Apapun, masjid adalah tempat silaturahim yang baik. Disini pula suatu hari saya pernah mengantar seorang reporter TV tanah air menemui direktur masjid ini. Dalam wawancaranya itu, beliau mengaku kagum dengan Muslim Indonesia yang terlihat kompak dan mudah diatur ketika berhaji. Dalam kesempatan itu beliau juga menyampaikan salam ukhuwahnya untuk Muslim negri kita.
Yang juga cukup membanggakan, masjid ini terletak di lokasi yang cukup bergengsi. Masjid ini terletak di sudut jalan, di depan Jardin de Plantes, yaitu kebun raya tanaman bio yang cukup luas dan museum National d’Histoire Naturelle, museum yang menyimpan sejarah bintang langka, seperti Dinosaurus dll. Kedua situs ini banyak dikunjungi wisatawan dan hampir setiap hari selalu ramai.
Di sudut jalan ini berdiri sebuah restoran halal ala Maroko. Berbagai makanan khas Maroko seperti kuskus dan tajin yang banyak disukai bule Perancis dijual di tempat ini. Di restoran ini terdapat hamam, yaitu permandian air panas ala Maroko, yang dipisahkan antara laki2 dan perempuan. Jangan heran bila melihat antrian panjang bule-bule, mengantri di sudut masjid ini. Sekedar info, orang Perancis banyak yang sangat menyukai hal-hal yang eksotis – orientalis.
Bagi kaum Muslimin penggemar masakan khas Perancis juga ada kabar gembira. Restoran yang menyajikan masakan khas seperti crepe asin isi salmon, raclette dll dapat dijumpai tak jauh dari sini. Letaknya di belakang stasiun metro Place Monge.
Sementara itu di sudut lain masjid berdiri sebuah toko buku Islam dalam berbagai bahasa, selain toko buku di depan masjid yang hanya menjual buku dalam bahasa Perancis dan Arab. Di kedua toko ini dijual pula berbagai pernak pernik berbau ‘islam’ seperti parfum Arab, Henna cat kuku dan rambut, gamis dll, disamping tentu saja sajadah dan tasbih.
Saya sempat mengobrol lumayan sering dengan pemilik toko buku yang di ujung jalan itu. Ia adalah seorang pria setengah umur yang ramah dan sangat santun. Istrinya adalah orang bule asli Perancis yang menutup auratnya dengan sangat sempurna. Cadar menutupi sebagian wajahnya. Hal yang banyak dilakukan mualaf asli negri ini. Sedangkan suaminya adalah orang Syria yang sejak lama telah tinggal di Perancis dan menjadi warga Negara Perancis. Keduanya terlihat sangat sholeh dan sholehah. Mereka sangat menjungjung tinggi agama Islam. Kagum saya pada mereka.
Kenangan yang juga tak patut dilupakan adalah keberadaan kedutaan Indonesia. Disinilah masyarakat Indonesia sering bertemu. Tidak hanya ketika Ramadhan, Lebaran atau Natal. Namun juga ketika kebetulan sedang mengurus passport. Bahkan persatuan ibu-ibu pejabat yang tergabung dalam Dharma Wanita juga menyelenggarakan arisan dan pertemuan rutin bulanan. Acara ini terbuka untuk seluruh warga Indonesia, baik yang sudah puluhan tahun tinggal di Paris dan menikah dengan bule maupun yang sedang tugas mendampingi suami, seperti saya ini.
Di bagian belakang gedung perwakilan Negara ini berdiri pula semacam koperasi merangkap kantin. Disinilah berbagai keperluan dapur khas Indonesia seperti kecap, bumbu kacang, indomie dll dapat ditemukan. Begitu juga masakan jadi khas Indonesia buatan masyarakat Indonesia di Paris.
