Siapa tak kenal Bali, pulau paling terkenal di Indonesia, yang saking terkenalnya, kerap kali orang Barat tidak mengetahui bahwa pulau tersebut adalah bagian dari Negara Indonesia .. 😦 … Pulau berjulukan pulau Dewata ini mampu menyedot 6 hingga 8 ribu turis mancanegara setiap harinya, Ini menjadikan Bali sebagai pusat wisata penyumbang devisa terbesar se-Indonesia.
Tak dapat dipungkiri Bali memang memilki daya tarik yang tak ada bandingnya. Bukan hanya alamnya yang begitu mempesona namun juga suasananya yang sarat romantisme dan eksotisme. Ini masih ditambah lagi dengan kultur dan budaya religiusnya yang begitu mistis, yang tampaknya menjadi daya tarik istimewa wisatawan Barat yang atheis. Tak heran bila sejumlah produser film Barat mengabadikannya dalam karya mereka. Tak tanggung-tanggung bahkan bintang-bintang kenamaan Holywood seperti mantan pasangan Tom Cruise dan Kattie Holmes, Bradd Pit dan Angelina Jolie serta Julia Robert dll dikabarkan pernah mengunjungi pulau ini.
Alhamdulillah, untuk ke sekian kalinya kami kembali mendapat kesempatan untuk mengunjungi pulau ini. Obyek-obyek wisata ‘standard’ seperti pantai Kuta, pantai Jimbaran, Tanah Lot, Bedugul dan Kintamani adalah tempat-tempat yang kami kunjungi selama 2 hari 2 malam kami berada di pulau tersebut. Waktu yang terasa amat singkat bila kita ingin menikmati Bali dan menggali keindahannya lebih jauh lagi.
Bahkan bagi mereka yang hanya ingin menikmati pantai-pantai di Balipun, 2 hari tidaklah cukup. Karena selain Kuta yang terkenal paling ‘crowded’, Bali juga memiliki Legian dan Seminyak yang berada di garis pantai yang sama dengan Kuta. Kemudian ada lagi pantai Sanur dan Nusa Dua yang lebih tenang, jauh dari kebisingan kota. Ditambah lagi Uluwatu bagi para pecinta surfing. Dan masih banyak lagi pantai di bagian Bali lainnya yang kabarnya juga cukup menarik.
Jujur, sebenarnya saya jauh lebih suka menikmati pemandangan pegunungan daripada pantai. Namun malam itu, putri kami satu-satunya yang memang sangat menyukai pantai memaksa saya untuk menanggalkan alas kaki dan menikmati kelembutan pasir. Ketika itu kami sedang berada di salah satu resto di Jimbaran, dimana berjajar resto di atas pasir pantai, menikmati lezatnya masakan khas Bali dan tariannya yang mistis itu.
Dan tenyata Subhanallah, di bawah gemerlapnya bintang-bintang nun jauh disana, telinga yang menikmati suara deburan ombak, serta mata yang menyaksikan ombak yang saling berkejaran, kaki sayapun dapat merasakan lembutnya pasir putih ciptaan-Nya.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.(QS.Ali Imran(3):190-191).
Selain pantai yang indah, Bali juga mempunyai danau yang terletak di dataran tinggi. Pemandangan menakjubkan tersebut dapat dinikmati dari Kintamani, kota berudara sejuk yang terletak di bagian utara pulau.
Kali ini kami mencoba jalur alternative, yaitu melalui Tegalalang. Pada peta panduan wisata yang saya beli beberapa bulan lalu, ada beberapa titik yang diberi bintang, artinya di tempat tersebut ada obyek wisata yang cukup menarik. Ternyata itu adalah Ubud, yang memang belum pernah kami kunjungi, dan « paddy terrace ».
Paddy teracce adalah lahan persawahan bertingkat-tingat, yang menggunakan sistim Subak, sebuah pengairan tradisional khas Bali yang telah diakui dan mendapat penghargaan international. Tampaknya orang Bali tahu betul bagaimana memanfaatkan kekayaan dan kecantikan alam mereka. Buktinya, untuk melewati jalan umum dengan area persawahan cantik sepanjang beberapa ratus meter disisi jalannya saja kita dikenai pajak. Meski sebenarmya pemandangan seperti ini tidak hanya terdapat di tempat ini.
