Zuhud secara bahasa adalah lawan dari kata gemar. Gemar merupakan suatu bentuk keinginan. Sedangkan zuhud adalah hilangnya keinginan terhadap sesuatu, baik disertai kebencian ataupun hanya sekedar hilang keinginan. Dengan kata lain zuhud adalah keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian, mengosongkan diri dari kesenangan dunia demi menjalankan ibadah.
Maka tak heran bila dalam keseharian kita mendengar adanya seorang sufi ( orang yang menjalani kehidupan zuhud) yang pergi berkelana meninggalkan keluarganya, pekerjaannya, tanpa berbekal apapun, demi mendekatkan diri kepada Tuhannya. Jadi zuhud adalah berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan meskipun halal, dengan jalan berpuasa dalam segala hal, yang kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama.
Banyak pendapat mengatakan bahwa zuhud adalah pengaruh ajaran Budha dengan faham nirwananya bahwa untuk mencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Juga ajaran Hindu dan Kristen dengan rahib-rahibnya yang tidak boleh menikah.
Pertanyaannya benarkah Islam mengajarkan hal tersebut, dan mengadopsinya dari ajaran-ajaran lain?
Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah Al Hunaidi mengatakan, bahwa pengertian zuhud yang paling sempurna dan paling tepat adalah pengertian yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Menurut ulama kenamaan asal Turki tersebut, zuhud yang disyari’atkan ialah meninggalkan rasa gemar terhadap apa yang tidak bermanfaat bagi kehidupan akhirat. Yaitu terhadap perkara mubah yang berlebih dan tidak dapat digunakan untuk membantu berbuat ketaatan kepada Allah, disertai sikap percaya sepenuhnya terhadap apa yang ada di sisi Allah.
Mari kita mulai dari Imam al-Ghazali, satu-satunya ulama Ahlu Sunnah wal Jamaah, yang namanya tak asing dalam dunia filsafat dan tasawuf. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali lahir di kota Thusi, Khurasan, Persia (Iran) pada tahun 1058 M / 450 H. Ketika masih kecil, ayahnya yang bekerja sebagai pengrajin kain shuf ( kain dari kulit domba) telah mempercayakan pendidikan al-Ghazali dan adiknya kepada seorang ahli tasawuf yang dikaguminya. Ketika itu ilmu tasawuf memang sedang naik daun. Kondisi kerajaan yang amburadul dimana korupsi merajalela, ekonomi yang terpuruk serta moral masyarakat yang rendah, tampaknya adalah pemicunya.
Aliran-aliran zuhud yang muncul pada abad I dan II H sebagai reaksi terhadap hidup mewah khalifah dan keluarga serta pembesar-pembesar negara adalah akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Siria, Mesir, Mesopotamia dan Persia. Orang melihat perbedaan besar antara hidup sederhana dari Rasul serta para sahabat.
Berbekal akhlak mulia yang ditanamkan kedua orang-tuanya, Ghazali dengan cepat menyerap ilmu yang diberikan gurunya. Sejak kecil Ghazali tidak hanya tidak suka tapi benci kepada segala sifat buruk seperti riya, megah, sombong, takabur, dan sifat-sifat tercela lainnya. Ia sangat kuat beribadat, wara’ dan zuhud. Dan itu semua ia lakukan demi mendapat ridha Allah SWT.
Keingin-tahuan dan kecintaannya yang begitu tinggi terhadap ilmu pengetahuan membuat Ghazali tidak cukup puas dengan 1 guru. Ia terus mengembara ke berbagai kota dan negara untuk menimba ilmu. Pada usia tiga puluhan tahun Imam Ghazali mendapat tawaran mengajar di Madrasah An-Nidzamiyah, madrasah terkenal di Baghdad Irak, hingga mencapai kedudukan yang sangat tinggi. Melalui madrasah inilah nama Imam Ghazali melambung tinggi mengharum.
