Uighur kembali menjadi sorotan dunia. Etnis Muslim penduduk asli Xinjiang ini dikabarkan mengalami penindasan, penganiayaan dan pemaksaan pikiran yang jelas-jelas melanggar hak kebebasan dan hak asasi manusia.
Nicholas Bequelin, Direktur Regional di Amnesty International, memaparkan temuan di situs Amnesty International tentang situasi di Xinjiang. Dikutip dari situs Amnesty.org, 19 Desember 2019, Amnesty International telah mewawancarai 400 lebih orang kerabat Xinjiang yang mengungsi ke luar negeri.
Mereka menyebut ada penyiksaan di Xinjiang. Amnesty International juga meneliti bukti foto satelit dan dokumen pemerintah Cina tentang program penahanan. Sementara unggahan Twitter Mesut Ozil, pemain bola klub Arsenal, yang mengecam perlakuan Cina terhadap Muslim Uighur di Xinjiang menambah sorotan dunia terhadap kekejaman tersebut.
Diperkirakan satu juta orang yang mayoritas beragama Islam, seperti Uighur dan Kazakh, telah ditahan di kamp-kamp interniran di Xinjiang, barat laut Cina. Pemerintah Cina berulang kali menyangkal keberadaan kamp, menyebutnya sebagai pusat pendidikan kejuruan sukarela. Meski nyatanya mereka yang dikirim tidak memiliki hak untuk menentang keputusan tersebut.
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku”. ( Terjemah QS. Al-Baqarah(2):43).
Kebiadaban rezim Cina yang memang komunis terhadap Muslim etnis Uighur sudah diluar batas. Mereka nekad melarang umat Islam melakukan shalat yang merupakan kewajiban utama, memaksa makan babi yang haram hukumnya dalam Islam, juga melarang pemakaian jilbab serta janggut. Untuk itu merekapun menangkapi ribuan pemeluk Islam dengan tuduhan radikal. Benar-benar menyakitkan hati, siapa sebenarnya yang mereka musuhi?? Kabar terakhir mereka ternyata juga melarang umat Kristiani melakukan ibadah.
Namun demkian pihak rezim penguasa tidak mau mengakui hal tersebut. Bahkan mengatakan sebagai hoax alias berita bohong. Tak tanggung-tanggung di Indonesia mereka mengundang dan mempersilahkan sejumlah organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama untuk datang dan menyaksikan keadaan di Xinjiang.
Kepala Hubungan Internasional MUI, Muhyiddin Junaiddin mengatakan kunjungannya ke Xinjiang pada Februari lalu sangat dipantau ketat oleh pihak berwenang Cina. Ia juga mengklaim orang-orang Uighur yang ia temui di sana terlihat ketakutan. Muhyiddin mengatakan upaya Cina mengundang tokoh-tokoh Islam berpengaruh di Indonesia ke Xinjiang didesain untuk “mencuci” otak opini publik yang semula mengkritik agar mau berbalik membela Cina dalam memperlakukan Uighur.
Ironisnya lagi bahkan pemerintah Indonesia yang mayoritas Muslim tidak bergabung bersama 22 negara yang menandatangani pernyataan menentang kekejaman pemerintah Cina terhadap etnis Muslim Uighur. Surat pernyataan tersebut ditujukan kepada Ketua Dewan HAM PBB dan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko berdalih, Pemerintah Indonesia tidak ikut campur urusan dalam negeri Cina terkait masalah Muslim Uighur di Xinjiang. Menurut Moeldoko, masing-masing negara punya cara dalam mengatur urusan dalam negeri.
Komitmen pemerintah Indonesia terhadap nasib Muslim Uighur di Xinjiang diragukan oleh pengamat pertahanan dan keamanan, Salim Said. Pasalnya pada tahun 2016 ketika isu Uighur baru muncul Jokowi pernah menolak delegasi Uighur yang berkunjung ke istana. Delegasi tersebut dipimpin oleh ketua Muhammadiyah, Din Syamsudin.
“Ini sumbernya Din Syamsudin, presiden tidak ingin menyakiti hati pemerintah Cina,” jelas Salim Said.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan) ini sangat prihatin atas sikap Jokowi yang dianggapnya tak ubahnya seperti saat masih mengalami masa penjajahan.
