Tentu kita sering sekali mendengar orang berkata “Alhamdulillah”, bahkan oleh non Muslim sekalipun. Biasanya kata-kata ini diucapkan oleh seseorang yang hatinya sedang berbunga-bunga, senang dan bahagia, dengan alasan yang bermacam-macam. Ada yang karena hari itu lulus ujian, ada yang baru keluar dari rumah sakit, ada yang baru mendapatkan keturunan, ada yang karena proyeknya berhasil dan lain sebagainya. Intinya bersyukur atas kesehatan, keberhasilan dan kebahagiaan yang diterimanya hari itu.
Pertanyaannya sudah benar dan cukupkah perkataan “Alhamdulillah” itu mewakili rasa syukur kita ? Karena syukur sebenarnya tidak hanya ketika kita sedang bahagia saja. Lebih dari itu syukur yang benar seharusnya tidak hanya sekedar ucapan di mulut saja, namun juga terungkap di hati dan prilaku.
Alangkah tepatnya tausiyah yang disampaikan seorang uztad beberapa waktu lalu, yaitu beruntunglah orang yang selalu melihat ke bawah untuk mengukur ke-dunia-annya, sebaliknya melihat ke atas untuk mengukur ke-akhirat-annya.
Artinya, ketika ia melihat urusan dunianya, seperti rezekinya, kesehatannya, kecantikannya dll, ia selalu membandingkan dengan orang yang berada di bawahnya. Yang dengan demikian ia akan selalu mensyukuri apa yang ada padanya. Karena ternyata ia lebih baik dan beruntung dibanding mereka yang sedang kesulitan.
Tetapi ketika ia melihat urusan akhiratnya, misalnya akhlaknya, kesholehan dan ibadahnya, seperti shalatnya, puasanya, zakatnya dll, ia selalu berkaca ke atas, kepada orang-orang yang lebih baik, yang lebih takwa dari dirinya. Hingga dengan demikan ia akan selalu terpacu untuk berusaha memperbaiki dirinya.
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (Terjemah QS. Al-Ashr (103):2-3).
Jadi jelas, syukur bagi seorang Muslim bukan hanya ketika ia sedang diuji dengan kesenangan dan kenikmatan. Melainkan juga mereka yang sedang mengalami kesulitan, tapi tetap bersyukur, tenang dan bersabar.
“Orang yang bahagia ialah yang dijauhkan dari fitnah-fitnah dan orang yang bila terkena ujian dan cobaan, dia bersabar”. (HR.Ahmad)
Sayangnya, seringkali orang berpikir bahwa nikmat itu adalah harta benda. Padahal bila kita mau merenung sejenak, sungguh betapa banyaknya nikmat Allah itu. Bayangkan bila Sang Khalik 10 menit saja menyetop udara yang biasa kita hirup. Darimana kita akan memperoleh penggantinya?? Bagaimana pula bila Allah mencabut penglihatan atau pendengaran kita. Belum lagi jantung, hati, ginjal dan segala organ tubuh kita lainnya yang terdiri atas milyaran sel, yang bekerja, tanpa kita menyadarinya, sepanjang hari, malam, bulan, tahun selama kita ini masih diberi-Nya hidup.
“Maka terangkanlah kepada-Ku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Kalau Kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?” (Terjemah QS. Al-Waqiyah(56):68-70).
“Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu malam itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka apakah kamu tidak mendengar?”
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya“. (Terjemah QS.Al-Qashash):28:71-73).
Maka bila orang yang hidup dalam kekurangan, miskin, tubuh yang tidak normal, sakit parah, tidak punya keturunan, hidup dalam peperangan/terdzalimi saja masih bisa bersyukur, apalagi orang yang hidup bahagia sehat tenang sejahtera di tengah keluarga yang berkecukupan. Ya Allah jangankan Kau biarkan kami menghabiskan umur ini dengan perbuatan yang sia-sia.
Namun diatas semua itu, sesungguhnya nikmat paling besar yang diberikan kepada seorang hamba adalah nikmat iman dan islam. Karena dengan keduanya inilah kita jadi mengenal Tuhannya, Allah Azza wa Jalla, Sang Pencipta, Pemilik Alam Semesta. Tuhan Yang Satu Yang Tidak Beranak dan Tidak pula Diperanakkan, Yang Maha Pemberi Rezeki, Yang Maha Pemberi Kehidupan, Yang Adil Yang Maha Bijaksana Pemberi Ampunan dan Taubat.
Dari situ maka lahirlah kekuatan syukur yang maha dasyat. Kekuatan yang mampu melahirkan ketundukan, kepasrahan, rela, ridho untuk menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan betapapun beratnya perintah dan larangan tersebut.
Jadi tidaklah mengherankan bila di belahan bumi ujung sana ada saja kaum Muslimin yang tetap istiqomah menjalankan puasa yang ketika jatuh pada musim panas bisa lebih dari 20 jam, atau Muslimah yang tetap istiqomah mengenakan hijab meski setiap hari dicemooh lingkungan yang tidak mau menerimanya, atau seorang Muslimin yang istiqamah berjalan menuju masjid di pagi buta yang dingin demi mengerjakan Subuh berjamaah, atau Muslimin yang pergi berjihad mengangkat senjata demi membantu saudara-saudaranya yang terzalimi di Palestina atau Suriah dll, atau juga kaum Muslimin yang tetap berusaha menjalankan berbagai amal ibadah meski negara tempat ia tinggal melarangnya dan bahkan mereka dimata-matai. Allahuakbar .. itulah buah kekuatan syukur yang sungguh dasyat …
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. ( Terjemah QS. Ibrahim(14):7).
“Sesungguhnya bersyukur akan menambah kenikmatan Allah, dan perbanyaklah berdoa”. (HR.Ath-Thabrani)
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 10 Agustus 2015.
Vien AM.
Leave a Reply