Yaman membara. Serangan yang dillakukan koalisi Arab sejak 26 Maret 2015 lalu dilaporkan telah menelan banyak korban tewas. Serangan gabungan Negara-negara teluk dibawah pimpinan Arab Saudi ini dilakukan atas permintaan presiden resmi Yaman yang dikudeta kelompok Syiah Houthi Februari lalu. Disinyalir, Iran berada di belakang kelompok pemberontak tersebut. Ini menambah jumlah perang dan kerusuhan yang melanda Timur Tengah yang telah terlihat tanda-tandanya sejak 2010 lalu, yaitu Arab Spring.
Ketika itu para pimpinan tertinggi Negara-negara Arab seperti Tunisia, Libia, Mesir, Suriah, Aljazair, Maroko, Irak, Sudan dll didemo rakyatnya karena dianggap telah menjalankan pemerintahan secara tidak demokratis alias otoriter. Akibatnya, secara serempak, pemberontakan dan kerusuhanpun melanda Negara-negara tersebut. Tampaknya ini adalah buah dari gembar-gembor Demokrasi ala Barat yang berhasil menarik simpati dunia Islam, karena Islam saat ini memang sedang mengalami masa keterpurukannya. Sayangnya, hingga detik ini, meski presiden telah diganti melalui cara demokrasi, perang saudara masih terus saja terjadi. Ada apakah gerangan ??
Mesir, contohnya. Presiden Husni Mubarak telah djatuhkan, pemilu secara demokratis telah dijalankan, dengan Mohammad Mursi sebagai pemenangnya. Namun tak sampai setahun jendral Abdul Fattah al-Sisi dan kelompoknya meng-kudeta Mursi. Bahkan resmi menyatakan bahwa Ikhwanul Muslimin yang merupakan pendukung kuat Mursi adalah organisasi teroris. Tak tanggung-tanggung ratusan anggota organisasi yang dibentuk Hassan al Banna pada tahun 1928 dengan tujuan agar umat Islam bersatu dibawah payung Al-Quran dan As-Sunnah, di-eksekusi mati, dan ribuan lainnya dijebloskan ke bui.
Demikian pula Libia. Padahal dulu, sebelum pemberontakan, dibawah presiden Muammar Ghadaffi, meski dikenal otoriter, Libia cukup maju dan makmur. Ini berkat dibangunnya sebuah sungai buatan sepanjang 2800 km, yang berhasil membuat padang tandus Libia menjadi lahan hijau yang menghasilkan buah dan sayur -sayuran.
Uztad Arifin Ilham melalui status FB-nya berkata, “Alhamdulillah, sudah tiga kali ke Libya, dan dua kali shalat berjamaah di lapangan Moratania dan Lapangan Tripoli. Shalat berjamaah yang dihadiri 873 ulama seluruh dunia dan rakyat Libia, dengan Imam langsung Muammar Ghadaffi, bacaan panjang hampir 100 ayat Al Baqarah, sebagian besar jamaah menangis, sebelumnya diawali dengan syahadat 456 muallaf dari suku2 Afrika, dakwah beliau selalu mengingatkan tentang ancaman zionis dan blok Barat, pemimpin Arab boneka AS, dan selamatkan Palestina…”.
Suriah dan Irak lebih parah lagi. Perang saudara antara sesama bangsa dan sesama Muslim, yaitu Sunni dan Syiah berkecamuk dengan dasyatnya. Presiden Suriah, Bashar al-Assad yang menganut Syiah Rafidhah, secara brutal membantai rakyatnya sendiri yang beraliran Sunni.
Seperti diketahui, Sunni dan Syiah sejak dulu memang tidak pernah dapat disatukan. Awalnya perbedaan hanya pada pendapat siapa yang berhak meneruskan kepemimpinan Islam paska wafatnya Rasulullah Muhammad saw. Namun demikian istilah Syiah baru muncul setelah terjadinya perseteruan antara keponakan Rasulullah saw, Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, khalifah ketika itu. Kelompok yang mendukung Ali menamakan diri sebagai “Shi’at Ali”, atau pengikut Ali, yang di kemudian hari berkembang menjadi Syiah. Saat ini dilaporkan, anggota Syiah berjumlah sekitar 10-15% dari Muslim di dunia.
Dengan berkembangnya waktu, Syiah makin terpecah menjadi banyak sekali kelompok kecil-kecil. Namun sebagian ulama sepakat bahwa Syiah terpecah menjadi 3 kelompok besar. Diantara 3 kelompok tersebut, yang sesat dan perlu diperangi adalah kelompok Syiah Istna Asyariah ( Syiah 12 imam). Nama lain kelompok ini adalah Syiah Rafidhah/Syi’ah Ja’fariyyah/Syiah Imamiyyah. Mayoritas dari mereka saat ini berada di Iran, Irak, Kuwait, Bahrain, India, Saudi Arabia, di beberapa daerah di Suriah dan beberapa daerah bekas Uni Sovyet.
Sedangkan Syiah yang lain bukan diperangi tapi cukup dibina dan disadarkan. Sayangnya, justru Syiah Rafidhah inilah yang terbesar, yang merupakan mayoritas dan terus berkembang pesat termasuk yang masuk ke Indonesia. Padahal kesesatannya dari hari ke hari makin menjadi-jadi, terakhir pada masa kekuasaan Ayatullah Khomeini di Iran pada tahun 1979.
Syiah sejak lama berkeyakinan bahwa Alquran yang ada sekarang ini telah dipalsukan. Karena ayat yang menyatakan bahwa Ali telah ditunjuk langsung oleh Allah swt untuk menggantikan Muhammad saw telah dihapuskan. Tentu saja ini adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Bukanlah Allah sendiri yang mengatakan bahwa melalui para malaikat Al-Quran akan terus dijaga dan dipelihara dengan sungguh-sungguh?? Bukankah sejak dahulu penghafal Al-Quran sudah ada, dan jumlahnyapun banyak sekali.
