Tolikara, sebuah kabupaten di propinsi ujung timur sana tiba-tiba namanya mencuat. Distrik subur yang terletak di Papua bagian tengah dan terdiri atas 4 kabupaten ini memiliki luas wilayah 5.234 km2 dan penduduk sebanyak 54.821 jiwa (2003). Ibukota Tolikara terletak di Karubaga. Tolikara mempunyai 2 bandara yaitu di Karubaga dan Kanggime. Selain ke dua kota tersebut wilayah ini sangat sulit dijangkau baik melalui darat maupun udara. Dari udara, Karubaga dan Kanggime dapat ditempuh dalam waktu 20 menit melalui Wamena.
Berita dari Tolikara datang karena adanya penyerangan terhadap jamaah yang sedang melakukan shalat Ied di halaman Koramil 1702 / JWY tepat pada hari Raya Iedul Fitri 1436 H yang jatuh pada hari Jumat 17 Juli lalu. Saat itu imam sedang mengucapkan takbir pertama ketika tiba-tiba sekelompok orang mendekati jamaah sambil berteriak-teriak dan melempari jamaah dengan batu.
Jamaahpun segera bubar ketakutan dan berlarian menyelamatkan diri ke markas Koramil. Namun tak lama kemudian terlihat asap api membumbung tinggi. Rupanya sejumlah rumah milik kaum Muslimin, pasar dan masjid yang terletak tak jauh dari lokasi telah habis dilalap api.
Apa yang sebenarnya terjadi??? Berita yang kemudian muncul terlihat simpang siur dan berubah-rubah. Metro tv yang tercatat melaporkan berita paling awal, yaitu tak sampai 1 jam setelah tragedi, juga segera meralat berita yang disebarkannya sendiri. Tampak jelas bahwa kantor-kantor berita sekuler ( baca : pro non Muslim ) seperti Metro tv, Kompas dan Tempo tidak ingin memberikan kesan bahwa umat Islam adalah pihak yang dirugikan. Meski jelas terbukti kegiatan shalat Ied telah terganggu bahkan masjid, sejumlah kios dan puluhan rumah penduduk Muslim telah hangus terbakar!
Dengan teganya mereka meralat bahwa yang terbakar bukan masjid melainkan “hanya”musola, itupun karena terkena imbas api yang membakar deretan kios dan rumah penduduk. Ini masih ditambah pernyataan bahwa itu semua terjadi gara-gara pasukan keamanan yang tidak dapat mengatasi massa yang berusaha berkomunikasi mencegah dilaksanakannya shalat Ied, hingga menyebabkan adanya yang tertembak dan akhirnya membuat mereka mengamuk. ???
Belum lagi pernyataan wakil presiden Jusuf Kalla yang mengatakan bahwa pengeras suara masjid adalah biang keladinya, karena telah mengganggu mayoritas penduduk yang memang non Muslim itu. Padahal kenyataan di lapangan mengatakan bahwa umat Islam di Tolikara sejak dulu tidak pernah menggunakan pengeras suara. Kapolres Tolikara AKBP Suroso yang ikut shalat Ied ketika kejadian adalah salah satu saksi yang mengatakan tidak ada speaker saat pelaksanaan shalat tersebut.
Bahkan ketika terdapat laporan bahwa di Tolikara bendera dan lambang Israel banyak ditemui di wilayah tersebut dengan ringannya Tedjo Edy, menko polhukam meminta semua pihak tidak mempersoalkan hal tersebut. Mungkin pak mentri lupa bahwa Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara Zionis tersebut, karena tidak sesuai dengan UUD kita. Lebih-lebih lagi yang dijajah adalah Palestina yang tidak dapat dipungkiri mempunyai hubungan emosional yang sangat erat dengan rakyat Indonesia yang mayoritas adalah Muslim.
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” (Pembukaan UUD 1945)
“Memang mereka mengundang, ya kayak kita mengundang dari Arab, dari mana, ya sama saja, dibagi undangan. Tapi yg saya dengar ya itu penggeraknya orang-orang kita juga, dibagi undangan,” pungkas dia. Ntah apa alasannya harus membandingkannya dengan orang Arab.
( http://www.dakta.com/news/2039/ada-apa-hubungan-gidi-dengan-israel ).
Maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sejumlah ulama yang peduli akan hal tersebut segera membentuk tim pencari fakta dengan nama Komite Umat untuk Tolikara (KOMAT). Komite yang diketuai uztad Bachtiar Nasir ini pada hari Selasa (21/7/2015) memberangkatkan tim penyidik langsung ke lokasi. Tim kecil dibawah pimpinan uztad Fazdlan Garamatan, yang merupakan putra asli Papua ini datang ke lokasi bersama 7 anggota tim dari berbagai latar belakang ilmu. KOMAT mendesak TNI dan Polri untuk menindak unsur-unsur dan atribut yang mengarah pada keterlibatan pihak asing yang tidak bertanggungjawab. Berikut 7 poin pernyataan sikap KOMAT:
http://www.jurnalislam.com/nasional/read/695/pernyataan-sikap-komite-umat-untuk-tolikara.html
Berdasarkan spanduk yang dipampang di halaman kantor Pusat GIDI ( Gereka Injil Di Indonesia) di Jayapura, disebutkan jelas bahwa pada 15 Juli-19 Juli GIDI akan menyelenggarakan seminar dan KKR ( Kebaktian Kebangunan Rohani) Internasional DIGI di Kaburaga kabupaten Tolikara. Acara ini akan dihadiri pendeta asal Israel bernama Benjamin Berger. Maka demi suksesnya perhelatan akbar tersebut dikeluarkanlah surat edaran Badan Pekerja Wilayah Toli Gereja Injili Di Indonesia (GIDI), dengan nomor 90/SP/GIDI-WT/VII/2015. Surat edaran tersebut antara lain melarang umat Islam melakukan shalat Ied yang jatuh di antara hari-hari acara, yaitu Jumat tanggal 17 Juli di wilayah mereka. Ini masih ditambah lagi dengan pelarangan pemakaian jilbab pada tanggal-tanggal tersebut!
Untuk diketahui bupati Tolikara, Usman Wanimbo menyatakan Tolikara adalah rumah GIDI berkat adanya perda yang telah disahkan DPRD pada tahun 2013. Jadi menurutnya sah-sah saja bila wilayahnya itu melarang rumah ibadah lain termasuk gereja selain milik GIDI. Musola ada karena sebelum itu memang sudah ada, ujarnya. Usman sendiri menjabat sebagai bupati Tolikara sejak 10 Juli 2012
Sementara itu kapolri jenderal polisi Badrodin Haiti menyatakan bahwa pertemuan internasional yang diselenggarakan GIDI di Tolikara bermasalah. Karena acara internasional yang mengundang orang asing itu tidak mengajukan izin ke Mabes Polri.
Pada Rabu, 22 Juli 2015 di Jakarta, Badrodin juga memastikan bahwa surat edaran yang diterbitkan GIDI tersebut asli, dan tengah dikoordinasikan agar segera dicabut.
( http://www.atjehcyber.net/2015/07/kapolri-surat-edaran-gidi-di-tolikara.html?m=1 ).
Ia menjelaskan, ketika surat edaran itu diterima oleh kapolres Tolikara, kapolres langsung berkoordinasi dengan presiden GIDI dan bupati Tolikara yang tengah berada di Jakarta. Bupati kemudian berkoordinasi langsung dengan panitia di Tolikara dan meminta agar surat tersebut dicabut.
“Kemarin saya cek, memang penjelasan dari pendeta yang menandatangani, surat itu sudah dicabut. Tapi, sampai kejadian itu, kapolres belum menerima (surat) tertulisnya,” ujarnya menambahkan.
Sementara itu ada sumber yang mengatakan bahwa OPM ( Organisasi Papua Merdeka) terlibat pada kerusuhan Tolikara. Referendum yang kabarnya pernah dilontarkan Jokowi adalah salah satu pemicunya.
http://berita-nasional-aktual.blogspot.com/2015/07/isu-jokowi-janjikan-referendum-papua.html
“Pak Jokowi memang banyak memberikan janji yang tidak dipenuhinya. Tapi isu janji untuk referendum bagi Papua, ini saya kira sudah kelewatan. Karena itu Jokowi harus segera menyikapinya karena ini masalah yang sangat penting dan bukan sekedar janji kampanye biasa,” ujar pakar Hukum Tata Negara Margarito, Kamis (23/7).
Menurut Margarito, isu ini kembali muncul dikaitkan dengan terus bergejolaknya Papua. Padahal ujarnya, isu ini sudah lama beredar sejak kampanye Pilpres 2014 lalu dan kembali hangat dibicarakan karena insiden Tolikara.