Sayang kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih dan ushul, terutama ilmu filsafat kurang dibarengi dengan pengetahuan tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah saw yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Namun Allah swt berkenan memberi hidayah dan petunjuk-Nya hingga diam-diam ia merasa kurang yakin dan puas terhadap ilmu yang dimilikinya. Al-Ghazali merasa ada sesuatu yang berlebihan dan sangat berpotensi merusak akidah. Kala itu memang banyak orang yang tenggelam dalam dunia kesufian dan meninggalkan syariat.
Akhirnya pada tahun 488 H Imam Ghazali memutuskan untuk meninggalkan jabatan tingginya selaku direktur sekolah-sekolah Nizamiyah seluruh Baghdad, demi menjalani hidup zuhud, membersihkan jiwa dari segala kekotoran dan nafsu dunawi yang membelenggu.
Pada tahun itu juga ia pergi menunaikan haji ke Mekah, ziarah ke Madinah lalu berkhalwat di Masjid Baitul Maqdis Yerusalem selama beberapa waktu. Setelah itu Imam Ghazali pergi ke Damaskus dan tinggal di kota tersebut. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di pojok masjid Jami’ Umawi yang sekarang dikenal dengan nama Al-Ghazaliyah. Disanalah ia menulis kitab Ihya Ulumuddin yang fenomenal dan menjadi rujukan banyak orang. Ia berhasil meletakkan kembali posisi tasawuf ke tempat yang benar menurut syari’at Islam, membersihkannya dari pengaruh faham-faham asing yang masuk mengotori kemurnian ajaran Islam. Untuk itulah tampaknya Imam Al-Ghazali mendapat gelar Hujjatul Islam.
Imam Adz Dzahabi berkata, “Pada akhir kehidupannya, Al-Ghazali tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Setelah mengarungi lautan hidup yang luas, menyelami ilmu yang sangat dalam sekaligus mengamalkannya, maka pada tahun 1111 M ( 505 H ), Imam Al-Ghazali berpulang ke rahmatullah di kampung kelahirannya, Thusi. Ia wafat dalam usia relatif muda, yaitu sekitar 52-53 tahun.
Imam Al-Ghazali benar, zuhud telah diajarkan dan dicontohkan Rasulullah dan para sahabat sejak awal Islam. Namun bukan zuhud yang menjauhkan dari kehidupan dunia dan menafikannya. Karena dunia adalah ladang dimana kita bertanam yang hasilnya akan kita petik tidak hanya di akhirat nanti saja, tapi juga di dunia ini.
“Bukanlah orang yang paling baik daripadamu itu yang meninggalkan dunianya karena akhiratnya, dan tidak pula yang meninggalkan akhiratnya karena dunianya, sebab dunia itu penyampaian kepada akhirat, dan janganlah kamu menjadi beban atas manusia”.
Hadits yang memberitakan hal tersebut tidak terhitung banyaknya. “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.”, “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah”, “Memikul kayu lebih mulia dari pada mengemis”, “Mukmin yang kuat lebih baik dari pada muslim yang lemah”, “Allah swt menyukai mukmin yang kuat bekerja.”
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Terjemah QS. Al-Qashash (28:77).
Rasulullah memang pernah berkhalwat di gua Hira selama beberapa waktu. Hal tersebut beliau lakukan karena keprihatinan yang mendalam terhadap situasi penduduk Mekah yang senantiasa bergelimang dalam kejahilan. Tapi hal tersebut terjadi sebelum Islam datang. Sayangnya inilah yang sering dijadikan pegangan para penggemar sufisme.
Adalah Abdullah, seorang sahabat Nabi yang dikenal sangat saleh. Ia mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadah. Dia biasa menghatamkan al-Quran setiap hari dan melewati hari-hari dengan berpuasa dan bangun untuk shalat malam. Ternyata Rasulullah menegur perbuatan yang tampaknya baik tersebut.
“Jika kamu terus melakukan kebiasaan ini, tubuhmu akan semakin lemah dan pandangan mata-mu akan semakin pudar. Tubuh kita memiliki hak-hak yang harus kita penuhi.”
Juga kisah seorang istri sahabat yang mengadukan prilaku suaminya yang terus menerus beribadah siang dan malam. Namun ternyata Rasulullah melarangnya karena istri punya hak atas dirinya.