Sayangnya, masakan tersebut belum tentu halal. Biasanya, untuk mengetahui kehalalan masakan tersebut kita harus mencari tahu dulu siapa yang memasak lauk pauk tersebut. Beruntung tahun lalu, ada istri teman sekantor suami, seorang Muslmah, yang hobby memasak dan mau menerima pesanan masakan. Jadi terjamin halal, Alhamdulillah …
Namun dalam urusan perut, sebenarnya kaum Muslimin tidak perlu terlalu khawatir. Sekarang ini banyak sekali toko daging ( mentah) halal di Paris, orang menamakannya “ Boucheri Musulman”, baik di pusat kota maupun di banlieu, kota-kota satelit di sekitar Paris. Malah di supermarket besarpun tidak jarang ditemukan adanya stand daging halal. Itupun bukan hanya sebatas daging sapi, kambing dan ayam tapi juga masakan siap saji seperti lasagne, pizza, ayam goreng, sandwich, burger dll.
Begitupun bumbu dapur dan rempah-rempah, selain di kedutaan, kita juga bisa berbelanja di china town, seperti super market Tang Freres yang terletak di Paris 13. Atau toko-toko kelontong kecil milik orang Cina atau orang India yang jumlahnya lumayan banyak, bisa menjadi alternatif menarik. Jadi tidak ada alasan tinggal di Paris itu bakal sulit makan nasi atau masak masakan khas daerah kesayangan suami. … 🙂 .. Meski memang, tentu saja, bumbunya tidak selengkap di tanah air.
Yang juga tak kalah menggembirakan, di objek-objek wisata resto halal juga tidak terlalu sulit ditemui. Di Musee du Louvre misalnya, di area food court museum ini , sejak beberapa waktu lalu telah tersedia sebuah counter resto halal.
Juga di Sacre Couer, sebuah resto fast food halal yang menjual ayam goreng ala Kentucky, bisa ditemui. Lumayan, untuk pengganjal perut setelah lelah berjalan mendaki bukit kecil dimana gereja tua berwarna putih ini berdiri. Bukit ini sering disebut sebagai atapnya Paris. Karena dari sini kita bisa memandang sebagian kota.
Sementara tak terlalu jauh dari Arc de Triomph, tugu pahlawan yang terletak di bundaran jalan dimana 12 jalan raya bertemu, salah satunya adalah Champs Elysees, sebuah resto halal yang cukup enak boleh dijajal. Di dinding resto masakan khas Perancis ini tergantung beberapa lukisan tokoh Turki. Pemilik resto ini memang orang Turki.
Kabarnya, tak jauh dari tugu dengan relief memukau ini juga ada restoran Indonesia. Sayang, beberapa kali saya mencari tidak menemukannya. Yang saya tahu resto Indonesia yang berada di rue Vaugirard, tidak jauh dari Palais de Luxembourg, Paris 6.
Bagi yang suka berbelanja di Galery Lafayette, mall mewah terkenal di Paris yang memiliki kubah biru nan elok itu, juga tidak perlu resah. Sebuah resto halal yang menyajikan masakan Perancis milik seorang Muslim asal Maroko bisa ditemui tidak terjalu jauh dari galeri yang selalu dipadati turis ini.
Sedangkan di sekitar boulevard St Germain, salah satu jalan utama kota Paris yang dirancang secara apik oleh Haussmann di akhir abad 19, sebuah resto halal yang menyajikan masakan Cina dapat menjadi obat penawar kangen masakan Asia yang lumayan enak. Resto ini terletak di rue Dauphine, tak berapa jauh dari toko bernama « Terima-Kasih ». Surprised ya ? Begitu juga saya … 🙂
Itu sebabnya, saya segera masuk dan melihat-lihat toko yang ternyata berisi pernak pernik dan sejumlah furniture kayu khas Indonesia. Kebetulan saya bertemu dengan si pemilik, seorang asli Perancis. Usut punya usut, si pemilik memang pecinta produk negri kita. Itu sebabnya tokonya ia beri nama Terima-kasih. Ia bercerita bahwa ia sering berkunjung ke Jakarta dan Surabaya. Selain untuk urusan bisnis, ia mengaku telah jatuh cinta kepada 2 kota besar itu, dengan segala hiruk pikuknya.
Begitupun di 4temps, pusat perbelanjaan modern di ujung Paris, yang terletak di La Defense, sebuah cafe halal siap saji a la Mc Donald bernama Lal’s cafe, siap melayani kaum Muslimin yang peduli akan kehalalan makanan yang masuk ke perut mereka.