Begitulah cerminan sikap sekuler yang makin hari makin diterapkan negri tercinta ini. Bagi mereka hal tersebut pasti dianggap tak jauh dari sikap radikal yang sedang dijadikan momok dan target utama yang dimusuhi rezim ini. Isu separatis memang yang paling mudah dijadikan alasan. Apalagi jika memikirkan hutang negara yang menggunung kepada Cina, yang sudah pasti membuat negara penghutang tersandera.
Namun yang menyedihkan adalah sikap seorang ustad kondang yang dengan santai menyatakan bahwa Uighur baik-baik aja. Itupun hanya dengan modal rekaman youtube kenalannya bukan hasil rekaman mata kepala sendiri.
Uighur bagaimanapun adalah masalah bersama, bukan umat Islam semata tapi juga semua yang peduli kemanusiaan. Persis seperti yang dihadapi rakyat Palestina yang berpuluh-puluh tahun hidup tertindas di tanah airnya sendiri. Mengenai Barat, Amerika Serikat khususnya, yang bersikap bertolak belakang terhadap Israel yang menjajah Palestina, adalah hal lain. Bisa jadi perseteruannya dengan Cina yang membuatnya getol memberitakan kejahatan negara Tirai Bambu tersebut. Yang pasti bukankah kemerdekaan adalah hak setiap bangsa??
Menengok sedikit sejarah Uighur. Tanah Uighuristan ( sekarang Xinjiang yang dalam bahasa Cina memiliki arti “wilayah terdepan baru”) merupakan tanah subur dengan luas 1.6 juta kilometer persegi atau hampir seperenam wilayah Tiongkok, menjadikannya provinsi terbesar di Cina. Jaraknya dengan Beijing ibu kota Cina adalah 1.500 mil dengan Kazakstan sebagai batas di utara, Mongolia Uighur di timur laut, Kirghiztan dan Tajikistan di barat laut dan Afghanistan serta Pakistan di barat daya.
Propinsi ini masuk ke wilayah kekuasaan Repblik Rakyat Cina pada tahun 1949 yaitu sejak berdirinya republik tersebut. Bangsa Uighur sebagai mayoritas penduduk telah tinggal di tanah tersebut selama 2 ribu tahun. Sepanjang itu, mereka telah mengembangkan kebudayaan uniknya, sistem masyarakat, dan banyak menyumbang dalam peradaban dunia.
Setelah masuknya Islam ke wilayah tersebut pada tahun 934M, dominasi kebudayaan Uighur asli tetap bertahan di Asia Tengah. Karya sastra dan ilmu Uighur bahkan semakin berkembang. Beberapa karya sastra milik Kutatku bilik karya Yusuf Has Najib (1069-1070), Divani Lugarit Turk oleh Mahmud Kashari, dan Atabetul Hakayik oleh Ahmet Yukneki dikenal pada masa itu.
Bangsa Uighur berbeda dengan ras Cina-Han, mereka lebih mirip Eropa Kaukasus, sedang Han mirip Asia pada umumnya. Bangsa ini pada tahun 1933 pernah berusaha mendirikan negara Islam yaitu Turkistan Timur dengan Kashgar sebagai ibu kotanya.
Ironis pada tahun 1949 di awal masuknya kedalam RRC, 96 persen penduduk Xinjiang yang tadinya adalah klan Turki, pada sensus Cina terakhir menyebutkan kini tinggal 7,2 juta dari 15 juta warga Xinjiang. Dengan kata lain tak sampai 50 % dari jumlah penduduk.
Kenyataan di atas lagi-lagi menunjukkan bahwa nasib bangsa Uighur tak jauh beda dengan Palestina yang terjajah di negrinya sendiri. Menjadi pertanyaan besar akankah kita mengulangi kesalahan besar dengan menjadi saksi bisu saudara-saudari kita seiman mengalami kedzaliman tanpa kita berbuat apapun???
“Orang-Orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya)”. ( HR. Muslim)
Wallahu’alam bi shawwab.
Jakarta, 31 Desember 2019.
Vien AM.