“Dan datanglah skaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya ».(QS.Qaaf(50) :19).
“Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai kerongkongan. Dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat menyembuhkan”. Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan. Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan). Dan kepada Rabbmulah pada hari itu kamu dihalau“. (QS. Al-Qiyamah(75): 26-30).
Setiap mukmin pasti tahu dan yakin bahwa kematian adalah hal yang pasti dan tidak mungkin dihindari. Meski seringkali kesadaran ini hanya datang ketika seseorang sedang sakit, sakit yang parah, biasanya. Padahal kematian tidak harus selalu didahului dengan sakit, kematian karena kecelakaan, contohnya. Dan berdasarkan catatan, kematian karena kecelakaan jumlahnya tidaklah sedikit.
Sakit, seringan apapun, pada umumnya, memang tidak enak. Yaaah, namanya juga sakit. Tapi justru dengan sakit inilah orang bisa merasakan nikmatnya sehat. Apalagi bila sakit tersebut sampai harus dirawat di rumah sakit, yang ongkos sewa kamarnya saja bisa mencapai ratusan ribu rupiah per hari !
Padahal sedianya uang tersebut bakal dipakai untuk liburan keluarga yang sudah direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya. Itu bagi keluarga tingkat menengah. Belum bagi mereka yang untuk hidup sehari-hari saja susah, yang terpaksa harus berhutang untuk berobat. Oh, makin terasa, alangkah mewahnya sehat itu …
Namun sakit juga memiliki sejumlah hikmah. Dengan sakit, orang yang biasa kerja keras tak mengenal waktu dan istirahat, terpaksa harus beristirahat. Karena bagaimanapun tubuh itu perlu dan mempunyai hak untuk istirahat. Dengan istirahat, tubuh akan memperoleh kembali kesehatan dan kekuatan yang selama itu terkuras habis.
Dengan sakit, kita juga bisa memperkirakan berapa banyak orang yang benar-benar menyayangi dan memperhatikan kita. Bukankah Rasulullah mengajarkan kita agar suka menjenguk saudara dan handai taulan yang sakit ? Inilah saat yang tepat untuk introspeksi bagaimana kita menjaga silaturahim. Mungkin hadis yang menceritakan bahwa silaturahim bisa memperpanjang umur seseorang bisa memotivasi agar kita dapat menjaga hablu minna naas ini.
Dengan sakit pula, bisa mengingatkan kita akan mati. Meski sebaiknya, mengingat mati tidak harus menunggu sakit dahulu, apalagi sakit parah. Karena bisa jadi sakit yang demikian ini sudah terlalu dekat dengan ajal. Padahal Allah swt tidak mengampuni dosa orang yang mengingat dosa-dosa, yang mengingat Sang Khalik dan bertobat pada saat ajal telah di pelupuk mata.
“ Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang”… … ”. (QS.An-Nisa(4):18).
Jadi sakit, apalagi sakit yang berujung pada kematian, bisa juga diartikan sebagai tanda bahwa Allah swt masih menyayangi kita, masih mau memperhatikan kita. Betapa tidak, sebelum Ia mengutus malaikat Izrail, malaikat pencabut nyawa, untuk melaksanakan tugasnya, Sang Khalik memberi kita kesempatan untuk segera bertobat, mengingat segala kesalahan dan khilaf.
Yang juga menggembirakan, sakit ternyata dapat menggugurkan dosa dan khilaf. Simak sabda Rasulullah saw berikut :
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya melainkan Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya“. (HR. Bukhari dan Muslim).
Ini mengingatkan saya pada bapak, suami, eyang, uyut kami tercinta yang telah dikarunia-Nya usia 85 tahun, bahkan 86 tahun pada Februari tahun mendatang. “ Sudah dapat bonus 22 tahun lebih”, kata orang. Ini kalau kita bandingkan dengan umur Rasulullah yang wafat di usia 63 tahun lebih.
Saat ini beliau sedang berbaring di sebuah RS. Diawali pada Jumat menjelang Subuh, 6 desember 2013 yang lalu. Bapak terjatuh dari tempat tidurnya. Sejak itu beliaupun kehilangan tenaga, tangan dan kakinya sangat sulit untuk digerakkan. Dan dari hasil MRI, diketahui bahwa telah terjadi kerusakan di beberapa syaraf leher beliau.
Dapat dibayangkan betapa terpukulnya beliau. Harap maklum bapak adalah seorang mantan perwira tinggi sekaligus pejabat, yang hingga hari inipun sebetulnya masih dinantikan keputusan-keputusan dan pemikiran-pemikiran briliyannya. Bapak memang secara rutin masih sering menghadiri pertemuan penting para mantan perwira tinggi, untuk membahas kondisi negri kita tercinta yang makin hari makin amburadul ini.
Disamping itu bapak juga mantan atlit. Beliau pernah ikut terlibat dalam PON I di Solo. Ini kelihatannya yang membuat bapak tampak relatif sehat diusianya, dibanding rekan-rekan bapak lainnya. Olahraga ringan teratur, hidup disiplin, makan tidak berlebihan dan rutin memeriksakan kesehatan tampaknya adalah kunci kesehatannya. Bapak memang bisa dibilang jarang sakit.
