Senin, 11 Zulhijjah, ba’da Subuh, ber-4 bersama suami dan sepasang suami istri, istrinya asal Maroko dan suaminya, seorang mualaf, dokter asli Guadalope, kami berangkat menuju Mekkah Al Mukarammah untuk mentuntaskan haji yang kemarin tertunda yaitu tawaf dan sai. Fousia dkk yang kemarin pergi bersama kami rupanya masih terlalu lelah hingga memilih untuk menunggu. Hal yang diperbolehkan karena tawaf Ifadah dan sai bisa dilakukan hingga akhir hari Tasyrik yaitu tanggal 13 Zulhijjah.
Kami berjalan kaki menuju Azizyah. Dari situ kemudian kami menumpang bus dengan biaya masing-masing 20 riyal menuju Masjidil Haram. Kelihatannya ini bukan harga normal karena terjadi sedikit percekcokan antara sejumlah penumpang dengan kenek bus. Seperti yang sudah diperkirakan, lebih dari 2 jam bus baru tiba di kompleks Masjidil Haram. Diringi bunyi klakson kendaraan di belakang bus yang berhenti sembarangan, persis ketika naik tadi, kamipun turun dari bus, dengan perasaan was-was, khawatir tertabrak kendaraan yang menyerobot dari belakang. … 😦
Kami langsung masuk Masjidil Haram. Masya Allah … Di siang hari bolong tersebut area tawaf benar-benar padat oleh jamaah. Ini memang saat afdolnya. Sebenarnya bila tidak ingin terlalu berdesakan dan agak santai bisa saja kita tawaf di lantai 2 atau 3. Di lantai 2 malah tidak bakal kepanasan karena tawaf dilakukan di dalam masjid yang beratap. Tetapi kami tidak ingin melakukannya. Rasanya tawaf sedekat mungkin dengan Ka’bah lebih memuaskan meski harus berdesakan.
Awalnya Raga, demikian nama teman kami, ingin agar kami selalu berdekatan, bahkan kalau mungkin ber-4 terus bergandengan. Tetapi saya tidak setuju. Bergandengan lebih dari 2 orang dalam keadaan demikian padatnya sangat berbahaya, terutama bagi jamaah lain. Ini yang sering dilakukan rombongan berbagai negara terutama rombongan Indonesia dan Turki. Biasanya kalau sudah begini, mereka tidak mau dipotong dan tidak peduli dengan jamaah lain.
Setelah berembug, akhirnya kami semua setuju untuk sebisa mungkin bersama meski bergandengan hanya berdua, suami istri. Namun bila keadaan memaksa kami harus berpisah, masing-masing akan meneruskan Sai, shalat Zuhur dan kemudian bertemu di depan jam kecil di depan pelataran mall.
Dugaan kami benar, baru pada putaran pertama saja kami sudah terpisah. Tawaf kali ini benar-benar padat. Teriknya matahari yang berada nyaris tepat di atas kepala seakan tak berpengaruh. Kami hanyut dalam pusaran ribuan jamaah tamu Sang Khalik yang berputar lambat dengan arah berlawanan jarum jam. Bangunan kubus hitam berukuran sekitar 12x10x15 m yang menjadi pusat perputaran benar-benar bagaikan magnet dengan kekuatannya yang maha dasyat. Tarikannya mencapai hingga puluhan meter. Ini terbukti dengan adanya tawaf yang dilakukan jamaah di lantai 3 pada jarak tersebut. Allahuakbar …
Tanpa terasa usai sudah 7 putaran. Dengan tubuh bermandikan peluh kami keluar dari putaran, dengan susah payah. Padahal kami sudah berusaha keluar putaran sedikit demi sedikit. Putaran yang terasa benar-benar padat dan agak mengganggu sebenarnya hanya ketika mendekati Hajar Aswad. Karena titik tersebut adalah titik permulaan tawaf dimana jamaah disunahkan untuk mengangkat tangan sebelah kanan, sebagai ganti tanda mencium Hajar Aswad yang hampir mustahil dilakukan,sambil mengucapkan “ Bismillahi Allahuakbar “.