Sebaliknya Rasulullah tidak pernah mau menimbun uang dan harta di dalam rumah beliau saw. Suatu hari ketika Rasulullah sedang menjelang sakratul maut bertanya,
“Wahai Aisyah, dimana uang yang pernah kutitipkan padamu?” Bagi-bagikan uang itu di jalan Allah. Karena Muhammad malu bertemu Allah Sang Kekasih, sedangkan dirumahnya masih ada timbunan uang”.
Pada kisah lain, suatu hari Umar bin Khattab mendapati Rasulullah terbangun dari tidurnya dengan guratan bekas tikar di pipinya. Umar menangis meihatnya dan berkata, “ Para raja dan kaisar hidup bergelimang harta dan kemewahan di istana yang megah. Tidakkah engkau sebagai manusia pilihan Allah dapat meminta kepada Allah agar bisa hidup berkecukupan?”.
Namun apa jawab Rasulullah, “Tidakkah engkau lebih senang wahai Umar, jika kita memperoleh kebahagiaan akhirat, sedangkan mereka (para raja dan kaisar) hanya memperoleh kenikmatan dunia?”
Tak heran bila para sahabatpun mencontoh sikap zuhud Rasulullah. Salah satunya yaitu ketika Umar bin Khattab datang memenuhi permintaan uskup Yerusalem untuk menerima kunci kota yang baru ditaklukan pasukan Muslim. Uskup dan rakyat kota tersebut terkejut mendapati Umar sebagai khalifah, sekaligus panglima tertinggi Islam datang sendirian dengan kudanya, tanpa pengawalan khusus, dan hanya dengan pakaian yang amat sangat sederhana.
Demikian pula Abu Bakar ash-Siddiq yang kaya raya tapi terkenal sangat dermawan. Dengan hartanya Abu Bakar membebaskan puluhan budak yang disiksa tuannya hanya karena memeluk Islam. Juga Abdurrahman ibn Auf, seorang sahabat yang dikenal amat lihai berbisnis, di tangannya batu menjadi emas. Ataupun Ustman bin Affan yang rela membeli sumber air dengan harga yang sangat tinggi demi kepentingan umat Islam.
Para sahabat sangat paham bahwa harta dan kekayaan hanyalah titipan, yang pada waktunya harus dipertanggung-jawabkan penggunaannya bahkan setiap sennya.Harta ibaratnya adalah beban berat bagi yang tidak sanggup menanggungnya.
Manusia adalah mahluk sosial yang harus saling menolong dan bermanfaat bagi orang lain. Untuk itu manusia harus berusaha dan bekerja. Harta dan kekayaan diperlukan, bukan untuk ditimbun atau digunakan oleh diri sendiri, keluarga atau kelompoknya. Harta dan kekayaan bukan untuk disombongkan dan di banggakan, seperti juga ketiadaan dan hilangnya kemewahan bukan hal yang patut disedihkan dan disesali secara berlebihan.
Jika diperhatikan khalwatnya Rasulullah dan cara hidup sufisme di masa hidup Imam Al-Ghazalil memiliki kesamaan, yaitu keprihatinan terhadap masyarakat yang terbiasa hidup dalam kemewahan dan bergelimang maksiat. Persis seperti yang kita hadapi saat ini. Namun Rasulullah tidak mencontohkan hanya berkhalwat, sekedar mengasingkan diri serta membersihkan hati dari kotoran dan dosa.
Melalui Islam Rasulullah mengajarkan kita untuk berjuang melawan keadaan agar dapat keluar dari keterpurukan, agar tercapai masyarakat yang hidup teratur, aman, damai dan sejahtera, dibawah aturan Allah swt. Itu sebabnya secara tegas Islam mengajarkan bagaimana memilih pemimpin. Karena bagaimanapun pemimpin adalah kunci sukses sebuah negara. Jadi dengan dalih apapun, sungguh tidak benar seorang Muslim tidak peduli politik, atau apapun namanya.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.( Terjemah QS. Al-Maidah(5):51).