Selanjutnya setelah melakukan penelusuran, Tim Pencari Fakta (TPF) KOMAT berkesimpulan bahwa insiden yang terjadi di Tolikara bukanlah kriminal biasa. Bahkan ada indikasi bahwa korban yang meninggal tertembak kabarnya terjadi sebelum aparat memberikan tembakan peringatan kepada massa yang jumlahnya makin menggurita hingga 3000 orang.
“Insiden Tolikara sama sekali bukan kasus kriminal biasa. Dan bukan kasus spontanitas. Namun ditengarai ada upaya untuk menciptakan dan mengusik kehidupan beragama secara sistematis. Faktanya massa yang mengepung jamaah shalat Ied berasal dari tiga titik, dan ada suara-suara yang mengomando penyerangan,” jelas Ustadz Fadlan Rabbani Garamatan saat jumpa pers di Jakarta, pada Jumat (31/07/2015).
Di samping itu, Komat juga berkesimpulan bahwa presiden GIDI patut menjadi tersangka. Sebab ia tidak mengindahkan serta abai terhadap peringatan yang telah diberikan Kapolres hingga mengakibatkan insidenpun terjadi.
http://www.arrahmah.com/news/2015/07/31/tpf-tragedi-tolikara-termasuk-pelanggaran-ham-berat.html
Akhirnya, TPF menyimpulkan dengan yakin tanpa keraguan bahwasanya GIDI adalah teroris Zionis yang bukan hanya menistakan Islam, namun ia juga telah menistakan Kristen, bahkan menistakan seluruh bangsa dan rakyat Indonesia. Tidak diragukan dan tidak bisa dipungkiri bahwa GIDI adalah teroris Zionis internasional yang sangat berbahaya.
Namun dibalik itu semua ada hikmah yang lebih penting dari segalanya, diantaranya yaitu dibangunnya sebuah masjid yang sejatinya ingin dilarang di Tolikara. Terlebih lagi masjid itu bukan masjid seadanya seperti yang telah dibakar sebelumnya melainkan masjid besar dengan fondasi yang kokoh. Dan ini semua berkat partisipasi sebagian besar umat Muslim di Indonesia. Yang kedua bahwa sejak lama Islam telah tersebar di bumi Cendrawasih, Papua. Bahkan uztad Fadzlan memperkirakan tidak kurang dari 40 % penduduk Papua saat ini adalah Muslim.
“ Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya”.(Terjemah QS. Ali Imran(3):54).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di TanganNya, tidaklah kalian masuk surga sehingga kalian beriman dan tidaklah kalian beriman sehingga saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu, jika kalian lakukan akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim).
Akhir kata, semoga pemerintah mau mendengar dan menindak-lanjuti temuan berharga di atas. Karena ada kabar tokoh agama Islam di kabupaten Tolikara yaitu uztad Ali Muchtar sepakat agar penyelesaian masalah di Tolikara diselesaikan secara adat. Ia meminta agar proses hukum yang sedang ditangani pemerintah dihentikan.
Berikut sebuah pesan dari Buya Gusrizal Gazahar yang sangat baik untuk kita renungkan.
“Bukan Pemimpin Umat dan Bukan Pula Pemimpin Bangsa”
(Pesan dari Ranah Minang Untuk Penguasa Negeri)
Toleransi yang tuan-tuan minta, telah diberikan oleh umat Islam dalam kurun waktu yang begitu lama.
Tak pernah terhambat lonceng gereja berbunyi di tengah mayoritas negeri ini.
Tak pernah terhalang hio terbakar walaupun dilakukan oleh mereka yang minoritas.
Kalau ada insiden yang terjadi di tengah mayoritas negeri ini, cobalah telusuri akar permasalahannya !
Ketika berbagai aturan diterabas dan mereka masuk ke jantung umat Islam dengan kepalsuan dan kebohongan untuk melakukan pemurtadan, reaksi umat yang tersinggung tak pernah melampaui batas melainkan setelah didiamkan tanpa mendapatkan keadilan.
Para penganut ajaran sesat SEPILIS dan lainnnya bisa saja melemparkan tuduhan berbungkus kalimat “berkaca diri” kepada umat Islam.
Tanpa peduli fakta di lapangan, mereka menyalahkan mayoritas sesuai “tradisi nusantara mereka” selama ini.
Namun kami tak akan bergeming dari prinsip karena mereka adalah agen-agen yang melacurkan diri demi kenikmatan duniawi.
( Baca lengkap :
https://www.facebook.com/permalink.php?id=347742858765176&story_fbid=395357670670361 ).
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 4 Agustus 2015.
Vien AM.
Leave a Reply