Namun memang banyak kelebihannya melewati jalur ini. Sepanjang jalan Celuk mendekati Ubud hingga paddy terrace, berjajar workshop benda-benda seni khas Bali dari perak dan emas. Juga toko-toko dan pasar yang menjual berbagai souvenir khas Bali, mulai gantungan kunci sederhana, bolpen, kipas, pakaian hingga patung-patung batu berbagai model dan ukuran. Yang tak kalah menarik, saya sempat melihat mukena Bali yang sedang trend di Jakarta di gantung-gantung di pasar. Mukena ini tebuat dari kain katun yang adem dengan corak bunga warna warni nan cerah.
Juga surprise buat kami, mendapati sejumlah resoran dengan label HALAL dengan huruf-huruf lumayan mencolok. Cukup membuat hati lega, setelah sepanjang perjalanan 79 km tersebut, mata terus disuguhi tulisan “ Babi Guling” di warung dan resto-resto yang ada di sepanjang jalan. Spontan muncul pertanyaan dihati, berapa persen sebenarnya Muslim di pulau yang mayoritas beragama Hindu ini. Tampaknya ada peningkatan signifikan pada 10 tahun terakhir ini. Karena ketika itu rasanya kami tidak menemukan hal tersebut.
Demikian pula ketika kami tiba di Kintamani. Kami sempat ragu menentukan resto halal mana yang akan kami jajal. Akhirnya kami memutuskan untuk masuk ke salah satu resto dimana terpampang tulisan besar ‘HALAL”dan “ADA MUSHOLA”. Restoran prasmanan ini terletak di pinggir jalan menghadap ke danau Batur yang terletak di gunung dengan nama yang sama. Sebuah pemandangan yang sungguh menakjubkan, Subhanallah …
Sayangnya, kenikmatan tersebut terganggu oleh banyaknya lalat yang mengerubuti meja panjang yang dipasang di bibir tebing tersebut … 😦 …
Setelah puas menikmati indahnya panorama, makan siang yang sebenarnya lumayan enak tapi gara-gara lalat jadi menjijikan, plus shalat zuhur dan asar yang dijama’ di mushola yang bersih, kamipun segera meninggalkan area. Kami meluncur menuju Ubud yang tadi hanya kami lewati karena khawatir terlalu sore tiba di Kintamani.
Menjelang magrib kami tiba di Ubud. Ubud adalah sebuah kota kecil dengan jalan-jalan sempit yang disesaki resto dan toko-toko souvenir serta barang seni khas Bali. Juga workshop untuk belajar menari, melukis dll kegiatan seni Bali. Banyak wisatawan asing yang menyukai kota ini. Kami berada di kota ini selama kurang lebih 1 jam, dan kemudian kembali ke Kuta, ke hotel dimana kami menginap, untuk beristirahat sejenak.
Malamnya kami keluar lagi dengan berjalan kaki untuk mencari makan malam. Lagi-lagi kami kembali dibuat terpana dengan adanya sebuah area dimana berjajar sejumlah restoran dengan label HALAL mencolok. Area ini berada di pinggir jalan raya di depan pantai Kuta yang crowded, dimana puluhan restoran berjajar, berlomba menarik perhatian pengunjung dengan gegap gempitanya music live yang disajikan khusus bagi para pengunjung.
Setelah puas menyantap hidangan makan malam, kami melewati tengah malam dengan menikmati suara deburan ombak yang saling berkejaran, sambil menatap langit luas tak beratap yang berlampu bintang-bintang itu. Ini masih ditambah lagi dengan nikmat lembutnya pasir ciptaan-Nya. Allahuakbar …
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya)”, (QS. An-nahl(160:12).
“Maka ni`mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS.Ar-Rahman(55):13).
Kesokan harinya giliran danau Bedugul dan tanah Lot yang kami sambangi. Di kedua obyek wisata ini berdiri pura, rumah ibadah umat Hindu. Mayoritas masyarakat Bali tampaknya memang sangat religius. Berkali-kali, sejak kedatangan kami di hari pertama, kami menyaksikan masyarakat berbondong-bondong menuju pura yang jumlahnya tak terhitung itu, untuk menghadiri upacara adat dan keagamaan. Fenomena ini terlihat baik di kota besar seperti Denpasar maupun kota-kota kecil yang kami lewati.