Di titik inilah jamaah memulai dan mengakhiri tawaf. Lampu neon hijau yang dipasang di dinding masjid, di seberang dan searah Hajar Aswad menjadi patokannya. Jamaah biasanya berjalan agak pelan di tempat ini. Inilah yang menjadi sumber kemacetan.
Setelah berhasil keluar dari putaran, kami berhenti sebentar di depan Multazam untuk berdoa. Kemudian bergeser sedikit ke kanan untuk shalat di belakang maqam Ibrahim meski tidak konsentrasi dan agak terburu-buru karena khawatir tertabrak jamaah yang sedang tawaf. Selanjutnya kami segera menuju tempat Sai. Masih ada sedikit waktu sebelum masuk waktu Zuhur.
Benar saja, memasuki sai ke 5 azan berkumandang. Kami segera mencari tempat untuk shalat di sekitar area tersebut agar usai shalat nanti dapat segera meneruskan kekurangannya, yaitu 2 x lagi. Jangan kaget bila mendapati jamaah lelaki dan perempuan shalat bercampur di Masjidil Haram ini. Ini memang biasa terjadi pada musim haji, terutama pada saat-saat puncaknya. Laskar, sebutan bagi penjaga masjid yang bertugas mengatur ketertiban masjid, baru akan kembali menertibkan jamaah, memisahkan jamaah lelaki dan perempuan yang akan shalat, beberapa hari setelah puncak haji. Setelah masjid tidak terlalu padat karena sebagian jamaah telah pulang ke negaranya masing-masing.
Sesuai kesepakatan, usai menyempurnakan sai kami menuju tempat rendez-vous. Ternyata Raga dan suaminya, Sa’id yang sebelumnya memiliki nama baptis Richard itu, sudah menunggu. Kami segera mencari makan siang di dalam mall yang menempel dengan pelataran masjid itu. Setelah cukup lama mengantri meja kursi yang kosong, akhirnya kami mendapatkannya juga. Alhamdulillah …
Namun belum sempat kami menyelesaikan santapan, azan Ashar telah berkumandang. Hebatnya, tak sampai 5 menit kemudian, serentak semua penjaga restoran menutup restonya. Kemudian berbaur dengan para tamu yang segera menggelar sajadah di dalam resto dan langsung bersiap mendirikan shalat jamaah dengan ber-imam ke Masjidil Haram ! Masya Allah, indahnya …
Usai meneruskan santapan yang tadi tertunda, kami segera menuju terminal kendaraan umum yang terletak di bawah pelataran Masjidil Haram. Rencana untuk sekedar CMK alias Cuci Mandi Kakus di pondokan terpaksa ditunda karena waktu yang tidak memungkinkan. Bahkan kalau melihat traffic Mekkah seperti tadi pagi, tampaknya kami harus menyewa taxi kalau tidak ingin terlambat sampai di Mina. Atau terpaksa kena dam. … 😦
Dan tampaknya para pengemudi kendaraan umum di Mekkah ini tak mau kehilangan kesempatan emas tersebut. Bayangkan, pengemudi taxi meminta ongkos 200 riyal atau 450 ribu rupiah hanya untuk ke Aziziyah ! Rencananya dari sini kami akan berjalan kaki menuju Mina.
“ Itu sudah murah. Lihatlah kemacetan di depan sana. Saya harus kehilangan bensin dan waktu banyak untuk itu”, begitu sang pengemudi beralasan.
Apa boleh buat, kamipun mengalah. Namun begitu kami menaiki taxi, sopir membuka jendela taxinya dan berteriak kepada sopir taxi yang melintas disampingnya, menanyakan kemana jalan menuju Aziziyah ! Wadduuh … Ternyata sopir asal Pakistan yang baru beberapa bulan mukim di Mekah ini belum hafal jalan.