Menjadi zuhud bukan berarti menjadi orang miskin yang hanya berdiam diri di masjid dan berzikir, meninggalkan keluarga, tanpa mempunyai pekerjaan dan hanya menggantungkan diri pada pemberian orang lain. Sufi yang baik adalah mereka yang tidak saja senantiasa berzikir siang maupun malam, pandai menjaga kesucian hatinya dari segala penyakit hati, serta banyak melakukan amal ibadah demi mencari ridho-Nya. Namun mereka juga berharta, dengan cara halal tentunya, hingga mampu menginfakkan hartanya di jalan Allah dan selalu siap membantu saudaranya yang kesulitan, syukur-syukur bisa membantu membangun ekonomi rakyat. Itulah sufi sejati.
Ada sebuah kisah menarik tentang seorang khadi Muslim kaya raya yang menaiki kudanya dengan dikawal rombongan pengawal. Di tengah jalan ia berpapasan dengan seorang Yahudi miskin. Si Yahudi menegurnya ”Sesungguhnya Nabi kalian telah bersabda, ‘Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir’. Engkau adalah hakim Agung Mesir. Engkau dengan rombongan pengawal seperti ini, penuh dengan kenikmatan, sementara aku di dalam penderitaan dan kesengsaraan.”
Sang khadi yang tak lain adalah Ibnu Hajr menjawab, “Aku dengan nikmat dan kemewahan yang aku rasakan ini dibandingkan dengan kenikmatan di surga adalah penjara. Adapun engkau dengan kesengsaraan yang engkau rasakan, dibandingkan dengan adzab yang akan engkau rasakan di neraka adalah surga.” … Masya Allah …
Tetapi yang lebih penting lagi, zuhud yang diajarkan Rasulullah tidak sampai hingga tingkatan Wihdatul Wujud seperti yang diajarkan Al Hallaj dan Ibn Arabi. Secara ringkas Wihdatul Wujud adalah bentuk penggambaran bahwa manusia dan Tuhan adalah bersatu, hingga pada tingkatan tertentu mencapai kesucian dan tidak perlu lagi melakukan shalat! Na’udzubillah min dzalik …
Tentu hal ini sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam karena jelas mengandung kesyirikan. Dan syirik merupakan dosa terbesar yang tidak dapat diampuni kecuali mau bertobat.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.( Terjemah QS. An-Nisa(4):48).
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia“.( Terjemah QS. Al-Ikhlas(112):1-4).
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. “.( Terjemah QS. Al-Hijr(15):29).
Ayat 29 surat Al-Hijr sering dijadikan kaum sufi sebagaimana pembenaran Wihdatul Wujud. Namun Rasulullah saw sendiri tidak pernah mengatakan hal yang demikian. Oleh sebab itu biarlah hal tersebut menjadi rahasia-Nya.Tugas kita sebagai hamba hanyalah menyembah-Nya sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah. Bukankah Rasulullah yang sudah dijamin masuk surgapun selalu melakukan tidak saja shalat yang 5 waktu, namun juga shalat-shalat Sunnah lain seperti Tahajud hingga bengkak kaki beliau.
Jadi sungguh jasa Al-Ghazali dalam mengembalikan tasawuf pada jalan aslinya sangatlah besar. Ia telah berhasil membawa perubahan besar pada zamannya. Ia bersiteguh bahwa seorang yang ingin terjun dalam dunia kesufian harus terlebih dahulu menguasai ilmu syariat. Menurutnya tidak seharusnya antara syariat dan tasawuf terjadi pertentangan karena kedua ilmu ini saling melengkapi.
Masih menurutnya, ruh, hati atau jiwa bersifat Ilahiyah, sehingga cenderung pada kesucian, kebersihan, kebaikan atau kebenaran. Tetapi apabila ruh kalah dengan jasad maka yang terjadi adalah gangguan dalam kehidupan pribadinya.
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 20 Maret 2018.
Vien AM.
Sumber:
https://elmisbah.wordpress.com/tasawuf-imam-ghazali/
https://almanhaj.or.id/2781-zuhud-yang-banyak-disalah-pahami.html