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS. Al-Hijr(15):9).
Syiah juga berpendapat bahwa para imam maksum alias tidak mungkin berbuat kesalahan. Kedudukan mereka bahkan lebih tinggi dari para nabi dan malaikat. Mereka juga menuhankan Ali. Syiah mengenal kawin mut’ah, menyiksa diri pada hari Asyura, mengkafirkan para sahabat sejati dan istri nabi serta menjadikan cercaan terhadap mereka sebagai ibadah !.
Patut menjadi pertanyaan besar, siapa sebenarnya yang paling senang ketika Sunni dan Syiah berperang? Siapa musuh terbesar Islam kalau bukan Israel dan sekutunya yaitu Amerika Serikat.
Ya, jurang perbedaan antara Sunni dan Syiah memang sengaja dibuat makin lama makin jauh, dengan tujuan agar umat Islam lupa kepada musuh aslinya, yaitu Yahudi. Agar Zionis Israel bebas mengusir rakyat Palestina dari tanah airnya sendiri, dan membangun bait mereka di Yerusalem.
Tapi tindakan koalisi Arab menyerang Yaman juga bukan berarti salah. Karena Syiah di Yaman yang merupakan perpanjangan Syiah Iran adalah musuh dalam selimut kaum Muslimin, yang sewaktu-waktu bisa menusuk dari belakang. Keberhasilan Syiah merebut kekuasaan di Yaman sebagai tetangga terdekat Arab Saudi, sangat berpotensi membahayakan Mekah dan Madinah, 2 kota tersuci umat Islam.
Simak pengakuan sultan Salahuddin, khalifah yang berhasil merebut kembali Masjid al-Aqsha di Jerusalem dari tangan pasukan Salib pada tahun 1187. Dari kisah tersebut kita juga akan tahu bahwa Syiah Rafidhah sudah ada sejak zaman tersebut.
“Ketika Shalahuddin al-Ayyubi memutuskan untuk menghancurkan kaum Syiah Rafidhah dan Daulah al-‘Ubaidiyyah di Mesir, ada yang bertanya:
“Mengapa anda memerangi kaum Syiah Rafidhah dan Daulah al-‘Ubaidiyyah di Mesir, tapi membiarkan kaum Romawi Salibis (Kristen) menguasai Baitul Maqdis dan wilayah Palestina?“
Beliau menjawab: “Aku tidak akan memerangi kaum Salibis lalu membiarkan ‘punggung’ku tersingkap di hadapan kaum Syiah!”
Maka beliau pun membasmi Daulah Syiah al-‘Ubaidiyah di Mesir, Maghrib dan Syam, lalu mengembalikan kebesaran Ahlussunnah wal Jamaah atau Sunni di negri-negri yang tadinya memang ber-mahzab Sunni tersebut. Setelah itu, beliau pun memimpin penaklukan kembali Baitul Maqdis, membersihkan Masjid al-Aqsha dari kenistaan kaum Salibis dan mengembalikan Palestina ke pangkuan umat Islam”.
http://www.pkspiyungan.org/2015/03/kenapa-raja-salman-tidak-serang-israel.html
http://kisahmuslim.com/dendam-syiah-kepada-shalahuddin-al-ayyubi/.
Simak pula prilaku busuk kerajaan Syiah Shafawi ( di daerah Iran sekarang ) pada abad 13 yang bersekongkol dengan pasukan Salib demi menjatuhkan kerajaan Islam Turki Ottoman yang dulu pernah berjaya selama berabad-abad. Kemudian memaksa dengan kekerasan rakyatnya yang ketika itu mayoritas Sunni untuk berpindah ke Syiah.
Kini, menjadi pertanyaan akankah raja Salman bin Abdul Aziz dari Arab Saudi, yang merupakan pimpinan operasi militer gabungan Dewan Kerja Sama Negara-Negara Arab Teluk (GCC) bertajuk “Aashifatul Hazm” (Badai Penghancur) mengikuti jejak pendahulunya ? Yaitu menaklukkan kembali Jerusalem dengan Masjidil Aqshanya setelah serangannya ke Yaman ? Sebuah mimpi besar bagi umat Islam yang sejak berdirinya Negara Israel di tanah Palestina terpaksa terus menyaksikan kebiadaban Zionis terhadap saudara-saudari kita di sana.
Berikut penegasan raja Salman dalam sambutannya pada pembukaan KTT Liga Arab ke-26 di Mesir, Sabtu (28/03/2015) yang baru lalu.
“Sesungguhnya urusan Palestina tetap menjadi hal terpenting bagi kami, sebagaimana sikap Arab Saudi terhadap masalah ini ( penyerangan Syiah Yaman, red) dari dahulu untuk terus memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina dan berdirinya negara Palestina yang berdaulat serta menjadikan kota Al-Quds yang mulia sebagai ibu kotanya. Hal ini sejalan dengan keputusan Resolusi Legitimasi Internasional dan Inisiatif Perdamaian Arab tahun 2002, keputusan ini disambut hangat oleh dunia internasional tetapi Israel merasa tidak mengetahuinya”.
http://www.pkspiyungan.org/2015/03/raja-salman-palestina-dan-suriah-babak.html
Ya Allah kabulkanlah keinginan raja Salman dan satukan umat Islam dalam menghadapi Zionis Israel, agar dapat segera keluar dari keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan serta permainan licik musuh-musuh Islam, aamiin YRA.
“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya“.(QS.Ali Imran(3):54).
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 8 April 2015.
Vien AM.
Leave a Reply