Namun saat ini, bapak hanya bisa terbaring lemah, yang bahkan hanya untuk menggerakkan jari-jari telapak tanganyapun tak mampu!
“Masya-Allah”, bisik bapak dengan suara lirih, sambil menatap syahdu jari-jemarinya. Ketika itu saya baru saja menata jari-jari beliau agar tetap lurus terbuka, tidak menutup dengan sendirinya. Betapa sedih dan terharunya hati ini mendengar bisikan kagum, yang keluar tulus dari hati dan bibir beliau itu. Pasti bapak sedang membayangkan kebesaran dan kehebatan-Nya, yang dengan sekali menyentil ujung syaraf leher beliau telah membuatnya tidak berkutik, alias KO. Allahuakbar …
Selanjutnya air mata beliaupun menitik, keluar dari matanya yang berkaca-kaca. Dan keluarlah dari bibir beliau penyesalan, rasa sombong yang diam-diam diakui telah menguasainya.
“ Bapak ini sombong, merasa lebih sehat dan kuat dari teman-teman lain. Merasa pintar, merasa hebat, karena keputusan bapak selalu dinantikan teman-teman”, begitu keluhnya diikuti kata “Astaghfirullahalladzim” berkali-kali. Kemudian kalimat-kalimat zikirpun terus mengalir dari bibirnya hingga beiau tertidur, terbangun dan tertidur lagi. Dan ketika terdengar azan berkumandang beliau segera mengerjakan shalat sambil tetap berbaring diatas ranjang, dengan tayamum sebisanya.
Sungguh, betapa sayangnya Allah pada beliau, karena tidak jarang orang tertimpa sakit malah banyak mengeluh. Meski bapakpun bukannya tidak mengeluh sama sekali. Apalagi setelah belakangan ini beliau terserang diare hebat, membuat bapak harus menggunakan pampers, layaknya seorang bayi. … 😦
“Bapak jadi kayak anak kecil lagi”, keluhnya ketika putra-putri beliau secara bergantian menyuapinya.
“ Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (QS. Al-Hajj (22:5).
Syukurlah Allah swt tidak membuat bapak kami tercinta sampai menjadi pikun, nau’dzubillah min dzalik. Benar janji Allah, tidaklah Ia menguji hamba-Nya lebih dari kapasitas hambanya. Dalam keadaan tak berdaya tersebut, bapak masih sanggup menanyakan nama obat yang diberikan para dokter, apa kegunaannya dan juga menyapa menanyakan nama para dokter yang merawatnya dan sekaligus menghafalnya. Bapak juga masih bisa berpesan agar ibu kami dijaga baik-baik, diperhatikan kesehatannya, bahkan urusan pembayaran listrik rumah dll pun masih sempat ditanyakannya.
“ Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir“.(QS. Al-Baqarah(2);286).
Pertanyaannya, benarkah bapak menjadi sakit seperti sekarang ini karena bapak ‘sombong’ meski hanya bersembunyi di dalam dada, sebagaimana perkiraan beliau? Wallahua’alam … Yang pasti, setiap orang pasti memiliki kesalahan dan pernah khilaf, sekecil apapun. Dan tidak jarang, bila saja mau merenung dan berpikir, ia bisa menyadari apa kesalahan utamanya. Adalah PR bagi kita semua untuk selalu mau introspeksi, muhasabah, merenung, apa yang telah kita perbuat selama hidup ini. Karena hidup adalah kesenangan sekaligus kesedihan yang harus dipertanggung-jawabkan kepada Sang Pemberi Hidup, Al–Hayat, Allah Azza wa Jalla.
Akhir kata, kami hanya dapat memohon kepada-Nya, agar bapak yang besok ini akan mendengar keputusan tim dokter, untuk dioperasi atau tidak, diberi kesembuhan yang baik, diringankan penderitaannya, dimudahkan segala urusannya, dimaafkan segala salah dan khilaf dan diterima tobatnya. Dan bila memang sudah waktunya, mohon dikembalikan dalam keadaan khusnul khotimah, serta dapat melewati sakratul maut dengan tidak terlalu tersiksa.
Imam Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, ia bercerita (menjelang ajal menjemput Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
“bahwa di hadapan Rasulullah ada satu bejana kecil dari kulit yang berisi air. Beliau memasukkan tangan ke dalamnya dan membasuh muka dengannya seraya berkata: “Laa Ilaaha Illa Allah. Sesungguhnya kematian memiliki sakaratul maut”. Dan beliau menegakkan tangannya dan berkata: “Menuju Rafiqil A’la”. Sampai akhirnya nyawa beliau tercabut dan tangannya melemas”.
“ Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”.(QS.Al-Fajr(89):27-30).
Yang juga patut menjadi catatan, kita tidak boleh menilai apakah seseorang itu khusnul khotimah atau tidak, hanya dari keadaan lahirnya. Karena yang namanya sakratul maut, sesungguhnya pasti sakit. Tidak terkecuali Rasulullah saw.
Dari Anas Radhiyallahu anhu, berkata: “Tatkala kondisi Nabi makin memburuk, Fathimah berkata: “Alangkah berat penderitaanmu ayahku”. Beliau menjawab: “Tidak ada penderitaan atas ayahmu setelah hari ini”.
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 15 Desember 2013.
Vien AM.
Leave a Reply