Menjelang pukul 21.00 bus memasuki Muzdalifah. Awalnya saya tidak menyadari bahwa bus telah sampai tujuan. Saya hanya bertanya-tanya mengapa para jamaah hilir mudik di tepi jalan raya penuh debu beterbangan ini? Saya sama sekali tidak mengira bahwa inilah Muzdalifah.
Terus terang saya memang tidak begitu ingat Muzdalifah. Karena ketika haji 11 tahun lalu kami hanya berhenti sebentar ditepi jalan raya. Dibawah sinar lampu kuning jalan yang terang benderang, kami turun dari bus dan mencari sejumlah batu kecil untuk keperluan melempar jumrah. Keadaan tidak begitu ramai kalau tidak mau dibilang sepi. Setelah itu kami kembali menaiki bus dan duduk manis di dalamnya, ntah berapa lama, yang pasti hingga lewat tengah malam, untuk kemudian beranjak menuju Mina. Mungkin karena saking sebentarnya itu saya sampai tidak sempat memperhatikan suasana sekeliling dan tidak menyimpan kenangan khusus.
Saya baru kembali memikirkan Muzdalifah setelah mendengar cerita teman-teman yang pergi haji dan bermalam di tempat tersebut. “ Sunahnya kan begitu. Tidur hingga melewati tengah malam alias mabit di atas bebatuan dengan atap langit “, jelas mereka membuat saya hanya bisa termangu. Terselip sedikit rasa kecewa mengapa dulu kami tidak melakukan hal ini. Rasa kecewa ini tanpa terasa menyelinap jauh ke dalam hati sanubari. Jujur, sebenarnya inilah salah satu penyebab utama mengapa kami ingin mengulang haji kami.
Muzdalifah dalam bayangan saya adalah suatu tempat dimana kita bisa ikut merasakan bagaimana dulu para nabi dibuat terpukau oleh Sang Khalik dengan benda-benda langit ciptaan-Nya. Yaitu dengan didekatkannya pada alam terbuka. Patut diingat sebagian besar utusan Allah pernah mengalami kehidupan sebagai penggembala. Yang dengan demikian selain kesabaran yang tinggi mereka juga sangat dekat dengan alam karena keseharian mereka berada di bawah langit nan luas, dimana milyaran bintang menghiasinya.
“ Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang”,(QS.As-Shaffat(37):6).
Berikut perjalanan spiritual nabi Ibrahim as dalam rangka mencari tuhannya yang diabadikan dalam ayat 75-79 surat Al-Anam.
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku” .
Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam“.
Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”.
Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”.
Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar“,
maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”.
Dengan bekal seperti itulah saya memasuki Muzdalifah. Di bawah deretan sinar lampu kuning jalanan yang tidak terlalu terang, saya melihat ratusan jamaah lalu lalang . Sementara sederetan bus berjubel mengantri untuk menurunkan jamaah yang makin lama makin menggunung. Debu dan asap knalpot bercampur menjadi satu. Ditambah lagi angin yang lumayan kencang, membuat udara bertambah kotor. Untung bukan angin panas dan udara juga tidak panas. Alhamdulillah …
Semakin mendekat semakin terlihat jelas, mulai dari tepi jalanan itu sampai jauh ke depan sana, betapa ribuan bahkan mungkin jutaan jamaah dengan kain ihram kumalnya, ntah dengan alas apa, bergeletakkan, tanpa tenda atau apapun yang melindungi. Saya betul-betul terkesima. Ini kumpulan manusia atau onggokan sampah yang tercecer ??
« Kita telah tiba di Muzdalifah. Kita akan berada di tempat ini hingga menjelang subuh. Bagi yang sakit atau ada hambatan lain diperkenankan meninggalkannya mulai pukul 2 pagi », terdengar suara pembimbing membuyarkan keterhenyakan saya.
Seakan terlempar dari ketinggian, saya merasa terhempas dan benar-benar terpukul. Kepala saya terasa pening, mual terasa perut ini. Oh, manusia … bagaimana kita bisa merasa sedemikian sombong, angkuh dan memiliki derajat paling tinggi …
“ Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.(QS.As-Sajadah(32):7-9).
Dari tanah kembali ke tanah. Ya, itulah ungkapan paling tepat bagi manusia saat itu.
Rombongan segera turun dari bus. Kami mendapat ‘kapling’ di tepi jalan menghadap toilet umum. Tak ada komentar apapun yang keluar dari mulut sesama jamaah. Perlahan saya gelar sajadah sederhana yang sengaja saya beli untuk keperluan ini. Beberapa teman ada yang menggelar tikar lebar. Ada yang membawa ‘sleeping bag’. Bahkan ada yang nekat membawa selimut tebal milik tenda Mina.
Pembimbing sebenarnya memang telah mengizinkan jamaah membawa ‘sleeping bag’. Tapi yaitu tadi, saya benar-benar tidak menyangka kondisinya seperti ini. Namun kalau dipikir pasti akan beda kesannya kalau saya tidur di dalam ‘sleeping bag’, mungkin …
Segera saya istighfar. Secara berkelompok kamipun mendirikan shalat magrib dan isya yang digabung. Inilah yang dicontohkan Rasulullah saw.
“ Tidak ada amalan khusus kecuali tidur. Berusahalah istirahat meski sebentar. Masih banyak yang harus kita lakukan setelah ini”, bisik Sabrina, jamaah muda asal Mauritania yang tidur di sebelah saya mengingatkan. Tak lama kemudian saya lihat sahabat baru saya yang bersuamikan asli Perancis ini tertidur pulas di atas sajadahnya. Iri saya dibuatnya.
