Rabu pagi, 2/11 atau 6 Zulhijjah, umrah dari haji Tamattu yang kami pilih telah selesai kami laksanakan, semoga mabrur, amiin. Tinggal menunggu waktu haji, 9 Zulhijjah. Artinya puncak haji, yaitu hari Arafah tinggal 3 hari lagi. Harapan kami dan tentu juga semua calon jamaah adalah kesehatan yang benar-benar prima. Karena ibadah haji tidak hanya membutuhkan kesiapan mental namun juga kesiapan dan kekuatan fisik. Namun harapan tinggal harapan. Kepada Allah jua segala urusan kembali.
Usai subuh pagi itu, bersama rombongan kami kembali ke pondokan di Aziziyah. Sebelumnya kami sempat terkejut karena seorang pembimbing menegur kami berdua, meski dengan nada bercanda. Menurutnya kami tidak mentaati peraturan dengan tidak segera menuju bus yang telah lama menunggu di sekitar pelataran mall. Padahal sebenarnya bus tidak diperbolehkan parkir di lokasi tersebut.
Sebaliknya, kami juga tidak merasa bersalah. Karena usai subuh kami segera berusaha keluar masjid dan mencari bus dimana ia diparkir. Namun memang tidaklah mudah mengingat begitu penuh sesaknya masjid. Disamping itu kami juga keluar bersama rombongan. Jadi tidak mungkin bus bakal meninggalkan kami.
“ Betul … tapi kalian kan orang Indonesia. Kalian tidak bisa berbahasa Arab. Saya khawatir kalian berdua tersesat. ”, jelas sang pembimbing menanggapi keheranan kami.
Harap maklum, sebagian besar jamaah memang adalah keturunan Arab atau paling tidak pasangannya adalah keturunan Arab. Kami hanya manggut-manggut, berusaha mengerti kekhawatirannya. Ada rasa senang karena kami mendapat perhatian khusus. Namun dibalik itu ada juga terselip rasa malu, karena sebagai Muslim koq tidak bisa berbahasa Arab. Ada juga rasa sedikit kecewa. Dari total 300 orang jamaah Meridianis yang berangkat dari Paris, Perancis, sebagian besar adalah turunan Arab, apakah itu bukan berarti bahwa dakwah kepada penduduk asli Perancis kurang berjalan??
Singkat cerita, bus tiba di pondokan di Aziziyah. Lega rasanya hati ini meski tubuh sangat lelah karena sejak kemarin pagi, sejak perjalanan 10 jam Madinah – Makkah, otomatis kami kurang tidur dan istirahat. Namun rasa lega ini hanya berlangsung sejekap. Karena setiba di kamar pondokan, ketika saya meminta tolong suami untuk memotong sedikit ujung rambut saya, sebagai bagian dari tahalul awal, suami saya terlihat agak kesal dan tidak sabaran. Hal yang tidak biasa. Sayangnya, saya kurang awas hingga termakan bisikan syaitan terkutuk. Sayapun terbawa kesal. Oh, sungguh tidak mudah untuk mencapai haji mabrur. Belum apa-apa sudah tidak bisa menjaga kesabaran. … 😦 Ya Allah, ampuni hamba-Mu yang lemah ini.
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.(QS.Al-Ashr(103):2-3).
Padahal ternyata sepulang subuh itu suami merasa tidak enak badan. Rupanya Allah swt sedang mencobanya dengan sakit. Ia terserang muntaber yang agak parah. Seharian ia muntah dan buang air besar berkali-kali.
Menyesal dan sedih nian rasanya hati ini. Hari Arafah sudah di depan mata. Terbayang, bagaimana kalau suami tercinta bakal terpaksa ditandu pada hari tersebut. Karena hadir di padang Arafah pada hari Arafah hukumnya adalah rukun. Tanpa kehadiran ini gugurlah haji. Itu kalau Allah swt masih memberinya kesempatan dan umur. Ya Allah berilah ia kesembuhan. Atau bila Engkau menghendakinya kembali, kembalikanlah ia dalam keadaan terbaiknya.
