Suatu hari putri kami satu-satunya bercerita bahwa ia mendapat rekomendasi novel bagus dari temannya di kantor. “ Pulang”, judulnya. Tanpa begitu memperhatikan novel tersebut saya langsung berkomentar “ Kalo di Islam pulang itu yaa ke syurga, atau neraka”. Putri kami hanya manggut-manggut seperti biasa kalau ibunya sudah mulai “berceramah”.
https://vienmuhadi.com/2009/02/04/pulang/
Beberapa hari kemudian saya melihat novel tersebut tergeletak di atas meja ruang keluarga, dan secara tak sengaja saya melihat nama Leila S Chudori sebagai penulisnya. Tiba-tiba sayapun teringat nama yang di masa mudanya pernah sangat terkenal itu. Segera saya mengambil dan membaca resensi yang ada di sampul belakang novel tersebut.
Jantung saya langsung berdegup kencang begitu disebut sebuah restoran Indonesia di suatu sudut di kota Paris. Saya tahu persis bahwa restoran tersebut adalah milik keluarga ex tapol PKI, dedengkotnya bahkan. Dengan menahan nafas saya melanjutkan membaca resensi novel tersebut. Dugaan saya benar. Novel tersebut mengisahkan duka cita keluarga tersebut. Sang penulis yang tak lain adalah wartawati senior majalah Tempo tersebut dengan gaya bahasa yang menarik tak diragukan pasti bakal berhasil menarik simpatik siapapun yang membacanya. Apalagi yang tidak mempunyai pengetahuan dan latar belakang tragedy mengerikan G30S/PKI.
Saya hanya dapat menghela nafas panjang dan ber-istighfar. Pantas isu komunis hari ini tidak ditanggapi serius seperti dulu-dulu. Padahal keberadaan mereka dari hari ke hari makin terlhat nyata. Mereka terus melakukan pertemuan-pertemuan konsolidasi, bahkan berani menuntut pemerintah agar meminta maaf kepada mereka. Terbitnya buku “ Aku bangga menjadi anak PKI” adalah salah satu bukti rasa percaya diri yang besar bahwa pemerintah akan menerima mereka.
Lebih parah lagi, langkah TNI yang menyita ratusan buku yang menyinggung komunisme dan PKI ditanggapi sinis oleh sejumlah anggota PDI-P, juga PSI, partai baru yang mensyaratkan 45 tahun sebagai usia maksimal anggotanya. Ditambah lagi presenter andalan Metro-TV Najwa Shihab yang tak lain adalah putri ulama kenamaan Quraish Shihab yang dikenal sangat toleoran terhadap JIL ( Jaringan Islam Liberal).
“Pelarangan buku adalah kemubaziran akut. Di tengah rendahnya minat baca, pelarangan buku adalah kemunduran luar biasa. Indonesia bisa semakin tertinggal dari bangsa-bangsa lain yang selalu terbuka kepada ide-ide baru dan pengetahuan-pengetahuan baru,” ujarnya.
Tak dapat dipungkiri arus globalisasi yang melanda dunia sejak beberapa tahun belakangan ini telah membuat segalanya menjadi terbuka lebar. Segala macam info dari berbagai belahan dunia, yang benar maupun yang salah, yang pantas maupun tidak pantas, yang baik maupun buruk, yang semula tabu maupun tidak semua dapat diakses oleh siapapun, dari anak kecil hingga orang-tua. Yang dengan demikian menjadikan dunia seakan hanya seluas daun kelor, yang dapat dijelajahi hanya dengan duduk manis di depan robot yang namanya komputer atau bahkan hp super canggih yang harganya selangit itu.
Namun apa daya gemerlap, hiruk pikuk dan kenikmatan dunia yang begitu terbuka lebar justru telah memperdaya cara dan gaya hidup anak-nak muda zaman sekarang, zaman “Now”, istilah kerennya. Diantaranya adalah Hedonisme yang mengutamakan kesenangan hidup di dunia dan cenderung melupakan kehidupan akhirat. Agama dan tata krama dianggap hanya mempersulit hidup. Mereka hidup dalam dunianya sendiri, tak acuh terhadap kehidupan sekitarnya.
Sudah bukan rahasia lagi, di negri tercinta kita Indonesia yang dulu dikenal memiliki budaya timur yang santun, hari ini guru dibully, orang-tua dilawan, ulama dilecekan, pemimpin tidak dihormati. Jelas sudah kita saat ini sudah kehilangan tokoh panutan, tokoh yang pantas untuk dijadikan keteladanan. Arus informasi dengan segala macam bentuknya telah mengubah cara berpikir sebagian anak-anak muda kita yang merupakan generasi penerus bangsa. Tak sedikit diantara mereka ini yang menjadikan tokoh berhaluan kiri seperti Nietzche yang dikenal dengan seruan “Tuhan Telah Mati” atau Karl Marx dengan ujaran “Agama adalah candu”, sebagai idola mereka.
Dalam keadaan seperti ini tak heran bila dengan mudah komunis yang notabene anti agama diam-diam menyelinap ke republik tercinta ini. Demikian pula pandangan dan cara hidup homoseksual yang jelas-jelas dilaknat agama. Prinsip “Tubuhku adalah milikku”, membuat mereka bersiteguh bahwa tidak ada yang berhak mengatur hidup mereka. Yang penting tidak mengganggu orang lain, kilah mereka.
