Suatu hari Ali mendapat laporan bahwa Abdullah bin Khabab dan istrinya telah dianiaya dengan begitu kejamnya hingga menemui ajal. Abdullah bin Khabab adalah salah seorang sahabat. Selain itu kelompok jahat tersebut juga membunuh tiga perempuan lain secara sadis.
Mendengar ini Ali segera mengutus seorang kepercayaannya untuk mendatangi para kawanan pembunuh tersebut, yang tak lain adalah kaum Khawarij. Namun utusan inipun langsung mereka bunuh tanpa adanya penjelasan.
Akibatnya para sahabat dan pendukung Alipun geram. Mereka menuntut Ali agar segera menangkap dan mengadili gerombolan perusuh tersebut. Maka Alipun segera bertindak, ia mempersiapkan pasukannya dan menuju ke arah Nahrawan, dengan tekad kaum Khawarij yang telah keterlaluan menantang kepemimpinannya itu harus diperangi. Ali teringat akan ucapan Rasulullah yang suatu ketika pernah berujar :
“Sekelompok kaum memisahkan diri dari Muslim dan mereka diperangi oleh salah satu dari dua kelompok yang paling dekat dengan kebenaran”.(HR. Muslim).
Namun Ali tidak pernah menyangka bahwa peristiwa itu akan terjadi pada dirinya. Tiba-tiba Ali teringat bagaimana prilaku orang-orang Khawarij terhadap hasil tahkim dalam perang Siffin yang baru lalu, padahal mereka pula yang memaksa Ali menyetujui usulan pihak Muawiyah tersebut.
“ Mengapa kalian menegosiasikan urusan agama Allah dengan orang-orang itu?”, protes al-Asy’ats bin Qais, seorang pentolan Khawarij ketika itu.
Ucapan itulah yang kemudian banyak ditiru para qari, alias pembaca Al-Quran yang merupakan mayoritas pendukung Khawarij. “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah”, inilah kata-kata yang kemudian menjadi senjata mereka dalam melawan kebijaksanaan Ali, sang khalifah, pemimpin mereka sendiri. Dan sejak itulah sekitar 12.000 orang yang tadinya merupakan pendukung Ali, menyatakan keluar dan memisahkan diri dari pasukan pendukung Ali. Itulah asal mulanya Khawarij.
Dan sejak itu pula dengan gencar mempropagandakan pandangan dan keyakinan mereka. Ironisnya, dengan beraninya pula mereka mengkafirkan semua orang yang berseberangan dengan pandangan mereka, termasuk Alipun, mereka kafirkan ! Mereka bahkan menuntut ponakan sekaligus menantu Rasulullah ini mengakui kekafirannya dan segera bertobat.
Tentu saja hal ini membuat Ali benar-benar prihatin. Hingga suatu saat Ali mengutus seorang sahabat, Ibn Abbas, agar menanyakan alasan mereka mengkafirkan dirinya. Ternyata salah satu alasan tersebut adalah karena pada perang Jamal yang baru lalu, Ali bukannya menawan Aisyah, umirul mukminin, tapi malah melepaskan bahkan menyuruh seseorang untuk mengawalnya pulang ke Madinah. Padahal sebagai pihak yang kalah dalam perang, sesuai ayat Al-Quran, mustinya ditawan, dibalas sesuai perbuatannya dan dijadikan budak. Mereka kemudian menyitir beberapa ayat diantaranya surat Al-Maidah ayat 45 dibawah ini,
“ Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”.
Ali terkesima mendengar hal tersebut. Aisyah walau bagaimanapun adalah istri Rasulullah, ibunya umat Islam, umirul mukminin. Mana mungkin ia mampu berbuat setega itu. Dan lagi perang Jamal adalah perang yang terjadi karena kesalah-fahaman, antara sesama Muslim, dan hasil adu domba pihak tertentu.
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. … “. (QS. Al-Ahzab(33):6).
Tapi itulah sifah kaum Khawarij. Mereka menggunakan ayat-ayat Al-Quran sebagai pembenaran sikap dan langkah mereka, namun dengan pemikiran yang sangat sempit dan kaku. Yang bagi orang awam selintas kelihatannya benar. Ironisnya, pemikiran ala Khawarij ini telah merasuk ke dalam sejumlah golongan dalam Islam hingga detik ini, tanpa menyadari bahwa hal tersebut adalah tidak benar. Mereka ini menggunakan ayat-ayat Al-Quran tanpa mau melihat situasi dan asbabul nuzulnya.