“Allahummaj’al khaira ‘umri akhirah wa khaira ‘amali khawatimah wa khaira ayyami yauma liqak”
(Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku pada ujungnya, dan sebaik-baik amalku pada ujung akhirnya, serta sebaik-baik hariku pada saat aku menemui-Mu)
Itu doa yang saya panjatkan. Segera saya kirim sms dan bbm kepada kedua orang-tua, mertua, anak-anak, keluarga dan teman-teman dekat agar ikut mendoakannya. Saya berusaha untuk tegar namun tak urung, maag saya tetap kambuh. Untung hanya sebentar dan tidak terlalu parah hingga segera pulih kembali. Terima-kasih Ya Allah.
Selain itu saya juga harus menahan keinginan yang sejak keberangkatan sudah begitu menggebu yaitu mendirikan shalat sebanyak mungkin di Masjidil Haram.
“Satu shalat di masjidku ini lebih utama dari 1000 shalat ditempat lain, kecuali masjidil haram, dan shalat dimasjidil haram sekali lebih utama dari 100.000 shalat ditempat lain”.(HR Bukhori Muslim).
Menanggapi ini, pembimbing kami berkali-kali menegaskan bahwa hadits diatas berlaku di seluruh tanah haram termasuk di Aziziyah ini. Jadi tidak harus di Masjidil Haram saja. Saya memang pernah membaca pernyataan yang sama dari mentri agama kita. Namun saya tidak yakin. Setelah browsing kesana kemari akhirnya saya mendapat info bahwa memang terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama tentang yang dimaksud Masjidil Haram. Sebagian menyatakan bahwa Masjidil Haram adalah seluruh Mekah ( tanah haram) sebagian lain menyatakan Masjidil Haram hanyalah masjid dimana Ka’bah berdiri.
Saya sedikit lega. Toh kondisinya juga tidak memungkinkan. Buat apa memaksakan diri hal yang di luar kekuasaan kita. Semoga Allah swt masih memberikan kesempatan untuk mendulang pahala 100.000 x tersebut, nanti, setelah wukuf, insya Allah. Akhirnya dengan tenang saya mendirikan shalat di pondokan, secara berjamaah bersama rombongan. Subuh, Magrib dan Isya dilakukan di lantai 7 pondokan, di ruangan terbuka, di bawah naungan langit nan luas. Sementara shalat Zuhur dan Asar diselenggarakan di basement, di musholla yang cukup luas. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi jamaah dari teriknya matahari di siang hari.
Shalat di bawah naungan bintang-bintang dan bulan dengan latar belakang bukit mengingatkan majelis Rasulullah pada masa-masa awal kerasulan. Ini terjadi pada periode Dakwah sembunyi-sembunyi ( Sirriyatud Dakwah). Ketika itu para sahabat yang jumlahnya masih sangat sedikit harus melakukan shalat jamaah secara sembunyi-sembunyi bila tidak ingin ditangkap dan dizalimi pemuka-pemuka Quraisy. Untuk itu maka Rasulullah menggunakan rumah Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam yang terletak di atas bukit, jauh dari pantauan orang-orang Quraisy sebagai tempat berkumpul, untuk berdakwah dan shalat berjamaah.
( baca juga : https://vienmuhadi.com/2010/08/19/vii-dakwah-secara-rahasia-sirriyatud-dakwah/ ).
Sungguh merupakan kenikmatan tersendiri shalat dan berkumpul bersama saudara-saudara seiman di tempat yang dapat mengingatkan kita pada perjuangan Rasulullah dan para sahabat 14 abad silam. Ditambah lagi dengan siraman rohani tentang berbagai masalah baik yang berhubungan dengan ibadah haji maupun masalah-masalah lain. Mungkin inilah salah satu hikmah yang ingin diberikan Sang Khalik dengan sakitnya suami. Subhanallah …
Esoknya, Kamis, 7 Zulhijjah siang kami mendapat kabar tentang kemungkinan rombongan akan diberangkatkan ke Arafah malam hari ini hingga pagi esok hari. Tidak ada kepastian jamnya, tergantung hasil undian, begitu yang kami dengar dari pihak bimbingan. Terdengar keluhan disana sini.
Dari teman-teman jamaah yang berasal dari Marokko, undian adalah hal biasa. Di negri yang dikenal dengan sebutan Magreb ini, keberangkatan calon jamaah ditentukan berdasarkan sistim undian. Seorang teman bercerita bahwa ia mempunyai beberapa kenalan yang telah mendaftar sejak beberapa tahun lalu namun tidak berangkat-berangkat juga karena sistim undian ini.