Saya memandang suami saya yang kebagian kapling di baris depan kiri saya. Saya lihat ia juga tidak tidur. Ia sedang membaca Al-Qurannya. Namun saya tidak yakin ia bisa membaca dengan baik. Karena lampu-lampu yang dipasang di padang pasir ini, meski banyak jumlahnya , tidak cukup terang untuk keperluan membaca.
Masih ada sedikit rasa khawatir di hati ini. Dengan kain ihramnya itu, ia masih terlihat pucat. Muntaber yang baru dialaminya kemarin bisa saja datang kembali. Apalagi dengan kondisi lapangan seperti ini. “ Ya Allah, mudahkanlah urusan ini. Sehatkan dan pulihkanlah kembali kesehatannya, amiin “.
Perlahan, dengan maksud agar pasir tidak terlalu berterbangan, saya membaringkan diri, mencoba untuk tidur. Meski masker telah menutupi hidung, tak urung debu mulai mengganggu pernafasan ini. Hidung saya mulai mampet. Saya terus beristighfar, memohon agar supaya kami berdua lulus dari cobaan ini.
Berbaring terlentang memandang bintang-bintang di langit meski udara tidak terlalu bersih membuat hati menjadi tenang. Bukit-bukit yang mengelilingi padang dimana para jamaah tergeletak pasrah seolah menjaga kami dari kejahatan dan kegelapan malam terlihat begitu gagah perkasa. Ya Allah tidak percuma Kau ciptakan semua ini ya robb.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini de ngan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.(QS.Ali Imran(3):190-191).
Terima-kasih ya Allah telah Kau berikan kami berdua kesempatan untuk menyaksikan tanda-tanda kebesaran-Mu. Berilah kami dan seluruh jamaah yang saat ini sedang berada di padang Muzdalifah ini kemampuan untuk mengambil hikmah atas segala kejadian. Jadikanlah haji kami mabrur, ya Allah.
Tampak jelas bahwa Sang Khalik telah mengatur segala sesuatu dengan sebaik-baiknya; yang lalu, yang sedang berlalu dan yang akan berlalu. Allah azza wa jalla adalah sebaik-baik pembuat skenario yang tak akan lekang oleh waktu, yang senantiasa akan tetap ‘up to date’ hingga akhir zaman nanti.
Padang Arafah yang merupakan puncak haji, pada zaman Rasulullah saw, adalah padang luas yang panas terik. Sama hingga kini. Bedanya, sekarang jamaah tidak perlu kepanasan karena pemerintah Arab Saudi, sebagai tuan rumah yang baik, telah mendirikan tenda-tenda bagi jamaah supaya tidak terlalu tersiksa oleh teriknya panas matahari. Apalagi mengingat bahwa puncak haji yang merupakan rukun haji tersebut harus dilalui seluruh jamaah tanpa kecuali, mulai matahari sedikit tergelincir dari atas kepala yaitu waktu zuhur hingga matahari terbenam, yaitu waktu Magrib.
Namun sebaliknya, dengan berdirinya ribuan tenda dimana jamaah berlindung di dalamnya maka pesan penting padang Arafah jadi kurang begitu terasa. Suasana di padang Arafah mustinya merupakan cerminan pengadilan akhir zaman dimana semua manusia dikumpulkan di padang masyar untuk menanti keputusan Sang Khalik atas segala tindak tanduk kita. Manusia pada saat itu hadir hanya dengan kain kafan putih, satu-satunya bekal yang dibawa ketika kita masuk kubur. Kain ihram para jamaah lelaki inilah yang mewakili busana akhir kita kelak.
“Di tempat itu (padang Mahsyar), tiap-tiap diri merasakan pembalasan dari apa yang telah dikerjakannya dahulu dan mereka dikembalikan kepada Allah Pelindung mereka yang sebenarnya dan lenyaplah dari mereka apa yang mereka ada-adakan”.(QS.Yunus(10):30).
Akan tetapi dengan adanya mabit di Muzdalifah, kekurangan tersebut dapat digantikan. Di tempat inilah justru saya dapat merasakan fenomena pengadilan akhir zaman di Arafah yang hilang itu. Jadi alangkah ruginya jamaah yang tidak menjalani mabit di Muzdalifah, itu pendapat saya pribadi, terutama bagi yang meyakini bahwa mabit di Muzdalifah adalah bagian dari apa yang dicontohkan Rasulullah saw.
Sekitar pukul 2 pagi, suami saya mengajak mencari makanan. “ Laper nih, cari yang anget-nget yuk”, ajaknya. Beruntung di tempat tersebut ada sejumlah penjual makanan meski tidak banyak pilihannya. Paling tidak adalah penjual kopi, teh panas dan biskut, cukup untuk sekedar pengganjal rasa lapar di pagi hari yang cukup dingin itu.
Tanpa terasa waktu berlalu. Menjelang subuh kamipun meninggalkan Muzdalifah menuju tenda Mina. Tiba-tiba saja bayangan tenda dengan matras lipat dan segala keterbatasan fasilitasnya menjadi terasa begitu mewah, dibanding tidur di Muzdalifah.
“ Maka ni`mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”(QS.Ar-Rahman(55):16).
( Bersambung)
Jakarta, 17/1/2012.
Vien AM.
Leave a Reply