Di semua tempat umum tanpa kecuali, mulai dari toko, restoran hingga hotel bintang 5 sekalipun, sesajen yang berupa bunga-bungaan selalu terlihat disajikan, baik di dalamnya maupun di depan jalan masuknya. Bahkan di perempatan-perempatan jalan dan pohon-pohon besar yang sengaja diberi sarung kotak-kotak hitam putih khas Bali, hampir selalu ditemukan sesajen tersebut. Beberapa kali saya memergoki gadis-gadis muda berkebaya Bali dengan tali kuningnya di pinggang, meletakkan piring berisi bunga dan lidi yang ujungnya dibakar di kasir-kasir toko oleh-oleh yang kami kunjungi. Mereka meletakannya setelah membacakan doa sejenak.
Masyarakat Bali sebagai mayoritas pemeluk Hindu memang memiliki banyak sekali upacara adat dan keagamaan. Ngaben, Ngerebong, Mekotek, Mejaga-jaga dan Mesuryak adalah diantaranya. Dan sebagian besar upacara tersebut diselenggarakan di pura. Tak heran bila Bali mempunyai julukan pulau Seribu Pura.
Di Bedugul pada tahun 2004, beruntung kami bisa menyaksikan upacara seseorang yang baru saja meninggal dunia. Meski itu bukan upacara yang spektakuler seperti Ngaben, yaitu pembakaran jasad. Setelah ritual tertentu, tampaknya pembacaan doa, dengan sebuah perahu, debu hasil pembakaran jasad dibawa ke tengah danau. Disana debu tersebut dituangkan kedalam danau, diserahkan kepada perlindungan dewa laut.
Upacara-upacara semacam ini selalu menarik perhatian banyak wisatawan asing maupun wisatawan lokal, Tampaknya inilah kelebihan utama wisata Bali dibanding wisata pantai lain didunia ini.
Bedugul saat ini jauh berbeda dengan Bedugul 9 tahun yang lalu. Ini dapat kami rasakan begitu kami memasuki area parkir dan gerbang utamanya. Pekarangannya yang luas meskipun masih asri namun telah terlihat dikomersialkan sedemikian rupa. Sementara di bagian dalam pekarangan, dimana 2 pura berdiri, air danau naik hingga terlihat memisahkan kedua pura tersebut.
Namun seperti juga di sepanjang jalan menuju Kintamani kemarin, surprised juga terjadi disini, yaitu banyaknya resto di sekitar obyek wisata yang memasang label HALAL dengan tulisan mencolok. Bahkan di sisi seberang jalan pura Bedugul, di atas sebuah tempat yang agak tinggi, sebuah masjid besar terlihat kokoh berdiri. Allahuakbar …
Sedangkan di Tanah Lot, menurut saya pribadi tidak terlalu banyak perubahan, kecuali yaitu tadi, sama dengan di Bedugul, warung-warung makan dengan label HALAL. Alhamdulillah …
Namun ada pernyataan salah seorang penjaja warung yang cukup mengagetkan kami.
“Hati-hati bu, tidak semua warung disini benar-benar halal “, “Meski ada tulisan HALAL nya ??”, tanya saya lagi, setengah tak percaya. “Ya, meski ada tulisan HALAL nya”, jawabnya meyakinkan.
Na’udzubillah min dzalik. Memang sih tulisan HALAL besar nan mencolok tersebut memang bukan label standard yang dikeluarkan MUI. Bahkan sebagian tulisan tersebut hanya menggunakan huruf latin. Tetapi ada juga warung yang mencantumkan tulisan Bismillahirahmanirahim dalam huruf Arab, meyakinkan bahwa pemiliknya adalah Muslim. Namun tentu saja bukan jaminan bahwa masakannya Halal kaaan …
Kabar baiknya, masih menurut ibu pemilik warung asal Madura tadi, orang Bali asli kalau sudah memeluk Islam, “jempol “, katanya sambil mengangkat jempolnya. Subhanallah …
( Bersambung)
Leave a Reply