Ini masih ditambah dengan berita-berita hoax alias palsu yang makin hari makin merajalela. Berita yang saling bertentangan, nyaris dalam hal apapun bisa kita temukan via internet. Anehnya masing-masing kelompok merasa benar. Lalu kebenaran mana yang harus kita pilih?? Kalau sudah begini siapa yang patut disalahkan dan dimintai pertangggung-jawaban? Relakah kelak kita melihat anak-cucu kita harus menanggung dosa yang mungkin tidak mereka sadari melakukannya??
“Alif laam miim raa. Ini adalah ayat-ayat Al Kitab (Al Qur’an). Dan Kitab yang diturunkan kepadamu daripada Tuhanmu itu adalah benar; akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya)”. (Terjemah QS. Ar-Raad(13):1).
“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. ( Terjemah QS. Ibrahim(14):1).
Yaa, tidak ada jalan lain selain kembali ke Al-Quranul Karim. Inilah kebenaran yang hakiki, kebenaran dari Sang Pencipta Allah Azza wa Jala. Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Yahudi dan Nasrani sebelum kitab tersebut diselewengkan juga benar. Para nabi adalah para utusan Allah yang membawa misi yang sama yaitu menyembah hanya kepada Tuhan Yang Satu, Yang Tidak Beranak dan Tidak Diperanakan.
Ntah Tuhan dan agama apa yang dimaksud Nietzche sudah mati atau Karl Marx bagai candu. Yang pasti ajaran komunis bertentangan dengan agama apapun. Tak heran Uni Sovyet di masa lalu pernah melarang semua agama, menghancuran rumah-rumah ibadah dan memenjarakan pemeluknya. Begitu pula RRC ( Republik Rakyat Cina) yang hingga detik ini bersikap diskriminatif terhadap umat Islam di Uighur. Komunis dimanapun dan sampai kapanpun akan selalu memusuhi umat beragama.
Kembali kepada novel karya Leila S Chudori yang justru diapresiasi kalangan sastrawan. Siapapun memang berhak menulis sesuai pengetahuan dan pengalamannya, baik yang diceritakan orang lain atau pengalaman sendiri, baik benar ataupun salah. Namun bila ia mau mendengar pengalaman keluarga korban keganasan PKI tentu akan berbeda 180 derajat. Belum lagi menyoal tragedy Mei 1998 yang juga menjadi latar belakang novel, yang hingga saat ini masih simpang siur ceritanya.
Mayjen TNI Purnawirawan Kivlan Zen, menceritakan bahwa PKI dan sekelompok jendral yang tidak menyukai Suharto menunggangi gerakan Mei 1998 yang dipimpin tokoh reformasi Amien Rais. Mantan purnawirawan itu berbicara dalam acara “ Para Tokoh 98 Bicara” yang diprakasai uztad Haikal Hassan, pada Senin 25 Februari 2019 di gedung AD Premier Jakarta Selatan. PKI memang jelas sangat berkepentingan untuk menjatuhkan presiden ketika itu yaitu Suharto. Karena Suhartolah yang memerangi mereka secara serius.
Untuk diingat PKI dibawah pemerintahan Soekarno merupakan partai komunis terbesar ke 3 di dunia setelah Uni Sovyet dan RRC. Yaitu pada tahun 1959-1965 ketika ideologi negara adalah Nasakom ( Nasionalis Agamis Komunis). Dibawah Orde Baru pimpinan Suharto, PKI dan segala antek-anteknya diberantas dan gerak gerik mereka diawasi.
Tidak seperti dibawah rezim sekarang ini dimana semua yang berani berbicara mengenai komunis harus siap menghadapi resiko didzalimi dengan berbagai alasan. Jendral Kivlan pernah dituduh makar. Habib Rizak Syihab dengan FPInya yang selalu berbicara keras terhadap bahaya komunis bersama keluarga terpaksa hengkang dari tanah air tercinta atas tuduhan keji dan mengada-ada. Ustad Alfian Tanjung yang dikenal sebagai ustad spesialis komunis harus mendekam di penjara hingga detik ini padahal ia selalu berbicara dengan bukti.
Tak salah mantan panglima TNI Gatot Nurmantyo yang menyadari ancaman bangkitnya komunis suatu hari memerintahkan generasi muda agar menonton film “Pengkhianatan G30S PKI” yang sejak beberapa tahun belakangan nyaris dilupakan. Dengan tujuan agar bangsa ini tidak lengah dan mengulangi kejadian pahit di masa lalu.
Namun demikian sebagai agama yang rahmatan lilamiin, Islam yang merupakan agama mayoritas bangsa Indonesia, tidak mengenal apa yang namanya balas dendam. Tengok apa yang dilakukan Rasulullah Muhammad saw pada peristiwa Penaklukan Mekah. Nyaris tidak ada hukuman bagi penduduk Quraisy Mekah yang sebelumnya telah memerangi Islam dengan sangat kecuali segelintir yang benar-benar berbuat keterlaluan, tetap melawan dan tidak mau betobat. Dengan cara itu mereka justru masuk Islam secara sukarela bahkan tidak sedikit yang di kemudian hari berjuang habis-habisan demi tegaknya Islam.
Semoga kita bisa mengambil hikmah atas segala kejadian yang telah berlalu, aamiin yaa robbal ‘aalamiin …
Wallahu’alam bish shawwab.
Jakarta, 28 Februari 2019.
Vien AM.
Leave a Reply