Maka karena mereka tidak bisa dinasehati akhirnya Alipun terpaksa memerangi mereka. Perang ini dinamakan perang Narahwan, karena terjadi di tempat tersebut. Ketika itu Ali berpidato
“Sungguh, aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Akan muncul suatu kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya”.
“Sekiranya pasukan yang memerangi mereka tahu pahala yang telah ditetapkan bagi mereka atas lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, niscaya mereka akan berhenti beramal. Ciri-cirinya adalah bahwa di antara mereka ada seorang laki-laki yang memiliki lengan tak berhasta dan di atasnya terdapat biji seperti putting susu dan juga berbulu-bulu putih. Pergilah kalian ke Mu’awiyah dan penduduk Syam dan kalian meninggalkan mereka. Sebab, mereka akan mendatangi keluarga dan harta-harta kalian (membunuh keluarga kalian dan menjarah harta kekayaan kalian) . Demi Allah, aku benar-benar mengharap bahwa mereka itulah kaum yang dimaksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena mereka telah menumpahkan darah yang haram dan mengelabui manusia. Maka, berangkatlah kalian atas nama Allah”.
Namun tampak bahwa nafsu dan bisikan syaitan telah membutakan orang-orang Khawarij. Dengan penuh semangat mereka menyambut pasukan Ali seraya berseru : “Tidak ada hukum kecuali milik Allah, ayo, songsonglah surga, sambutlah surga “.
Usai perang Nahrawan yang dimenangkan pasukan Ali, menyisakan banyak kesedihan. Pasukan Ali dilanda kelemahan dan perpecahan yang semakin parah. Suara Ali sebagai khalifah makin tidak didengarkan. Banyak diantara mereka yang tadinya mendukung dan membantu perjuangan Ali kini berbalik mengkritik dan mencelanya. Demikian juga rakyat Syria yang mustinya merupakan daerah kekuasaan Ali juga makin melecehkannya. Berkali-kali Ali berusaha membakar semangat persatuan pasukannya, agar mau memerangi rakyat Syria yang membangkang itu, namun tetap diabaikan.
Ali sungguh prihatin meghadapi cobaan berat ini. Ia menyadari bahwa waktunya akan tiba bahwa ia akan dianiaya pendukungnya sendiri, hingga suatu saat ia berkata « Jenggot ini akan berubah menjadi merah disebabkan darah yang mengucur dari kepala ini ».
Dan ini menjadi kenyataan ketika suatu hari Ali sedang menuju masjid untuk memimpin shalat Subuh. Ia dikuntit dan ditikam dengan pedang yang telah diberi racun oleh orang Khawarij bernama Abdullah bin Muljam dan 2 orang temannya. Awalnya Ali menyangka orang tersebut juga hendak sholat bersamanya.
« Hai Ali pengadilan adalah milik Tuhan, bukan milikmu atau temanmu ! », begitu pernyataan si pembunuh dengan penuh percaya diri, ketika akhirnya ditangkap, Tragedi mengenaskan ini terjadi 4 tahun setelah perang Siffin yaitu pada Jumat 17 Ramadhan tahun 40H( 661M), di usia Ali yang 60 tahun.
Dalam keadaan berlumuran darah hingga jenggot seperti perkiraan Ali, ia dibawa pulang ke rumah. Umi Kalsum, putri kesayangan Ali yang juga merupakan istri dari Umar bin Khattab menangis histeris melihat ayahnya pulang dalam keadaan demikian. Begitu pula orang-orang dekat Ali. Melihat keadaan Ali yang semakin parah, beberapa orang sempat menyarankan agar Ali segera menunjuk Hasan bin Ali sebagai penggantinya.
« Tidak », jawab Ali. « Aku tidak ingin memberi kalian amanat ataupun menghambat apapun keputusan kalian”.
“ Tapi apa yang akan kau katakan kepada Tuhanmu bila kau tinggalkan kami tanpa seorangpun pemimpin?”, desak mereka lagi.
