Feeds:
Posts
Comments

Archive for January 12th, 2018

Kisah ini adalah kisah nyata seorang mualaf keturunan Tionghoa yang diuji keimanannya oleh Allah Azza wa Jalla dengan ujian yang maha berat. Kisah ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 2006 oleh Retno ( nama samaran), seorang mahasiswi arsitektur sebuah universitas, atas izin yang bersangkutan. Sengaja saya menuliskannya kembali dalam versi lebih ringkas agar tidak terlalu bertele-tele. Semoga kita dapat mengambil hikmahnya, terutama bagi yang lahir sebagai Muslim tapi sering kali kurang mensyukuri nikmat ke-Islam-an tersebut. Na’uzubillah bin dzalik …

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. ( Terjemah QS. Al-Baqarah(2):214).

                                                            **********

masjid-jami-pontianakSuatu hari Retno mendapat tugas dari kampus untuk mendampingi seorang mahasiswi arsitektur sebuah universitas di Australia yang ingin membuat penelitian terhadap masjid tertua di sebuah kota di Kalimantan Barat. Masjid kuno ber-arsitektur Melayu tersebut memang sering kedatangan tamu mancanegara.

Setiba di masjid, mereka disambut seorang pak tua yang telat bertahun-tahun bertugas sebagai penjaga masjid. Ialah yang biasanya menerangkan sejarah masjid kepada tamu-tamu yang datang. Tugas Retno adalah menterjemahkan apa yang dikatakan pak tua kepada tamunya.

Tapi ntah mengapa tamunya itu tampak kurang puas dengan hasil terjemahan Retno. Retno sempat panik melihat reaksi tamunya. Dalam keadaan seperti itulah ia melihat seorang ibu muda berpenampilan amat sangat sederhana yang sejak awal hanya duduk dan memperhatikan mereka, tiba-tiba datang mendekat. Tanpa disangka, ibu muda dengan jilbab menutupi sebagian wajah dan matanya yang sipit itu menawarkan diri untuk membantunya.

Dan tak lama kemudian ibu tersebut sudah asik menerangkan sejarah masjid dalam Bahasa Inggris yang sangat fasih. Retno tentu saja lega mendengarnya. Tapi ia tetap penasaran siapa sebenarnya perempuan tersebut. Apalagi ketika ia mendengar pengakuan bahwa ibu muda tersebut pernah kuliah di negri tamunya itu, yaitu Australia.

Alhasil, usai kunjungan Retno mengatakan akan kembali menemui sang ibu muda, yang memperkenalkan diri dengan nama Mawar tersebut. Beberapa hari kemudian Retno datang memenuhi janjinya.

                                                                     **********

Mawar adalah seorang gadis yang keturunan Tionghoa yang hidup dalam kemewahan. Ia adalah anak bungsu dari 4 bersaudara. Kedua orang-tuanya adalah pengusaha super sukses yang saking kaya rayanya sering khawatir bila mereka meninggal tak ada yang dapat menjaga kekayaan dan meneruskan usaha mereka. Itu sebabnya ketika mereka bepergian bersama dengan menggunakan pesawat terbang, mereka memilih untuk terbang secara terpisah. Dengan tujuan bila terjadi musibah tidak semua mengalaminya.

Mawar melewati pendidikan dasar hingga SMA di kota kelahirannya dengan penuh kebahagiaan. Ia bersekolah di sekolah swasta bergengsi yang murid-muridnya kebanyakan anak pejabat dan pengusaha kaya. Namun demikian Mawar bergaul dengan siapa saja tanpa melihat latar belakang mereka.

Hal paling berkesan pada masa sekolah menurut Mawar adalah pelajaran agama Islam meski ia seorang non Muslim. Kebetulan sekolahnya memberikan murid kebebasan untuk mengikuti pelajaran agama yang bukan agamanya sendiri. Ia sangat menikmati pelajaran tersebut. Ia bahkan selalu mencatat apa yang didengarnya dengan rapi. Pernah suatu hari ia ketakutan karena ibu guru agamanya tiba-tiba datang mendekatinya.  Ketika itu ia sedang mencatat tata cara pelaksaan haji. Namun ternyata ibu gurunya tersebut hanya tersenyum sambil berkata :” Semoga suatu hari nanti kamu bisa berhaji bersama ibumu”. Maka sejak hubungan keduanya menjadi sangat akrab, layaknya ibu dan anak.

