunungnya memiliki ketinggian lebih dari 3000 meter. Sementara lebih dari 30 lainnya berketinggian sekitar 2000 meter.
Ketika kami masih tinggal di Pau inilah, kami pernah berencana randonnee ke Pic du Midi d’Ossau ( 2885 m), salah satu puncak gunung di jajaran pegunungan Pyrenee Atlantik. Namun rencana tersebut tidak kesampaian hingga kami pindah ke Paris. Maka begitu saya mendapat kabar bahwa suami mendapat tugas ke Pau selama 5 hari, segera saya mengontak teman saya yang dulu pernah mengajak kami randonnee.
Teman tersebut adalah orang asli Perancis, namanya Sandy. Kami berkenalan dengannya karena putrinya adalah sahabat putri kami satu-satunya ketika ia bersekolah di Pau. Tentu saja Sandy sangat senang mendengar ajakan saya itu. Sayang, seorang teman yang dulu pernah berniat pergi bersama kami sudah pulang ke Indonesia. Sementara teman yang satu lagi tidak dapat meninggalkan kegiatan rutinnya. Singkat cerita, pergilah kami berdua ke Pic du Midi d’Ossau pada pukul 9.30 waktu setempat.
Perjalanan dengan kendaraan pribadi yang dikemudikan sendiri oleh Sandy ini bergerak menuju arah kota Laruns. Awalnya kami agak kecewa karena hari tampak mendung, awan terlihat menutupi sinar matahari. Bahkan tak berapa lama kemudian hujanpun mulai turun.
“ Gimana nih, kita terusin g ya ..”, tanya saya. “ Coba aja dulu .. belum tentu di atas sana hujan koq karena bisa jadi awan malah ada di bawah kita ..”, jawab Sandy yang sudah sering sekali hiking itu.
Ternyata perkiraannya benar. Tak sampai setengah jam kemudian, setelah kami memasuki daerah pegunungan, matahari mulai menampakkan dirinya. Alhamdulillah. Meski saking asiknya kami ngobrol ‘ngalor ngidul’ kami sempat salah jalan. Akibatnya kami terpaksa kehilangan sekitar setengah jam perjalanan karena terpaksa mengambil jalan agak berputar.
Dari percakapan ‘ngalor ngidul’ tadi ada satu yang rasanya patut untuk dicatat dan di share di sini. Obrolan tersebut mengenai sistim pendidikan di Perancis. Sahabat saya ini mempunyai 2 putri. Yang sulung seumur dengan anak gadis saya, yaitu 17 tahun. Sedangkan yang kecil berumur 13 tahun. Namanya Cloue.
Gadis kecil ini sejak usia dini memang sangat mencintai kuda. Saking cintanya orang-tuanya menyewakan seekor kuda betina untuknya. Suatu hal yang biasa karena harga kuda mahal sekali. Setiap minggu Cloue datang ke tempat pelatihan kuda dimana ia menyewa dan menitipkan kudanya itu. Tahun lalu mereka berhasil memaksa kami ( saya dan suami) untuk datang melihat acara pelantikan Cloue sebagai penuntun kuda.
Awalnya terus terang, kami agak ragu untuk datang. Karena teman saya itu menyebutnya acara le Baptême atau bahasa Indonesianya baptis, yang kami pikir tentu saja acara yang berbau keagamaan. Namun setelah diberi tahu apa yang dimaksud baptême maka demi menjaga silaturahmi, kamipun menyanggupinya untuk hadir.
Menurut Sandy, le Baptême dalam bahasa Perancis adalah istilah yang dipakai untuk pengukuhan pertama atas sebuah peristiwa besar dalam hidup. Sementara istilah baptis pada umumnya agama Nasrani adalah peristiwa pembersihan dosa anak yang baru lahir. Karena menurut keyakinan agama ini setiap anak yang baru lahir telah menanggung dosa.
Jadi terbalik dengan keyakinan ajaran Islam yang menyatakan bahwa semua anak yang baru lahir adalah bersih alias tidak menanggung dosa apapun. Ia sebersih kain putih tanpa sedikitpun noda di atasnya.
“Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci dan bersih) maka kedua ibu-bapanyalah yang menjadikannya berperangai dengan perangai Yahudi, Nasrani atau Majusi”.
Beruntung Sandy dan keluarganya mau menerima dan menghargai pendapat kami. Dengan halus kami katakan bahwa kami tidak mau dan tidak ingin mencampur adukkan antara persahabatan dengan keimanan. Bila itu acara keagamaan dengan sangat menyesal kami tidak dapat hadir. Alhamdulillah ia dapat mengerti.
“Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”.(QS.Al-Kafirun(109):1-6).
Baptême sehubungan dengan kuda yang dimaksud Sandy ternyata adalah pengukuhan Cloue dalam rangka keberhasilannya menuntun kuda. Ah, aya-aya wae .. J .. Meski ternyata tidak hanya itu. Karena akhirnya mereka berhasil memaksa kami berdua untuk menunggang kuda dengan dituntun sang putri tercinta. Padahal sungguh mati, saya ini penakutnya bukan main .. Olala … 😦 …
Nah, berhubungan dengan hobby putrinya ini, Sandy bercerita bahwa sejak awal tahun ajaran yang baru lalu, Cloue keluar dari sekolah normal demi mengejar cita-citanya sebagai pelatih kuda professional ! “ Wow “, itulah reaksi pertama saya. “ Mungkin ya .. ?”, tanya saya keheranan.