Saya jadi teringat kepada 2 orang Muslimah yang di hari-hari terakhir menghampiri saya. Dari kejauhan mereka sudah melihat ke arah saya. Awalnya saya ragu, berpikir keras apakah saya mengenal kedua perempuan cantik berwajah Arab Aljazair tersebut. Pertanyaan saya tak lama segera terjawab. Ternyata mereka hanya ingin menanyakan letak café halal tersebut.
Tadinya saya hanya memberi ‘ancer-ancer’nya saja. Tapi kemudian saya berubah pikiran, setelah teringat pengalaman tak terlupakan diantar saudara Muslim ketika suatu hari kami nyasar di negara orang. “Cari pahala ah, selagi masih ada kesempatan”. Maka jadilah saya berbalik arah, mengejar dan mengantar keduanya hingga terlihat papan arah penujuk jalan “Lal’s café”. Indahnya persaudaraan ..
Namun sebenarnya, untuk mendapatkan makanan halal di kota ini sama sekali tidak sulit, minimal kebab, yang terbanyak adalah kebab Turki. Makanan ini ada hampir di semua sudut kota. Bahkan di tempat-tempat terbuka model pasar kaget kalau di Jakarta, kemungkinan hot dog atau jajanan lain halal yang semacamnya selalu ada. Kuncinya perhatikan dulu penjualnya. Bila wajahnya menunjukkan ‘wajah Islam ‘, seperti Aljazair, Maroko, Aljazair atau Turki, 4 etnis Muslim terbanyak di kota ini, cobalah beranikan diri bertanya, apakah makanan yang dijualnya itu halal. Tanyakan dengan suara pelan saja.
Beberapa kali saya melakukan hal itu. Dan ternyata benar. “ Oui, bien sure. Je suis musulman, je m’appelle Muhammad”. Dengan semangat tanpa ditanya ia memperkenalkan diri, bahwa ia seorang Muslim dan bernama Muhammad. Selanjutnya, ketika saya menanyakan mengapa tidak diberi tanda halal. Ia menjawab bahwa resikonya terlalu berat, pelanggan bule bisa menjauh dan mencibir. Apa boleh buat .. 😦
Ada juga beberapa resto, contohnya di sekitar Sacre Couer atau di sekitar St Michel, tempat dimana turis sering ngantri mencari makan. Meski resto tidak memasang tanda halal, namun begitu melihat ada perempuan berjilbab sedang celingukan mencari resto, secara spontan sang penjual langsung berteriak bahwa restonya halal. Ada juga beberapa resto yang tanpa ditanya mengatakan bahwa ayamnya halal, namun tidak sapinya. Aneh yaa, tapi begitulah …
Lepas dari Lal’s café, sayapun melanjutkan langkah menuju arah lain 4 temps. Sore itu saya janji bertemu dengan seorang teman asal Azerbaijan yang juga sedang di Paris dalam rangka menemani suaminya bertugas. Seperti kebanyakan warga Negara bekas pecahan Rusia, teman saya ini juga Muslim. Sayang ilmu ke-Islam-annya amat minim. Ia mengaku bahwa dirinya belum bisa 100 % meninggalkan kebiasaannya mengkonsumsi alcohol, terutama bila suaminya, yang juga Muslim menawarkannya, hiks ..
Ia juga bercerita bahwa dirinya baru mulai mengerjakan shalat setahun belakangan ini. Itu sebabnya pada perjumpaan terakhir ini saya menghadiahkan mukena untuknya. Plus buku cerita anak bergambar tentang kehidupan Rasulullah saw untuk kedua putrinya yang masih balita. Dengan harapan, semoga biografi sederhana tersebut mampu mendekatkan mereka kepada nabi-Mu serta Islam yang tampak jauuh itu. Shalawat dan salam sejahtera bagimu ya Rasul …
“ Aduh bagus sekali, koq kamu tahu kalau saya hanya punya mukena satu, yang segera saya cuci ketika saya sedang haid”, sambutnya senang, dalam bahasa Perancis yang sangat fasih.
( Bersambung)
Leave a Reply