Ketertarikan Mawar terhadap Islam tidak hanya sebatas di sekolah. Di rumah, ketika ia sendirian, karena kedua kakak lelakinya sekolah di luar negri, sementara kedua orang tuanya lebih sering di Jakarta mengurus usaha mereka yang makin hari makin maju saja, Mawar sering mendengarkan lantunan bacaan Al-Quran yang disiarkan di televisi. Ia juga sering merasa sendu ketika mendengar suara adzan dikumandangkan.

Bahkan memasuki usia remaja ketika teman-teman sebayanya sibuk berpacaran, ia selalu membayangkan kekasihnya adalah seorang asli pribumi Muslim yang taat beragama. Bayangan lelaki dengan wajah yang basah karena air wudhu selalu membuatnya terkesan.

Lulus SMA, Mawar melanjutkan sekolah ke Australia, kemudian ke Amerika Serikat menyusul kakak-kakaknya. Setelah 5 tahun berlalu Mawar kembali ke kota kelahiran dengan membawa predikat master dalam bidang ekonomi dan keuangan. Iapun lalu bekerja di perusahaan milik orang-tuanya, dengan gaji standard yang tidak seberapa. Namun di luar itu, secara rutin ia masih menerima jatah bulanan dari orang-tuanya yang besarya 20 x lipat gajinya.

Sebagai gadis dewasa pertengahan 20 tahun-an, dengan penampilan menarik, tinggi, kulit putih lazimnya gadis Tionghoa, ditambah kekayaan yang tak terkira, tak heran bila banyak lelaki mengincarnya. Namun impian masa remajanya yaitu pemuda pribumi Muslim yang taat, tidak dapat terhapus begitu saja. Itu sebabnya Mawar bertahan untuk tetap melajang.

Hingga suatu hari, datang seorang pemuda sesuai impiannya, di perusahaan tempat ia bekerja. Pemuda tersebut berasal dari Jawa, Fariz namanya. Mawar tidak bisa menipu hatinya bahwa ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Apalagi ketika suatu hari, ketika keduanya harus berada dalam satu mobil karena urusan pekerjaan, ia melihat Fariz minta izin mampir sebentar di masjid untuk shalat.  Beberapa kali ia berusaha menarik perhatian pemuda yang terlihat cuwek tersebut.

Singkat cerita keduanya menjadi dekat. Setahun berlalu namun tak pernah sekalipun Fariz menyatakan cintanya terhadap Mawar. Mawar dapat memakluminya, karena mereka memang berlainan status, etnis dan agama.

Hingga suatu hari Fariz mengajaknya bertemu di suatu tempat. Disanalah ia menyatakan cintanya. Mawar tentu saja langsung menyambutnya. Ia bahkan berjanji akan memeluk Islam, karena sejak lama ia sudah tertarik dengan ajaran tersebut. Fariz menangis haru mendengar hal tersebut, dan berjanji akan mengajarinya tentang Islam. Mawar makin yakin bahwa pemuda tersebut adalah calon suaminya, soul matenya.

Secara diam-diam akhirnya merekapun berpacaran. Di kantor mereka berusaha menutupi hubungan tersebut. Sedikit demi sedikit Fariz mengajari Mawar shalat dan menghafal bacaan-bacaan pendek.  Satu hal yang sangat dikagumi Mawar, dengan sopan, Fariz selalu menolak ajakan Mawar untuk bermesraan. “Sabarlah, semua ada waktunya”, begitu Fariz selalu berujar.

Hingga pada suatu hari tiba-tiba ayahnya mendatangi meja kerja Mawar. Padahal selama ini bila ada keperluan Mawarlah yang dipanggil datang ke ruang kerja ayahnya, yang merangkap sebagai boss sekaligus  owner perusahaan.