“ Akan aku katakan pada-Nya bahwa aku kembali kepada-Mu seperti rasul-Mu yang yang kembali tanpa menunjuk seorangpun pemimpin baru”, jawab Ali meyakinkan.
Kemudian Ali menasehati, diantaranya “Puncak kekayaan adalah kecerdasan akal sedang dasar kemiskinan adalah ketidak-tahuan. Sementara puncak kejahatan adalah kesombongan, dan puncak kebaikan adalah sifat dan prilaku yang santun”.
Demikianlah akhir kehidupan Ali, sang khulafaurrasyidin ke 4 itu wafat tanpa meninggalkan wasiat siapa penggantinya. Namun pendukungnya tetap mengangkat Hasan sebagai penggantinya. Meski tak lama kemudian, demi mencegah perpecahan umat, dengan amat bijaksana Hasanpun mengundurkan diri, dan menyerahkan seluruh kekuasaan ke tangan Muawiyyah.
Maka sejak itu berdirilah kerajan Islam Umayah, yang merupakan keluarga dari bani Quraisy. Kerajaan ini membentang dari Iberia di Spanyol sekarang, Afrika utara, seluruh jazirah Arab hingga ke bagian timur India, yang berdiri hingga tahun 750 M.
Sementara itu, paska terbunuhnya Ali, terbersit rasa penyesalan di hati Muawiyah yang sebenarnya memang tidak mempunyai rasa permusuhan pribadi. Itu sebabnya maka ia mengundang Saad bin Abi Waqqash, salah satu sahabat utama yang tidak berpihak baik kepada Ali maupun Muawiyyah. Selain Saad, tercatat Abdullah bin Umar, Muhammad bin Maslamah dan Usamah bin Zaid adalah beberapa sahabat yang termasuk di kelompok ini. Muawiyah memulai interogasinya dengan membacakan ayat 9 surat Al-Hujurat berikut :
”Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu’min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
Namun apa jawaban Saad, yang ternyata benar-benar membuat Muawiyah tercengang.
“Bagaimana mungkin aku dapat memenuhi ajakan melawan seseorang yang Rasulullah pernah bersabda “ Kau bagiku seperti Harun dengan Musa. Namun demikian tidak ada nabi setelah aku”. Kalau kau masih juga tidak percaya wahai Muawiyah, dengarlah apa yang dikatakan Rasulullah kepada Ali : “ Dimanapun engkau Ali, kau bersama keadilan, dan keadilan bersamamu!”.
Mendengar itu Muawiyah berkata: “ Apakah ada orang lain yang mendengar ini? Kau harus membuktikannya, Saad”.
Maka Saadpun menyebut beberapa nama, diantaranya umirul mukminin Ummi Kalsum. Beruntung umirul mukminin ini masih hidup hingga dapat diambil kesaksiannya. Dan ternyata memang benar ia mendengar apa yang dikatakan rasulullah, persis seperti apa yang didengar Saad. Seketika pucatlah wajah Muawiyah, dengan nada penuh penyesalan ia berkata,
“Wahai Abu Ishak ( Saad bin Abi Waqqash), aku bersumpah, demi Allah, kalau saja aku mengetahui hal ini, tidak akan aku memberontak dan berperang melawan Ali. Mulai saat ini aku tidak akan lagi mencerca perbuatan Ali yang telah lalu”.
Perlu menjadi catatan, pembunuh Ustman yang tampaknya merupakan sebuah konspirasi dasyat, hingga detik ini tetap menjadi rahasia yang tak terpecahkan, menjadi polemik bagi sebagian umat Islam. Rentetan pembunuhan Ustman dan Ali, bahkan juga mungkin Umar, disusul dengan lahirnya kelompok Syiah dan kelompok Khawarij adalah sebuah rangkaian yang tampaknya sudah direncanakan secara sistimatis dan sangat matang.
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 22 Oktober 2013.
Vien AM.
Referensi:
1. Ali bin Abi Thalib, le heroes de la chevalerie karya Recit Haylamas
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Ali_bin_Abi_Thalib
3. http://www.anneahira.com/ali-bin-abu-talib.htm
4. Kisah hidup Ali ibn Abu Thalib, karya Dr. Musthafa Murad.
5. Berbagai sumber lainnya.
Leave a Reply