Pikiran saya tiba-tiba melayang ke obrolan anak perempuan saya tahun lalu. Ketika itu ia bercerita bahwa beberapa teman Perancisnya tidak berminat untuk melanjutkan pendidikan resmi hingga ke perguruan tinggi. Salah satu ada yang mengatakan bahwa ia bercita-cita menjadi seorang ahli dalam memelihara ikan di aquarium !
Saya juga teringat kepada seorang yang pernah menjadi pemandu arung jeram kami sekeluarga di sebuah kota kecil di Spanyol yang bercita-cita menjadikan profesi pemandu arung jeram sebagai profesi profesional. Begitu juga cerita seorang pensiunan yang menjadikan pelatih ski sebagai profesi barunya.
Bagi saya ini benar-benar menarik. Mengapa tidak? Pengalaman kita di tanah air, hampir semua orang tua memaksa anaknya agar masuk perguruan tinggi dan kuliah. Tujuannya, rata-rata, agar dapat bekeja dengan imbalan gaji tinggi. Namun pada kenyataannya, benarkah hal ini terjadi ?
Yang saya tahu, di negri kita banyak sarjana yang menganggur. Ironisnya lagi, banyak yang akhirnya ‘hanya’ menjadi guru atau ‘uztad’ yang sering kali disejajarkan dengan guru mengaji, karena terpaksa. … 😦 .. Padahal profesi guru apalagi uztad adalah profesi terhormat ! Nah, dapat dibayangkan, kalau para pendidik menjalankan pekerjaan mengajar karena terpaksa, bagaimana mutu dan mental mereka, baik sang pengajar maupun murid itu sendiri ?
Menariknya lagi. Dari obrolan ‘ngalor ngidul’tadi, saya jadi tahu bahwa gaji atau pendapatan profesi para pelatih itu, baik pelatih kuda maupun ski dll itu tidaklah ‘wah’. Karena, masih menurut Sandy, bukan itu yang mereka kejar. Bagi mereka, uang bukanlah segalanya.
Saya benar-benar terpana dan hanya bisa manggut-manggut saja mendengar penjelasannya. Pada akhirnya saya menarik kesimpulan bahwa bekerja itu tidak melulu hanya untuk mencari uang yang banyak saja. Faktor kepuasan dan rasa berbagi ( menyayangi dan memelihara kuda atau ikan, menjadi dokter bedah yang bukan tergiur karena pendapatannya yang ‘wow’ melainkan karena rasa kemanusiaan, misalnya) juga faktor yang tak kalah pentingnya.
Subhanallah .. saya pikir ini sangatlah islami. Kalau saja bangsa Indonesia sebagai umat Muslim terbesar di dunia mempunyai cara berpikir seperti ini, tentu Islam yang mempunyai ciri ‘Rahmatan lil ‘Alamin’ itu pasti akan terasa sekali dampaknya bagi alam semesta ini. Alangkah indahnya bukan ? Tidak ada yang namanya perbedaan tingkat dalam kedudukan, kekayaan, kehormatan, pendidilkan dll kecuali semuanya itu adalah ujian dari Allah swt.
« Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ».(QS.Al-An’am(6) :165).
Tak terasa waktu berlalu begitu cepatnya. Kendaraan terus melaju, menembus keindahan alam yang sungguh menakjubkan. Bila dari jalan tol saja deretan pegunungan Pyrene sudah mampu membuat kita terkagum-kagum, apalagi bila kita melalui jalan non tol seperti yang kami lalui saat ini. Sungguh betapa cantiknya ciptaan-Mu Ya Allah … Masya Allah …
Dari kejauhan jalanan terlihat mulai mengecil, mendaki serta meliuk. Pepohonan di musim semi dengan warnanya yang mulai menguning membuat makin indahnya pemandangan. Sekitar pukul 12.30 siang kamipun tiba di tepi danau bernama Lac de Bious-Artiques yang terletak di kaki gunung Pic du Midi d’Ossau. Ini adalah tempat pemberhentian resmi terakhir para tamu yang ingin mendaki gunung tersebut.
“ Ini sih g masuk itungan danau yang dicari turis. Kalau mau dihitung juga judulnya danau nomer nol ”, jawab Sandy tertawa atas kekaguman saya terhadap danau yang diapit pegunungan tersebut. Belakangan saya baru ngeh bahwa maksud Sandy diluar hitungan itu karena orang tidak perlu mendaki untuk mencapai dan menikmati danau cantik tersebut.
“ Heuh .. tiwas g saya potret banyak-banyak ”, sesal saya kemudian. Meski saya pikir mungkin itu cara Sandy saja agar kami segera mendaki gunung dan melihat danau yang menjadi tujuan utama kami, bukan malah terkagum-kagum dan lama berhenti lama di tempat tersebut 🙂
( Bersambung).
Leave a Reply