Awalnya ayahnya hanya berbasa-basi menanyakan pekerjaan Mawar. Namun lama kelamaan ayahnya berusaha mengorek hubungan rahasianya dengan sang pujaan hati yang rupanya sudah mulai terendus di lingkungan kantornya. Mawar tak kuasa menjawab pertanyaan ayahnya. Ia tidak sanggup untuk berbohong, sebaliknya bila ia mengakuinya, ia khawatir Fariz akan kehilangan pekerjaan. Akhirnya ia hanya menangis. Maka tanpa berkata sepatah katapun ayahnya meninggalkannya.

Keesokan harinya Mawar mendapati meja kerja Fariz kosong. Teman-temannya mengatakan bahwa Fariz dipindahkan ke Jawa. Mawar sangat terpukul tapi tidak dapat berbuat apa-apa. Seminggu kemudian Fariz menelponnya, mengatakan bahwa ia telah dipindahkan. Dengan sedih, pemuda tersebut menceritakan bahwa nyaris semua orang di kantor menggunjingkannya memacari Mawar karena mengincar kekayaan sang ayah yang tak lain boss mereka.  Fariz bersumpah bahwa hal tersebut tidak benar, ia benar-benar mencintai Mawar. Itu sebabnya Fariz memutuskan keluar dari perusahaan, dan berjanji akan mencari pekerjaaan di kota kelahiran Mawar agar tetap dapat berhubungan dengannya.

Fariz tidak memungkiri janjinya. Atas kehendak Allah swt, tiga bulan kemudian ia mendapat pekerjaan di kota tersebut. Maka jalinan asmara keduanya kembali berlanjut, kali ini secara terang-terangan. Karena sekarang Fariz merasa tidak perlu khawatir kehilangan pekerjaan. Namun rupanya kedua orang-tua Mawar tidak dapat menerima hal tersebut. Mereka merasa curiga bahwa anak gadis mereka tidak hanya sekedar jatuh cinta kepada Fariz, namun juga kepada Islam ! Hal yang sama sekali tidak dapat mereka terima.

Dengan berbagai cara mereka membujuk putrinya itu agar mau meninggalkan Fariz. Hingga akhirnya mereka benar-benar murka dan kehabisan kesabaran ketika Mawar menjawab dengan tegar bahwa ia sudah cukup dewasa dan bisa memilih mana yang terbaik baginya. Mawarpun mulai dikucilkan, ia tidak diajak bicara bahkan tidak diajak makan bersama keluarga. Ia baru dipanggil pembantu untuk makan setelah semua anggota keluarga selesai makan dan meninggalkan tempat, dengan lauk pauk sisa seadanya tanpa pembantu boleh menambahnya. Sakit hati Mawar menjalaninya namun ia tetap teguh pada pendiriannya. Ia malah makin semangat mempelajari Islam.

Berkali-kali kedua-orang tua Mawar mengingatkan bahwa kalau tidak karena jerih payah mereka Mawar tidak mungkin bisa hidup enak seperti sekarang ini, dimana semua fasilitas kenikmatan bisa ia dapatkan. Hampir setiap hari Mawar bersitegang dengan kedua orang-tuanya. Dan semua itu tidak lepas dari pengamatan Fariz. Akhirnya Fariz menganjurkan Mawar agar berbicara baik-baik dan menerangkan keinginannya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Mereka menuduh putrinya itu telah terkena guna-guna.

Mereka bahkan akhirnya menantang Mawar untuk meninggalkan semua fasilitas yang mereka berikan kalau ia tetap berkeras pada pendiriannya. Mawar menyadari bahwa cepat atau lambat ia memang harus memilih salah satu darinya. Akhirnya iapun menyerahkan semua pemberian orang-tuanya termasuk semua tabungan dan perhiasannya. Sayang ia lupa menyelamatkan ijazah kuliah, sementara kedua orang-tua yang dikasihinya itu justru sengaja menahan ijazah tersebut. Tapi tekad Mawar sudah bulat, ia tidak mau kembali.

Selanjutnya Mawar tinggal di kosan dekat kantornya. Namun tak lama kemudian setelah gajinya tak diberikan perusahaan, pertahanan Mawarpun jebol. Ia mengadu kepada Fariz yang selama ini selalu memintanya untuk sabar dan taat kepada orang-tua. Gadis itu memohon kepada Fariz selaku satu-satunya pelindungnya, agar mau membimbingnya memeluk Islam dan segera menikahinya.