Sementara seorang teman yang berasal dari Libia menceritakan bahwa di negaranya usia minimal 40 tahun adalah syarat utama. Ini yang menjadi salah satu penyebab mengapa ia dan suami yang kebetulan sedang bertugas di Perancis, pergi haji sekarang ini. Begitu juga cerita teman dari negri piramid, Mesir.
Maka sore itupun kami bersiap-siap. Kami akan tinggal di Mina selama 5 malam tetapi malam ke 3, setelah wukuf, ada kemungkinan bisa kembali ke pondokan untuk sekedar mandi dan salin.
“ Lokasi pondokan kita tidak jauh dari Mina. Ini disengaja agar supaya memudahkan jamaah”, terang pihak bimbingan menenangkan. Selama di Mina semua jamaah akan tinggal berdesak-desakan di kemah, dengan fasilitas umum yang benar-benar minimal. Untuk itu kami diingatkan untuk membawa barang sesedikit mungkin. 1 tas kecil plus alas tidur untuk di Muzdalifah, itu yang disarankan.
Ba’da Isya, suami sudah siap dengan ihramnya. Tampaknya Allah azza wa jalla telah mengabulkan doa orang-orang yang menyayanginya meski belum tuntas. Tubuhnya masih lemas dan wajahnyapun masih tampak pucat. Tapi sudah banyak sekali kemajuan dibanding sebelumnya, Alhamdulillah.
Pukul 2 pagi keesokan harinya, yaitu tanggal 8 zulhijjah, akhirnya kami diberangkatkan ke perkemahan Mina. Kami menempati perkemahan no 33, area jamaah Eropa Barat. Kami tiba di bumi perkemahan ini dalam keadaan masih sepi. Rupanya kami termasuk yang awal datang. Kondisi tenda putih raksasa berkapasitas 96 orang ini masih bersih. Begitu juga toilet umumnya.
Tenda-tenda raksasa yang dilengkapi AC ini dipasang berjajar dengan pintunya untuk setiap 24 orang jamaah. Tenda dikelompokkan berdasarkan grup bimbingan dan dipisahkan antara jamaah lelaki dan perempuan. Diantara tenda-tenda terdapat lorong untuk mondar mandir.
Sementara di dalam tenda setiap jamaah mendapat matras busa lipat selebar kurang lebih 60 cm yang dipasang menempel satu sama lain lengkap dengan bantal dan selimutnya. Alas tenda adalah karpet tipis yang sudah terlihat agak kumal. Namun selimut dan bantal masih terbungkus rapi dalam plastik, menandakan bahwa keduanya adalah baru. Ini jauh lebih baik dari 10 tahun lalu. Dulu tanpa matras, selimut maupun bantal. Hanya karpet, tok …
Patut dicatat, Mina adalah tempat yang sangat terbatas. Padahal semua jamaah, selama hari-hari Tasyrik yaitu pada tanggal 11,12 dan 13 Zulhijjah, harus bermalam atau mabit di tempat ini. Itu sebabnya tanah Mina harus diatur sedemikian rupa agar cukup untuk menampung semua tamu Allah yang datang dari segenap penjuru dunia. Matras dapat dilipat dengan tujuan agar jamaah bisa shalat di tempat tersebut. Karena membangun masjid ataupun musholla di Mina ini tidaklah memungkinkan.
Saya mendapat tempat di antara Fousia, muallaf asli Perancis bernama asli Francine, yang datang bersama suaminya yang asli Maroko dan ibu mertuanya, di sisi kiri saya dan Sarah, seorang jamaah asli Mesir, di sebelah kanan saya.
Disinilah kami akan bermalam selama 6 hari 5 malam. Tinggal 1 atap selama itu bersama 24 orang dengan latar belakang, kultur dan sifat masing-masing sudah barang tentu akan menjadi cerita tersendiri yang cukup seru. Ada yang suka ber-AC ada yang tidak, bahkan anti. Ada yang ingin gelap tanpa lampu ada yang ingin terang benderang. Ada yang pembersih ada yang jorok. Belum lagi dengan masalah toilet yang jumlahnya terbatas dan harus berbagi dengan ratusan jamaah dengan macam-macam bahasa dan kulturnya. Sebuah pengalaman yang sulit untuk dilupakan. Masya Allah …
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”.(QS.Ar-Rum(30):22).
( Bersambung).
Jakarta, 10 Januari 2012.
Vien AM.
Leave a Reply