Tanpa banyak bicara, kami segera turun dari taxi dan mencari taxi lain. Kali ini sopirnya sudah berpengalaman. Ini semua berkat ‘interogasi’ yang dilakukan Raga yang bisa berbahasa Arab. Alhamdulillah … Namun ongkos tetap sama, 200 riyal .. Ya sudahlah ..
Dan memang tidak percuma .. tak sampai setengah jam kami sudah tiba di tujuan. Sang sopir benar-benar hafal jalanan. Ia menempuh jalan-jalan tikus yang dengan gesit segera berputar begitu terjebak kemacetan.
Kami meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Mina ada di balik terowongan. Tak sampai 15 menit kemudian kami telah berada di Mina. Ketka melihat Jamarat di depan mata, tiba-tiba kami teringat bahwa ini adalah jadwal rombongan kami untuk melontar jumrah. Waktu yang afdol untuk melontar jumrah pada hari ke 2 hingga selesai nanti adalah memang selepas Zuhur hingga menjelang Magrib. Maka kamipun memutuskan untuk mencegat rombongan tersebut.
Kami menunggu di depan perkemahan jamaah Indonesia sambil menyantap martabak Mesir yang rasanya tidak karuan itu. Jauuuuh dari martabak kita. Plus pop mie … 🙂 … Padahal pada hari-hari biasa saya dan suami tidak membiasakan mengkonsumsi mie instan tersebut minimal setelah 1 pekan berlalu.
Setengah jam lebih kami menunggu. Akhirnya kami memutuskan untuk melempar jumrah tanpa menunggu rombongan. “ Bisa jadi mereka telah lewat tapi kita tidak melihat atau mungkin mereka merubah jadwal”, begitu kesimpulan kami.
Akhirnya kamipun pergi ke Jamarat. Hari ini kami harus melontar ke 3 jumrah dengan urutan jumrah Ula, Wustho kemudian Aqabah. Jadi tidak seperti kemarin yang hanya melontar jumrah terbesar yaitu jumrah Aqabah. Alhamdulillah, lancar tanpa kesulitan. Namun dalam perjalanan pulang tanpa pemberitahuan sama sekali tahu-tahu jalan menuju kemah yang sudah kami hafal ditutup petugas. Tentu saja kami kebingungan, begitu juga ribuan jamaah yang kemahnya berada di jalur tersebut.
Kami disuruh berputar mencari jalan lain. Namun ternyata akses ke jalur tersebut benar-benar tertutup. Tanpa penjelasan dan solusi yang jelas, komunikasi tidak lancar, akhirnya terjadilah keributan dimana-mana. Ribuan jamaah kebingungan bagaikan kehilangan induk ayam. Puluhan penjaga yang bertugas menutup berbagai akses tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Ditanya baik-baik ada yang pura-pura tidak mendengar, ada yang menjawab seenaknya dan tidak sedikit malah yang membentak-bentak. Tampaknya mereka stres, se-stres para jamaah, termasuk saya. Apalagi hari makin bertambah gelap saja, menambah kegelisahan. Kesal rasanya hati ini melihat kami, para tamu Allah, diperlakukan semena-mena.
Karena jawaban petugas yang simpang siur akhirnya kami memutuskan untuk mencari peta saja. Setelah berjalan kesana kemari akhirnya kami menemukan sebuah peta besar Mina dipasang di tepi sebuah jalan. Di sebelahnya ada posko untuk membantu jamaah yang tersesat. Sejumlah petugas khusus dengan seragam yang berbeda bertugas di sekitar tempat tersebut. Namun nyatanya tetap tidak mudah. Setelah tersasar kesana kemari akhirnya pukul 8 malam sampai juga kami di perkemahan kami, perkemahan no 33, yang letaknya memang di ujung Mina, tak jauh dari spanduk besar « End of Mina » … Alhamdulillah …
( Bersambung)
Jakarta, 24 Januari 2012.
Vien AM.
Leave a Reply