Mawarpun bersyahadat di masjid di kotanya, dan karena kebetulan Fariz akan dipindahkan ke kota kelahirannya di Jawa, merekapun pindah ke Jawa dan menikah di hadapan keluarga besar Fariz.

Empat tahun berlalu. Pasangan muda tersebut telah dikarunia seorang anak lelaki berusia tiga tahun. Selama itu Mawar hidup bahagia sebagai ibu rumah tangga yang senantiasa berusaha berbakti dan menyenangkan suami. Fariz sempat beberapa kali menyuruh Mawar menghubungi kedua orang-tuanya untuk bersilaturahmi. Namun mereka tidak menanggapinya. Hingga suatu hari Allah swt berkehendak lain. Fariz terkena Demam Berdarah dan meninggal dunia.

Mawar sangat terpukul dan berusaha terus bertahan. Namun akhirnya ia tidak tahan melihat semua hal yang mengingatkannya pada sang suami tercinta. Rumah dan motor yang dibeli Fariz beberapa saat sebelum meninggal dijualnya. Selama beberapa bulan ia mengungsi ke rumah mertuanya.  Namun akhirnya Mawar memutuskan bahwa ia harus mandiri. Bersama anaknya ia terbang kembali ke kota kelahirannya.

Di kota tersebut Mawar berusaha memulai babak baru kehidupannya. Ia mengontrak rumah dan membuka warung kecil-kecilan di bagian depan rumahnya. Namun itupun tak lama karena kemudian usahanya bangkrut. Akhirnya ia benar-benar tidak punya uang sepeserpun. Sempat terpikir untuk kembali ke  rumah orang-tuanya namun cepat dibatalkannya karena tidak ingin jadi bahan ejekan.

“Kadangkala aku sering bertanya pada Allah, apakah karena aku mualaf sehingga Allah kurang percaya dengan keimananku, sehingga perlu mengujinya dengan ujian yang amat berat?”, bisik Mawar,  lirih.

Dalam keadaan setengah putus-asa tiba-tiba Mawar teringat masjid tempat ia dulu berikrar. Disana dulu aku memulai jalan hidupku, seandainya harus berakhir, aku ingin pula mengakhirinya di tempat mulai tersebut, begitu pikir Mawar. Segera iapun menuju masjid tersebut lalu shalat dan memohon pertolongan kepada Allah swt. Ia menangis sesenggukan memikirkan nasib anaknya yang terlunta-lunta. Rupanya tangisan tersebut didengar sang imam masjid yang dulu membimbingnya berikrar. Setelah bercerita panjang lebarnya pak imam menawarkan sebuah bekas gudang berukuran 2×2 m yang ada di samping masjid untuk ia tempati.

Mawar sangat berterima-kasih atas kebaikan imam tersebut. Sebagai imbalannya dengan ikhlas setiap hari Mawar membantu pak tua yang menjaga masjid tersebut dengan membersihkan halaman dan kaca-kaca jendela masjid. Mawar bersyukur hidupmya sekarang tenang. Ketika hatinya gundah dengan mudah ia bisa masuk masjid, shalat lalu mengadukan nasibnya kepada Sang Khalik.

Ia juga sering diminta istri pak imam membantu pekerjaan rumah tangga dengan sedikit imbalan. Anaknya bahkan tanpa terasa sudah sekolah di yayasan masjid tersebut tanpa sedikitpun ditarik iuran. Hal tersebut berlangsung selama kurang lebih 2 tahun.

Hingga suatu hari datang dua orang yang sangat dikenalnya. Mereka adalah pengacara keluarga sekaligus perusahaan orang-tuanya. Rupanya selama ini ayah dan ibunya tahu bahwa Mawar tinggal di masjid tersebut.

Mereka datang dengan membawa sebuah amplop besar berisi surat-surat berharga termasuk buku bank, ijazah kuliah, dan semua miliknya yang dulu ia kembalikan kepada orang-tuanya. Mawar sempat terkejut dan merasa bahagia karena akhirnya mereka mau menerimanya kembali.

“ Tapi dengan satu syarat”, kata tante Grace, lirih.

“ Kedua orang-tuamu menghendaki kau kembali ke keyakinan keluargamu”, sambung om Albert dengan suara bergetar, melihat tante Grace tidak sanggup meneruskan kata-katanya sendiri. Air mata nyaris keluar dari ujung kelopak matanya.

Mawar terhenyak. Ternyata perkiraannya salah. Mereka masih seperti dulu. Dengan sopan Mawar menjawab bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang mustahil. Tante Grace dan om Albert segera meminta maaf atas ketidak-nyamanan tersebut. Mawar mengerti mereka hanya menjalankan tugas. Keduanyapun lalu pamit.

Namun tak lama setelah itu mereka kembali lagi. Mawar mengira mereka masih ingin berusaha membujuknya.

“ Maafkan kami Mawar. Hanya ini yang dapat kami lakukan. Semoga bisa cukup membantumu”,    ujar tante Grace sambil menyerahkan foto copy ijazah masternya.

Alangkah leganya Mawar mendengar itu. “ Alhamdulillah”, bisiknya.

Mawar merasa sedang dimanjakan oleh Tuhannya yang selama ini telah mengujinya dengan ujian yang maha berat. Ia dapat merasakan betapa “tangan” tersebut sedang menuntunnya menuju jalan yang terang. Allahu Akbar ….

Mawar segera mengucapkan trima-kasih yang tak terhingga kepada keduanya. Ia tahu bahwa mereka sedang mempertaruhkan pekerjaan mereka. Pasti orang-tuanya bakal marah besar kalau sampai tahu apa yang telah mereka lakukan.

                                                        *********

 “Bu Mawar, kebetulan rektorat tempat saya kuliah sedang membutuhkan beberapa tenaga honorer. Cobalah membuat surat lamaran dengan melampirkan ijazah ibu. Saya akan sampaikan sendiri ke bagian administrasi. Saya yakin dengan latar pendidikan ibu pasti ibu akan ditrima bekerja di sana”, ujar Retno, beberapa hari setelah ia berhasil mengorek Mawar agar membuka rahasia dan menceritakan kisah perjalanannya. Gadis itu tersentuh untuk segera menolong Mawar keluar dari kesulitan hidupnya.

Mawar benar-benar bersyukur atas jalan terang yang diberikan padanya. Ia yakin bahwa itu adalah pertolongan Allah swt atas kesabarannya selama ini.

Dan benar saja, setelah melalui beberapa prosedur Mawarpun ditrima bekerja. Bahkan tidak sampai satu tahun Mawar telah diangkat sebagai pegawai tetap. Ia juga sering diminta untuk membantu menterjemahkan  litelatur2 asing untuk dipergunakan para mahasiswa.

Tak lama setelah bekerja Mawar pamitan kepada pak imam yang telah berbaik hati mau menampungnya di masjid. Sebelum meninggalkan masjid ia sempatkan shalat di dalamnya, lalu memandangi kamar yang selama 2 tahun ditinggalinya itu. Selanjutnya Mawar membawa putranya pindah ke rumah kontrakan. Di waktu luang ia ajak putranya berkeliling kota dengan motor yang dibelinya. Tak jarang ia melewati depan rumah orang-tuanya dengan harapan suatu hari nanti mereka mau membuka hati untuknya, atau minimal mau menerima putranya.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…. “. (Terjemah QS. Al-Baqarah(2):286).

Saat ini bu Mawar mungkin telah berusia 46 atau 47 tahun. Semoga Allah swt senantiasa melindunginya dan semoga bu Mawar mampu istiqamah menjalani kehidupannya hingga akhir hayatnya nanti, aamiin yaa robbal ‘aalamiin …

Sebuah pelajaran yang amat sangat berharga, betapa kekayaan dan kesuksesan bukanlah apa-apa dibanding dengan nilai sebuah keimanan. Semoga kita bisa mengambil hikmahnya, aamiin …

Wallahu ‘alam bish shawwab.

Jakarta, 12 Januari 2018.

Vien AM.

Disarikan dari : https://menyentuhhati.com/2016/02/12/kisah-nyata-paling-sedih-dari-wanita-mualaf-keturunan-china/comment-page-1/

Read Full Post »